Tawassul pendapat Imam Al Syaukani
Al Muhaddits Al Salafi Al Syaikh Muhammad ibn ‘Ali Al Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al Dlurr Al Nadliid fi Ikhlaashi Kalimaati Al Tauhid mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka Al Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “bahwasanya tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, jika hadits yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali Syaikh ‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh Al Nasaa’i dalam Sunannya dan Al Turmudzi , dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang lain bahwa seorang tuna netra datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ….dst. “
Para ulama memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits ini :
1. Tawassul adalah apa yang diucapkan oleh Umar ibn Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu mengalami paceklik, maka kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, hingga akhirnya Engkau menurunkan hujan buat kita, dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami”. Hadits ini tercantum dalam Shahih al Bukhari dan kitab lain. Umar telah mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidup beliau untuk memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau, Abbas sepeninggal beliau. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan hujan sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau adalah mediator mereka kepada Allah, dan Nabi dalam konteks memohon hujan ini adalah orang yang memberi syafaat dan berdoa untuk mereka.
2. Bahwa tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bisa pada saat beliau masih hidup, telah tiada, ketika beliau ada di tempat atau tidak berada di tempat. Tidak samar lagi buat kamu bahwa telah nyata tawassul dengan beliau semasa masih hidup dan juga tawassul dengan selain beliau sepeninggal beliau berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat. Karena tidak ada satu sahabat pun yang menentang pendapat Umar ibn Khaththab dalam tawassulnya dengan Abbas RA.
Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan tawassul hanya dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana pendapat Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, berdasarkan dua faktor :
a. Fakta yang telah saya sampaikan kepadamu menyangkut adanya konsensus para sahabat.
b. Bahwa tawassul kepada Allah dengan orang-orang yang baik dan para ulama pada dasarnya adalah tawassul dengan amal perbuatan mereka yang baik dan keistimewaan-keistimewaan mereka yang utama. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali berkat amal perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu besar yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang paling luhur kemudian batu itu pun bergeser.
Seandainya tawassul dengan amal perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun tidak akan diam untuk mengingkari tindakan mereka setelah menceritakan kisah mereka.
Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih seperti :
ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى “Kami tidak menyembah mareka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S.Az.Zumar : 3 )
فلا تدعوا مع الله أحدا “Maka kamu janganlah menyembah seseorangpun di dalamnya di samping ( menyembah ) Allah. ” (Q.S.Al.Jin : 18 )
له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء “Hanya bagi Allah-lah ( hak mengabulkan ) do`a yang benar.Dan berhala-behala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka.” (Q.S.Ar.Ra`d : 14 )
berada di luar konteks.
Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk beragumentasi atas aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang berada di luar persoalan. Karena ucapan mereka ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut.
Demikian pula firman Allah فلاتدعوا مع الله أحدا , ayat ini melarang selain Allah dimintakan doa bersamaan dengan Allah seperti mengatakan dengan Allah dan dengan Fulan. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang terjadi pada dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang dilakukan sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka.
Hal yang sama juga berlaku pada ayat : له دعوة الحق والذين يدعون من دونه لايستجيبون لهم بشيء Karena kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain bersama Allah saat berdoa.
Jika engkau telah mengetahui paparan di atas, maka tidak samar bagimu untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan kelompok penolak tawassul, yang berada di luar konteks dari apa yang telah saya jelaskan di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan firman Allah : وما أدراك ما يوم الدين , ثم ما أدراك ما يوم الدين ، يوم لاتملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ لله “Tahukah kamu apa hari pembalasan itu ?Sekali lagi,tahukah kamu apakah hari pembalasan itu ?( Yaitu )hari (ketika )seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain .Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” ( Q.S.Al.Infithaar : 17-19 ) Karena ayat ini hanya menunjukkan bahwa Allah SWT adalah penguasa tunggal di hari kiamat. Selain Allah tidak memiliki apa-apa.
Orang yang bertawassul dengan salah seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.
Demikian pula berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah :
ليس لك من الأمر شيء ، قل لا أملك لنفسي ضرا ولانفعا “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.“( Q.S.Ali `Imran : 128 )
Katakanlah : “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak ( pula )Kemanfaatan kepada diriku.” ( Q.S.Yunus : 49 )
Karena kedua ayat ini mengindikasikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain.
Kedua ayat ini tidak mengandung larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama.
Allah telah menjadikan buat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam al Maqaam al Mahmud yakni maqam syafa’ah paling besar, dan menunjukkan makhluk agar memohon kepada beliau syafa’ah tersebut sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi dan berilah syafaat maka syafaatmu akan diterima.” Perintah Allah ini terdapat dalam kitab-Nya yang mulia bahwasanya syafaat tidak akan ada tanpa seizin Allah dan hanya untuk mendapat ridla-Nya.
Demikian pula argumentasi untuk menolak tawassul dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saat turun firman Allah :وأنذر عشيرتك الأقربين “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S.As.Syu`araa : 214 ) “Wahai Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu.”
Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung penjelasan secara transparan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu memberi manfaat orang yang dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak mampu memberi bahaya orang yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga bahwa beliau tidak memiliki apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang muslim mengerti akan hal ini.
Dalam hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dijadikan obyek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta sesuatu kepada yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang memohon hanya mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya do’a dari Dzat yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni Penguasa hari pembalasan.
Demikianlah pandangan Imam Al Syaukani
Sumber:
Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan ra yang bernama Hasan Al-Mutsana.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar