Permasalahan kuburan

Kami sangat terenyuh melihat perlakuan Ustadz Firanda terhadap Habib Munzir Al Musawa, salah satu umat Rasulullah yang masih “mendatangi” Rasulullah dengan cara atau sarana yang dikehendaki  Allah Azza wa Jalla
Ustadz Firanda telah melakukan apa yang telah dilakukan Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal kepadanya sebagaimana yang telah kita ketahui darihttp://www.salafybpp.com/categoryblog/97-dusta-firanda-ditengah-badai-fitnah-yang-sedang-melanda-bag1.html
Ustad Firandaz dalam blognya pada
http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/183
Habib Munzir Berdusta Atas Nama Imam As-Syafii
http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/184 
Habib Munzir Berdusta Atas Nama Imam Ibnu Hajar
http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/185 
Habib Munzir Salah Menerjemahkan Perkataan Al-Baidhoowi rahimahullah
Ketiga tulisan ustadz Firanda tersebut sebagai bantahan terhadap kitab Habib Munzir Al Musawa berjudul “Meniti Kesempurnaan Iman” khususnya permasalahan seputar “kuburan”
Tidak ada yang salah atas apa yang telah disampaikan oleh Habib Munzir Al Musawa.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/21/terjemahan-dan-makna/bahwa ada kemungkinan terjadi perbedaan antara terjemahan dengan makna.
Terjadi kesalahpahaman bagi Ustadz Firanda karena beliau memaknai sebagaimana terjemahannya atau yang kami katakan “metodologi terjemahkan saja” atau pemahaman secara dzahir  atau pemahaman secara apa yang tertulis.
Contohnya , hadits dari Suhail dari ayahnya Abu Hurairah, Rasulullah bersabda”janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu seperti kuburan. Sesungguhnya rumah yang dibacakan surah Al Baqarah itu tidak akan dimasuki syaitan”
Terjemahannya kuburan namun maknanya janganlah rumah-rumah kamu sepi/sunyi dari membaca Al Qur’an  dan dalam hadits yang lain janganlah rumah-rumah kamu sepi/sunyi dari sholat sunnah
Permasalahan seputar kuburan, kami pun telah menguraikannya dalam tulisan kami pada
Perkataan Imam As Syafi’i, “Aku benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya akhirnya dijadikan masjid, kawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat“. sama dengan perkataan Rasulullah “‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’. Aisyah berkata, Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” (HR Muslim 823) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=6&ayatno=16&action=display&option=com_muslim
Oleh karena hadits ini menguraikan tentang laknat Allah ta’ala terhadap kaum Yahudi dan Nashrani maka kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai tempat sholat bagi kaum muslim namun kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud.
Jadi makna hadits tersebut yang terkait dengan kaum Yahudi dan Nasrani adalah larangan menyembah kuburan. Termasuk kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani membuat gambar-gambar atau patung-patung pada kuburan untuk penyembahan. Hal ini terurai pada hadits-hadits yang lain.
Imam As Syafi’i rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat” maknanya janganlah bersujud pada kuburan Beliau untuk menghindari fitnah terhadap yang melakukannya walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada Beliau.
Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah radiallahu anha “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” maknanya Kuburan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pertontonkan agar para peziarah tidak bersujud kepada kuburan Beliau menghindari fitnah terhadap yang bersujud maupun orang yang lain yang melihatnya walaupun di hati yang bersujud tersebut sekedar penghormatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Begitu pula penetapan hukum perkara sebagaimana yang dikatakan Imam As Syafi’i “Makruh memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid” maknanya “makruh jika seseorang bersujud pada makam walaupun diniatkan sekedar penghormatan untuk menghindari fitnah dari orang yang melihatnya”
Jadi tidak ada kaitannya dengan kegiatan membangun masjid sebagai makna yang kita kenal pada masa sekarang.
Begitupula dengan larangan mendirikan atau membangun masjid di atas kuburan adalah larangan mendirikan atau membangun masjid di atas kuburan sehingga kuburan tertutupi kecuali tidak diketahui bahwa di tanah tersebut pernah ada kuburan yang mana batas-batasnya sudah tidak dikenali. Oleh karenanya kuburan harus dengan mudah dikenali batas-batasnya.
“Batas kuburan” atau batas tanah yang dinamakan kuburan
Batas yang dinamakan kuburan adalah tegak lurus dari dalam liang lahad/kubur ke atas.
Untuk membedakan tanah bukan kuburan dengan kuburan dengan cara membentuk undukan yang rata (ukuran sejengkal) tanpa membentuknya seperti menyerupai tubuh atau bentuk lainnya.
Boleh meletakkan batu atau patok di sejajar posisi kepala ahli kubur.
Undukan tanah ini untuk menjelaskan “batas kuburan”, menghindari terinjak atau duduk di atas kuburan (“batas kuburan”)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)
Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Meratakan dalam bentuk undukkan yang rata namun jangan membentuknya seperti yang dilakukan orang-orang romawi
12.86/1608 Dan telah menceritakan kepadaku Abu Thahir Ahmad bin Amru Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Amru bin Harits -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Sa’id Al Aili telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah menceritakan kepadaku Amru bin Harits -sementara dalam riwayat Abu Thahir- bahwa Abu Ali Al Hamdani telah menceitakan kepadanya -sementara dalam riwayat Harun- bahwa Tsumamah bin Syufay telah menceritakan kepadanya, ia berkata; Kami pernah berada di negeri Romawi bersama Fadlalah bin Ubaid, tepatnya di Rudis. Lalu salah seorang dari sahabat kami meninggal dunia, maka Fadlalah bin Ubaid pun memerintahkan untuk menguburkannya dan meratakan kuburannya. Kemudian ia berkata; Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakan kuburan.” (HR Muslim 1608) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=12&ayatno=86&action=display&option=com_muslim
Hal yang dilarang dilakukan di atas “batas kuburan” atau dikenal sebagai “kuburan” adalah
Mengapurnya atau menghiasnya sehingga menimbulkan kesombongan,
Membuat bangunan atau menutupi dengan bangunan/semen/lantai
Membuat patung, bentuk, gambar-gambar di atasnya
Duduk atau menginjak
Mendirikan/menjadikannya masjid (tempat sujud) maksudnya menyembah kuburan atau bersujud kepada kuburan walaupun diniatkan sekedar penghormatan. Hukumnya makruh untuk menghindari fitnah yang melihatnya
12.88/1610. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk dan membuat bangunan di atasnya. Dan telah menceritakan kepadaku Harun bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Muhammad -dalam jalur lain- Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq semuanya dari Ibnu Juraij ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dengan hadits semisalnya. (HR Muslim 1610)
http://www.indoquran.com/index.php?surano=12&ayatno=88&action=display&option=com_muslim
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
43.355/3584. Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha; Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan sebuah gereja yang mereka lihat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang didalamnya ada gambar. Lalu keduanya menceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda: Sesungguhnya mereka, apabila ada orang shalih dari kalangan mereka yang meninggal dunia, mereka dirikan masjid (tempat sujud/menyembah kuburan) di atas kuburannya dan membuat patung dari orang yang meninggal itu. Mereka itulah seburuk-buruk makhluq disisi Allah pada hari qiyamat. (HR Bukhari 3584)
http://www.indoquran.com/index.php?surano=43&ayatno=355&action=display&option=com_bukhari
12.90/1612. Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu terbakar baju dan kulitnya adalah lebih baik baginya daripada ia harus duduk di atas kuburan. Dan telah menceritakannya kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ad Darawardi -dalam jalur lain- Dan telah menceritakannya kepadaku Amru An Naqid Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubaidi Telah menceritakan kepada kami Sufyan keduanya dari Suhail dengan isnad ini, hadits yang semisalnya. (HR Muslim 1612)
http://www.indoquran.com/index.php?surano=12&ayatno=90&action=display&option=com_muslim
Di atas “batas kuburan” diperbolehkan atap bangunan sebagaimana kuburan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam didalam sebuah ruangan yang beratap.
Diluar “batas kuburan” boleh kita duduk, menginjak atau mendirikan bangunan disekelilingnya sebagai tanda atau pembatas.
Pesan guru kami, hakikat tidak boleh menutupi kuburan atau “batas kuburan” dengan bangunan/semen/lantai adalah diibaratkan tidak “menyulitkan” ahli kubur bangkit dari kuburnya di kemudian hari . Namun ingat ini hanya ibarat atau seolah-olah saja sedangkan bagaimana persisnya kejadian di kemudian hari hanya Allah ta’ala yang tahu. (Wallahu a’lam)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Note: Tulisan ini kami buat karena kami telah menyampaikan kepada Ustadz Firanda pada blognya melalui kolom komentar maupun buku tamu , namun kami tunggu  lebih 2×24 jam , tidak ada tanggapan dari beliau.

134 Tanggapan
Assalmkum Mas zon,..
Tulisan dalam blog ustad firanda = dalam blog ini :http://abangdani.wordpress.com/2011/09/23/habib-munzir-al-musawwa-berdusta-atas-nama-imam-as-syafii/
Saya tanya apakah hal tersebut udah di klarifikasikan ke habib munzir dia malah terkesan menghindar.
Wassalam


pada 3 Oktober 2011 pada 4:15 pm | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam
Tulisan di http://abangdani.wordpress.com/ adalah salinan dari blognya ust Firanda.
Kemungkinan besar mereka belum bertabayun (kalrifikasi) dengan Habib Munzir
Kenyataannya mereka salah memahami lafaz masjid sebagai tempat sholat kaum muslim.


klarifikasi itu hanya berdasarkan apa yang ditulis oleh Habib Munzir dalam kitabnya. tidak perlu mendatangi orangnya langsung dan bertanya “apa benar anda menulis kitab ini dan berkata ini itu di kitab ini?”. kan sudah jelas, siapa penulisnya, apa penerbitnya, dan pasti ada perlindungan dari pemerintah atas hak ciptanya.
sekarang kalo mau membalik keadaan, kitab itu kan ditulis Habib Munzir sebagai bantahan terhadap Syaikh Ibnu Baz. apakah Habib Munzir sudah klarifikasi pada Syaikh Ibnu Baz sendiri ataupun murid2 beliau yang masih hidup?
==============================================================
tentang persoalan bahwa yang disebutkan oleh Habib Munzir itu adalah takwil, maka ini pun hanya alasan untuk menutup-nutupi kedustaan yang sudah terbongkar, karena :
1) pada poin yang dikritik oleh Ustadz Firanda, Habib Munzir sedang menukil dari kitab Fahul Baari Ibnu Hajar Asqolani. yang namanya menukil atau mengutip itu harus sama sesuai bahasa arab. adapun jika kemudian diberikan takwil, harusnya dipisahkan secara tersendiri, misalnya “saya katakan….dst” atau “menurut saya…..dst”. jadi dapat diketahui dengan jelas mana ucapan asli dari Ibnu Hajar dan mana ucapan sisipan dari Habib Munzir.
2) kalo dikatakan takwil pun justru semakin menunjukkan kedustaannya, karena tidak ada korelasi signifikan antara ucapan asli dari Ibnu Hajar dengan ucapan sisipan dari Habib Munzir.
3) takwil yang benar adalah dengan melihat ucapan Ibnu Hajar yang lain, karena orang yang berkata pastilah yang paling tahu takwil dari apa yang dikatakannya. nah, andai saja Habib Munzir tidak menyembunyikan ucapan Ibnu Hajar yang lain, niscaya akan terbongkarlah kedustaannya.
==============================================================
di kolom komentar situs Ustadz Firanda banyak sekali rekan-rekan fanatikus Habib Munzir yang mencak-mencak, mencaci, menghujat, dan emosional tanpa ada bantahan yang ilmiah. kiranya antum mau menjadi PAHLAWAN untuk Habib Munzir, dipersilakan untuk nimbrung di kolom komentar disana. mungkin kedatangan antum ditunggu-tunggu oleh rekan-rekan fanatikus Habib Munzir yang lain.


@ Ajam yang di contoh habib adalah Rosullulloh ……apabila di debat diam kalau ditanya beliau jawab ……..he he he …bukan hawa nafsu …..


kalo gitu kok tidak sekalian beliau menasihati para fanatikusnya untuk diam? atau setidaknya jika emosional, tetaplah menjaga adab dan akhlaqnya. lihat aja tuh di kolom komentar, bagaimana seremnya ucapan2 mereka sampek ada yang membuat akronim dari nama ustadz Firanda = Fir (fir’aun), An (anjing), dan Da (dajjal).
kalo Habib Munzir mau diam, itu sangat bagus. semoga artikel ustadz Firanda telahs ampai ke tangan beliau dan menjadi bahan renungannya agar tidak menipu jutaan umat muslim di Indonesia dengan fatwa-fatwa sesatnya


ana yakin itu tanpa sepengetahuan beliau Habib mas Ajam ………..apa dah yaqin yang menghujat para fanatismenya habib ??? bagai mana kalau itu orang ke 3 yang memancing suasana ???




persoalan yang dibahas adalah tentang kedustaan Habib Munzir dalam menukil perkataan Ibnu Hajar dalam masalah kuburan. judul artikel di atas adalah PERMASALAHAN KUBURAN, kok yang antum berikan tentang Dimana Alloh. ga ada relevansinya sama sekali. bahas satu per satu aja agar cepat menemukan titik temunya.
============================================================
mengenai orang-orang yang mencaci maki dan menghujat itu memang tidak bisa dipastikan fanatikus Habib Munzir, namun bisa dipastikan kesamaan rendahnya akhlaq dan adab dengan fanatikus Habib Munzir di blog ini atau pun di blog2 lain seperti UMMATI.


saya insya allah lebih yakin ulasan dari ustad Firanda. Jika mencermati ulasannya sangat masuk akal dan selalu didasari oleh dalil yang sangat kuat. Jadi setiap ucapan maupun tulisannya selalu ada dasarnya, tidak sembarangan tulis dan berkomentar. Dan Ustd Firanda terlihat sangat menguasai bahasa Arab. Terima kasih semoga kita melihat yang haq……


Mas Abu Faris , silahkan mas mengikuti ustad Firanda, beliau adalah pengikut ulama Ibnu Taimiyyah. Beliau adalah korban indoktrinisasi dari ulama- ulama yang mengaku-aku bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Memang ulama mereka membaca Al Qur’an , Tafsir bil Matsur, Hadits Shohih, Sunan, Musnad, lalu ulama mereka pun berjtihad dengan pendapat mereka. Apa yang ulama mereka katakan tentang kitab-kitab tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu ulama mereka sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang ulama-ulama mereka sampaikan semata-mata lahir dari kepala mereka sendiri. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah, yang pasti benar hanyalah lafaz/nash Al Qu’ran dan Hadits
Kesalahpahaman besar telah terjadi ketika ulama-ulama mereka mengatakan bahwa apa yang mereka pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Jika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh tentu tidaklah masalah namun ketika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan tidak sesuai dengan pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh maka pada hakikatnya ini termasuk fitnah terhadap para Salafush Sholeh. Fitnah akhir zaman.


anggaplah pemahaman Ustadz Firanda tentang kuburan adalah salah dan Habib Munzir-lah yang benar, akan tetapi bukan masalah pemahaman siapa yang benar dan pemahaman siapa yang salah yang ingin diangkat oleh Ustadz Firanda dalam artikelnya. beliau hanya ingin mengungkapkan sikap ketidakamanahan Habib Munzir dalam menukil atsar Imam Syafi’i dan Ibnu Hajar.
orang yang tidak amanah dalam menukil, sering membawakan hadits lemah dan palsu, berbangga-bangga diri dengan nasab dan sanad, menuduh dan merendahkan ulama tanpa bukti. coba renungkanlah wahai fanatikus Habib Munzir, bagaimana jati diri orang yang kalian taqlidi sebenarnya.


Mas Ajam, Habib Munzir hanya mengutip berdasarkan relevansinya dengan apa yang beliau sampaikan. Pokok kesalahpahaman ustadz Firanda mengartikan masjid sebagai tempat sholat yang sebagaimana yang kita ketahui.
Sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan di atas
Rasulullah bersabda,“‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’. Aisyah berkata, Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” (HR Muslim 823) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=6&ayatno=16&action=display&option=com_muslim
Oleh karena hadits ini menguraikan tentang laknat Allah ta’ala terhadap kaum Yahudi dan Nashrani maka kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai tempat sholat bagi kaum muslim namun kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud.


apa orang yang nggak setuju dgn nt terus nt cap ahlaknya rendah bro ?????
masyaAlloh ….


rendahnya akhlaq mereka bukan karena perbedaan aqidah dan manhaj, namun karena kotor dan jijiknya ucapan-ucapan mereka


Al Akh MUTIARAZUHUD
sekali lagi, ustadz Firanda hanya ingin menampilkan sikap ketidakamanahan Habib Munzir dalam menukil atsar Imam Syafi’i dan Ibnu Hajar.kalo antum mau membantah, maka harusnya antum katakan bahwa Habib Munzir tidak berkata/menulis seperti itu.
tapi pada kenyataannya, tidak bisa antum pungkiri lagi bahwa Habib Munzir menyelipkan kata-katanya sendiri ke dalam kata-kata Imam Syafi’i dan Ibnu Hajar tanpa menjelaskan lebih lanjut bahwa itu adalah tambahan darinya, sehingga orang-orang yang tertipu akan mengira bahwa itu adalah kata-kata asli dari Imam Syafi’i dan Ibnu Hajar.
karena terbongkarnya kedustaan Habib Munzir ini tidak bisa antum bantah, lalu antum membelokkan arah pembicaraan kepada topik mengenai “kesalahpahaman” Ustadz Firanda memahami lafadh MASJID dalam hadits2 larangan sholat di kuburan.
tapi tidak apa-apa. hal ini justru menunjukkan bahwa antum memang tidak bisa berkelit lagi untuk membela Habib Munzir.
==============================================================
antum katakan Ustadz Firanda salah paham padahal justru antum sendirilah yang salah paham. apa makna MENJADIKAN KUBURAN SEBAGAI MASJID? maknanya ada 3:
1) sholat di atas kuburan, Ibnu Hajar Al Haitami berkata: “Menjadikan kubur sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya” [Az-Zawaajir, 1/121].
2) menjadikan kuburan sebagai kiblat. Al Munawi berkata: “mereka menjadikan kubur para nabi itu sebagai arah kiblat mereka akibat keyakinan mereka yang salah.” (Faidlul-Qadiir Syarh Al-Jamii’ Ash-Shaghiir)
3) membuat bangunan kemudian menjadikannya sebagai tempat ibadah. Imam Bukhori membuat bab dalam kitab Shohih-nya “BAB APA-APA YANG DIMAKRUHKAN MEMBANGUN MASJID DI ATAS KUBURAN”
==============================================================
antum katakan:
Di atas “batas kuburan” diperbolehkan atap bangunan sebagaimana kuburan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam didalam sebuah ruangan yang beratap.
ana jawab:
padahal ‘Aisyah telah menjelaskan sebab tidak dinampakkannya kubur Nabi adalah karena dikhawatirkan akan disembah, bukan karena hal itu diperbolehkan. dan Rosululloh juga memerintahkan pada Ali untuk meratakan kubur. dan Rosululloh juga melarang membangun kuburan.


mas Ajam maaf menyela ……..SEANDAINYAPUN benar kritikan ustadz firanda apakah mengingat kita sesama muslim apa lagi mereka berdua publik figur kayaknya lebih bijak tidak di share / tabayun langsung di bicarakan dgn habib ……..apa ini udah termasuk ghibah ? kan sama2 di jakarta …….


ana sudah pernah menjawab pertanyaan seperti itu. ada ikhwah lain yang ikut menambahkannya. ana copy paste saja jawaban ikhwah tersebut.
# abdullah salafy 2011-10-21 16:30
Tabayyun itu hanya perlu pada perkara-perkara yang meragukan yang disandarkan kepada seseorang. misalnya ada seseorang yang menuduh Habib Munzir mengatakan demikian dan demikian, maka hal ini perlu ditabayyun karena berita datang tidak dari Habib Munzir langsung. Bentuk tabayyun bisa dengan bertanya langsung kepada Habib Munzir atau mengecek pernyataan-pernyataan Habib Munzir dalam buku-buku beliau,
Adapun apa yang terdapat dalam buku “Meniti Kesempurnaan Iman” dan “Kenalilah Akidahmu” maka jika itu memang karya Habib Munzir maka tidak perlu ditabayyun lagi. perlu tabayyun jika masih diragukan apakah buku-buku tersebut yang banyak kesesatan dan kengawurannya benar2 karya Habib Munzir atau bukan??
Kedua : Habib Munzir sendiri tatkala membantah syaikh Bin Baaz sama sekali tidak tabayyun kepada syaikh, atau jika tidak memungkinkan (karena syaikh sudah meninggal) maka bertabayyunlah kepada murid-murid syaikh yang begitu banyak di Arab Saudi.
Atau jika memang tidak memungkinkan juga maka silahkan bertabayyun kepada ustadz-ustadz Indonesia yang telah berguru kepada murid-murid syaikh Bin Baaz, dan jumlah mereka sangatlah banyak.
ketiga : Para ulama ahlus sunnah tatkala membantah orang-orang yang menyelisihi maka mereka tidak tabayyun terlebih dahulu jika ternyata kesalahan-kesalahan tersebut telah tersebar apalagi dalam bentuk buku.
Keempat : Jika setiap kesalahan yang tersebar itu perlu tabayyun dulu maka seharusnya kita harus tabayyun dulu kepada ulama syiah dan juga ulama ahmadiyah juga ulama wahabi tatkala kita ingin membantah mereka
kelima ; Apakah Habib Munzir dan juga orang-orang yang semodelnya jika membantah pemikiran wahabi selalu bertabayyun dulu??
Intinya tabayyun ini hanya pada berita-berita yang tidak jelas karena disampaikan oleh orang ketiga,… adapun apa yang telah jelas merupakan pernyataan Habib Munzir dalam buku-bukunya yang telah sengaja ia sebarkan maka hanya tinggal dikritika saja oleh ustadz firanda. sekarang tinggal tugas habib munzir menanggapi kritikan firanda jika memang krtikan tersebut ngawur,


kepada para fanatikus dan muqallid Firanda:
shalat di atas qubur tidaklah merusak shalat. Umar pernah melihat Anas shalat di atas qubur. Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Quburan, quburan!)” Namun Anas menyangka bahwa Umar berkata, “Al-Qamar! (Bulan!)” Maka ketika beliau mengerti bahwa yang dimaksud adalah “Al-Qabr”, maka beliau melangkah, lalu meneruskan shalatnya. Dan Umar tak menyuruh Anas mengulangi shalatnya. [Lihat Fathul Bari libni Hajar I:524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379]
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ إلَى الْقُبُورِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ صَالِحًا أَوْ غَيْرَهُ
Imam Syafi’i dan para shahabat beliau sepakat akan makruhnya membangun Masjid di atas qubur, baik mayyitnya orang yang masyhur dengan keshalihannya atau yang lainnya, karena keumuman haditsnya. Berpendapat pula Imam Syafi’i dan para shahabatnya: dan makruh shalat menghadap qubur, baik ke mayyit yang shalih maupun yang lainnya. [al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab V:316, Darul Fikr]
Jika pembangunan Masjid itu diniatkan untuk menyembah qubur, maka haram, dan inilah yang dimaksud oleh berbagai hadits mengenai hal ini. Tetapi jika pembangunan Masjid itu bukan diniatkan untuk menyembah qubur, maka makruh. Apa alasan makruhnya? Yaitu dikhawatirkan timbul fitnah. Misalnya terjadi penyembahan kepada mayyit. Jadi, makruhnya itu karena dikhawatirkan timbul fitnah. Makruhnya itu bukan tanpa alasan, makruhnya itu karena takut terjadi fitnah. Jika hilang alasannya, maka hilang pula kemakruhannya.
يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَغَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، وَلِعِمَارَةِ قُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ، وَالْعُلَمَاءِ، وَالصَّالِحِينَ، لِمَا فِيهَا مِنْ إِحْيَاءِ الزِّيَارَةِ، وَالتَّبَرُّكِ بِهَا
Diperbolehkan bagi Muslim atau kafir dzimmiy untuk berwasiat membangun Masjidil Aqsha, atau masjid lainnya, atau membangun kubur para Nabi dan para shalihin untuk menghidupkan ziaroh dan bertabarruk padanya. [Rawdhatuth Thalibin VI:98]
kita perlu ingat bhw Habib Munzir punya sanad ilmu kpd Imam asy-Syafi’i, Imam Nawawi, Imam ibnu Hajar al-’Asqolani, dll.
Kita lihat bagaimana Imam an-Nawawi memberikan penjelasan bhw Imam Syafi’i dan shahabatnya bersepakat… dst. Walau tanpa dijelaskan referensinya, orang juga paham bhw Imam an-Nawawi mendapatkan keterangan2 itu melalui guru2nya secara berantai.
Maka, tanpa memberi referensi pun, kita paham bhw ilmu2 Habibana adakalanya tak tercantum dlm kitab, namun merupakan ilmu yg didapat secara berantai dari guru2 yg mempunyai sanad yg jelas.
Maka tak perlulah kita menganggap ada terhadap perkataan seseorang yg ilmu dan pehamannya tidak bersambung kepada para Imam terdahulu yg shalih.
Jika hadits menjadi mawdhu’ ketika mempunyai sanad yg sungguh rusak; maka bagaimana lagi kita akan memandang kpd perkataan seorang manusia biasa yg tdk turun kepadanya wahyu, dan tdk ada padanya sanad?
berkata al-Baydhawi, “Ketika orang Yahudi dan Nashrani bersujud pada kubur para Nabi dalam rangka mengagungkan mereka dan menjadikannya qiblat dan menghadap pada kubur mereka dalam shalat dan menjadikan patung-patungnya, maka (Rasul shallallahu ‘alayhi wa sallam) melaknat mereka (dengan la’nat dari Allah), dan melarang muslimin berbuat yang seperti itu. Adapun yang menjadikan Masjid di dekat qubur orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka tanpa mengagungkan maupun merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu.” [Fathul Bari libni Hajar I:525, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379]
Nah, jelaslah sekarang bahwa maksud hadits itu adalah apabila terdapat unsur penyembahan kepada mayyit atau qubur tersebut, atau menjadikan qubur sebagai qiblat, yaitu arah shalat. Misalnya, ketika Ka’bah berada di barat, sedangkan dia berada antara arah Ka’bah dan qubur, lalu ia shalat menghadap timur, yaitu ke arah qubur tersebut. Maka inilah yang dila’nat. Tetapi jika kebetulan menghadap qubur tanpa mengambilnya sebagai qiblat, maka tidak dila’nat. Bukankah ketika kita shalat, maka di hadapan kita sangat mungkin terdapat banyak quburan? Namun kita tidak meniatkan untuk mengambilnya sebagai qiblat.
Perkataan Imam al-Baydhawi tadi juga dikutip dalam Faydhul Qadir, dan ada kelanjutan dari pendapat beliau itu:
أن قبر إسماعيل بالحطيم وذلك المحل أفضل للصلاة فيه والنهي عن الصلاة بالمقبرة مختص بالمنبوشة
Bahwa qubur Nabi Ismail ‘alayhis salam adalah di Hathiim, itu merupakan tempat yang afdhal untuk shalat padanya. Dan pelarangan adalah terhadap shalat di quburan yang sudah tergali. [Faydhul Qadiir V:251]
Nah, tidakkah Anda melihat bahwa qubur Nabi Isma’il itu berada di al-Hathim. Al-Hathim itu ada di Masjidil Haram. Apakah tidak sah kita shalat di Masjidil Haram karena Nabi Isma’il diqubur di Masjidil Haram ketika Masjid itu telah dibina? Apakah tidak sah shalat di Masjid Nabawi yang dibina di atas qubur Nabi? Apakah tidak sah shalat di Masjid yang di dalamnya atau di dekatnya ada quburan?
Kemudian, mengenai meninggikan qubur dan menyemen qubur, sebagian orang berkata bahwa hal itu tidak boleh secara muthlaq. Mereka menukil perkataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm.
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ فِي الْقَبْرِ تُرَابٌ مِنْ غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فِيهِ تُرَابٌ مِنْ غَيْرِهِ بَأْسٌ إذًا إذَا زِيدَ فِيهِ تُرَابٌ مِنْ غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا، وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أَوْ نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى، وَلَا يُجَصَّصَ فَإِنَّ ذَلِكَ يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ، وَلَيْسَ الْمَوْتُ مَوْضِعَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَمْ أَرَ قُبُورَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ مُجَصَّصَةً
Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan tanah pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah tanah pasir dari selain (galian) kuburan, jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan di atas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan, dan kematian bukanlah tempat salah satu dari keduanya, dan aku tidak melihat kuburan kaum muhajirin dan kaum anshor dikapuri. [Al-Umm I:316, Darul Ma’rifah, Beirut]
Kita lihat kelanjutannya:
قَالَ الرَّاوِي عَنْ طَاوُسٍ: إنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى أَنْ تُبْنَى الْقُبُورُ أَوْ تُجَصَّصَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ : وَقَدْ رَأَيْت مِنْ الْوُلَاةِ مَنْ يَهْدِمَ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَتْ الْقُبُورُ فِي الْأَرْضِ يَمْلِكُهَا الْمَوْتَى فِي حَيَاتِهِمْ أَوْ وَرَثَتُهُمْ بَعْدَهُمْ لَمْ يُهْدَمْ شَيْءٌ أَنْ يُبْنَى مِنْهَا وَإِنَّمَا يُهْدَمُ إنْ هُدِمَ مَا لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ فَهَدْمُهُ لِئَلَّا يُحْجَرَ عَلَى النَّاسِ مَوْضِعُ الْقَبْرِ فَلَا يُدْفَنُ فِيهِ أَحَدٌ فَيَضِيقُ ذَلِكَ بِالنَّاسِ
Berkata seorang rawi dari Thawus, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melarang membangun qubur atau dikapur.” Imam Syafi’i berkata, “Aku telah melihat salah satu gubernur yang menghancurkan (membongkar) kuburan yang dibangun di Makkah dan tidak melihat para ulama mereka mencela (mengkritik) hal itu. Dan apabila adanya kuburan-kuburan itu di tanah yang dimiliki oleh almarhum semasa hidup mereka atau ahli warisnya setelah kematian mereka, maka tidak ada suatu bangunan pun yang dihancurkan. Dan sesungguhnya penghancuran (pembongkaran makam) itu apabila (tanah pemakaman) tidak ada seorang pun yang memilikinya. Penghancuran (pembongkaran) itu dilakukan agar supaya tak seorang pun dikuburkan di dalamnya karena bukan tempat penguburan (umum).’ [Al-Umm I:316, Darul Ma’rifah, Beirut]
Maka jelaslah bahwa qubur yang tidak boleh dibangun atau ditembok itu adalah qubur yang ada di tanah bukan milik si mayyit semasa hidupnya atau milik ahli warisnya setelah ia wafat. Jika tanah itu adalah milik sendiri, maka tidak apa-apa.
Begini, jika suatu qubur dibangun, sedangkan tanahnya bukan miliknya, maka hal ini menghalangi jenazah lain untuk diqubur di situ. Adapun jika tanahnya adalah miliknya, maka tidak apa-apa. Lalu bagaimana dengan tanah yang disewa untuk qubur? Maka selama masa sewa itu, tidak boleh dibongkar tanpa seizin yang menyewa.


tengkyu ustadz AI tambah ilmu ……….


Ustadz AI
sebetulnya uraian antum itu sudah terjawab oleh artikel2 asatidz salafiyun, terutama oleh Ustadz Firanda sendiri.
1) memang sholat di kuburan itu tidaklah membatalkan sholatnya, akan tetapi bukan berarti hal itu dibolehkan. persoalannya bukan sah atau tidak sahnya sholat di atas kuburan, tetapi persoalannya adalah boleh atau tidak bolehnya sholat di atas kuburan. kalau boleh, pasti Umar tidak akan memperingatkan Anas. PAHAM?
2) makruh itu mengandung 2 makna, yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih. makruh yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dan ulama lain tentang masalah membangun masjid di atas kuburan adalah makruh tahrim, yaitu HARAM. kita bisa melihatnya dari dalil2 yang dipakai oleh Imam Syafi’i. beliau berdalil dengan hadits2 tentang laknat Alloh kepada kaum Yahudi dan Nashoro. tentu saja, sesuatu yang padanya dikenai laknat, hukumnya adalah haram. PAHAM?
3) antum katakan:
kita perlu ingat bhw Habib Munzir punya sanad ilmu kpd Imam asy-Syafi’i, Imam Nawawi, Imam ibnu Hajar al-’Asqolani, dll.
ana jawab:
tidak perlu diingat, namun perlu untuk dibuktikan. kalau sekedar pengakuan tanpa bukti, setiap orang bisa. lagipula, banyak juga guru dan murid berbeda pendapat dalam suatu masalah, padahal mereka duduk di majelis yang sama. maka lebih mungkin lagi bagi orang yang hanya sekedar ngaku2.
4) antum berkata:
Begini, jika suatu qubur dibangun, sedangkan tanahnya bukan miliknya, maka hal ini menghalangi jenazah lain untuk diqubur di situ. Adapun jika tanahnya adalah miliknya, maka tidak apa-apa
ana jawab:
dengan tegas dan jelas, Rosululloh memerintahkan Ali untuk meratakan kubur. Jabir berkata, “Rasulullah telah melarang mengapur kuburun, duduk-duduk diatasnya, MEMBANGUN KUBURAN, meninggikan makam melebihi tanah galian, dan menulis di atasnya.” (Abu Daud, Muslim,Tirmidzi, dan Nasa’i).
selebihnya, silakan lihat artikel yang lebih berbobot dari jawaban ana


pada 23 Oktober 2011 pada 4:32 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Ajam, tahukah antum batas kuburan ?
Manakah bagian yang terlarang untuk duduk diatasnya, mengapur atau membangun ?
Kapan dan apa makna Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Imam Sayyidina Ali ra untuk meratakan kuburan ? sedangkan Rasulullah mengajarkan untuk meninggikan kuburan satu jengkal ?
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)
Selengkapnya mengenai batas yang dinamakan kuburan sehingga terlarang untuk duduk diatasnya, mengapur atau membangun telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/30/2011/06/09/seputar-kuburan/


alhamdulillah sudah ada tanggapan dari MUTIARAZUHUD.
Rosululloh bersabda:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( الارض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Bumi ini secara keseluruhan adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali (Al Maqbaroh) kuburan dan kamar mandi” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83 & 96, Abu Dawud no. 492, At-Tirmidziy no. 317, Ibnu Majah no. 745, Abu Ya’laa no. 1350, Ibnu Khuzaimah no. 791-792, dan yang lainnya; shahih].
pengertian dari Al Maqbaroh adalah setiap tanah/lahan yang dikuburkan mayit. kebanyakan, yang membuat Asya’iroh salah paham adalah karena salah mengira bahwa Al Maqbaroh itu adalah isim jamak dari Al Qubr. batasan Al Maqbaroh adalah termasuk Al Qubr itu sendiri beserta halamannya sampai ada pagar/penghalang yang jelas antara tanah pekuburan dengan tanah bukan pekuburan.
============================================================
adapun yang dipahami oleh Asya’iroh, yaitu Al Maqbaroh itu adalah bentuk jamak dari Al Qubr. kemudian dari salah paham ini, mereka kemudian salah paham bahwa yang tidak boleh dijadikan untuk tempat sholat adalah Al Qubr atau sesuatu yang dibawahnya terdapat mayit. oleh karena itu, menurut mereka, sholat di tempat yang di bawahnya tidak ada mayit, sekalipun itu masih di areal pekuburan, maka dibolehkan.
============================================================
Abu Al Hayyaj Al Asady berkata, Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Maukah engkau kuutus membawa tugas seperti Rosululloh telah mengutusku, yaitu janganlah engkau biarkan gambar atau patung kecuali engkau hancurkan, dan JANGANLAH ENGKAU BIARKAN KUBURAN KECUALI ENGKAU RATAKAN” (HR. Muslim)
Jabir berkata, “Rasulullah telah melarang mengapur kuburun, duduk-duduk diatasnya, MEMBANGUN KUBURAN, meninggikan makam melebihi tanah galian, dan menulis di atasnya.” (Abu Daud, Muslim,Tirmidzi, dan Nasa’i)
Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban)
hadits2 ini tidaklah saling bertentangan. adalah hal yang biasa bagi Asya’iroh untuk mempertentangkan hadits2, kemudian hanya mengambil yang ia sukai dan membuang yang tidak ia sukai.
tentang hal ini, Imam Syafi’i sudah menjelaskan: “Tidak boleh, apabila ditambah tanah dan lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah ”. (Syarah Muslim 2/666, Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/257)
KONTRADIKSI ASYA’IROH DENGAN DALIL YANG MEREKA GUNAKAN
di atas antum berdalil dengan atsar Jabir bahwa kubur Nabi ditinggikan hanya satu jengkal. namun kebanyakan, kuburan-kuburan yang ada itu tinggi sekali, bahkan dibangun masjid yang untuk ukuran zaman dahulu termasuk gedung pencakar langit.


nggak percaya ya silahkan , punya keyakinan / pemahaman lain ya silahkan …………yang penting marilah kita meningkatkan ketaqwaan kita kepada Alloh ta ‘ala jadi yang berpaham salafi wahabi ya silahkan YANG PENTING BISA JUMPA ALLOH dan menjadi “KEKASIHNYA “…………..wassalamuallaykum ….


makruh itu jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala
makruh memang berbeda dg mubah dan haram
makruh memang sebaiknya ditinggalkan, tetapi bukan berarti haram
umar mengingatkan, karena itu makruh, bukan karena haram


ana sudah menjelaskan makna makruh di blog ini. tidak ada satu pun bantahan terhadapnya. mungkin memang antum orang baru kemarin sore di blog ini, makanya belum membaca komentar ana tersebut.
namun jangan kuatir, ana akan copy pastekan saja dari http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/10/dialog-bersama-pecinta-kubur.html
Perlu diketahui bahwa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah ketika menuliskan “Maa Yukrahu….” (Apa-Apa yang Dimakruhkan….) dalam kitab Shahih-nya, bisa mengandung dua pengertian, yaitu : 1) bermakna bukan tahrim; dan 2) bermakna tahrim.
Saya contohkan bab yang ditulis beliau rahimhullah dengan makna pertama :
1. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan Tidur Sebelum ‘Isya’ { باب ما يكره من النوم قبل العشاء }
2. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Meninggakan Shalat Malam Bagi Mereka yang Telah Biasa Mengerjakannya { باب ما يكره من ترك قيام الليل لمن كان يقومه }
3. dan lain-lain.
Adapun yang makna kedua (tahrim/pengharaman) :
1. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Niyahah (Meratap) terhadap Mayit { باب ما يكره من النياحة على الميت }
2. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Shalat Jenazah terhadap Orang-Orang Munafik dan Meminta Ampunan terhadap Orang-Orang Musyrik { باب ما يكره من الصلاة على المنافقين والاستغفار للمشركين }
3. Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Namimah (Mengadu Domba) { باب ما يكره من النميمة}
4. dan lain-lain.
Lantas,…. bagaimana dengan menjadikan kubur sebagai masjid ? Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksudkan makruh dalam perkataan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah adalah bermakna tahrim (pengharaman). Apa indikasinya ? Indikasinya adalah bahwa lafadh hadits yang dibawakan oleh Al-Imam Bukhari rahimahullah dalam Bab Maa Yukrahu Min-Ittikhaadzil-Masaajidi ‘alal-Qubuur merupakan lafadh-lafadh laknat. Sesuai dengan kaidah Ushul-Fiqh bahwa lafadh laknat mempunyai konsekuensi pada pengharaman [lihat Badai’ul-Fawaaid 4/5-6].
Contohnya adalah firman Allah :
إِنّ الّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِناتِ لُعِنُواْ فِي الدّنْيَا وَالاَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, [QS. An-Nuur : 23]
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Allah telah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung rambutnya; juga wanita yang mentato dan yang minta ditato” [HR. Bukhari no. 5589].
Dan perlu diketahui bahwa kalimat “makruh/karahah” dalam syari’at banyak yang menunjukkan pada makna haram (dan ini adalah madzhab ulama mutaqaddimiin). Misalnya : Setelah Allah menyebutkan tentang larangan berbuat syirik, larangan durhaka kepada dua orang tua, larangan bersikap boros, dan yang lainya [7], maka Allah menutupnya dengan :
ذَلِكَ كَانَ سَيّئُهُ عِنْدَ رَبّكَ مَكْرُوهاً
“Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu” [QS. Al-Israa’ : 38].
Juga Allah berfirman :
وَلَـَكِنّ اللّهَ حَبّبَ إِلَيْكُمُ الأِيمَانَ وَزَيّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan”. [QS. Al-Hujuraat : 7].
Makna makruh dalam dua ayat di atas adalah haram. Kecuali,…. bila Saudara mengatakan syirik, durhaka pada orang tua, kefasikan, kemaksiatan, dan sikap boros itu hanya sebatas makruh dimana orang yang meninggalkannya mendapat pahala dan yang mengerjakannya tidak dibebani dosa…….


yg dilaknat itu jika ada unsur penyembahan
itulah yg haram


Rosululloh bersabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat ibadah”
bagian mana dari hadits ini yang menyebutkan bahwa yang dilaknat adalah penyembahan? Rosululloh sama sekali tidak menyangkut-pautkan laknat Alloh dengan penyembahan. sebetulnya ana orang yang awam, namun cukup mengerti dengan ushul fiqh bahwa suatu dalil itu diambil pada keumuman lafadhnya daripada kekhususan sebabnya. lafadh hadits di atas jelas lafadh yang umum, tidak disebutkan apa alasan kaum Nashoro dan Yahudi mendirikan masjid di atas kubur Nabi-Nabinya.
contoh lain, diharamkannya khamr karena khamr adalah pangkal segala kejahatan. kalau misalnya ada orang yang minum khamr tapi tidak berbuat kejahatan lainnya, apakah kemudian minum khamr menjadi halal?
diharamkannya kholwat dengan wanita ajnabih adalah dikuatirkan jatuh dalam zina. kalau tidak sampai jatuh pada zina, apakah berarti berdua-duaan dengan wanita ajnabih itu menjadi halal?
diharamkannya duduk2 dengan ahli bid’ah adalah karena dikuatirkan terpengaruh dengan kebid’ahannya. kalau hanya sekedar nongkrong2 biasa, apakah hukumnya menjadi halal?


puasa di hari id itu haram. Sahkah berpuasa di hari ‘id?


sesuatu yang membuat batal pasti haram, tapi sesuatu yang haram belum tentu membuat batal.
contohnya berhaji dengan uang hasil korupsi. apakah biaya hajinya itu haram? iya, jelas itu haram. lalu apakah hajinya itu batal? tidak batal, tetapi dia berdosa.
contoh lain, orang yang di siang hari berpuasa, namun di malam hari ia berbuat maksiat. apakah puasanya itu batal? jelas tidak, namun ia berdosa dan tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.


Imam Syafi’i berkata: “Saya melarang dibinakan masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk solat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau solat menghadap kuburan. Apabila ia solat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/261)


Mas Ajam, kitab al-Umm adalah kitab sumber / induk yang perlu dipahami lebih lanjut.
Penjelasan Imam Syafi’i ada dalam kitab fiqihnya yang memuat hasil istinbat (penetapan hukum perkara) meliputi Wajib, Sunnah (mandub), Mubah, Makruh, Haram
Kalau mau tahu apa pendapat Imam Syafi’i yang sebenarnya dapat diketahui dari para pengikutnya. Jangan memahaminya dari orang yang “mentahrif” kitab-kitab beliau
Ulama Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab adalah korban ghazwul fikri yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi.
Berdasarkan analisa kami, tiga gerakan yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2. Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing dengan metodologi “terjemahkan saja”
3. Paham anti tasawuf untuk merusak akhlak kaum muslim karena tasawuf adalah tentang Ihsan atau jalan menuju muslim yang Ihsan


ana kira peringatan Umar kepada Anas itu sangat jelas menunjukkan keharamannya sholat di atas kuburan. kalo tidak haram, ngapain diperingatkan? entah, bagaimana bisa antum menutup mata darinya.


antum katakan:
Kalau mau tahu apa pendapat Imam Syafi’i yang sebenarnya dapat diketahui dari para pengikutnya. Jangan memahaminya dari orang yang “mentahrif” kitab-kitab beliau
ana jawab:
banyak orang yg ngaku pengikut Syafi’i, tapi cuma sekedar di mulut saja. sebagaimana pengakuan kosong orang2 yang mengklaim sebagai pengikut Imam Asy’ari. yg namanya klaim itu harus disertai bukti. lalu apa bukti antum jika antum mengklaim sebagai pengikut Imam Syafi’i? yg ada malahan bukti bahwa antum berbeda dengan Imam Syafi’i
sebagaimana klaim yang membutuhkan bukti, menuduh itu juga membutuhkan bukti. lalu apa bukti antum bahwa kitab Imam Syafi’i itu sudah ditahrif oleh orang2 yang ana ikuti?
============================================================
enteng banget yah suka mengklaim dan menuduh, tapi dimintai bukti hanya diam seribu bahasa.


ada hal yg dibenci oleh Allah ….ini yg benci Allah lho..
tapi halal.
ayo tebak, apa itu….jawabannya adalah Thalaq (Cerai).
karena hal ini, umumnya mayoritas fuqoha pada era mutaqoddimin….dan jumhur/seluruh fuqoha muta-akhkhirin…kalau bicara fiqih, kalimatnya jelas.
makruh ya makruh…bukan haram.
haram ya haram…bukan makruh.
ane pribadi ndak suka dgn kuburan yg dibina/dibangun..
tapi itu makruh ya makruh…ndak sukanya ane ndak merubah syariat dan hasil analisa serta istinbath fuqoha.
Habib Munzir paham sekali hal ini…makanya dia bicara saklek, to the point.
soal tabayyun…menarik…tapi apa bisa adab dijaga.
mengingat salafi selalu mencap quburiyyun tanpa mau tabayyun dulu.


antum pernah baca Quran kan? coba lihat QS Al Isro’ 32-38. disitu Alloh menyebutkan larangan2 seperti : zina, membunuh, makan harta anak yatim, mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, dan berjalan di bumi dengan sombong. kemudian Alloh menutupnya dengan firman: “Semua itu kejahatannya amat dibenci (makruh) di sisi Tuhanmu.”
kira2 makruh disini apa tetap bermakna apabila dikerjakan tidak berdosa sebagaimana yang antum kehendaki?
kemudian, Imam Syafi’i menghukumi makruh dengan berdalil pada hadits2 yang menyatakan laknat Alloh. apa sesuatu yang dilaknat Alloh itu tetap antum maknai dengan apabila dikerjakan tidak berdosa?
kemudian Imam Bukhori membuat bab dalam kitab Shohih-nya “Bab apa-apa yang dimakruhkan dalam namimah (adu domba)”. coba antum tanya sama kyai antum, kira2 hukum adu domba itu apa? kalo sudah, nanti balik kesini lagi, kita berdiskusi lagi.
jangan ngandalin Habib Munzir yang gak ngerti tentang ilmu hadits tapi sering pamer soal sanad dan nasab. dia itu cuma tukang pamer yang isinya kosong.


kalau benar omongan nt Ghibah ………..kalau salah fitnah ……..nggak ada yang baik ya ..?????


bicara fiqih apa bicara tafsir?
kalau bicara fiqih, jumhur ulama itu jelas kalimatnya…halal, haram, makruh, mubah, dsb.
kalau Imam Bukhori, bicara hadits.
setiap ilmu, ada terminologinya sendiri, ada tempatnya sendiri.
seperti bicara Sunnah, beda antara konteks bahasa, fiqih dan ilmu hadits.
Ajam paham tdk masalah ini?
kalau yg Ajam sampaikan itu kan bicara tafsir. nanti dgn ushul fiqih, pd saat pembahasan fiqih, ditentukan hukumnya, bahwa hukumnya adalah haram.
Imam Syafi’i dan seluruh pemuka Madzhab Syafi’i….setahu ane, kalau bicara fiqih, jelas kalimatnya…mana yg haram, mana halal, mana makruh.
ane tahu ini dari Koko ane yg ngaji dgn Habib Rizied dan Mu’allim KH Syafi’i Hadzami. yg kebetulan pula memang bahasanya dalam bicara fiqih, sama dgn Habib Munzir.
Habib Munzir tidak ma’shum, tapi da’i sejati, dan rendah hati, penuh adab. ane dulu termasuk yg banyak bertanya-tanya ttg keilmuan beliau. tetapi setelah cross-check dgn Koko ane, dan beberapa rekan yg mumpuni dlm pengajian….
lalu setelah ikut milis Majelis Rasulullah…dan banyak browsing forum tanya jawab di website Majelis Rasulullah….bahkan korespondensi langsung dgn beliau via forum tsb….
lalu setelah tahu bahwa guru Habib Munzir adalah Habib Umar yg ane justru ketemu dgn Habib Umar terlebih dulu di Cidodol pd temu silaturahmi Muallaf yg digagas oleh Haba-ib dan Forum Arimatea…
ane sadar, bahwa Habib Munzir ini walau tdk sempurna, tapi harus banyak ditiru dan dipelajari ilmunya, akhlaknya serta berharap akan barokah melaluinya.
ane mohon maaf nimbrung.
sebenarnya malas, tapi ane jadi gatal lihat kok sebegitu kasar dan tdk ada adabnya celaan thd Habib Munzir.
ane dan beberapa teman yg cuma browsing atau tdk tahu, akhirnya jadi gatal dan turun nimbrung.
tapi ane maklum lah model orang kayak Ajam.
jangankan sama yg beda pendapat, sesama klan aja bisa cela-celaan dan tahdzir.
ane ndak mumpuni.
cuma kalo gatal, ane jadi urun komentar, kayak di ex milis Tauziyah, di blog Abul Jauza.
yg ane bingung dari Ajam…kalau mau kritik, kenapa tdk langsung datang ke Habib Munzir saja?
ane kenal banyak orang yg beda pemahaman dgn Habib Munzir, tapi tdk mengkritik dan berucap/tulis kasar seperti Ajam.
ane cukupi sampai disini.
nanti kalau ane ngomong panjang lebar lagi, malah ngelihat balasan yg lebih emosional dan kasar lagi.
last…kalau Ajam belum pernah sakit keras sampai lumpuh, berkorban harta benda dan jiwa…belum pernah ngaji talaqqi dgn serius kemana-mana….lalu mencela orang yg telah melakukan hal seperti itu…dan bangga dgn mencela seperti itu….ada sesuatu pada hati Ajam.
Habib Munzir bukan ma’shum dan beliau mengaku tidak ma’shum.
tapi beliau termasuk bilangan ulama dan ahlul bait, ada adab thd kedua golongan ini.
dan beliau bukan fasiq, bukan munafiq, bukan zindiq.
jaga kalimat dan tulisan…kalau mau kasar, mending disumbangkan ke golongan SePiLis dan Kuffar ahlul kitab yg kasar dan suka menghina Islam dan Muslim.
kalau yg jelas salah didiamkan..tapi sama saudara sekasar ini…jadi ragu ane dgn pemahaman antum thd “Innamal Mukminuuna Ikhwah”.
Salaam ‘alaa manit-taba’al hudaa.


subhanalloh ………mantab mas Nugon ……..salam kenal …..


sekali lagi, Imam Syafi’i ketika mengatakan hal itu hukumnya makruh, beliau berdalil dengan hadits2 tentang laknat Alloh. apakah sesuatu yang padanya dikenai laknat itu bukan dosa atau bukan haram?
kemudian, Imam Bukhori ketika membuat bab “Apa-apa yang dimakruhkan dalam namimah”, ini sudah masuk dalam bidang fiqih juga. tugas beliau sebagai seorang ahli hadits hanya menilai hadits ini shohih atau dho’if. adapun mengenai penetapan hukum, ini adalah tugas beliau sebagai seorang ahli fiqih. dan pasti antum sepakat dengan ana bahwa Imam Bukhori bukan hanya imam dalam ilmu hadits, namun juga imam dalam ilmu fiqih. tidak ada yang mengatakan beliau itu tidak kompeten dalam bidang fiqih.
dan perhatikan atsar berikut:
Mahmuud As-Subkiy berkata: “MAKRUH dengan makna HARAM (karohatut tahrim) menurut An-Nu’maan (Abu Haniifah) dan Maalik (adalah) membaca Al-Qur’an di sisi kubur, karena perbuatan tersebut tidak dilandasi satupun riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari amal salaf. Akan tetapi amal yang mereka lakukan adalah bershadaqah (atas nama mayit) dan berdoa, bukan membaca Al-Qur’an.” [Ad-Diinul-Khaalish]
Ibnu Muflih berkata: “DIMAKRUHKAN mencukur rambut tengkuk tanpa ada keperluan. Dan beliau (Imam Ahmad) juga berkata : ‘Hal itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi, (sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda Barangsiapa yang meniru/menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka’. Ini menunjukkan PENGHARAMAN (karohatut tahrim)” [Aadaabusy-Syar’iyyah, 3/333]
==============================================================
mengenai Habib Munzir, antum bilang : “yg ane bingung dari Ajam…kalau mau kritik, kenapa tdk langsung datang ke Habib Munzir saja?”
ana jawab : emangnya harus gitu? lha wong beliau ketika mengkritik Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh Utsaimin apa mendatangi mereka? atau setidaknya jika tidak bisa karena ketiganya sudah wafat semua, maka datangilah murid-muridnya. atau kalau tidak bisa karena jauhnya Indonesia-Saudi, maka datangilah asatidz yang belajar pada mereka.
antum sendiri ketika akan mengkritik ana, kenapa tidak mendatangi ana? kenapa tidak tanya alamat ana, no HP ana, alamat email dll?
masih bingung?


pada 31 Oktober 2011 pada 11:49 pm | Balasmutiarazuhud
Mas Ajam, harus dibedakan antara hadits tentang laknat Allah ta’ala kepada kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani menyembah (masjid/sajada) kuburan ,membuat gambar-gambar atau patung-patung pada kuburan untuk penyembahan. Hal ini terurai pada hadits-hadits yang lain.
dan perkataan Imam Syafi’i ~rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat” maknanya janganlah bersujud pada kuburan Beliau untuk menghindari fitnah terhadap yang melakukannya walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada Beliau.


benar bahwa Alloh melaknat kaum Yahudi dan Nashoro karena mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid. lalu kenapa Rosululloh menyebutkan laknat Alloh kepada mereka itu bersamaan dengan larangan beliau untuk menjadikan kuburan beliau sebagai masjid?
orang awam pun pasti paham, apalagi antum orang yang berilmu, bahwa maksud beliau adalah agar jangan sampai kita mengikuti jejak kaum Yahudi dan Nashoro sehingga kita pun dilaknat Alloh sebagaimana mereka juga dilaknat. kan ada juga sabda Nabi: “barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk kaum itu juga”.
perkataan Imam Syafi’i itu sangat jelas, jangan antum plintir atau tahrif kemana-mana. yang beliau benci (makruhkan) adalah pengagungan kuburan, bukan penyembahan atau sujud kepada kubur. tidak ada dalam perkataan beliau lafadh “penyembahan” dan/atau “sujud”. kemudian, beliau menghukumi makruh pengagungan kepada kuburan itu dengan berdalil pada laknat Alloh kepada kaum Yahudi dan Nashoro.
artinya, beliau menyamakan perbuatan orang yang mengagungkan kuburan dengan perbuatan kaum Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kubur Nabi-Nabi sebagai masjid.


Mas Ajam, telah kami sampaikan bahwa Allah ta’ala melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid. Kata masjid disini jangan diartikan sebagai masjid tempat shalat kaum muslimin . Kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud.
Jadi terjemahannya adalah
Allah ta’ala melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.
maknanya adalah
Allah ta’ala melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menyembah kuburan.


al akh MUTIARAZUHUD
Rosululloh menyebutkan laknat Alloh kepada Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan para Nabi sebagai masjid. bersamaan dengan itu, beliau melarang umatnya, yakni kaum Muslim agar jangan menjadikan kuburan beliau sebagai masjid.
artinya, beliau menyamakan perbuatan orang yang menjadikan kuburan beliau sebagai masjid dengan perbuatan Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kubur para Nabi sebagai masjid. terlepas dari perbedaan makna masjid bagi kaum Yahudi dan Nashrani dengan makna masjid bagi kaum Muslim, namun perbuatannya adalah sama. kalau tidak, lalu apa gunanya kedua hal itu disebutkan bersamaan?
lalu mengenai masjid itu sendiri, kan sudah ana sebutkan 3 pemaknaan oleh para ulama, dimana yang dimaksud dengan masjid memang tidak harus melazimkan adanya bangunan fisik yang ada kubahnya, ada menaranya, ada mimbarnya dll yang kita kenal selama ini. maksud dari “MENJADIKAN KUBUR SEBAGAI MASJID”, bisa bermakna sholat di pekuburan sekalipun tidak ada bangunan fisiknya; bisa bermakna ada bangunan fisiknya yaitu masjid; bisa bermakna sholat menghadap ke kuburan.


Mas Ajam, “larangan menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”
Sedangkan sholat dihadapannya atau di dekat kuburan , hukumnya makruh , menghindari fitnah orang yang melihatnya.
Boleh saja dalam masjid, samping kanan, kiri, depan, belakang masjid ada kuburan. Namun jika ingin kuburan ada di dekat masjid sebaiknya di samping masjid. Kuburan yang “terpaksa” di dalam masjid , umumnya terjadi karena perluasan masjid seperti yang terjadi di masjid Nabawi Madinah. Kalau ada kuburan di dalam masjid, maka disarankan mereka yang sholat persis menghadap kuburan atau shaf yang persis menghadap kuburan diisi pada saat tempat lain sudah penuh.
Oleh karenanya sebagian ulama berpendapat perlunya niat sholat dilafazkan baik dalam hati atau secara perlahan adalah untuk secara bathin “menghilangkan” apapun antara tempat sholat kita dengan kiblat (ka’bah) dengan kalimat “mustaqbilal kiblati” .
Kalimat “mustaqbilal kiblati” juga untuk mengukuhkan arah kiblat secara bathin akan kemungkinan kesalahan arah kiblat walau kesalahan beberapa derajat saja.
Mas Ajam, dan ust Firanda adalah contoh korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi.
Berdasarkan analisa kami, empat gerakan yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2. Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing dengan metodologi “terjemahkan saja” hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
3. Paham anti tasawuf untuk merusak akhlak kaum muslim karena tasawuf adalah tentang Ihsan atau jalan menuju muslim yang Ihsan
4. Paham Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (SEPILIS) disusupkan kepada umat muslim yang mengikuti pendidikan di “barat” .
Contoh bukti korban ghazwul fikri adalah adanya yang memahami ayat-ayat mutasyabihat secara harfiah / dzahir atau memahami dengan metodologi “terjemahkan saja” hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi)
Contoh bukti lain korban ghazwul fikri yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi yang merupakan taktik “adu domba” adalah terjadinya pergesekan, perselisihan diantara kaum muslim diakibatkan adanya mereka yang “membenci” Maulid Nabi dan tahlilan.
Selengkapnya dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/26/bukti-korban/ danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/24/korban-perang-pemahaman/


yah…metode main tahrif seperti antum inilah yang serupa dengan Jahmiyah dan Mu’tazilah. tapi kok masih ngeyel gak mau disebut pengikut Jahmiyah dan Mu’tazilah?
Rosululloh melarang para sahabatnya menjadikan kubur beliau sebagai masjid karena beliau tidak ingin mereka terkena laknat Alloh sebagaimana kaum Yahudi dan Nashrani. apa makna “MENJADIKAN KUBUR SEBAGAI MASJID”? sudah ana terangkan sebelumnya menurut pendapat para ulama.
sedangkan menurut antum : Mas Ajam, “larangan menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”.
ini dari mana ya akhi? antum seringkali mengolok-olok Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Al Albani dan ulama “wahabi” yang lain bukan mujtahid mutlak, tidak kompeten dalam berijtihad, namun antum sendiri juga membuat suatu “fatwa”, padahal seberapa kecilnya ilmu antum dibandingkan mereka? apakah antum merasa sudah sejajar dengan Imam 4 Madzhab yang antum anggap mujtahid mutlak?
antum juga berkata : Oleh karenanya sebagian ulama berpendapat perlunya niat sholat dilafazkan baik dalam hati atau secara perlahan adalah untuk secara bathin “menghilangkan” apapun antara tempat sholat kita dengan kiblat (ka’bah) dengan kalimat “mustaqbilal kiblati” .
ini juga dari mana asalnya? siapa ulama yang antum maksud itu dan apa dalilnya? kita ini sedang berdiskusi ilmiah ya akhi, bukan proses doktrinisasi, sehingga ana dan ikhwah lainnya harus manut ucapan antum sekalipun tidak ada bukti dan dalilnya.
============================================================
untuk masalah Ustadz Firanda adalah korban perang pemikiran, ana tidak akan membahasnya, karena ana sudah hafal kebiasaan antum suka mengalihkan pembicaraan kalau sudah kepepet.


Mas Ajam , silahkan antum mengikari ada makna majaz baik dalam Al Qur’an maupun dalam Hadits.
Kami hanya menyampaikan bahwa “larangan menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”
Silahkan mas Ajam membaca penjelasan makna majaz dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/2011/06/23/makna-majaz/
Mas Ajam adalah korban ulama yang terkena ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi. Sebagaimana yang telah kami sampaikan dalamhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/26/bukti-korban/ telah kami uraikan hasil analisa kami bahwa empat gerakan yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2. Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing dengan metodologi “terjemahkan saja” hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
3. Paham anti tasawuf untuk merusak akhlak kaum muslim karena tasawuf adalah tentang Ihsan atau jalan menuju muslim yang Ihsan
4. Paham Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (SEPILIS) disusupkan kepada umat muslim yang mengikuti pendidikan di “barat” .
tulisan pada
Mas Ajam mengingkari makna majaz , hanya menterjemahkan secara harfiah
Contoh bukti korban ghazwul fikri adalah adanya yang memahami ayat-ayat mutasyabihat secara harfiah / dzahir atau memahami dengan metodologi “terjemahkan saja” hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) namun kurang memperhatikan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi)


yang sebenarnya jadi korban itu antum. terbukti antum hanya bisa ngeyel dan ujung2nya ngeluarin hadits/atsar/kisah palsu atau mengalihkan topik pembahasan. betapa seringnya antum berbicara tanpa dasar, tanpa sumber, tanpa bukti, tanpa dalil. pembicaraan antum mengenai majaz itu pun juga mengikuti model Jahmiyah dan Mu’tazilah.
ana bukannya mengingkari adanya majaz dalam Al Quran dan Al Hadits. yang ana ingkari adalah metode yang antum gunakan. enteng banget antum bilang ini majaz, itu majaz tanpa kaidah yang jelas dan pasti seolah-olah antum sudah setaraf mujtahid mutlak seperti Imam 4 madzhab.


Mas Ajam, para pengikut Mazhab Imam Syafi’i, termasuk Habib Munzir sudah paham bahwa “larangan menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”. Jadi boleh saja kuburan “terpaksa” masuk ke dalam masjid karena perluasan.
Imam As Syafi’i rahimahullah, “benci diagungkannya seorang makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah kepadanya dan kepada masyarakat” maknanya janganlah bersujud pada kuburan Beliau untuk menghindari fitnah terhadap yang melakukannya walaupun di hati yang bersujud tidak meniatkan untuk menyembah beliau hanya sekedar penghormatan kepada Beliau.
Begitupula apa yang dikatakan oleh Aisyah radiallahu anha “Kalau bukan karena itu, niscaya kuburan beliau dipertontonkan, padahal tindakan itu dikhawatirkan akan dijadikannya kuburan beliau sebagai masjid.” maknanya Kuburan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pertontonkan agar para peziarah tidak bersujud kepada kuburan Beliau menghindari fitnah terhadap yang bersujud maupun orang yang lain yang melihatnya walaupun di hati yang bersujud tersebut sekedar penghormatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


maksud antum Habib Munzir yang suka berdusta itu to? oh, pantesan aja. apakah beliau lebih tinggi ilmunya daripada Ibnu Taimiyah sehingga beliau lebih layak antum anggap mujtahid mutlak sedangkan Ibnu Taimiyah tidak?
kalau memang itu majaz, apa kaidahnya? apakah semua hadits Nabi itu bersifat majazi? kalau tidak, lalu kaidah apa yang digunakan untuk menentukan, ini hadits yang bisa langsung diambil dhohirnya, dan ini hadits yang bersifat majazi? ataukah ya pokoknya ini harus dianggap majazi (tanpa penjelasan apapun)?
============================================================
Ibnu Hajar Al Asqolani berkata : “Seakan-akan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui bahwa beliau akan wafat melalui sakit yang beliau derita, sehingga beliau khawatir kubur beliau akan DIAGUNGKAN seperti yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang yang berbuat seperti perbuatan mereka” [Fathul-Baariy, 1/532]
lihatlah…apa yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nashrani yang dilaknat Alloh bukanlah MENYEMBAH kuburan, melainkan MENGAGUNGKAN. sungguh beda antara keduanya.
lalu kembali pada perkataan Imam Syafi’i tadi bahwa yang beliau benci adalah DIAGUNGKANNYA makhluk sampai kuburnya dijadikan masjid. nah, bukankah apa yang dibenci oleh Imam Syafi’i ini sama dengan apa yang dilaknat oleh Alloh, yaitu PENGAGUNGAN terhadap kuburan sampai menjadikannya sebagai masjid?
maka janganlah memperlebar persoalan sampai pada PENYEMBAHAN, karena yang dibahas dalam hadits ini adalah PENGAGUNGAN terhadap kuburan. jika laknat Alloh jatuh pada perbuatan PENGAGUNGAN terhadap kuburan, tentu saja perbuatan ini hukumnya haram, karena setiap yang dilaknat pasti berdosa, dan setiap berdosa pasti haram dikerjakan. dan tentu saja pula lafadh MAKRUH dalam perkataan Imam Syafi’i tadi harus dibawa pada makna MAKRUH TAHRIM.
============================================================
adapun perkataan Habib Munzir kalau hanya sekedar PENGAGUNGAN dihukumi hanya MAKRUH, sedangkan kalau sudah taraf PENYEMBAHAN baru dihukumi HARAM, ini adalah perkataan yang mengada-ada tanpa kaidah dan dalil apapun.
namun anehnya, penghukuman MAKRUH ini berlainan dalam prakteknya. dengan sekuat daya upaya mementahkan hukum HARAM dan menetapkan hukum MAKRUH, ternyata justru hal yang dimakruhkan ini beliau anjurkan, bahkan dianggapnya SUNNAH. kalau konsekuen dengan ucapannya, harusnya beliau menganjurkan untuk meninggalkan hal-hal yang MAKRUH tadi, bukannya malah menganjurkan untuk mengerjakan dan menipu orang dengan iming2 pahala dan keutamaan.
tidak ada kata lain selain INNAA LILAAHI WA INNAA ILAIHI ROOJI’UUN.


Mas Ajam, perbedaan mendasar antara Ibnu Taimiyyah dengan Habib Munzir adalah Ibnu Taimiyyah adalah ulama yang tidak lagi mau mengikuti pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid) alias Imam Mazhab. Beliau lebih cenderung belajar agama secara otodidak, muthola’ah (menelaah kitab)
Para ulama menyampaikan ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’ah” (menelaah kitab) semata dengan mengesampingkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahuan khushush dan dapat dipercaya) dikarenakan terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupan” dan “pendustaan” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaimana mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaan “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumuskan kedalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab berdasarkan akal pikiran dia sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan kesalahpahamannya.http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/04/taimiyahtobat.pdf
Penjelasan keterjerumusan beliau ke dalam “Tasybihillah Bikholqihi” dijelaskan dalamhttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Sedangkan Habib Munzir adalah ulama yang mengikuti pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid mutlak) alias Imam Mazhab dalam hal ini beliau mengikuti mazhab Imam Sayfi’i.
Pendidikan agama beliau peroleh dari orang tua=orang tua terdahulu bersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan didikan langsung Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.Selain itu beliau berguru kepada ulama-ulama yang bersanad ilmu tersambung kepada lisannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.


yah…ternyata antum masih dibutakan oleh tipu daya Habib Munzir. Ibnu Hajar Al Asqolani telah menggelari Ibnu Taimiyah dengan gelaran yang setinggi langit. kalaupun mengkritik, tidak ada dalam kritikan beliau kepada Ibnu Taimiyah yang menggelari dengan gelaran seperti Musyabbihah atau Mujassimah. bisa dikatakan, gelaran itu kepada Ibnu Taimiyah adalah “bid’ah” yang dibuat oleh Asy’ariyun masa kini. suatu kedzoliman amat besar kepada seorang ulama.
tentu saja, gelaran ini tidak aneh muncul dari golongan Asy’ariyah, karena seperti yang sudah lama ana sampaikan sejak dahulu bahwa aqidah Asy’ariyah itu mengadopsi aqidah Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Ibnu Abi Hatim Ar Rozi berkata : “Ciri Jahmiyah adalah mereka menamai ahlus sunnah dengan musyabbihah”. (Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201)
============================================================
kalo antum sudah tidak bisa diajak diskusi secara ilmiah, tidak bisa menjawab argumen ana, sebaiknya antum cukupkan untuk tidak membuat artikel-artikel dusta lagi, karena dosa yang akan antum tanggung bukan hanya dosa dari antum sendiri, namun juga menanggung dosa dari orang-orang yang mengikuti kedustaan antum.


Mas Ajam, silahkan saja baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdfuntuk mengetahui siapa sebenarnya ulama Ibnu Taimiyyah.
Contohnya,
Dalam kitab ad-Durar al Kaminah juz I, hlm. 154-155 bahwa para ulama menyebut Ibnu Taimiyah dengan tiga sebutan: Mujassim, Zindiq, Munafiq. Ibnu Hajar menyatakan; Ibnu Taimiyah menyalahkan sayyidina ‘Umar ibn al Khaththab – semoga Allah meridlainya-, dia menyatakan tentang sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau masuk Islam di saat tua renta dan tidak menyadari betul apa yang beliau katakan (layaknya seorang pikun). Sayyidina Utsman ibn ‘Affan –semoga Allah meridlainya-, masih kata Ibnu Taimiyah- mencintai dan gandrung harta dunia (materialis) dan sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib –semoga Allah meridlainya-, – menurutnya- salah dan menyalahi nash al-Qur’an dalam 17 permasalahan, ‘Ali menurut Ibnu Taimiyah tidak pernah mendapat pertolongan dari Allah ke manapun beliau pergi, dia sangat gandrung dan haus akan kekuasaan dan dia masuk Islam di waktu kecil padahal anak kecil itu Islamnya tidak sah.
Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karyanya Hasyiyah al Idlah fi Manasik al Hajj Wa al ‘Umrah li an-Nawawi, hlm. 214 menyatakan tentang pendapat Ibnu Taimiyah yang mengingkari kesunnahan safar (perjalanan) untuk ziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam: “Janganlah tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang disesatkan oleh Allah seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang lebar juga telah membantahnya dalam sebuah tulisan tersendiri.
Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad ini tidaklah aneh karena dia bahkan telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dan atheis. Ibnu Taimiyah menisbatkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah, ia menyatakan Allah memiliki arah, tangan, kaki, mata (yang merupakan anggota badan) dan hal-hal buruk yang lain. Karenanya, Demi Allah ia telah dikafirkan oleh banyak para ulama, semoga Allah memperlakukannya dengan kedilan-Nya dan tidak menolong pengikutnya yang mendukung dusta-dusta yang dilakukan Ibnu Taimiyah terhadap Syari’at Allah yang mulia ini”.
Pengarang kitab Kifayatul Akhyar Syekh Taqiyy ad-Din al Hushni (W 829 H), setelah menuturkan bahwa para ulama dari empat madzhab menyatakan Ibnu Taimiyah sesat, dalam
kitabnya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa tamarrada beliau menyatakan:
فصار كفره (ابن تيمية) مجمعا عليه
“Maka dengan demikian, kekufuran Ibnu Taimiyah adalah hal yang disepakati oleh para ulama”.
Adz-Dzahabi (Mantan murid Ibnu Taimiyah) dalam risalahnya Bayan Zaghal al Ilmi wa ath-Thalab, hlm 17 berkata tentang Ibnu Taimiyah:
”Saya sudah lelah mengamati dan menimbang sepak terjangnya (Ibnu Taimiyah), hingga saya merasa bosan setelah bertahun-tahun menelitinya. Hasil yang saya peroleh; ternyata bahwa penyebab tidak sejajarnya Ibnu Taimiyah dengan ulama Syam dan Mesir serta ia dibenci, dihina, didustakan dan dikafirkan oleh penduduk Syam dan Mesir adalah karena ia sombong, terlena oleh diri dan hawa nafsunya (‘ujub), sangat haus dan gandrung untuk mengepalai dan memimpin para ulama dan sering melecehkan para ulama besar. Lihatlah Wahai pembaca betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimilikinya dan betapa nestapanya akibat yang ditimbulkan dari gandrung akan popularitas dan ketenaran. Kita mohon semoga Allah mengampuni kita”.
Adz-Dzahabi melanjutkan:
“Sesungguhnya apa yang telah menimpa Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya, hanyalah sebagian dari resiko yang harus mereka peroleh, janganlah pembaca ragukan hal
ini”.
Risalah adz-Dzahabi ini memang benar adanya dan ditulis oleh adz-Dzahabi karena al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) menukil perkataan adz-Dzahabi ini dalam bukunya al I’lan bi at-
Taubikh, hlm. 77.
Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu Taimiyah juga mencelanya.
Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga melakukan hal yang sama, sejak membaca pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas
Kursi dan telah menyisakan tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu Taimiyah. Abu Hayyan mengatakan: “Saya melihat sendiri hal itu dalam bukunya dan saya tahu betul tulisan tangannya”. Semua ini dituturkan oleh Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr al Maadd min al Bahr al Muhith.. Ibnu Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374, Syarh Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I , hlm. 262. Keyakinan seperti ini jelas merupakan kekufuran. Termasuk kekufuran Tasybih; yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah. Ini juga merupakan bukti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl (Pernyataannya sering bertentangan antara satu dengan yang lain). Bagaimana ia mengatakan -suatu saat- bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain- mengatakan
Allah duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh sangat kecil di banding ‘Arsy.
Setelah semua yang dikemukakan ini, tentunya tidaklah pantas, terutama bagi orang yang mempunyai pengikut untuk memuji Ibnu Taimiyah karena jika ini dilakukan maka orang orang tersebut akan mengikutinya, dan dari sini akan muncul bahaya yang sangat besar. Karena Ibnu Taimiyah adalah penyebab kasus pengkafiran terhadap orang yang ber-tawassul, beristighatsah dengan Rasulullah dan para Nabi, pengkafiran terhadap orang yang berziarah ke makam Rasulullah, para Nabi serta para Wali untuk ber-tabarruk. Padahal pengkafiran seperti ini belum pernah terjadi sebelum kemunculan Ibnu Taimiyah. Sementara itu, sekarang ini para pengikut Ibnu Taimiyah juga mengkafirkan orangorang
yang ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi dan orang-orang yang Saleh, bahkan mereka menamakan Syekh ‘Alawi ibn Abbas al Maliki dengan nama Thaghut Bab as-Salam (ini artinya mereka mengkafirkan Sayyid ‘Alawi), karena beliau -semoga Allah merahmatinya- mengajar di sana, di Bab as-Salam, al Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah.


yang kita bahas itu kan tentang tuduhan aqidah Tasybih dan Tajsim pada Ibnu Taimiyah, kenapa jawaban antum selalu menyimpang dari pembahasan awalnya? sekarang jelaskan pada ana, siapa ulama yang menyebut Ibnu Taimiyah telah jatuh pada aqidah Tasybih dan Tajsim? apakah Ibnu Hajar Al Asqolani pernah mengatakan Ibnu Taimiyah telah jatuh pada aqidah Tasybih dan Tajsim? apakah Al Haitsami? apakah Al Haitami? apakah Adz Dzahabi?
perlu antum lebih teliti lagi dalam menerima berita mengenai Ibnu Taimiyah karena ternyata banyak kedustaan yang dialamatkan pada beliau, seperti :
1) kata Ibnu Batutah bahwa Ibnu Taimiyah naik mimbar dan berkata Alloh istawa’ dan turun seperti sifat duduk dan turunnya beliau di atas mimbar.
2) Ibnu Taimiyah “bertaubat” dan menjadi seorang Asy’ariyun
3) Ibnu Taimiyah mendukung maulid nabi
4) Ibnu Taimiyah mencela Ali dan ahlul bait
dll…
seharusnya antum lebih waspada lagi karena sudah sering orang2 yang antum ambil perkataanya itu berdusta dalam berbagai persoalan. sering membawakan hadits palsu, atsar palsu, kisah palsu, dll.
============================================================
afwan pembahasannya jadi menyimpang, karena ana merasa perlu menyimpang untuk memberikan antum pemahaman dan pengertian


Mas Ajam silahkan periksa salah satu contoh bantahan terhadap pemahaman ala pemahaman Ibnu Taimiyyah padahttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf


al akh Mutiarazuhud
sudahkah antum pernah membaca riwayat hidup (biografi) Ibnu Taimiyah? benarkah beliau cuma belajar dari buku tanpa guru?
tidak cukupkah pujian Ibnu Hajar kepadanya sebagai Al Hafidz, Al ‘Allamah, At Taqiyuddin, dan Asy Syaikhul Islam ini membuat mata antum sedikit “MELEK” dengan kemuliaan Ibnu Taimiyah? bandingkan dengan Habib Munzir, ilmu hadits saja masih kurang.
justru Habib Munzir yang suka berdusta itulah yang suka menyelisihi “mujtahid mutlak” seperti Imam Syafi’i. semua kedustaannya telah dibongkar oleh Ustadz Firanda. kenapa mata antum masih “BUTA” dengan tipu dayanya?
============================================================
btw…antum sudah nyerah soal diskusi tentang hukum menjaidkan kuburan sebagai masjid?


Mas Ajam, tentulah ulama Ibnu Taimiyyah tidak belajar tanpa guru sama sekali. Namun beliau lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab).
Para ulama menyampaikan ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’ah” (menelaah kitab) semata dengan mengesampingkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahuan khushush dan dapat dipercaya) dikarenakan terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupan” dan “pendustaan” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaimana mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaan “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumuskan kedalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam “Tasybihillah Bikholqihi” (penyerupaan Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab berdasarkan akal pikiran dia sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan kesalahpahamannya.http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/04/taimiyahtobat.pdf
Penjelasan keterjerumusan beliau ke dalam “Tasybihillah Bikholqihi” dijelaskan dalamhttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Kami tetap berpendapat sebagaimana para pengikut pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid / imam mazhab) yakni Imam Syafi’i bahwa “larangan menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”. Jadi boleh saja kuburan “terpaksa” masuk ke dalam masjid karena perluasan.
Silahkan mas Azam mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah , ulama yang tidak lagi mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid / imam mazhab), beliau lebih bersandar kepada akal pikirannya sendiri.
Mereka yang tidak mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid / imam mazhab) pada hakikatnya tidak mentaati Sunnah Rasulullah bahwa jika terjadi perbedaan pemahaman maka kita di-sunnah-kan berpegang kepada kesepakatan jumhur ulama
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (kesepakatan jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menyendiri (memisahkan diri), maka dia akan menyendiri (masuk) ke dalam neraka”
Atsar Umar bin Khaththab R.A, berkata: “Hendaknya kalian berpegang teguh kepada jama’ah dan tidak bercerai berai. Sesungguhnya syaithan bersama satu orang, dan jarang bersama dengan dua orang. Barangsiapa menghendaki kenikmatan hidup di sorga, maka hendaknya dia berpegang teguh kepada jama’ah”.
Mereka yang memisahkan diri dari pendapat / pemahaman jumhur ulama adalah yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “orang-orang muda”, mereka bagaikan “meluncurnya anak panah dari busurnya”. Silahkan baca uraian kami padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/15/orang-orang-muda/


Ajam, ane masih cetek, awam…tapi saya tahu, dari saya sekolah di Mts Muhammadiyah Bekasi dan disuruh baca buku Majelis Tarjih Muhammadiyah, ngaji ama beberapa Habib, Ustadz baik dari NU, ‘Alawiyyin, PERSIS, Tarbiyah bahkan Salafi sekalipun (karena teman ane yg di LIPIA kebanyakan kalau tdk Tarbiyah/Ikhwani ya Salafi), kalau bicara fiqih….pd saat membaca dalil, harus paham illatnya.
dan istilah Makruh jelas Makruh, itu sudah kesepakatan mayoritas ulama Madzhab Syafi’i.
beda kalau Madzhab Maliki atau Hanafi, atau pun Hambali….mungkin kata makruh dalam fiqih bisa dipahami Haram. ane tahu ini justru dari teman-teman yg mengaji dan juga dari eBook.
Tapi ini kan sudah dinyatakan, kita ngomong dlm konteks Madzhab Syafi’i …makruh ya jelas makruh. Jangan bawa statement dari ulama yg bukan bermadzhab Syafi’i…dan yg dilihat adalah mayoritas dari Madzhab Syafi’i nya. Ajam harus paham masalah ini.
Imam Bukhori faqih, bermadzhab Syafi’i, tetapi tatkala menulis Kitab Hadits Shohihnya tsb…harus diperhatikan apa lebih mengarah ke penulisan Hadits, Fiqih, atau lintas disiplin ilmu??
bedakan Shohih Bukhori dgn al-Muwattho’ atau Musnad Imam Ahmad, lalu karya Imam at-Tirmidzi dsb dsb dsb. ada yg khusus utk kompilasi hadits (ini sering dikaitkan dgn Shohih Bukhori, Musnad Imam Ahmad), ada yg diberi syarah fiqihnya (al-Muwattho), ada yg lintas disiplin ilmu (banyak ulama memberi penilaian tsb thd karya Imam at-Tirmidzi).
Kalau Ajam sering baca ebook/artikel, apalagi talaqqi langsung…mestinya paham ini. Tapi masalanya, bacanya, ngajinya…buat cari pemahaman, atau buat cari dalil menjatuhkan yg berbeda pendapat nih???
contoh lagi, Bulughul Marom , lebih kental nuansa kajian hadits ketimbang fiqihnya. bisa dibilang kompilasi Hadits utk Fiqih. Namun kalau bicara syarahnya, Subulus-Salam, sudah sangat jelas lebih kental nuansa fiqihnya ketimbang penjelasan Haditsnya.
Jawaban Ajam soal Tabayyun bagus….ane ndak suka debat kusir. walau ane sering dikritik teman ane yg lain soal ini.
kita gagas saja, pertemukan Habib Munzir dan Ustadz Firanda…mau tidak?!
kalo soal channel ke Habib Munzir…disini banyak yg aktivis Majelis Rasulullah, atau minimal simpatisan kayak ane. kita bisa bicarakan itu. Lalu ajam yg kontak Ustadz Firanda. lalu kita set diskusi,ishlah, tabayyun atau apa pun itu istilahnya….sehingga bisa clear, dan bisa mengurangi polemik. Bagaimana?
Karena memang bahasa tulisan/kitab, beda dgn bhs diskusi langsung….
dari penelusuran jidal di kitab-kitab (ane masih ummiy, jadi cuma baca terjemahan, atau minta Koko dan teman ane yg mumpuni terjemahin)….jidal di Kitab umumnya keras. Tapi tatkala bertemu langsung, biasanya lebih elegan.
Tapi kalau bilang ah “saya tdk bisa/mampu”…berarti anda tdk usah ngomong tabayyun lagi. wong tdk niat…dan tdk berani.
dan kalau pakai dalil..”saya tdk mau ketemu Ahli Bid’ah”….ya jelas siapa yg tdk niat clear/resolve problem. Bahkan sudah tradisi ulama zaman dahulu jidal dgn Ahli Bid’ah dan non-muslim yg mendisreditkan Islam, dgn syarat ulama tsb mumpuni di jidal/debat.
jadi mestinya mau dong.
Bagaimana????


kalau begitu, antum belajarnya harus lebih dalam lagi, karena ternyata sekarang antum menemui hal-hal baru yang belum antum ketahui sebelumnya.
perkataan antum : “dan istilah Makruh jelas Makruh, itu sudah kesepakatan mayoritas ulama Madzhab Syafi’i.” ini dasarnya apa? dari kata-katanya saja sudah menunjukkan ketidakjelasan. kalo kesepakatan ya kesepakatan, kalo mayoritas ya mayoritas. mana yang benar?
Imam Al ‘Aini berkata : “Para ulama Mutaqoddimin biasa menyebutkan kata makruh padahal maksud mereka adalah makruh tahrim.” (Umdatul Qori 3/387 dan Muqoddimah Tuhfatul Ahwadzi 324-328)
mengenai Imam Bukhori, ana rasa penjelasan ana terdahulu sudah sangat jelas. ketika beliau berbicara tentang ini hukumnya haram, ini hukumnya makruh, ini hukumnya mubah, dll, beliau berbicara sebagai seorang ahli fiqih. pembicaraan tentang halal, haram, wajib, sunnah, makruh, mubah adalah pembicaraan dalam disiplin ilmu fiqh.
coba antum tanyakan pada ustadz, kyai, ulama, atau guru agama yang antum ikuti, apakah pembicaraan tentang hukum itu masuk disiplin ilmu hadits atau ilmu fiqih? kalau sudah, silakan kembali kesini, kita berdiskusi lagi.
==============================================================
taruhlah bahwa benar yang dimaksud Imam Syafi’i adalah makruh tanzih yang tidak melazimkan dosa. maka bukankah hal ini justru menjadi perkataan yang kontradiktif ketika beliau mendasarkan perkataannya itu pada hadits2 tentang laknat Alloh? sesuatu yang dikenai laknat, pastilah sesuatu yang berdosa apabila dikerjakan.
dan bukankah Imam Syafi’i sendiri telah berkata : “Apabila ada pendapatku yang menyelisihi hadits Nabi, maka tinggalkanlah pendapatku.”. maka sebagai seorang pengikut Imam Syafi’i sejati (bukan cuma ngaku-ngaku), seharusnya kita tinggalkan pendapat Imam Syafi’i tadi lalu kita ambil hadits Nabi.
==============================================================
kalau mempertemukan Ustadz Firanda dengan Habib Munzir, ana tidak bisa menjadi akomodatornya, karena ana tidak begitu kenal ustadz Firanda secara personal. lagipula beliau saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Madinah. namun kalau ada gagasan seperti itu, ana sangat mendukung sekali.
atau kalau ustadz Firanda berhalangan hadir, mungkin bisa diwakilkan oleh ustadz lain yang berdomisili di Indonesia. ana kira kalo seperti ini tidak akan menjadi masalah karena permasalahan yang terjadi adalah permasalahan umat, bukan permasalahan pribadi antara mereka.


Ajam, ente lebih alim…ane akui itu.
ane kan awam.
tapi ane tanya, Imam Bukhori itu Mutaqoddimin atau Muta-akkhirin?
kalau dibeli “Bab…yg dibenci”, jadinya haram atau makruh?
lalu tidak semua yg sekilas bertentangan, dianggap benar-benar kontradiktif.
termasuk pendapat ulama yg berkata makruh, padahal dzhohir teks sekilas terlihat mengharamkan….
kan banyak pertimbangan, terutama ‘illat.
kalau kayak begitu…repot lho.
semua hadits dgn mengandung kalimat “Tidak beriman” benar-benar dimaknai tidak beriman.
lalu hadits mencaci maki orang yg seagama adalah fasiq cuma harus dipegang sesederhana itu.
dan perkataan “Habib X pendusta…..Ini bukan perbuatan seorang yg beriman”, berarti yg berkata demikian, bisa dibilang fasiq dong?
tentang temu langsung antar ulama (atau yg dianggap ulama) dari berbagai komunitas, memang ide yg menarik, dan sepertinya bisa menyelesaikan atau mengurangi banyak masalah akibat beda pemahaman…seperti kasus hisab vs rukyat, tuduhan sesat kpd gol lain, lalu salafi vs non salafi….
Ajam mau merekomendasikan siapa yg mewakili Salafi?
apa bisa kontak ke mereka utk hadir sesuai usulan ini?
ane sih cuma simpatisan.
tapi kalau lihat dari banyak blog, dari komunitas non-salafi, apalagi dari Nahdhiyyin dan Haba-ib/’Alawiyyin, seperti banyak yg mau menerima “tantangan” tsb


antum berkata:
kalau dibeli “Bab…yg dibenci”, jadinya haram atau makruh?
ana jawab:
tinggal kita lihat konteks secara keseluruhan. jangan hanya lihat pada lafadh “dibenci”-nya saja. kita lihat dulu, sesuatu yang dibenci itu apakah dilaknat oleh Alloh, apakah mendatangkan mudhorot, apakah bertentangan dengan syariat, dll. jika iya, maka kita bawa lafadh makruh itu pada makna makruh tahrim. jika tidak, maka makruh tanzih. contoh hal yang dibenci yang ana bawakan adalah Niyahah (meratapi mayit), Namimah (adu domba), dan mendoakan mayit orang kafir. tidak perlu ana jelaskan satu per satu, namun ana sangat yakin bahwa antum pasti sepakat bahwa itu semua hukumnya haram.
lalu bagaimana bisa Imam Bukhori mengatakan perkara di atas itu makruh padahal hukumnya haram? apakah beliau salah dalam ijtihad? jawabnya TIDAK. karena makruh yang beliau maksud adalah makruh tahrim.
kalau berhubungan dengan ‘Illat, mungkin yang antum maksud adalah, apabila ‘illatnya terpenuhi, maka hukumnya haram, dan apabila ‘illatnya tidak terpenuhi, maka hukumnya makruh (tanzih). sekarang coba jelaskan pada ana, ‘illat apa yang membuat perbuatan Niyahah, Namimah, dan mendoakan mayit orang kafir itu menjadi makruh (tanzih), sehingga kita tidak berdosa apabila melakukannya?
dan jika ‘illat ini dikaitkan dengan hukum semua perkara, maka jelaskan pula apa ‘illat yang membuat perbuatan riba, membunuh, mencuri, zina, menyekutukan Alloh, murtad, dll hukumnya menjadi makruh (tanzih)?
============================================================
tentang “pertemuan” antara salafi dengan asy’ari, terus terang ana tidak punya kontak dengan “wakil” dari salafi. ana dari madiun, suka ngaji di Yayasan Nashrus Sunnah. dulu ustadznya Abdullah Taslim, namun beliau saat ini sama dengan Ustadz Firanda sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Madinah. lalu beliau digantikan oleh Ustadz Adi Faisal, namun beliau baru saja masuk di program magister di Universitas Madinah. sekarang belum ada ustadz pengganti, jadi ana tidak punya kontak dengan “wakil” salafi.
termasuk kekecewaan ana juga menjadi orang yang enggak gaul dengan ustadz maupun ikhwah salafi yang lain.
============================================================
namun ana ingin bertanya dulu, apa yang nanti akan kita bahas jika kita sudah mempertemukan Ustadz Firanda dengan habib Munzir?


contoh memahami qoul kibar Madzhab Syafi’i, bisa lihat di:
http://almanar.wordpress.com/2011/10/08/imam-izzuddin-haramkan-salaman-setelah-shalat/
terutama bagian kalimat:
“Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.”


wah.. ati2 tuch,, kuwalat ntar..


nah kalau ustadz Firanda di Madinah, mestinya tdk gegabah seperti ini, publish di internet. kan bisa email atau tulis surat via japri.
bagaimana pun Habib Munzir adalah Ahlul Bait, ada adab utk menghormatinya, bahkan sampai mengkritiknya.
mestinya diperlakukan sama, seperti sesama ustadz/pemuka Salafi, mengkritik sesama mereka. bahasanya sopan.
Terus Ajam tanya lagi apa yg mau dibahas….ya sudah jelas lah tuduhan/kata Dusta yg ditautkan kpd Habib Munzir.
nanti Ajam balik lagi, lha Habib Munzir mengkritik Syeikh Baz saja tdk tabayyun.
ane kembalikan lagi…lha banyak orang salafi radikal (memang tdk semua salafi begini, makanya ane pakai klausa radikal) mengkritik dan mendiskreditkan Sayyid M. Alwi al-Maliki, tanpa tabayyun dulu kpd beliau.
juga ada statement bahwa kira-kira “bukan begini perbuatan seorang yg beriman” yg disematkan kpd salafus-sholih, dan juga “salah ijtihad” kpd kibar nya ulama, syaikhul Islam, dan Imam…macam Imam Nawawi dan Ibnu Hajar.
mestinya tabayyun dulu, dgn mengkaji semua karya ulama tsb, dan memahami madzhab atau kata orang IT (karena ane orang IT) adalah “Algoritma” nya dulu, baru bisa putuskan apakah kurang tepat/salah pendapat ulama tsb.
Ini bukan penganut madzhab Syafi’i atau Asy’ariyah…lalu baca lompat-lompat, pakai tafsir sendiri, terus bilang “si ulama X salah lho”…ya sikap yg kurang bijak lha, malah mungkin banyak salahnya.
baca kembali nukilan ane soal contoh memahami qoul kibar Madzhab Syafi’i, yg bisa lihat di:
http://almanar.wordpress.com/2011/10/08/imam-izzuddin-haramkan-salaman-setelah-shalat/
kalau begitu kita sudahi diskusi dgn Ajam, tdk usah diperpanjang lagi, toh tdk berguna, dan buang waktu.
pesan ane, hargai pendapat atau ijtihad pihak lain.
dan kalau menegur pakai adab.
jangan cepat menyalahkan orang lain, apalagi sampai menyematkan kata dusta.
Wassalam – Nugon
dan mestinya dilakukan secara 4 mata, baru naik ke tempat umum.
dan dgn bhs sopan.
apalagi suka atau tidak , Habib Munzir ini da’i, pengaruh dakwahnya lumayan kuat ke khalayak umum.
cara Ustadz Firanda ini kontra-produktif, dan menyebabkan orang awam bingung, mana da’i yg harus didengar…walhasil kalau tdk apatis dan cuek thd da’i, sehingga menjauhi kajian agama….ya paling tdk beralih ke da’i karbitan yg cuma utk jual rating di TV.


kalau Ustadz Firanda gegabah, kok bisa beliau memberikan penjelasan begitu rinci dan detail tentang kedustaan Habib Munzir. beliau cukup membaca buku yang ditulis oleh Habib Munzir. tidak perlu menemui langsung kepada orangnya, karena tulisan itu sudah cukup mewakili keadaan seseorang sebenarnya.
apakah karena beliau di Saudi sedangkan Habib Munzir di Indonesia lantas hal ini menjadi udzur bagi beliau untuk mengkritik Habib Munzir? kalau begitu, bagaimana dengan Habib Munzir sendiri yang mengkritik Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh Utsaimin dan lain-lain? apakah pernah beliau menemui langsung orang-orang yang beliau kritik itu?
tentang ahlul bait, hal ini masih belum bisa Habib Munzir buktikan. kalo sekedar ngaku-ngaku dan menyebutkan nama-nama silsilahnya, semua orang juga bisa. dan kalaupun toh beliau benar seorang ahlul bait, maka hal ini tidak membuat beliau kebal dari kritik, karena tidak ada seorang pun yang ma’shum di dunia ini. apalagi, nasab dan sanad yang bersambung kepada Nabi ini menjadi senjata saat beliau kepepet dalam berdiskusi. ini membuktikan bahwa beliau tidak bisa berdebat secara ilmiah dengan dalil dan hujjah.
============================================================
tentang apa yang akan dibahas nanti, sebetulnya ana lebih sreg jika yang dibahas adalah tentang permasalahan kuburan, bukan masalah Habib Munzir berdusta atau tidak, karena sudah jelas bahwa Habib Munzir itu berdusta.
============================================================
antum berkata:
nanti Ajam balik lagi, lha Habib Munzir mengkritik Syeikh Baz saja tdk tabayyun.
ane kembalikan lagi…lha banyak orang salafi radikal (memang tdk semua salafi begini, makanya ane pakai klausa radikal) mengkritik dan mendiskreditkan Sayyid M. Alwi al-Maliki, tanpa tabayyun dulu kpd beliau.
ana jawab:
lah, gimana to? kalo menurut ana memang tidak harus menemui orangnya langsung. yang bilang harus menemui langsung itu kan antum, lalu kenapa antum tidak konsekuen dengan apa yang antum haruskan itu?
Imam Ahmad ketika menulis kitab Ar Ro’du ‘alal Jahmiyah, apakah beliau menemui langsung tokoh Jahmiyah pada zaman itu, kemudian bertanya “apakah benar kamu begini, kamu begitu, bla bla bla…”?
============================================================
mungkin perlu antum belajar dulu apa itu “dusta” agar sedikit MELEK dengan keadaan habib Munzir.


Mas Ajam, tidak ada yang didustakan oleh Habib Munzir, beliau mengutip yang terkait dengan apa yang beliau sampaikan.


beliau berdusta karena beliau mengatakan “Imam Syafi’i berkata demikian…” padahal Imam Syafi’i tidak berkata begitu. apa yang dilakukan oleh beliau sudah memenuhi definisi dusta


Ajam….anda meragukan nasab seseorang…bahaya sekali.
kalau masih ragu, cek ke robithoh ‘alawiyah…bisa dicek nasab seorang ahlul bait.
anda lebih lancang dan tdk beradab dari pada Syeikh Baz yg mengakui ada ahlul bait dan ada adabnya. Beliau memang mengkritik keras prilaku ahlul bait yg menurutnya banyak bid’ah atau praktek yg mengarah kpd syirik…itu bisa kita dapati pd statement-statement Syeikh Baz. Tapi beliau tetap mengakui ada adab kpd Ahlul Bait, dan tetap mengakui nasab Ahlul Bait.
Ajam boleh mengkritik Habib Munzir berdusta, itu hak anda, tinggal hisabnya kpd Allah swt…tapi Ajam sendiri melakukan dusta yg jauh lebih besar. mendustakan nasab orang.
padahal masalah nasab….mengingkari nasab..termasuk dosa besar.
ane jadi saksi bahwa Habib Munzir, setidaknya kpd ane, adalah orang yg jujur, amanah.
karena ane tanya beberapa materi di kitab sifat 20 dari Habib Utsman yg ane bingung atau belum paham….yg materinya melebihi dari sifat 20 pd saat ane lagi kecil mengaji pd Ustadz Hassan, guru ane di Gang Liam Kedoya….juga lebih dalam dari materi sifat 20 yg ane dpt sewaktu sekolah di Mts Muhammadiyah Bekasi.
beliau tdk berani jawab, karena blm mengaji dan blm dpt sanad serta ijazah di kitab tsb. beliau coba bantu mengutip kitab sifat 20 karya ulama lain yg beliau sudah mengaji dan sudah dapat sanad/ijazah.
beliau juga sering jujur mengakui belum baca kitab ini-itu, belum menelaah detail fatwa madzhab lain…terkait suatu masalah yg ditanyakan di forum tanya-jawab Majelis Rasulullah.
dan beliau menerima ane yg muallaf, yg background belajar agaman-nya gado-gado…kadang dari Nahdhiyyin/’Alawiyyin, kadang dari Muhammadiyah, kadang dari Tarbiyah. beliau hanya mengomentari yg beliau paham dan sudah belajar….beliau tdk berkomentar berdasarkan asumsi atau praduga.
nah orang yg kayak begini, setidaknya buat ane..adalah orang yg jujur dan amanah.
memang Habib Munzir yg sudah ane anggap sebagai guru, walau beliau tdk mengangkat ane sebagai murid….beliau bukan ma’shum.
ada yg beliau tdk tahu, ada yg beliau salah atau kurang tepat dlm menyampaikan (setelah cross-check dgn thulab dan asatidz lain dari berbagai komunitas….seperti yg mondok di Ponpes NU, LIPIA, rekan yg kuliah di Al-Azhar Kairo…dan itu pun tdk fatal).
tapi kejujuran beliau, sikap amanah, totalitas penyerahan diri kpd dakwah beliau….itu semua sungguh dapat dipegang dan tdk perlu diragukan lagi.
dan yg Ajam serta Abul Jauza dan Ustadz Firanda tuduhkan…ane sudah cross-check ke thulab atau asatidz lainnya…Habib Munzir tdk berdusta sebgm yg dituduhkan.
Kesalahannya hanya adalah meringkas penyampaian dari nukilan kitab, langsung ke intisari menurut madzhab syafi’i, agar mudah diterima orang awam.
kalau kita tanya langsung secara detail, dan dianggap punya kompetensi dlm agama…bila Habib Munzir punya waktu, pasti beliau akan menerangkan dgn rinci berikut referensinya.
ane sudah alami, pd saat menanyakan khilafiyah sholat menurut fiqih 4 madzhab.
dan Ajam jgn telan mentah-mentah ucapan dari kubu sendiri atau kubu lawan.
harus cross-check dan riset ke berbagai pihak/sumber terkait, dari sana dpt menilai seseorang/sesuatu dgn lebih baik.
ane kasih tahu…adab dan akhlak Habib Munzir banyak mengundang simpati dari awam, muallaf dan non-muslim.
tapi dari beberapa kibar Salafi Radikal….yg dilihat adalah sikap keras, tdk ada keteduhan dlm dakwah, dan hanya suka jidal tanpa mau’idzhotil hasanah.
Istighfar dan Muhasabah-lah Ajam!!!


harap antum bedakan 2 keadaan:
1) ana mengakui klaim nasab Habib Munzir bersambung pada Rosululloh, kemudian ana menjelek-jelekkannya
2) ana meragukan klaim nasab Habib Munzir bersambung pada Rosululloh, kemudian ana mengkritiknya.
jika ana mengatakan Habib Munzir telah berdusta, itu tidak sama dengan apabila ana mengatakan Ali atau Hasan atau Husain berdusta, karena yang satu hanya ngaku-ngaku yang tidak bisa dibuktikan secara valid dan otentik, sedangkan yang lain sudah jelas dan terang.
lagipula, ana tidak pernah menjelek-jelekkan Habib Munzir. ana hanya katakan bahwa beliau berdusta, karena beliau mengatakan sesuatu yang lain dari keadaan sebenarnya. hal ini sudah diungkap oleh Ustadz Firanda, dan sampai sejauh ini tidak ada sanggahan ilmiah dari pihak Habib Munzir. beliau katakan “Imam Syafi’i berkata demikian dan demikian”, padahal Imam Syafi’i tidak berkata seperti itu.
janganlah antum membawakan contoh sikap jujur Habib Munzir untuk menafikan sikap kedustaannya. terus terang, ana dulu juga sering bohong sama ortu. suka nilep uang SPP, nilep udang buat beli buku, ijin mau belajar kelompok ternyata maen PS, dll. namun ana juga pernah bersikap jujur. nah, apakah sikap jujur ana ini bisa menafikan kebohongan-kebohongan ana pada ortu tadi?
antum berkata:
dan yg Ajam serta Abul Jauza dan Ustadz Firanda tuduhkan…ane sudah cross-check ke thulab atau asatidz lainnya…Habib Munzir tdk berdusta sebgm yg dituduhkan.
ana jawab:
itu hanya upaya Habib Munzir berdalih setelah kedustaannya terbongkar. jelas-jelas beliau berkata “Imam Syafi’i berkata….dst”. apakah antum tidak tahu bahwa apabila ulama meringkas suatu hadits dari Rosululloh dan menyaring intisarinya, mereka tidak menggunakan lafadh “Rosululloh telah bersabda…”.
dan lagipula, kalaupun Habib Munzir berniat mengambil intisari dari perkataan Imam Syafi’i, Ibnu Hajar dan Al Haitami, maka sangat jauh dan menyimpang dari perkataan aslinya.
============================================================
contoh lain kedustaan Habib Munzir yang diungkap oleh Ustadz Firanda adalah bahwa ketika terjadi musibah Tsunami di Aceh, banyak kaum muslimin yang sembunyi di masjid yang selamat. menurut beliau, ini menunjukkan bahwa petilasan orang2 sholeh itu membawa barokah. sedangkan orang yang lari ke tim SAR malah tidak selamat.
letak kedustaan yang paling jelas terlihat adalah, apakah beliau sudah memastikan bahwa Masjid itu peninggalan orang2 yang sholeh? bagaimana kalau yang berinfaq atau yang membangun masjid itu adalah orang2 yang cuma Islam KTP?
lalu bagaimana mungkin pada saat tsunami itu berlangsung, tim SAR sudah datang di lokasi kejadian sehingga orang-orang berlari pada mereka?
==========================================================
antum berkata:
ane kasih tahu…adab dan akhlak Habib Munzir banyak mengundang simpati dari awam, muallaf dan non-muslim.
tapi dari beberapa kibar Salafi Radikal….yg dilihat adalah sikap keras, tdk ada keteduhan dlm dakwah, dan hanya suka jidal tanpa mau’idzhotil hasanah.
ana katakan:
jangan karena antum disilaukan oleh kelemahlembutannya, kemudian antum buta dari kedustaannya. lihatlah para ulama ahli jarh wa ta’dhil ketika mencela seorang perowi yang berdusta atau memalsu hadits, mereka tidak menimbang-nimbang antara kedustaannya dengan akhlaqnya.
untuk menilai seorang perowi itu PENDUSTA, mereka tidak menyertakan komentar bahwa dia berakhlaq buruk, ahli maksiat, fasiq dll. kalau memang suka berdusta ya harus dinilai PENDUSTA


Mas Ajam, yang bilang Habib Munzir pendusta adalah “kaca mata” ust Firanda. Silahkan antum berpendapat mengikuti pendapat ust Firanda, tanggung sendiri akibatnya.
Pendapat kami, Habib Munzir mengutip bagian yang sesuai dengan apa yang disampaikannya dan tidak menghilangkan atau mengalihkan makna sebenarnya.
Apalagi dikatakan bahwa Habib Munzir berdusta atas nama Imam Syafi’i oleh ust Firanda yang bukan bermazhab Imam Syafi’i , jelas sebuah kekeliruan karena Habib Munzir belajar agama kepada guru-guru yang bermazhab Imam Syafi’i tentulah Habib Munzir lebih memahami perkataan Imam Syafi’i ~rahimahullah daripada ust Firanda , pengikut Ibnu Taimiyyah


Ustadz Firanda telah membawa sejumlah bukti yang sampai saat inipun tidak bisa dibantah oleh pihak Habib Munzir. malahan menuduh balik Ustadz Firanda sebagai pendusta karena “menuduh” Habib Munzir berdusta. padahal Ustadz Firanda telah membuktikannya, dan tidak sekedar mengada-ada.
bertolak belakang sekali dengan cara Asy’ariyun MENUDUH kepada salafiyun/wahabiyun. apa bukti bahwa Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkan seluruh umat Islam kecuali pengikutnya? apa bukti bahwa pasukan Wahabi membantai wanita dan anak-anak dalam penaklukan Hijaz? apa bukti bahwa wahabiyun menginjak-injak dan mengencingi kuburan ketika penaklukan Hijaz?
tidak cuma dalam MENUDUH, ternyata Asy’ariyun juga tidak memiliki bukti dalam MENGKLAIM. mengklaim sebagai pengikut Syafi’i, tapi dalam permasalahan kuburan malah bertolak belakang. mengklaim sebagai pengiktu Asy’ari, tapi dalam sifat2 Alloh dan ru’yatulloh malah bertolak belakang.


Mas Ajam, tidak ada yang perlu dibantah atas perbuatan ust Firanda terhadap Habib Munzir, biarkanlah ust Firanda menikmati hasil perbuatannya diakhirat kelak.
Diakui sebagai pengikut Imam Mazhab mengikuti aturan sanad atau isnad
Metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi adalah ijazah. Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan. Memberikan ijazah sangat penting. Menimbang agar tak terjadinya penipuan dan dusta dalam penyandaran seseorang. Apalagi untuk zaman sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis menjadi suatu keharusan
Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda artinya: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang. Yaitu, dari Abdillah ibn Mas’ud r.a., Saidina Salim r.a., Saidina Mu’az r.a. dan Saidina Ubai bin Ka’ab r.a.“. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Jadi ulama dikatakan boleh menyampaikan mazhab Imam Syafi’i harus memenuhi sanad ilmu dan kompetensi.
Pendapat Habib Munzir tentang permasalahan kuburan adalah sesuai dengan mazhab Imam Syafi’i .


termasuk kalau berdusta sama ortu juga disebut PENDUSTA ya hihihihihihihi…..dusta kok di banggain …..???????


pada 11 November 2011 pada 11:14 am | BalasYusuf Ibrahim
Dikatakan PENDUSTA itu ketika seseorg msh bersikukuh thd kedustaannya dan tdk mau mengakui kedustaan yg telah diperbuatnya……Jangankan bertaubat, mengakui-nya aja tidak….
Wallahu ‘alam……


wong tidak dusta kok suruh mengakui ????


udah ada beberapa orang berMUBAHALAH dgn muridnya habib Mundzir nggak muncul lagi kalau mas Ajam yakin apa yang di pahami silahkan ke link http://artikelislami.wordpress.com/mubahalah/ biar cepat selesai nggak debat kusir …………


udaaaaaah MUBAHALAH aja ………


TAKUT LUPA MAS YUSUF …..http://artikelislami.wordpress.com/mubahalah/ SILAHKAN


kalau itu udah di jawab Bang Haji Zon ……..ada juga di artikel Ummati ….ada juga di artikel islami …….bantahan udah , masih ngeyel aja knapa ????? la biar cepat selesai mubahalah kan jelas katanya hukum Alloh …………….kalau memang yang membela habib Mundzir salah kan tau konsekwensinya mas Yusuf dari pada akhirnya terjerumus jidal ………..


mumpung masih hidup habib cek aja biar nggak ada fitnah ………masalah silsilah yang masih hidup diragukan apalagi kalau udah wafat ….??? contoh WALI SONGO apa masih keturunan Nabi juga ??? cek aja kalau yang ragu biar jelas ………cek ke robithoh ‘alawiyah…bisa dicek nasab seorang ahlul bait……monggo mas Ajam dan mas Yusuf kalau antum benar2 mencari kebenaran ………


yang MENGKLAIM itu pihak situ, kok yang suruh ngecek pihak sini.
Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (Al Baqoroh 111)
ana tidak pernah berkata bahwa klaim mereka yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi itu adalah klaim dusta. ana hanya mengatakan, jangan hanya bisa ngaku-ngaku saja, namun tunjukkan buktinya. kalo gak bisa nunjukin ya udah terserah situ.
toh masyarakat akan menilai sendiri siapa yang benar dan siapa yang dusta


itu intinya nt hanya berprasangka spt nt menuduh habib Mundzir Dusta / pendusta bukan mencari kebenaran ……….kalau pihak ana klaim mang kenapa harus mengajukan bukti sama nt ??? apa pangkat nt ??? yang percaya aja banyak itu urusan yang nggak percaya silahkan cek …….udah dibilang nggak ada gunanya membicarakan hal yang tidak nt kuasai ………kan dah ana jelaskan kalau nt tetap ngeyel dan menuduh habib mundzir pendusta nt lari ke link yang nt dah tau tuh MUBAHALAH YANG SALAH BINASA kan simple mas Ajam …………


bukti itu bukan buat pihak sini (Ustadz Firanda atau salafiyun) tapi buat Alloh. kita sama sekali tidak dirugikan apabila klaim itu ternyata benar dan sama sekali tidak diuntungkan apabila klaim itu dusta.
yang rugi itu pihak situ (Habib Munzir atau Asy’ariyun). kalau klaim itu tidak bisa dibukatikan, maka itulah dusta.


bagaimana jika MUBAHALAH antara kita berdua saja. ‘Ajam dengan Mamo


Al Akh MUTIARAZUHUD
kita tinggalkan saja perkara Ustadz Firanda dengan Habib Munzir. daripada berlarut-larut, mendingan kita serahkan saja pada yang bersangkutan.
==============================================================
sebelumnya ana bertanya apa bukti dari tuduhan-tuduhan Asy’ariyun kepada Salafiyun selama ini, kok jawaban antum lagi-lagi NGELANTUR. oke, antum ingin membelokkan persoalan pada sanad, maka ana akan membahas soal sanad.
antum membawakan perkataan Ibnul Mubarok, Asy Syafi’i, Ats Tsauri dll tentang sanad. namun tahukah antum sanad yang mereka maksud sebetulnya adalah sanad hadits.
Sufyan Ibnu ‘Uyainah berkata: “Pada suatu hari Az-Zuhri menyampaikan satu hadits. Aku berkata padanya : ‘Sampaikanlah hadits itu tanpa sanad’. Ia (Az-Zuhri) berkata : ‘Apakah aku akan menaiki loteng tanpa tangga ?’.
Al Baqiyah berkata: “Telah menceritakan kepada kami ‘Utbah bin Abi Al-Hakam, bahwasannya ia pernah berada di tempat Ishaq bin Abi Farwah, dan bersamanya ada Az-Zuhri. Maka Ibnu Abi Farwah berkata : ‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam’. Az-Zuhri pun berkata : ‘Semoga Allah memerangimu ! Apakah gerangan yang menjadikanmu tidak menyampaikan sanad pada haditsmu ? (Dengan caramu itu), engkau telah menyampaikan hadits-hadits pada kami tanpa paruh dan taring”.
Syu’bah berkata: “Setiap hadits tanpa disertai perkataan : haddatsanaa (telah menceritakan kepada kami) dan akhbaranaa (telah mengkhabarkan kepada kami), maka ia (nilainya) seperti cuka dan sayuran”.
dll
semua ini menunjukkan pentingnya sanad dalam hadits, karena tanpa sanad, orang bisa berbicara dengan seenaknya atas nama Rosululloh ataupun sahabat ataupun ulama. contohnya, dalam blog UMMATI di topik tentang Khulafaur Rosyidin mendukung Maulidan, disebutkan atsar2 dari para sahabat tentang fadhilah dan pahala memperingati maulid Nabi. semua itu disampaikan tanpa sanad.
‘Abdush-Shamad bin Hassaan berkata : “Aku mendengar Sufyaan Ats-Tsauri berkata : ‘Isnad itu seperti senjata bagi seorang mukmin. Jika ia tidak mempunyai senjata, dengan apa ia bisa berperang ?”.
coba perkatikan perkataan Ats Tsauri. pondasi dinul islam itu dari Al Quran dan Al Hadits Ash Shohihah bukan? nah, Hadits Shohih itu butuh sanad bukan? nah, sanad mana yang lebih dibutuhkan? sanad guru atau sanad hadits?
=============================================================
sedangkan sanad guru yang antum maksud, maka ini tidaklah esensial dalam penerimaan hadits atau atsar atau khobar. silakan cek di kitab rijal, para ulama jarh wa ta’dhil ketika mencela atau memuji seorang perowi, tidak pernah menyangkut-pautkannya dengan apakah ia memiliki atau tidak memiliki sanad guru. jika ia, seorang yang ‘adhil dan dhobt, maka itu sudah cukup untuk dipuji. tidak perlu disebutkan “si fulan bin fulan mempunyai sanad guru sampai pada Rosululloh”.
==============================================================
sepertinya model berbangga-bangga diri dengan sanad guru ini baru ngetrend akhir2 ini saja, yakni ketika sudah tidak mampu berhujjah dengan dalil, maka dikeluarkan jurus “ini lho sanad guru bersambung sampai pada Rosululloh”.


Mas Ajam, sanad ilmu atau sanad guru, bukanlah model berbangga-bangga diri.
Kalau isnad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru menjelaskan otentfikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ,
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris
Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Semoga mas Ajam dapat memahami betapa pentingnya sanad ilmu atau sanad guru.


mohon al akh MUTIARAZUHUD kalo berdiskusi yang fokus. perhatikan kata-kata lawan diskusi dengan baik agar tidak ngelantur
ana katakan, sanad guru itu tidak terlalu esensial/penting dalam penerimaan hadits, khobar, atsar, kisah dll. buktinya, para ulama ahli jarh wa ta’dhil tidak mempermasalahkan apakah seorang perowi itu punya sanad guru atau tidak.
apalagi untuk zaman sekarang dimana sangat jauh masanya dari Rosululloh, sehingga apabila mengharuskan sanad guru, maka hanya beberapa orang saja yang bisa diterima khobarnya. belum lagi banyak orang yang suka NGAKU-NGAKU, maka akan sulit untuk menelusuri kebenaran pengakuannya.
model seperti ini hanya bid’ah bikinan orang-orang yang suka NGAKU-NGAKU sebagai keturunan Nabi zaman sekarang ketika mereka kalah dalam berdiskusi.
kalaupun toh Habib Munzir benar-benar adalah keturunan Nabi, beliau pun tidak ma’shum. beliau bukan orang yang tidak boleh dikritik, apalagi jika telah nampak kemungkaran padanya.


Mas Ajam, sanad hadits sama pentingnya dengan sanad ilmu / sanad guru.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.


jika penting, lalu kenapa para ulama jarh wa ta’dhil tidak menyebutkan sanad guru dalam menilai perowi?
jika penting, sudahkah antum mengetahui sanad guru semua ulama yang antum ikuti, semisal Ibnu Hajar Al Asqolani, Al Haitami, Al Ghozali, dll?
bahkan, sudahkah antum mengetahui sanad guru orang yang tulisannya antum copas?
===========================================================
antum bilang :
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru menjelaskan otentfikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
ana jawab :
disitu antum menyebutkan contoh rantai sanad guru adalah Rosululloh – Ibnu Umar – Nafi’ – Malik – Syafi’i.
bukankah dalam permasalahan tertentu, Malik dan Syafi’i berlainan pendapat (sehingga muncul Madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’i), padahal mereka dalam 1 rantai sanad yang sama. begitu juga Hanafi dan Syafi’i yang sama2 sanadnya bersambung sampai pada Rosululloh, kerap kali berbeda pendapat, bahkan perbedaannya dalam beberapa hal sangat tajam.
kalo mengikuti alur logika antum, seharusnya pendapat Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Ahmad itu semuanya benar, karena otentik dari Rosululloh. lantas jika ada pendapat Hanafi yang mengharamkan sesuatu sedangkan Syafi’i menghalalkannya, apakah bisa dianggap dua-duanya benar?
===========================================================
antum bilang :
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.
ana katakan :
antum kemaren ana tanyai tentang pendapat yang di luar 4 madzhab apakah langsung dianggap salah/sesat atau tidak, kemana saja antum tidak menjawab pertanyaan itu?
orang yang tidak bermadzhab dalam salah 1 dari 4 madzhab, bukan berarti mereka menyelisihi ke-4 madzhab tersebut, melainkan karena mereka menghindari terjerumus dalam sikap taqlid pada salah 1 madzhab.
toh, mereka yang tidak mau bermadzhab itu tetap menjadikan imam madzhab sebagai imam yang diambil ilmunya. jangan mentang-mentang berafiliasi kepada madzhab tertentu, misalnya Syafi’iyyah, maka lantas merasa lebih paham tentang madzhab Syafi’i daripada selainnya.


Mas Ajam, sanad hadits mempertanyakan atau menganalisa dari mana matan/redaksi hadits tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertanyakan atau menganalisa dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Perbedaan yang terjadi di antara para Imam Mazhab adalah salah satunya diakibatkan perbedaan keluasan atau kedalaman mereka memperoleh penjelasan dari guru-guru mereka disamping karunia dari Allah akan pemahaman yang dalam (hikmah).
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yakni ucapan-ucapan, perbuatan Beliau yang dinamakan Sunnah Rasul semuanya tersimpan dalam dada para Sahabat yang boleh dinamakan “Pemangku Hadits”. Para Sahabat, Pemangku Hadits ini, baik sebelum Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam wafat maupun sesudahnya, telah mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah Islam. Ada diantara mereka yang tetap di Mekkah, di Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, Iraq, Yaman, Persia, Hadharal-maut, Ethiopia, Sudan dan bahkan kabarnya ada yang sampai ke Timur jauh, ke Tiongkok dan lain sebagainya. Nasib Hadits agak malang ketika itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi tersimpan dalam ribuan dada dan hati Sahabat-Sahabat Nabi yang telah mengembara ke sana-sini.
Imam Abu Hanifah ra (Lahir 80 H, Wafat 150H) asalnya dari Persia dan kemudian menetap di Kufah dekat Bagdad. . Beliau kebanyakan mendapatkan ilmu dari wilayah Beliau menetap.
Imam Maliki bin Anas ra. (Lahir 93H – Wafat 179H) menetap di Madinah wilayah Beliau mendapatkan ilmu.
Imam Syafi’i ra. Awalnya beliau tinggal di Mekkah dan mendapatkan ilmu di sana, kemudian pindah ke Madinah dan mendapatkan ilmu di sana, pndah lagi ke Yaman dan mendapatkan ilmu di sana, pindah ke Iraq dan mendapatkan ilmu di sana, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Imam Syafi’i ra adalah salah satu Imam yang terluas wliayah mendapatkan ilmu.
Imam Ahmad bin Hanbal ra.(Lahir 164H – wafat 214H) Beliau lebih muda dari Imam Syafi’i 14 tahun. Memperoleh ilmu di wilayah kediamannya Iraq termasuk memperoleh ilmu dari Imam Syafi’i ra


walaupun saya masih awam, tapi saya bisa menilai, mana diskusi yg ilmiah, mana yg berjidal….coba berdiskusi lah satu satu, jangan ngelantur kemana2 supaya dapat titik temu,,jangan taqlid buta..


Walaupun saya masih awam, namun saya bisa menilai, mana diskusi yg ilmiah mana yg cuma berjidal..


he he he he ………yang jadi provokator itu siapa mas yusuf Ibrahim…….wallohi ana hanya melihat disini adanya suatu ghibah …nt nggak nyadar apa ??? liat komentar ana di atas kalau hal tsb benar ghibah kalau salah fitnah ……namun mas Ajam nggak mempan ana nasehati malah berkali kali bilang pendusta ……….waah kalau ana disuruh mubahalah sama nt dalam kapasitas apa mas Yusuf ??? yang sangat yakin kan nt ama mas Ajam dalam hal Habib Mundzir yang tau ilmunya kalau habib berdusta .ya silahkan nt mubahalah sama yang bersebrangan dgn nt dong ……..kalau nt nuduh ana musyrik baru itu urusan ana ama nt ayo mubahalah ….ana siap …..he he he berani nggak nt mubahalah masalah Habib Mundzir mas Yusuf ….????? takut lupa http://artikelislami.wordpress.com/mubahalah/ monggo ….kalau mas Nugon bukan menje;laskan masalah materinya namun berusaha mempertemukan keduanya ……
gimana mas Yusuf ????? udah baca artikelnya mas Syahid di ummati itu bantanhan ilmiyah …….kalau masih ngeyel ya mubahalah kan beres ………nggaka ada provokator yang ada prasangka buruk nt ……….


pada 16 November 2011 pada 9:09 pm | BalasYusuf Ibrahim
-mamo-
pertama, kalo habib munzir merendahkan dan mencela Syaikh Albani, Syaikn bin Baaz, Syaikh Sudaiss dll bukan ghibah, tp giliran ‘wahhabi’ yg mengkritik habib munzir dibilang ghibah…….kaidah yg hanya berlaku utk habib munzir dkk saja.
habib munzir merendahkan keilmuan dan mencela Imam Masjidil Haram Syaikh Sudais ;
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=24504#24504
habib munzir merendahkan keilmuan mantan Mufti Arab Saudi Syaikh bin Baaz ;
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=9&id=24085#24085
sebaiknya nasihat mas mamo itu ditujukan kpd sang habib
kedua, saya tdk meminta anda utk bermubahalah, tp saya meminta anda utk bersumpah, karena pelaksanaan mubahalah itu tidak sesederhana ucapan anda, saya kan dr awal memang kurang berselera utk mubahalah, berhubung mubahalah itu ide anda, jd saya HANYA meminta mas mamo utk bersumpah saja disini, cukup bersumpah atas nama Allah Subhanahu wata’ala…..
saya tdk ingin mubahalah karena saya msh ingin menuntut ilmu……kali aja dg bantahan dr habib munzir saya bs dpt ilmu baru….
ketiga, yg bilang mas mamo syirik sapa mas…..?????
keempat, ahmadsyahid yg tdk bs membedakan antara org mati dg org hidup itu????? ahmadsyahid yg membolehkan MAKAN TANAH KUBURAN utk menyembuhkan sakit perut????? ahmadsyahid yg membolehkan perbuatan menabur tanah kuburan dihalaman rumah utk ‘nolak bala’ itu?????
satu-satu dulu dh mas, itu lain masalah lg….nanti malah jidal lg……
Ya sudah….kalo mas mamo merasa ini ghibah, saya cukupkan saja…..
mohon maaf jjika ada kata2 saya yg salah…..semoga ada manfaat-nya……


sama sama mas Yusuf silahkan dgn keyakinan………..


kenapa yah saya kok jauh lebih percaya pada habib mundzir dari pada para ustadz2 wahabi.


pada 18 November 2011 pada 9:06 am | BalasYusuf Ibrahim
itu hak saudara ‘jey achmad’ jg sih, klo mas jey lbh percaya dg org yg telah mencela dan merendahkan Imam Masjidil Haram Syaikh Sudais al-hafidz dan mantan Mufti Saudi Arabia Syaikh bin Baaz, itu terserah mas jey…..
habib munzir yg dg tutur katanya yg ‘lembut’ bahkan menyebut Syaikh bin Baaz dg sebutan : “Mufti Saudi Arabia yg buta bernama Syeikh Ibn Bazz….”
laa haula walaa quwwata illa billah…..
padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujuroot : 11)
wallahu ‘alam….


mas Yusuf Ibrahim, mengenai link tentang kedustaan akhi Firanda bgm tuh..?..
Kalo memang itu benar adanya, dan antum sudah mafhum akan hal tersebut, sudah semestinya perkataan akhi Firanda tersebut tidak antum pakai sebagai rujukan….bagaimana mungkin antum akan mudah mengikuti perkataan orang yg antum sendiri telah mafhum klo dia pendusta…jelas2 suatu keanehan yg terbesar….ckckckck……..
Kecuali jika memang berita tentang kedustaan akhi firanda tersebut adalah berita bohong belaka, dan banyak yg menyaksikan bahwa akhi firanda adalah orang yg tsiqah dgn kesaksian orang yg tsiqah pula……maka antum boleh ambil perkataannya sebagai pegangan….
lg pula antum sendiri kan sudah sebutkan klo akhi firanda juga manusia dan tidak maksum….jadi ada kemungkinan beliau salah….atau lebih parah dari itu…
Kira2 bener gk logikanya..? SIlakan di koreksi bila keliru… ^_^


pada 17 November 2011 pada 1:42 pm | BalasYusuf Ibrahim
-abu umar-
pertama, soal link tsb, sudah ada tanggapannya langsung dr ust. Firanda, dan itu udh lama sekali, silahkan mampir ke TKP-nya jika memang pak abu umar ini sedang ingin mencari informasi berimbang :
lgpula, itu masalah lain mas abu dg yg sedang didiskusikan disini…….
kedua, saya dan mungkin umat muslim di seluruh dunia pastinya diajarkan bahwa tidak ada satupun manusia yg maksum (terlepas dr kesalahan) selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam…..
adapun pernyataan saya soal ‘bisa saja ust. Firanda salah dalam masalah ini (soal habib munzir)’, itu soal kapasitas ust. Firanda yg notabenenya adalah seorg manusia biasa yg tidak akan prnh luput dr kesalahan dan khilaf…..Nah, jika memang ust. Firanda dalam masalah kritikannya thd habib munzir itu salah, maka tolong ditunjukkan kesalahannya……dan jika ‘temuan’ ust. Firanda thd ‘karya-karya’ habib munzir tsb benar, maka tentu kita tau SIAPA YANG SALAH……
sudah paham mas point yg saya maksud…..
ketiga, soal perkataan bapak : “lg pula antum sendiri kan sudah sebutkan klo akhi firanda juga manusia dan tidak maksum….jadi ada kemungkinan beliau salah….atau lebih parah dari itu…”
saya berkata : Lah….memangnya habib munzir bukan manusia biasa pak? memangnya habib munzir maksum? bukankah habib munzir jg manusia biasa pak yg bs jg salah atau malah lbh parah dr itu…….
dalam masalah ini kan ust. Firanda mengkritik habib munzir, kalo ust. Firan da diragukan kebenarannya karena beliau manusia biasa yg tdk maksum yg bs saja salah, bgmn dg habib munzir? bukankah dia jg TIDAK MAKSUM? bisa saja ust. Firanda benar dan kali ini habib munzir salah karena habib munzir TIDAK MAKSUM dan bs saja salah….
kira2 bener ga logika saya…….? koreksi jika salah
Wallahu ‘alam….


mas Ajam kalau nt menganggap /menuduh ana kafir dgn keyakinan ana silahkan nt mubahalah antara mamo dgn ajam namun ana minta nama asli nt …..SILAHKAN ……….


pada 18 November 2011 pada 8:34 am | BalasYusuf Ibrahim
-mamo-
tolonglah mas mamo, jgn ‘provokatif’, jgn membuat pernyataan yg ‘menggiring’, karena ga ada disini yg menyebut mas mamo kafir……


begini mas Yusuf ana jelas kurang ilmu dalam masalah Habib Mundzir kalau dibloghttp://artikelislami.wordpress.com/mubahalah/ kan udah disiapkan kolom mubahalah dan admin nya mantan salafi dan murid Habib yang jelas udah siap mubahalah …….lha kalau ana ditantang mubahalah maka silahkan tuduh ana kafir baru ana mau bermubahalah jadi nyambung dong ……………makasih nasehatnya mas Yusuf ana nggak berniat provokatif ……


-mamo-
begini mas mamo, lain halnya jika ust. Firanda ‘menuduh’, kemudian habib munzir sudah membantahnya, dan kedua-duanya masih bersikukuh dg hujjah-nya masing2, baru mubahalah dilakukan…..
sedangkan ini kan, bantahan dr habib munzir-nya sendiri aja msh blm ada, masa’ ujug-ujug’ langsung mubahalah aja…???
biar masing2 ‘terbebas’ dr taqlid membabi buta mas….
tapi sayangnya, disini ga ada yg bilang mas mamo kafir…..sayang sekali mas…..
wallahu ‘alam….


justru diatas sudah terjadi hujjah dan bersikukuh mas Yusuf ana hanya menyarankan mubahalah kalaulah nggak mau ya udah nggak usah berlarut hal tsb di bahas ………


Afwan….kalau memang diatas sudah ada hujjah bahwa ‘temuan’ ust. Firanda itu tidak benar, coba tolong mas mamo tunjukkan dibagian yg mana, kali aja saya terlewat……tolong di’quote’ kalo bisa……
terima kasih……..


MUTIARAZUHUD
antum katakan:
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertanyakan atau menganalisa dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
ana jawab:
konsekuensi dari perkataan antum ini adalah bahwa orang yang sanadnya bersambung kepada Nabi sudah pasti lebih paham tentang Al Quran dan As Sunnah. dan sebaliknya, orang yang tidak bersanad sampai para Nabi tidak memahami tentang Al Quran dan As Sunnah.
nah, kalo gitu sekarang untuk pembuktiannya, sebutkan 1 saja contoh pujian para ulama jarh wa ta’dhil kepada perowi karena mempunyai sanad sampai para Nabi, dan 1 saja contoh celaan mereka kepada perowi karena tidak bersanad pada nabi.


kalo SANAD GURU ini memang sangat penting, mungkinkah hal ini terlewatkan oleh para ulama mutaqoddimin dan sekonyong-konyong bisa muncul akhir2 ini saja?
ana cuma meminta 1 contoh saja pujian ulama ahli jarh wa ta’dhil pada perowi “Si Fulan bin Fulan tsiqoh karena sanadnya bersambung pada Nabi”!
==============================================================
contoh SANAD GURU ala Habib Munzir. beliau pernah memberi sanad pada seseorang, beliau berkata :
“Saya Ijazahkan kepada anda sanad Alqur’anul karim dalam tujuh Qira’ah, seluruh sanad hadits riwayat Imamussab’ah, seluruh sanad hadist riwayat Muhadditsin lainnya, seluruh fatwa dan kitab syariah dari empat Madzhab yaitu Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi, dan seluruh cabang ilmu islam, yg semua itu saya terima sanad ijazahnya dari Guru Mulia Al Allamah Al Musnid Alhabib Umar bin Hafidh, yg bersambung sanadnya kepada guru guru dan Imam Imam pada Madzhab Syafii dan lainnya, dan berakhir pada Rasulullah saw…”
(http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=9&id=26683#26683)
muncul banyak pertanyaan ana tentang ini:
1) benarkah Habib Munzir menguasai Al Quran dalam 7 bacaan? bagaimana kalo kita test? kita datangkan seorang arab Badui yang menguasai bahasa arab asli, lalu kita minta Habib Munzir membacakan ke-7 bacaan Al Quran.
2) benarkah Habib Munzir menguasai seluruh sanad hadits dalam kitab2 Hadits? bagaimana kalo kita test juga? jangan2 beliau lebih pandai dari Imam Bukhori atau Imam Muslim.
3) benarkah orang yang diberi sanad oleh Habib Munzir ini, katakanlah namanya si Fulan, benar-benar menguasai Al Quran dalam 7 bacaan dan sanad hadits dari seluruh kitab hadits? coba sebutkan siapa Si Fulan ini, siapa namanya, dimana alamatnya, berapa nomor hapenya, ana sungguh penasaran ingin mengetestnya.


Mas Ajam, jarh wa ta’dhil hanya ada dalam periwayatan hadits, jadi yang dibutuhkan hanyalah analisa perawi dengan jarh wa ta’dhil dan bunyi atau matan/redaksi hadits yang dianalisa bukan penjelasan atau istinbat (penetapan hukum perkara) dari hadits tersebut
Sedangkan yang melakukan ijtihad dan istinbat adalah mereka yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau Imam Mazhab


jarh (celaan) wa ta’dil (pujian) tidak hanya untuk menilai perowi hadits. ini sudah ma’lum. menyebutkan kejelekan orang dalam rangka memperingatkan dari bahaya kejelekannya bukanlah celaan yang dilarang. hal ini tidak hanya berlaku untuk menilia perowi hadits saja, namun setiap orang secara umum. demikian pula menyebutkan kebaikan seseorang tidak hanya berkaitan dengan penilaian perowi hadits.
contohnya adalah ketika Ibnu Hajar Al Asqolani memuji Ibnu Taimiyah dan menggelarinya dengan gelar Al Hafidz, Al ‘Allamah, dan Asy Syaikhul Islam, beliau tidak mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah sanadnya nyambung sampai pada Rosululloh.
coba deh Al Akh Mutiarazuhud sebutkan 1 saja contoh penerapan para ulama mutaqoddimin dalam hal pentingnya SANAD GURU ini. pernahkah Imam Syafi’i atau Ibnu Hajar atau Al Ghozali atau Abdul Qodir Al Jailani atau lainnya memuji seseorang karena sanadnya nyambung pada Rosululloh dan mencela seseorang karena sanadnya gak nyambung pada Rosululloh.


Mas Ajam, bagi kami jarh wa ta’dil hanya boleh dilakukan pada penilaian perawi hadits. Hal ini telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/24/jarh-wa-tadil/


silakan mengatakan “bagi kami”, tapi jangan sekali-sekali mengatakan “menurut ahlus sunnah wal jama’ah”, karena dalam prakteknya, ternyata ahlus sunnah wal jama’ah berbeda dengan antum. para ulama ahlus sunnah wal jama’ah sering kali membantah firqoh2 sesat seperti Jahmiyah, Syi’ah, Khowarij, Murji’ah dll dengan membongkar dan mengungkapkan kebusukan mereka.
lalu tentang pentingnya SANAD GURU, mana contoh yang ana minta? bisa nunjukin enggak? kalo enggak ya sudah, terus terang saja.


Mas Ajam, membongkar , membantah, menungkapkan kesalahpahaman berbeda dengan mencela
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Jika kita ingin termasuk Ahlussunnh wal Jama’ah maka perhatikanlah sunnah Rasulullah


kalo begitu, tentang penilaian kedudukan perowi pun tidak boleh men-jarh atau mencela?
hadits yang antum sebutkan itu berlaku secara umum, sedangkan ada hadits2 lain yang khusus yang menunjukkan bahwa Rosululloh pun mencela seseorang dalam rangka memperingatkan orang2 dari kejelekannya. misalnya ketika beliau mencela Dzul Khuwaishiroh, padahal dia ini adalah seorang muslim.
kalo mencela itu mutlak tidak boleh tanpa ada pengkhususan, berarti tidak perlu ada yang namanya jarh wa ta’dhil
============================================================
lalu tentang pentingnya SANAD GURU, mana contoh yang ana minta? bisa nunjukin enggak? kalo enggak ya sudah, terus terang saja.


Mas Ajam, sudah kami sampaikan bahwa jarh wa ta’dil hanya pada masalah periwayatan hadits saja karena jika menyampaikan perkataan yang bukan perkataan Rasulullah akan bertempat di neraka


antum sekolah dimana yah, diajak ngomong kok susah banget. emang ana pernah bilang kalo jarh wa ta’dil itu tidak diterapkan untuk menilai status perowi? sejak awal kan kita sudah sepakat tentang ini.
yang jadi masalah, antum mencla mencle dalam menerapkan hadits. antum bilang mencela firqoh2 sesat seperti Jahmiyah, Syi’ah, Murji’ah dll itu tidak boleh.
apa yang membedakan? kenapa boleh mencela perowi (misalnya yang berdusta atau memalsu hadits) tapi tidak boleh mencela ahli bid’ah? jika dasar ketidakbolehan mencela ahli bid’ah adalah hadits yang antum bawakan di atas, lalu apa dasar kebolehan mencela perowi hadits? kenapa hadits yang antum bawakan itu tidak bisa menjadi dasar ketidakbolehan mencela siapapun termasuk perowi hadits?
===========================================================
lalu tentang pentingnya SANAD GURU, mana contoh yang ana minta? bisa nunjukin enggak? kalo enggak ya sudah, terus terang saja.


bagaimana Al Akh ZON? apakah antum sudah menanykan pada Habib Munzir, bersediakah beliau untuk dites? apa benar menguasai Al Quran dalam 7 bacaan? apa benar menguasai sanad seluruh hadits dalam kitab2 hadits? apa benar mengasai atsar/fatwa seluruh ulama 4 madzhab?
kalo bersedia dan siap, kita tentukan waktu dan tempatnya


apakah antum sudah mendapatkan sanad dari Habib Munzir atau habib-habib lain yang (mengklaim) sanadnya nyambung pada Rosululloh? jika sudah, bagaimana kalo ana test antum sekalian


Habib Munzir adalah salah satu umat Rasulullah yang diiizinkan oleh Allah Azza wa Jalla bertemu dengan Rasulullah dengan cara yang dikehendakiNya
Rasulullah mengetahui “keadaan” para ulama di Hijaz
Rasulullah bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih)
Para Habib dan para Sayyid tidak lagi merujuk kepada apa yang dihasilkan oleh Allajnah Addaimah Lilbuhust Alalamiyah wal Ifta. Mereka merujuk kepada para ulama Hadramaut (Yaman)
Memang begitulah sunnah Rasulullah , jika kita telah mendapatkan telah terjadi fitnah sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/11/12/bila-terjadi-fitnah/
Luar binasa yang telah terjadi di wilayah kerjaaan dinasti Saudi. Mereka menyusun kurikulum pendidikan bekerjasama dengan Amerika yang dibelakangnya adalah kaum Zionis Yahudi. Silahkan baca uraian padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/


pertanyaan ana kemana, jawaban antum kemana, kok gak nyambung. antum selalu berusaha membelokkan bahasan permasalahan kenapa yah?
tidak usah berpanjang lebar, sekarang kita buktikan saja semua omongan Habib Munzir dan antum. siapkah jika ijazah sanad beliau diuji sebagai pertanggungjawaban pada Alloh?


Ana kasihan sama Firanda, orang yg punya logika bocah Tk ini tidak dianggap oleh Hb Munzir. Yah, ibarat bocah TK ngledek profesor, bagaimana mungkin Hb Munzir melawan bocah TK? Kasihan benar orang bernama Firanda ini ya? Juga kasihan para pengikut Ustadz Pendusta Murokkab ini.


alhamdulillah ummati bissa di akses …….


pada 28 November 2011 pada 11:55 am | BalasYusuf Ibrahim
kalo cuma sebatas mengklaim si A anak TK, si B profesor, saya yakin anak SD pun mampu……
Jstru malah jd pertanyaan, masa’ seorg profesor ‘ga mampu’ membantah ‘temuan’ anak TK?
kalo habib munzir saja ‘sesumbar’ mampu membantah kitabnya Syaikh bin Baaz ‘HANYA’ dalam beberapa jam saja, pastinya artikel ust. Firanda bisa beliau bantah hanya dlm beberapa menit saja……
wallahu a’lam……


???


Blog Artikel Islami dan Blog Salafy Tobat Sebagai Benteng Ahlussunnah
misteriBlog Artikel Islami dan Blog Salafy Tobat dilenyapkan oleh WordPress.com
Akhirnya blog-blog Pembela Sunnah mulai dapat giliran “pelenyapan” dari WordPress.com. Entah ada misteri apa di balik ini semua, kita masih menunggu hari-hari selanjutnya. Apakah “pelenyapan” ini akan terus berlanjut terhadap seluruh blog-blog Pembela Sunnah, mungkin hanya rumput yang bergoyang yang tahu jawabnya. Kita ingat dulu, dua bulan yang lalu blog Ummati Press juga dilenyapkan secara mendadak oleh WordPress.com. Waktu itu kami kelimpungan mencari cara untuk bisa online lagi. Dan setelah sebulan berusaha keras untuk tetap eksis akhirnya blog Ummati Press bisa online lagi. Alhamdulillah…. bisa lihat disini beritanya:http://ummatipress.com/2011/09/05/ummati-press-online-lagi-setelah-di-ko-wordpress-com/
Kini blog Artikel Islami dan blog Salafy Tobat dapat giliran di-shut down. Bisa anda cek di sini: http://artikelislami.wordpress.com atau di sinihttp://salafytobat.wordpress.com . Kita semua berharap semoga keduanya dapat segera online kembali, amin….
Dengan dishut down-nya blog-blog Pembela Sunnah di dunia internet, maka situs-situs penyebar bid’ah yang sesungguhnya akan menjadi leluasa dalam menyebarkan missinya. Padahal sebelumnya dengan adanya blog Artikel Islami dan blog Salafy Tobat bisa menjadi benteng bagi Ummat Islam. Setidaknya Ummat Islam memiliki bacaan informasi penyeimbang terhadap info-info yang disebarkan oleh para The True of Ahli Bid’ah. Mereka memakai topeng Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tentunya bagi muslim yang awam betapa sulit mengenali para The True Ahli Bid’ah tanpa penjelasan dari orang-orang yang mengerti ciri-ciri mereka. Inilah salah satu peran penting blog Artikel Islami dan blog Salafy Tobat yang selama ini bisa kita lihat. Peran sebagai Pemberi Penjelasan inilah juga yang membuat para Ahli Bid’ah kebakaran jenggot.
Berbarengan dengan di-shut down-nya blog Artikel Islami dan blog salafy Tobat kemarin ( 23 Nov, 2011 ), blog Abu Salafy dan blog Ummati Press juga mengalami error berat sehingga sehari semalam tidak bisa diakses. Ada apakah di balik ini semua? Hanya kebetulan atau ada udang di balik sendok? Wallohu a’lam….


pada 28 November 2011 pada 10:05 am | BalasYusuf Ibrahim
Sekali lg nasihat saya kpd mas mamo, sudahlah mas, tolong jgn membuat opini yg ‘menggiring’, alangkah baiknya kedua blog tsb melakukan instropeksi diri drpd mencari-cari ‘kambing hitam’…..sbg umat Islam, kita dianjurkan utk tidak bersu’udzon…..
terima kasih…..


itu kan prasangka nt ……..nt sudah bersu’udzon…..ama ana
terima kasih…..


Lho….bagaimana mas mamo ini? dinasihati koq malah balik menuduh, baca baik-baik komentar saya, dibagian mana saya bersu’udzon?….
Saya tidak berprasangka mas, saya justru menasehati mas mamo agar jgn membuat opini ‘abu-abu’, membuat opini yg ‘menggiring’ yg bs secara tdk langsung mengajak umat muslim utk bersu’udzon….itu saja…..coba baca baik-baik komen anda mas,
saya tau itu bkn komentarnya mas mamo, mas mamo cuma copas saja dr artikel di ‘ummatipress’…..jd sblm copas, alangkah baiknya dibaca dan pahami dulu isinya mas….
terima kasih….


membuat opini yg ‘menggiring’…….mencari-cari ‘kambing hitam’…….= apa ini bukan prasangka ???


-mamo-
Pertama, itu bukan prasangka mas, tp memang maksud yg tergambar dalam komen mas mamo jelas seperti itu.
Kedua, knp saya blng ‘menggiring’? karena dikomen mas mamo menggambarkan dan menggiring pembaca seolah-olah ditutupnya blog ‘salafytobat’ dan ‘artikelislami’ krena adanya ‘konspirasi’ dr ‘lawan’ kedua blog itu. Coba baca baik-baik lagi komen anda itu…..
Ketiga, ‘artikelislami’ sendiri saja merespon ‘isi’ komen mas mamo di blog ‘ummati’ dg berkomentar (November 26, 2011 at 5:25 am) : “…ada kemungkinan salah satu admin id.wordpress.com adalah wahhabi. Atau ada hacker wahhabi yg lumayan shg bs menembus keamanan wordpress.com. Backup your articles…”
inilah ‘arah’ yg saya maksud itu, jadi….mas mamo ga perlu pura-pura ga tau….
Keempat, maka dari itu saya nasihatkan, alangkah baiknya kedua blog itu intropeksi diri drpd mencoba mencari-cari ‘kambing hitam’.
Kelima, anggaplah saya salah dlm memahami komentar mas mamo, lalu saya ingin tanya….klo saya salah, lantas apa maksud komentar mas mamo diatas itu? kemana arah komentar mas mamo itu?
terima kasih….


pada 10 November 2011 pada 10:40 pm | BalasYusuf Ibrahim
Bantahan ilmiah jauh lebih berfaedah ketimbang mubahalah…..


ilmiah menurut manusia itu relatif mas Yusuf ……kalau Mubahalah biar Alloh yang mengadili ……jelas kan sekalian tuh nt ama mas Ajam biar Alloh yang mengadili ……nt nggak yakin Alloh maha Adil …….???


pada 11 November 2011 pada 11:12 am | BalasYusuf Ibrahim
Knp anda jd meragukan saya tdk meyakini bahwa Allah Maha Adil? apa korelasi-nya?
Jika saya kembalikan lg, kenapa harus mubahalah? apakah anda TIDAK YAKIN habib munzir atau muridnya MAMPU membantah secara ilmiah kritikan ust. Firanda? sehingga hrs diambil ‘jalur’ mubahalah?
lgpula yg di-’tuduh’ berdusta kan habib munzir, knp yg mubahalah murid-nya?
di dalam bantahan ilmiah itu terdapat bnyk faedah mas, kita bisa tau akan ilmu, jd tdk hanya ‘taklid membabi buta’, membela tanpa mengetahui ilmunya…..
Wallahu ‘alam….


upaya udah dilakukan nt baca komennya mas Nugon di atas…….la si Ajam nggak brenti2 nya menghujat pendusta …..nggak cuma 3x lebih nt baca ??? la biar ajam puas biar Alloh yang menghakimi …….MUBAHALAH ……..selesai nggak debat lagi mikir yang lain ok ….mas Yusuf


pada 16 November 2011 pada 10:14 am | BalasYusuf Ibrahim
-mamo-
Pertama, tolong ditunjukkan mas, dibagian mana dr komentar mas nugon yg menjelaskan bahwa ‘habib munzir tdk berdusta a.n Imam Syafi’i’ sbagaimana yg dituduhkan ust. Firanda? mohon maaf kali aja saya terlewat mungkin.
‘Temuan’ ust. Firanda : habib munzir menyisipkan perkataan yg bukan perkataan Imam Syafi’i ke dalam perkataan Imam Syafi’i, seolah-olah itu mjd perkataan Imam Syafi’i, pdhl bukan…..
bantahan-nya seharusnya : habib munzir TIDAK menyisipkan perkataan yg bukan perkataan Imam Syafi’i ke dlm perkataan Imam Syafi’i dengan buktinya sbb : bla…..bla…bla….
itu hanya satu dr sekian banyak kritikan ust. Firanda thd habib munzir…..
Kedua, kritikan ust. Firanda thd habib munzir itu banyak, satu per satu dulu-lah, jgn langsung mubahalah aja, siapa tau ust. Firanda salah….karena ust. Firanda tidak maksum, bisa saja dia salah dlm masalah ini (mengkritik habib munzir). Jika salah, tolong dikoreksi kalau memang beliau salah……biar kita sama2 tau ilmunya…..
Ketiga, selama ini kan dari jaman-nya di blog ‘ummati’ dulu, mas mamo ini hanya sbg ‘provokator’ aja, cuma jd ‘bensin’ ditengah ‘kobaran api’ diskusi, sekali-kali mas mamo jd ‘aktor’ donk, jgn cuma mengojok-ojok spy org lain saling mubahalah, mas mamo aja disini coba bersumpah ; ‘kalo habib munzir berdusta, saya ‘Mamo’ siap dilaknat Allah Subhanahu wata’ala’. Bersedia?
Wallahu ‘alam…


he he he he ………yang jadi provokator itu siapa mas yusuf Ibrahim…….wallohi ana hanya melihat disini adanya suatu ghibah …nt nggak nyadar apa ??? liat komentar ana di atas kalau hal tsb benar ghibah kalau salah fitnah ……namun mas Ajam nggak mempan ana nasehati malah berkali kali bilang pendusta ……….waah kalau ana disuruh mubahalah sama nt dalam kapasitas apa mas Yusuf ??? yang sangat yakin kan nt ama mas Ajam dalam hal Habib Mundzir yang tau ilmunya kalau habib berdusta .ya silahkan nt mubahalah sama yang bersebrangan dgn nt dong ……..kalau nt nuduh ana musyrik baru itu urusan ana ama nt ayo mubahalah ….ana siap …..he he he berani nggak nt mubahalah masalah Habib Mundzir mas Yusuf ….????? takut lupa http://artikelislami.wordpress.com/mubahalah/ monggo ….kalau mas Nugon bukan menje;laskan masalah materinya namun berusaha mempertemukan keduanya ……
gimana mas Yusuf ????? udah baca artikelnya mas Syahid di ummati itu bantanhan ilmiyah …….kalau masih ngeyel ya mubahalah kan beres ………nggaka ada provokator yang ada prasangka buruk nt ……….
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar