Zuhud dan Dunia

Nabi saw. bersabda:
“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka dekatilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu Khallad dan di-takhrij oleh Abu Nu’aim dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pada umumnya banyak orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang ada yang mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang haram saja, sebab perkara yang halal diterima Allah swt. Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba Nya berupa harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada Nya atas berkat itu, maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus mengajukan hak izin untuk mengekangnya.’
Sebagian yang lain mengatakan, ‘Zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal adalah suatu keutamaan. Apabila hamba Yang berzuhud miskin, tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia’.”
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan perolehan kekayaan, melalui firmanNya:
“Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang orang yang bertaqwa’.” (Q.s. An Nisa’: 77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan, “Apabila seorang hamba membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt, bersabar, dan tidak mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan syariat untuk dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap harta yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar, “Seyogyanya bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal dengan bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluannya secara berlebihan, karena menyadari atas rezeki yang diberikan oleh Allah swt. Apabila Allah swt. menganugerahkan kepadanya harta yang halal, ia harus bersyukur kepada Nya. Apabila Allah swt. menentukan dirinya berada pada batas kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, karena kesabaran merupakan sesuatu yang paling utama bagi pemilik harta yang halal.”
Sufyan ats-Tsaury berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.”
Sary as-Saqathy menegaskan, “Allah swt. menjauhkan dunia dari para auliya’ Nya, menjauhkannya dari makhluk makhluk Nya yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang dicintai Nya lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi mereka.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam firman Nya, “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang 1uput dari kamu, dan supaya kamu jangan terIalu gembira terhadap apa yang diberikan Nya kepadamu.” (Q.s. Al-Hadid: 23), sebab sang hamba tidaklah gembira atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih atas apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata, “Zuhud adalah hendaknya Anda meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Zuhud adalah hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya ia, bukan berkata, Aku akan membangun pondok Sufi (ribath) atau mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Zuhud menyebabkan kedermawanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang mengantarkan, pada semangat kedermawanan.”
Ibnul jalla’ berkomentar, “Zuhud adalah sikap Anda memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi diri Anda.”
Ibnu Khafif berkata, “Pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula, “Zuhud adalah ketidak-senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata, “Orang zuhud selalu asing di dunia, dan seorang ahli ma’rifat (‘arif) adalah orang asing di akhirat.”
Dikatakan, “Bagi orang yang benar benar bersikap zuhud, dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.” Oleh sebab itu, dikatakan, “Apabila sebuah topi jatuh dari langit, ia akan jatuh di atas kepala seseorang yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan, “Zuhud adalah kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pandangan soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury, Ahmad bin Hanbal, Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan, bahwa zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan keinginan. Ungkapan ini sebagaimana mereka tegaskan, cenderung dipahami sebagai faktor-faktor sebab zuhud, sekaligus sebagai faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar, “Zuhud adalah tawakkal kepada Allah swt. dipadu dengan kecintaan kepada kefakiran.”
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbati juga mengatakan demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda tanda zuhud, lantaran si hamba tidak mampu merelakan dunia kecuali dengan tawakal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan, “Zuhud adalah menjauhkan diri dari dinar dan dirham.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, “Zuhud adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari Allah swt.
Ketika al-Junayd bertanya tentang zuhud, Ruwaym menjawab, ‘Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas bekasnya dari hati.”
As-Sary berkata, “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya, dan kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata, “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentang zuhud, asy-Syibly menjawab, “Zuhud adalah hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Tidak akan sempurna zuhud seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini: Berbuat tanpa disertai keterikatan, berbicara tanpa disertai ambisi, dan kemuliaan tanpa adanya kekuasaan atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan, “Tidak ada zuhud kecuali dalam perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karenanya tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata, “Allah swt. memberi seorang zahid sesuatu lebih daripada sekadar yang diinginkannya, dan Dia memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai Nya kurang dari yang ia inginkan. Dia memberi hamba yang mustaqim sesuai yang diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Orang zuhud adalah yang mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif menyebarkan keharuman minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata, “Zuhud di dunia, hendaknya Anda membenci muatan dan pendukungnya.”
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry, “Kapan saya dapat menjauhkan diri dari dunia?” Dzun Nuun menjawab, “Ketika Anda menjauhkan diri dari nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan, “Sikap memprioritaskan orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat membutuhkan.”
Allah swt. berfirman:
“Dan mereka mengutamakan (orang orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Q.s. AI Hasyr: 9).
Al-Kattany mengatakan, “Sesuatu yang tidak ditentang oleh orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan berdoa supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal hal ini tidak terpuji.
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz, “Bilakah saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan duduk dalam majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab, “Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah ruhani (riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda selama tiga hari tidak merasakan lemah. Tetapi, apabila tujuan ini tidak tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak akan terhinakan di tengah tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan, “Zuhud adalah seorang raja yang tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata, “Barangsiapa berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka Allah swt. akan melepaskan kecintaan pada akhirat dari hatinya.”
Dikatakan, “Manakala seorang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksanaan didalam hatinya.”
Seorang Sufi ditanya, “Mengapa Anda menolak dunia?” la menjawab, “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan, “Ada tiga macam zuhud: Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi sikap berlebih lebihan dalam perkara yang halal adalah zuhud kaum terpilih (khawash), dan bersumpah menjauhi apa pun yang, memalingkan sang hamba dari Allah swt. adalah zuhud kaum’arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Salah seorang Sufi ditanya, ‘Mengapa Anda menolak dunia?’ Dijawab sang Sufi, ‘Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak menginginkannya barang sedikit pun’.”
Yahya bin Mu’adz berkata, “Dunia ini bagaikan pengantin wanita. Orang yang mencarinya akan membelai rambutnya penuh kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak kusam, mengacak acak rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum ‘arlfin, senantiasa sibuk dengan Allah swt, tidak sedikit pun menoleh pada dunia.”
As-Sary berkata, ‘Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, kecuali zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun belum sanggup menanggungnya.”
Dikatakan, “Kaum zuhud telah mengucilkan diri dan berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka menjauhi nikmat nikmat sementara, demi nikmat nikmat yang abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar, “Zuhud adalah memelihara darah kaum Zahidin dan menumpahkan darah kaum Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan, “Kaum zuhud menghabiskan isi dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud menghabiskan dirinya sebelum dompetnya.”
AI-Fudhail bin ‘Iyad berkata, ‘Allah swt. menempatkan seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan kepada dunia sebagai kuncinya. Dia menempatkan seluruh kebaikan di rumah yang lain dan dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya.”
Sumber: http://islamzuhud.blogspot.com/2010/04/zuhud.html
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar