Fungsi hadits bid’ah

Rasulullah berkata “Kullu bid’atin dlalalah” dan “Segala kesesatan adalah neraka”
Ulama-ulama yang sholeh atau alim ulama mengatakan bahwa hadits “Kullu bid’atin dlalalah” adalah untuk intropeksi diri kita sendiri apakah ada amalan yang dibuat-buat atau tidak ada dalilnya bukan untuk menilai, menghukum muslim yang lain sebagai ahlul bid’ah karena belum tentu ilmu yang kita pahami mencakup semua yang telah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah sampaikan.
Kita wajib berprasangka baik terhadap manusia apalagi dengan sesama muslim. Jika kita melihat amal perbuatan dari saudara muslim kita yang tidak kita pahami bisa jadi kita belum tahu dalil yang mereka gunakan atau bahkan kita selama ini keliru memahami nash-nash Al-Qur’an dan Hadits.
Allah Ta’ala berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Apakah kita dapat memastikan sebagai amalan bid’ah ketika kita melihat amal kebaikan seorang muslim yang belum kita ketahui sunnah Rasulullah ?
Sebaiknya kita bertabayun atau klarifikasilah terlebih dahulu dengan mereka yang melakukan amal kebaikan tersebut karena kita tentu tidak mengetahui seluruh sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jika tidak memungkinkan mengklarifikasikan secara langsung maka tanyakanlah kepada ulama yang sholeh yang mempunyai pengetahuan.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43 )

Sebagian ulama sebenarnya hanya mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebatas yang telah dibukukan/dituliskan karena mereka belajar agama sebatas apa yang telah dibukukan/dituliskan
Sebagai contoh adalah apa yang telah disampaikan oleh Habib Munzir mengenai syaikh Al Albani berikut cuplikannya,
***** awal cuplikan *****
Saudaraku yg kumuliakan,
beliau itu bukan Muhaddits, karena Muhaddits adalah orang yg mengumpulkan hadits dan menerima hadits dari para peiwayat hadits, albani tidak hidup di masa itu, ia hanya menukil nukin dari sisa buku buku hadits yg ada masa kini, kita bisa lihat Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits), berikut sanad dan hukum matannya, hingga digelari Huffadhudduniya (salah seorang yg paling banyak hafalan haditsnya di dunia), (rujuk Tadzkiratul Huffadh dan siyar a’lamunnubala) dan beliau tak sempat menulis semua hadits itu, beliua hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman,

Imam Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman, demikian para Muhaddits2 besar lainnya, seperti Imam Nasai, Imam Tirmidziy, Imam Abu Dawud, Imam Muslim, Imam Ibn Majah, Imam Syafii, Imam Malik dan ratusan Muhaddits lainnya,
Muhaddits adalah orang yg berjumpa langsung dg perawi hadits, bukan jumpa dg buku buku, albani hanya jumpa dg sisa sisa buku hadits yg ada masa kini.
Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.
AL Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali, dan banyak Imam Imam Lainnya.

Albani bukan pula Alhafidh, ia tak hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, karena ia banyak menusuk fatwa para Muhadditsin, menunjukkkan ketidak fahamannya akan hadits hadits tsb,
Abani bukan pula Almusnid, yaitu pakar hadits yg menyimpan banyak sanad hadits yg sampai ada sanadnya masa kini, yaitu dari dirinya, dari gurunya, dari gurunya, demikian hingga para Muhadditsin dan Rasul saw, orang yg banyak menyimpan sanad seperti ini digelari Al Musnid, sedangkan Albani tak punya satupun sanad hadits yg muttashil.
berkata para Muhadditsin, “Tiada ilmu tanpa sanad” maksudnya semua ilmu hadits, fiqih, tauhid, alqur;an, mestilah ada jalur gurunya kepada Rasulullah saw, atau kepada sahabat, atau kepada Tabiin, atau kepada para Imam Imam, maka jika ada seorang mengaku pakar hadits dan berfatwa namun ia tak punya sanad guru, maka fatwanya mardud (tertolak), dan ucapannya dhoif, dan tak bisa dijadikan dalil untuk diikuti, karena sanadnya Maqtu’.
apa pendapat anda dengan seorang manusia muncul di abad ini lalu menukil nukil sisa sisa hadits yg tidak mencapai 10% dari hadits yg ada dimasa itu, lalu berfatwa ini dhoif, itu dhoif.
saya sebenarnya tak suka bicara mengenai ini, namun saya memilih mengungkapnya ketimbang hancurnya ummat karena tipuan seorang tong kosong.
***** akhir cuplikan *****
Sumber:

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
6 April 2011 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar