Salafi pada hakikatnya adalah pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sepakati kaum tersebut bernama Wahhabi karena kalau kita ambil nama beliau, menjadi Muhammadi tentu akan menimbulkan kesalahpahaman dikemudian hari.
Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah kaum Wahhabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.
Dikarenakan istilah Wahhabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi.
Kesan negatif dari sebutan Wahhabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab dan atas dukungan kolonialisme Inggris.
Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut.
Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi.
Sedang pemikiran ulama Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara Saudi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Ulama Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.
Jadi dapat kita pahami bahwa Salafi adalah mereka yang mengikuti ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku-aku mengikuti ulama Ibnu Taimiyah
Lalu kenapa kita harus mengikuti ulama Ibnu Taimiyah ?
Ulama Ibnu Taimiyah yang menamakan pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an dan Hadits bermanhaj atau bermazhab salaf, tidak jelas yang dimaksud beliau salaf yang mana ?. Padahal dibeberapa hadits dikatakan ikutilah Salaf yang shalih.
Bagaimana bisa benar persamaan berikut
Manhaj Salaf = Manhaj Salaf yang Sholeh
Mazhab Salaf = Mazhab Salaf yang sholeh
Sedangkan penamaan Mazhab atau Manhaj atau tharekat disandingkan kepada nama perorangan bukan untuk banyak orang atau suatu kaum
Kenapa harus mengikuti Ulama Ibnu Taimiyah, sedangkan beliau masih saja bertanya “Di mana Allah ta’ala”. Maha suci Allah ta’ala dari dimana dan bagaimana.
Jadi, jika kita tidak mempunyai kompetensi sebagai mujtahid, tidak mempunyai dana, tidak mempunyai waktu untuk berijtihad maka lebih baik bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Imam Mazhab yang empat adalah termasuk (minimal) Tabi’ut Tabi’in atau termasuk Salaf yang Sholeh atau Salafush Sholeh.
Ikutilah Ulama salaf (terdahulu) yang sholeh atau ulama khalaf (kemudian) yang sholeh. Yang penting adalah sholeh karena ke-sholeh-an adalah sertifikat sebagai pengikut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/06/ikutilah-orang-sholeh/
Indikator manusia telah beragama adalah sholeh karena tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus Allah ta’ala adalah menjadikan manusia yang sholeh.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Pada hakikatnya manusia yang tidak sholeh, jasmaninya saja berwujud manusia sedangkan ruhaninya berwujud binatang karena mereka telah memperturutkan hawa nafsu semata.
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Jadi kalau mau mengikuti jalan Allah ta’ala dan RasulNya maka janganlah memperturutkan hawa nafsu.
Pengenalan hawa nafsu, pengenalan diri, jasmani dan ruhani, tazkiyatun nafs yang berujung kepada akhlakul karimah yakni bagaimana kita berakhlak kepada Allah Azza wa Jalla, bagaimana kita berakhlak dengan ciptaanNya yang lain termasuk berakhlak kepada sesama manusia, semua itu ada dalam Tasawuf.
Dari sejak dahulu kala tasawuf adalah tentang akhlak , tentang Ihsan.
Di seluruh perguruan tinggi Islam, sejak dahulu kala, tasawuf termasuk bidang akhlak.
Jelaslah ulama yang mencitrakan bahwa Tasawuf adalah sesat, pada hakikatnya mereka memalingkan manusia dari jalan Allah ta’ala dan RasulNya. Wallahu a’lam
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
18 Tanggapan
pada 7 Juni 2011 pada 7:17 am | Balaspanitia
Akhi MZ, biarkanlah kaum Salafi lebih tahu tentang mereka sendiri. Ndak baik kita menilai orang (kaum) lain.
pada 7 Juni 2011 pada 1:02 pm | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, kami tidak bermaksud menilaiorang (kaum) lain. Kami sekedar menyampaikan bahwa pada hakikatnya manhaj Salaf atau mazhab Salaf itu tidak ada pernah disampaikan oleh Salafush Sholeh atau bahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Silahkan baca tulisan terkait yang lain pada
dan
Penamaan manhaj (tharekat) atau mazhab itu dinisbatkan pada nama perorangan bukan pada suatu kaum.
pada 7 Juni 2011 pada 1:54 pm | Balaspanitia
ketika dulu temen2 memberi komentar tentang NU, bang Zon kasih komentar supaya teman2 jangan menilai NU, mereka lebih tahu tentang diri mereka sendiri…
sekarang, kalo bang Zon bikin berbagai tulisan tentang Wahabi, boleh dong kita sampaikan kalimat yang sama: “Akhi MZ, biarkanlah kaum Salafi lebih tahu tentang mereka sendiri. Ndak baik kita menilai orang (kaum) lain.”
atau…, ada standar ganda nih…, kalo komentar tentang NU gak boleh.. tapi kalo komentar tentag Wahabi…, silakan….
Saya yakin insya Allah, kaum yang bang MZ sebut dengan
Wahabi lebih tahu tentang perkara mereka sendiri, lebih tahu dari bang Zon yang bukan bagian dari mereka…
Inget bang Zon, menurut anda sendiri ndak baik menilai kaum lain… terserah istilah anda ‘sekedar menyampaikan’ atau ‘bukan menilai’… tapi toh substansinya sama, para pembaca tentu paham akan hal ini…
barakallahu fik…
pada 8 Juni 2011 pada 3:26 am | Balasmutiarazuhud
Mas panitia, silahkan komentari tulisan-tulisan kami. Kami menyampaikan kesalahpahaman-kesalahpahaman selama ini dari kaum Wahhabi / Salafi bukannya memberikan penilaian suatu kaum. Semua tulisan kami ada topik / subjek yang dibahas bukan semata-mata membahas kaumnya. Mereka memahaminya sepert itu kami memahaminya seperti ini , itulah yang kami uraikan dalam bentuk tulisan.
pada 7 Juni 2011 pada 6:22 pm | Balasmamo cemani gombong
@panitia maaf nimbrung ………kalau paham wahabi ngga membuat sejarah berdarah dan sampai sekarang terlalu banyak membuat vonis , bid’ah ,syirik, kafir, dgn pemahamannya sendiri lantas dihantamkan kesesama muslim lain maka muslim lain pasti nggak akan cari2 permasalahan tentang paham wahabi yang kontrofersial di dunia ini . Ada apa dgn wahabi ????? yang jargonnya tauhid murni namun dalam bermasyarakat kok merasa paling tauhid dan yang nggak sepaham dianggap kafir , halal darahnya , halal hartanya , halal kehormatannya ????? apakah dahulu Nabi SAAW mengajarkan spt ini ????? dgn pertannyaan2 diatas maka banyak umat muslim yang awam menjadi bingung ……….naaah kalau nt berpaham tersebut silahkan crosscek baik2 dan berdialog dgn muslim yang mumpuni ilmunya contoh Habib Mundzir Al Musawa ……..di majelis Rosullulloh ………….InsyaAlloh bermanfaat …..salam ….
pada 7 Juni 2011 pada 10:24 pm | Balaspanitia
Kang Cemani, sebaiknya anda ingat2 nasihatnya bang MZ, apa itu? Jangan suka menilai kaum lain, enggak baik!! Biarkanlah kaum salafi, mereka lebih tahu tentang ada yang ada pada mereka sendiri.. Maaf, anda tidak lebih tahu dari pada mereka, jd jangan suka menilai kalo mereka suka mengkafirkan, membid’ahkan, dll dari tuduhan2 keji yang tidak layak mereka sandang.. Kalau antum mau paham tentang salafy, cobalah antum dgn ikhlas utk mencari al haq duduk di majlis ilmu yg diisi ustadz2 yg menisbahkan dirinya dgn salafy, pengikut salafush shalih.. Insya Allah, antum akan dapati bagaimana mereka benar2 berusaha untuk mengikuti pemahaman salafus shalih serta para ulama yang mengikuti jejak mereka dalam memahami Al Qur’an maupun As Sunnah.
Tidak cukup, antum ambil tulisan dari tokoh di luar salafy yg tentunya menilai salafy dari luar saja sebagaimana keadaan mereka, kemudian merekapun para tokoh tadi membuat penilaian kalo salafi itu begini, takfiri, suka mencela, membid’ahkan, dan ketidakadilan lainnya hasil dari penilaian dari luar saja. Sudah pun demikian, orang2 seperti anda merujuk pd ucapan2 mereka utk kemudian mencela dan menilai salafy sedemikian rupa, la haula wala quwwata illa billah.. Coba hadir di majlis salafy kang Cemani, semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepadamu.. Amin.., ya mujibassailin..
pada 8 Juni 2011 pada 7:33 am | Balasmamo cemani gombong
@panitia ini ana copasin komennya abu jupri di blog ummati …………hal ini apa nggak membuat umat islam yang mengamalkannya tertuduh kafir secara tidak langsung ??? “kaum musyirikin (menduakan Allah dalam beribadah dalam firman Allah disebutkan “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): Kami tidak menyembah orang-orang tersebut, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az Zumar: 3).
mereka menjadikan berhala2 orang2 shalih tersebut sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah Azzawajallah (bukan menyembah mereka).
kalo cuma yang dimaksud tauhid adalah dengan tidak MENYEMBAH ORANG SHALIH YANG WAFAT YANG PENTING NGAK NYEMBAH MEREKA, TETAPI BERTAWASUL PADA MEREKA MAKA AYAT TERSEBUT UNTUK MEREKA YANG BERTAWASUL DENGAN MAYYIT (G DA BEDA MAYYIT AMA BERHALA KAU MUSYIRIKN)..kalo begitu ya mana bisa dibilang tauhid mas.
tasyabbuh dan penyerupaan yang paling tepat pada kaum NASHRANI/HINDU ADALAH:
NATAL NABI => MAULID NABI
DANYANGAN => HAUL
SELAMATAN => TAHLILAN
TINGKEPAN => NUJUH BULAN
BELUM LAGI SYAIR2 DARI BUSHIRI, BARZANJI, SALAWAT2 YANG GHULUW PADA RASULILLAH SALLALLAHUALAIHIWASALLAM DSB…
@Zulvar
SILAHKAN DISEBAR KARENA KEBENARAN ITU AKAN SELALU MENANG…
WALLAHUALAM”
marilah kalau mau mengkaji bersama namun jangan merasa benar sendiri dan memvonis muslim lain dgn seenaknya saja …….salam
pada 7 Juni 2011 pada 10:25 pm | Balaspeace all
Semoga rahmat Allah selalu menaungi, kita yang tak lelah mencari ilmu dan berbuat kebaikan
Bang zon yang saya hormati, suatu saat saya berhujjah dengan salafiah , beberapa hal yang disimpulkan
1. hadits doif , tak dipakai karena tak ada asal-usul, sehingga dianggap tak benar,
2. adanya paksaan dalam beragama, seperti melakukan pelarangan2 ini atau itu seperti halnya boleh menghancurkan bangungan kubah kuburan
3. beribadah sesuai dicontohkan Rasul , kalo ngak tidak, maka dinilai bid’ah
4. Percaya hadist shahih walaupun ada bilang kurma nabi bisa menangkal sihir, disamping baik untuk kesehatan, (mirip kasus syirik tanpaknya), ketika ditanya siapakah yang menangkal sihir, jawabannya cuma ngotot aja:)
dan beberapa hal yang saya lihat kemajuan dari kalangan mereka adalah
1. Memiliki kitab hadist cetakan penerbit salafiyun lengkap, sedangkan kalangan aswaja adakah niat menerbitkan ulang2 kitab klasik masih asli atau terjemahannya, melalui situs2 blogger ini, saya berpikiran alangkah adanya jalan kesana, kalangan muslim tak akan berat menyisihkan sedikit pendapatan mereka untuk membeli soft kopinya
2. Kalangan ahli agama di Indonesia, belumlah diakui oleh mereka sebagai ulama, baru cuma dai dst, entah apa ulama dikenal oleh mereka, sehingga telah meresahkan umat islam di lingkungan akibat provokasi mereka, sampai masalah hormat bendera di sekolah:)
Di tempat saya, gerakan mereka mulai intensif, suatu saat saya akan liat akan timbul gesekan hebat, bisa jadi mereka sekarang masih ngotot berhujjah, suatu saat bisa seperti dimesir, berlaku kasar, intimidasi seperti dirasakan ulama asjawa kalangan univ, Al Azhar baru2 ini ketika akan ceramah agama,
Semoga kekewatiran kita mulailah cepat ditanggapi, dengan menyiakan literatur lengkap berupa kitab2 penanding dengan hujjah baik, supaya energi kita tak habis untuk meladeni kelakuan mereka,
Semoga rahmat Allah selalu menaungi kita menghadapi fitnah akhir zaman ini, thank much’:)
pada 13 September 2011 pada 9:48 pm | BalasMuslim
Assalamu’alaikum
Ya Akhi…
Sungguh, agama itu nasihat..
Adapun nasihat kami padamu,
ketahuilah, daging ulama itu beracun..
Daging ulama itu beracun!..
Wallahi,,daging ulama itu beracun!!..
Tahanlah lisan kita!
Wallahi, tahan lisan kita!!
Ilmu kita ini masih sedikit…
Namun kita sudah berani men”Jarh” ulama-ulama besar, layaknya mereka orang-orang yang keliru atau pikun..
Apakah dengan ilmu yang sedikit ini, kita dapat menyamai perjuangan-perjuangan dan keilmuan para ulama dalam membantah paham2 menyimpang dan kesesatan?
Apakah keilmuan kita sama dengan Imam Ahmad bin Hambal, yang membela Tauhid Asma wa Sifat, ketika fitnah Mu’tazilah terjadi di zamannya?
Apakah keilmuan kita sama dengan Imam Ibnu Abdul Wahhab yang membela Tauhid Uluhiyah, ketika fitnah Syirik dan Khurofat (Takhyul) merebak di zamannya?
Apakah keilmuan kita sama dengan Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Muhammad Nashirudin Al-Albani, Imam Ibnu Bazz, Imam Al-utsaimin, yang mereka tak henti-henti nya, membedah fitnah2, seperti khawarij, murji’ah, dsb?
Bukankah dahulu Imam Abu Musa Al-Asy’ari juga telah rujuk dari paham Mu’tazilahnya?
Bahkan Imam Syafi’i, sang pembela sunnah (Nashirussunnah), menolak disamakan dengan paham mu’tazilah-asy’ariyah..
Wahai..
Akhi..
Bacalah buku2 mereka dahulu, yang engkau juluki Wahabi itu..
Engkau telah menambahkan kata ‘zuhud’ pada namamu..
Maka hendaknya, sekarang engkau zuhud juga terhadap lisan dan tulisan mu..
Wabillahit taufiq..
Semoga Allah menunjuki jalan, bagi kami & kamu..
Wassalam ‘alaykum..
pada 14 September 2011 pada 8:38 am | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam
Mas Muslim, kami hanya menyampaikan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang telah terjadi selama ini karena Allah ta’ala semata dalam rangka Ukhuwah Islamiyah.
Semula ulama Ibnu Taimiyah mengikuti pemahaman imam Mazhab namun dikarenakan beliau dikenal gemar belajar sendiri (otodidak) akhirnya pemahaman beliau tidak sejalan dengan pemahaman imam Mazhab
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah masalah ini, karena sangat penting.
Beberapa ulama mengatakan janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan orang seperti mereka berdua.
Ibnu Taimiyah berupaya memahami lafazh/tulisan ulama salaf yang sholeh namun upaya pemahaman beliau bisa benar dan tentu bisa pula salah
Ibnu Taimiyah ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.
Kesalahpahaman terjadi ketika beliau menyampaikan bahwa apa yang beliau pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Padahal banyak ulama-ulama terdahulu yang menentang pemahaman Ibnu Taimiyah
Sesungguhnya pemahaman Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim sudah terkubur lama namun “diangkat kembali” oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan juga oleh pusat kajian islam yang didirikan oleh kaum non muslim yang dibelakangnya adalah kaum zionis yahudi untuk keperluan ghazwul fikri
Berikut beberapa pernyataan ulama yang menentang pemahaman seperti pemahaman Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al Jauziah dan sejenisnya
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
Al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H) dalam kitab “Talbis Iblis”, artinya Membongkar Tipu Daya Iblis menuliskan, (yang artinya)
“Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi/harfiah) ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [--dengan pemahaman yang salah--] dari hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Yanzil Allah Ila Sama’ ad Dunya”, mereka berkata: “Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah”. Mereka memahami makna “nuzul” (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi / harfiah). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul “Minhaj al Wushul Ila ‘Ilm al Ushul”.
al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya.”
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk atau bertempat di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
al-Imam Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.
Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak. Di atasa sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah”.
Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil.
Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun.
Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya.
Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat.
Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .
pada 27 November 2011 pada 11:32 amAhmad Thoriq Al-Husein
saya rasa blog ini dalam membahas tidak secara ilmiah dalam membahas sesuatu permasalahan.
Alhamdulillah penjelasan yang terang benderang seperti matahari tanpa awan ……………….
pada 16 September 2011 pada 2:09 pm | BalasMuslim
Kalaulah, begitu..
Akhaani MZ & Cemani
Bagaimana antuma memahami makna nash-nash, seperti :
-Allah bersemayam di atas Arsy’?
-WajahNya, yg diyakini dapat dilihat di yaumil akhir oleh orang beriman
-TanganNya, yang meremukkan semesta alam ini ketika kiamat
-KakiNya, yang dapat memenuhi Jahannam
Ataupun yang selainnya yg seperti itu, pada banyak Zhahir nash-nash Quran & Hadits?
Karena bagi kami, cukuplah kami meyakini, apa yang Ia Azza wa Jalla kehendaki bagi Diri-Nya. Jika Ia menghendaki itu semua bagi DiriNya, tiadalah pilihan bagi kami, selain berserah diri, mengimani hal itu. Karena akal manusia yang sangat terbatas, manalah mungkin memahami yang Maha Sempurna, dan tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya…
Wallahu’alam
pada 16 September 2011 pada 2:32 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Muslim
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
Allah, Tuhan yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arsy (QS. Thaha 5)
Bersemayam maksudnya menguasai ‘Arasy, sebagaimana seorang raja duduk diatas kursi singgasananya mangandung makna menguasai atau penguasa.
Karena ketika kata “bersemayam” diartikan mentah (zhahir) maka akan terbayang Allah sedang bersemayam dan ini membuat kufur, keluar dari agama Islam, menyerupakan sesuatu dengan Allah.
Istawa yang artinya bersemayam disebutnya kalimat majaz.
wajahNya, tanganNya, kakiNya adalah kalimat majaz
Sebaiknyalah berpegang pada pendapat para ulama seperti
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
mas Muslim ( semoga nama yang sebenarnya ) ……….semua pertannyaan nt jawabnya ada di artikel blog Mutiara Zuhud mas dan jawabannya panjang sekali kalau di jabarkan capek juga ngetiknya ……secara singkat Bang Haji Zon udah menjawabnya namun untuk lengkapnya ada di artikel blog ini ………..salam .
pada 17 September 2011 pada 8:53 am | BalasMuslim (Ibny Yahya)
@Al-akh MZ
Syukron, sudah memberikan pendapat & penjelasannya, mengenai pemahaman antum..
@Al-akh Cemani
Salam juga..
Ana muslim, dengan kuniyah Ibnu Yahya..
Ok, secara garis besar ana paham, pemahaman antum..
Namun demikian,
inilah perpisahan jalan bagi kita..
Cukuplah ana mengimani, tanpa takyif, tamtsil, tahrif, & ta’thil..
Wallahu’alam..
Dengan keterbatasan ilmu yg ana punya, ana menyatakan berlepas diri terhadap pemahaman antuma..
Semoga Allah menunjuki hidayah, bagi kami & kamu..
Wassalamu’alaykuma, ya akhaan…
pada 17 September 2011 pada 3:51 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Ibnu Yahya, silahkan dengan pemahaman antum terhadap lafaz-lafaz sifat Allah. Kami sekedar mengingatkan beberapa peringatan dari para ulama sebagai berikut
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Kesalahpahaman seperti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauizah dan para pengikutnya adalah ketika mereka memahami lafaz-lafaz sifat Allah dan mereka merasa tidak menemukan dalil naqli yang dapat menjelaskan (tafsir bil matsur) , mereka memaknai lafaz-lafaz sifat Allah secara zhahir atau makna yang dipahami sebagaimana lazimnya sehingga mereka justru terjerumus dalam tamtsil yaitu menyamakan atau menyerupakan nama atau sifat Allah dengan nama atau sifat makhlukNya ,
Contohnya turunnya Allah ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir sebagaimana terungkap pada Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah yang ditulis oleh : Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qathaniy. Telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/10/allah-turun/
Ulama salaf membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhohir) maupun makna majazi (takwil). Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ulama Salaf Tidak mentafsirkan ayat itu dengan tafsiran apapun, tidak memperdalam maknanya, tidak mentakwilkan dan menyerahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa. Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan (tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih). Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu.
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhohir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: Tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat & mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Mayoritas mereka tidak mau mentafsirkan ayat-ayat sifat, jika ditafsirkan secara zhohir maka akan terjerumus kepada jurang tasybih, sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana. Begitu pula mereka tidak mau melakukan takwil sebab wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah…
Imam Malik tidak mau membahas masalah ayat sifat ini. Sampai-sampai dia pernah mengusir orang yang menanyakan istiwa’nya Allah:
وما روي عن عبد الله بن الوهاب عن الإمام مالك بن أنس من أنه جاءه رجل فقال له: يا أبا عبد الرحمن {الرحمن على العرش استوى} فكيف إستوى؟ قال: فأطرق مالك رأسه حتى علاه الحضاء, ثم قال: الإستواء غير مجهول, و الكيف غير معقول, و الإيمان به واجب و السؤال عنه بدعة, وما أراك إلا مبتدعا. فأمره أن يخرج.
“Dan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Wahhab dari Imam Malik bin Anas bahwasanya datang kepada beliau seorang dan berkata: “Wahai Abu Abdurrahman (Yang Maha Rahman bersemayam di atas arasy) maka bagaimana bersemayamnya?” Kemudian Imam Malik tertunduuuk kepalanya dan baru mengangkatnya kembali setelah peluh panas kemarahannya menyadarkan dirinya, lalu berkata: “‘Bersemayam’ bukan tidak diketahui, dan bagaimananya tidak tercerna akal, mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah dan aku tidak melihat dirimu melainkan ahlu bid’ah. Maka Imam Malik menyuruhnya keluar.
Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa’ ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an bukan sebagaimana makna zhahir atau makna yang dipahami sebagaimana lazimnya.
Tidak mengapa bagi mereka yang mampu (berkompeten) mentakwilkan atau mengambil pelajaran dari lafaz-lafaz sifat Allah yakni para Ulil Albab sebagaimana yang kita ketahui dari firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada
pada 27 November 2011 pada 11:35 am | BalasYohanes Cristian
setuju dengan mas zonggol sama seperti pemahaman dalam kitab saya.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar