Berbuatlah apa yang Allah Berkenan
Merupakan fitrah manusia untuk senang mencintai dan dicintai, dan alangkah bahagianya jika kita mengetahui bahwa kita dicintai oleh manusia apalagi dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berbagai cara ditempuh manusia agar dapat dicintai, namun umumnya mereka menempuh cara yang tidak dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam telah mengajarkan berbagai upaya untuk dapat meraih cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula cinta manusia. Di antara upaya tersebut ialah berakhlak dengan akhlak karimah, dan salah satu akhlak yang berkaitan erat dengan hal ini ialah zuhud.
Menghiasi diri dengan zuhud adalah cara tepat untuk meraih cinta Allah dan cinta manusia, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam riwayat yang shahih:
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya, lihat Shahihul Jami’ 935).
Imam Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga macam:
Pertama, meninggalkan perkara haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam.
Kedua, meninggalkan perkara halal yang tidak berguna, dan ini adalah zuhudnya orang khas / khusus.
Ketiga, meninggalkan perkara yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah atau tidak mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan mereka sendiri.
Mereka paham bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Jalan untuk dapat selalu menyibukkan diri dengan Allah adalah dengan “mengenal” Allah, yakni yang kita kenal marifatullah. Dengan mengenal Allah (marifatullah) maka kita bisa memahami apa yang Allah berkenan.
Ilmu untuk mempelajari tentang marifatullah itulah Ilmu Tasawuf.
Untuk mencapai pemahaman orang-orang arif tidak cukup dengan metode pemahaman secara harfiah atau tekstual akan tetapi melalui metode pemahaman yang lebih dalam / maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran(dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Sekarang cari perbedaan tulisan kami di atas ini dengan tulisan dari saudaraku yang mewakili Salafy,
Kami cuplikan, metode mereka memahami hadits khususnya penjelasan tentang zuhud nya orang-orang arif
Salaf(i) : Meninggalkan hal-hal yang menyibukkan diri dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang arif.
Kami : meninggalkan hal-hal yang menyibukkan diri sehingga melupakan Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.
Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan dan bukan karena keinginan mereka sendiri.
Tampaklah kaum salaf(i) dengan metode pemahaman lahiriah atau tekstual belum dapat memahami tentang orang-orang arif yang umumnya menggunakan metode pemahaman yang dalam (al hikmah).
Sekali lagi kita harus membedakan antara Salaf dengan Salafy.
Salafy adalah mereka yang berupaya mengikuti Salaf dalam hal ini saya mengkhususkan mereka yang mengikuti metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah dan sepemahaman.
Lalu bagaimana “upaya” mereka mengikuti Salaf ?
Perihal itu dapat kita lihat dari output dan perilaku pengikut pada umumnya.
Secara sederhana dapat kita lihat bagaimana mereka mengungkapkan hawa nafsu mereka (emosional) ketika berdiskusi.
Sesuatu akhlak (dipelajari dalam ilmu tasawuf) yang harus dihindari jika muslim paham bahwa mereka mengarungi kehidupan di dunia sesungguhnya di hadapan Allah karena Allah Maha Melihat, Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Mengapa tulisan dari link yang saya sampaikan di atas, saya ketegorikan tulisan dari saudaraku Salafy ?
Karena dalam tulisannya terkandung dan dijiwai dengan pendapat,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Zuhud ialah meninggalkan perkara-perkara yang tidak memberikan manfaat di akhirat.”
Perhatikan kedua tulisan tersebut, sama-sama bersandar pada Al-Qur’an dan Hadist. Bedanya kalau saudara-saudaraku Salafy menggunakan metode pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yakni, secara harfiah atau tekstual.
Sedangkan kami berupaya menggunakan metode pemahaman yang lebih dalam / maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran(dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Perhatikanlah kedua tulisan tersebut dalam memaknai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, letak perbedaannya adalah pada metode pemahamannya.
Kesimpulan:
Saudara-saudaraku Salafy membatasi diri atau berpuas diri berdasarkan pencapaian pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah.
Sedangkan kami berupaya InsyaAllah menjadi orang-orang Arif
Wassalam
Satu Tanggapan
Sriyanta Hadi
Amin, amin, Yaa Robbal Alamin.
Sriyanta Hadi
Warga RI di Kuala Lumpur, Malaysia
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar