Kekhalifahan

Semua kaum muslim tentu berkeinginan pemerintahan berlandaskan syariat Islam.
Pertanyaannya adalah apakah untuk menuju pemerintahan berlandaskan Syariat Islam harus mutlak merubah bentuk negara NKRI menjadi kekhalifahan ?
Contoh,
Brunei Darussalam, pemerintahan mereka menerapkan Syariat Islam tanpa harus merubahnya menjadi kekhalifahan. Brunei Darussalam terkenal dengan kemakmurannya dan ketegasan dalam melaksanakan Syariat Islam, baik dalam bidang pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat. Islam mulai berkembang dengan pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M. Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassallam yaitu Amirul Mukminin Sayyidina Hasan ra sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah / prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei. Keturunan Sultan Syarif Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan Brunei yaitu menurunkan Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.

Kapankah kekhalifahan terakhir kalinya ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Periode kehidupan umat Islam di dunia telah digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam,  “Kalian akan mengalami babak Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak Raja-raja yang menggigit,selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak para penguasa yang memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian kalian akan mengalami babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian, kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad)
Sebagaimana kita ketahui Ummat Islam dewasa ini sedang menjalani babak keempat dari lima babak perjalanan sejarahnya di Akhir Zaman.
Tiga babak sebelumnya telah dilalui:
Babak pertama, babak An-Nubuwwah (Kenabian) yakni masa ketika manhaj kenabian berlangsung
Babak kedua, babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Sistem / Metode Kenabian),
Babak ketiga, babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit)., masa ketika raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits.

Sesudah berlalunya babak ketiga yang ditandai dengan tigabelas abad masa kepemimpinan Kerajaan Daulat Bani Umayyah, kemudian Kerajaan Daulat Bani Abbasiyyah dan terakhir Kesultanan Utsmani Turki, maka selanjutnya ummat Islam memasuki babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan (Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
Babak keempat diawali semenjak runtuhnya Kesultanan Utsmani Turki yang sekaligus merupakan kekhalifahan Islam terakhir pada tahun 1924. Setelah runtuhnya sistem pemerintahan Islam, maka selanjutnya ummat Islam mulai menjalani kehidupan dengan mengekor kepada pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara ala Barat.
Mulailah di berbagai negeri muslim didirikan di atasnya berbagai nation-state (negara bedasarkan kesatuan bangsa). Padahal sebelumnya semenjak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama ribuan tahun.
Kita saat ini berada pada babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya). Sekelumit permasalahan yang kita alami pada babak Mulkan Jabbariyan telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/10/permasalahan-dunia-islam/dan  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/11/di-atas-manhaj-salaf/
Jadi kekhalifahan berakhir ketika runtuhnya Kesultanan Utsmani Turki pada tahun 1924
Kapankah dijanjikan Allah Azza wa Jalla , kekhalifahan akan kembali dalam dunia Islam ?
Rasulullah bersabda “Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR abu Dawud 9435)
Makna “Andaikan dunia tinggal sehari” adalah pada akhir zaman dimana lelaki keturunan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut adalah Imam Mahdi. Ia akan diizinkan Allah untuk merubah keadaan dunia yang penuh kezaliman dan penganiayaan menjadi penuh kejujuran dan keadilan.

Imam Mahdi yang akan mengantarkan kaum muslim meninggalkan babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) menuju kembali babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian sebagaimana periodisasi  kehidupan umat Islam di dunia telah digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di atas.
Rasulullah bersabda “Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan penuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman.” (HR Ahmad 10898).
Rasulullah bersabda “Akan terjadi perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin, maka keluarlah seorang lelaki dari penduduk Madinah mencari perlindungan ke Mekkah, lalu datanglah kepada lelaki ini beberapa orang dari penduduk Mekkah, lalu mereka membai’at Imam Mahdi secara paksa, maka ia dibai’at di antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di depan Ka’bah). Kemudian diutuslah sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka mereka dibenamkan di sebuah daerah bernama Al-Baida yang berada di antara Mekkah dan Madinah.” (HR Abu Dawud 3737)
Pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Ketika kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud 4074)
Banyak ghazawat (perang) akan dipimpin Imam Mahdi. Dan –subhaanallah- Allah akan senantiasa menjanjikan kemenangan baginya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim 5161)
Dalam hadits di atas yang diperangi pertama kali adalah jazirah Arab karena pada akhir zaman nanti jazirah Arab , pada masa akhir babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) mereka akan kembali mengalami masa jahiliyah , keadaan mereka benar-benar mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Kemudian diperangi wilayah Persia (Iran)  untuk meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman saudara-saudara kita kaum Syiah.  Kemudian diperangi wilayah Rum , meluruskan kaum Nasrani yang telah disesatkan oleh kaum Yahudi melalui Paulus (Yahudi dari Tarsus). Kemudian terakhir memerangi Dajjal.
Jadi jelaslah bahwa kekhalifahan akan kembali pada akhir zaman yang waktunya hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu.
Hal yang harus kita ingat bahwa apa pun yang telah terjadi adalah kehendak Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya kita harus menghadapi kehendak Allah ta’ala dengan sikap dan perbuatan yang dicintai Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim.
Kita harus menjalankan Syariat Islam bagaimanapun keadaan yang telah dikehendaki Allah Azza wa Jalla dengan semampu kita.
Rasulullah bersabda, “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR Bukhari 6744) Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=76&ayatno=19&action=display&option=com_bukhari.
Kehendak Allah Azza wa Jalla,  kita berada pada masa babak Mulkan Jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) dalam bentuk pemerintahan NKRI.
Kita menerima atau mentaati hukum-hukum yang berlaku di negara kita bukan berarti mengabaikan hukum Allah ta’ala namun kita terima dan taati hanya yang tidak menyelisihi Al Qur’an dan Hadits.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rasul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para Khulafa’ Rasyidin sesudahnya : Sayyidina Abu Bakar ra, Sayyidina  Umar ra , Sayyidina  Ustman ra  dan Sayyidina Ali ra, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Syariat Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rasul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Oleh karenanya, kita mentaati ulama, karena mereka mentaati Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam,  begitu juga kita mentaati umara’ karena mereka mentaati para ulama .
Maka, sangatlah indah jika para umara dan ulama tersebut saling bekerjasama untuk memimpin, mengajak, dan memerintahkan umat ini kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat di dunia dan akherat, serta melarang hal-hal yang jelek yang akan membawa mudharat bagi bangsa dan umat.
Suatu negara akan baik dan maju jika para pemimpin dan ulamanya baik, sebaliknya jika keduanya rusak, maka negarapun pasti akan rusak.  Dua kelompok manusia, jika mereka baik, maka masyarakat akan baik, sebaliknya jika mereka rusak, maka masyarakatpun akan ikut rusak, mereka itu adalah para ulama dan umara.
Syariat Islam wajib kita jalankan tanpa harus terbentuk kekhalifahan.
Keliru yang mengatakan bahwa Syariat Islam belum tegak.
“Janganlah kamu merasa bahwa tanpamu Syariat Islam tak kan tegak. Syariat Islam telah tegak bahkan sebelum kamu ada.  Syariat Islam tak membutuhkanmu, kaulah yg butuh pada Syariat Islam”. (Syaikh Ibnu Athoilah)
Begitu pula keliru jika berkeyakinan bahwa masa kini adalah serupa dengan fase Madinah belum tegaknya Syariat Islam sehingga dibolehkan melakukan perbuatan yang melanggar Syariat Islam. Syariat Islam telah tegak, yang dituntut adalah kita harus menjalani Syariat Islam bagaimanapun keadaan / babak kehidupan yang kita sedang jalani.
Penerapan Syariat Islam tidak harus menunggu terbentuk kekhalifahan. Contohlah pemerintahan propinsi Aceh dengan keadaan saat ini mereka berupaya untuk menerapkan Syariat Islam. Pada hakikatnya penerapan Syariat Islam tergantung kepada pemimpin/penguasa negeri , apakah ada keinginan pemimpin/penguasa untuk membuat negara ini penuh rahmatNya dengan menerapkan Syariat Islam.
Dunia perbankan di negeri kita sudah dapat diperkenalkan perbankan syariah, maka tentunya sistem pemerintahan secara perlahan seharusnya dapat diperkenalkan Syariat Islam.
Umat Islam harus dengan santun mendorong lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif untuk memulai upaya mengganti UU peninggalan kolonialis Belanda, KUHP Pidana maupun Perdata atau mulai dengan pekerjaan kecil seperti meluaskan wewenang pengadilan agama untuk berwenang menyelesaikan segala perkara hukum yang terkait kaum muslim yang berpekara untuk segala macam perkara.
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Bagi kita yang tidak mempunyai kekuasaan untuk merubah sistem pemerintahan atau hukum sesuai dengan Syariat Islam, cukup dengan membencinya dan mengingkari hukum-hukum yang menyelisihi Al Qur’an dan Hadits.
Kitapun boleh mengingkari dan membenci pemimpin yang tidak menerapkan Syariat Islam namun kita dilarang memberontak atau makar apalagi sampai tertumpah darah  sesama muslim (selama masih sholat).
“Seburuk-buruknya Pemimpin adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim).
Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Jelaslah bagi siapa yang ridha dan terus mengikuti atau mendukung pempimpin yang buruk maka mereka pun turut berdosa. Oleh karenanya kita harus mengingkarinya walaupun sekedar dalam hati.
Kita boleh mengeluarkan pendapat atau berunjuk rasa dengan santun atas kebijakan penguasa bagi kepentingan negara yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits. Tidak harus kita mengkritiknya dengan “empat mata” atau secara sembunyi-bunyi. Nasehat atau  kritikan yang harus dilakukan dengan “empat mata” adalah untuk kebijakan pemimpin yang bersifat pribadi seperti keinginan menikah lagi atau urusan rumah tangga pemimpin.
Oleh karenanya kita wajib berupaya memilih pemimpin yang berkompetensi untuk memimpin sesuai dengan syariat Islam.
Rasulullah bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) ”
Sungguh, dianggap (penisbatan) berkhianat kepada Allah , Rasul-Nya dan kaum mukminin, merupakan ancaman keras bagi siapapun yang tidak bertanggung jawab dalam memilih pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Jadi tidak harus terbentuk dahulu kekhalifahan untuk menjalankan kewajiban syariat Islam
Dengan banyak pemerintahan atau  penguasa yang memerintah kaum muslim dengan batas negara (nation state) maka kekhalifahan akan sukar didirikan karena kekhalifahan tidak mengenal batas negara (nation state).
Dalam Syariat Islam tidak mengakui selain satu pemerintahan atau penguasa yang memerintah umat islam.  Bahkan syariat Islam memerintakan umat Islam agar membunuh penguasa kedua secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat.
Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)
Imam Nawawi dalam mengomentari hadits ini berkata,”Arti hadits ini ialah apabila seorang khalifah yang dibaiat setelah ada seorang khalifah maka baiat pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at kedua dinyatakan batil dan diharamkan untuk taat kepadanya.

Apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita Hizbut Tahrir Indonesia , pada hakikatnya mereka dengan semangat untuk mendirikan kekhalifahan, secara tidak disadari telah “dilokalisasi”  pada organisasi tersebut sehingga hanya disibukkan dengan “diskusi” berkepanjangan karena mereka tidak memiliki kekuasaan apapun pada sistem pemerintahan di mana pun. Sehingga mereka seolah-olah di-“kotak”-an  dalam bentuk lembaga pengkajian semata.
Begitu pula dengan saudara-saudara kita di Negara Karunia Allah (NKA) Negara Islam Indonesia (NII)  Al Zaytun mereka ditengarai (diduga) bentukan pemerintah untuk “melokalisasi” saudara-saudara muslim kita yang mempunyai semangat untuk mendirikan kekhalifahan. Mereka seolah-olah dibuatkan “dunia” kecil yang dapat mengembangkan diri dan menjalankan Syariat Islam pada kelompoknya.
Upaya-upaya yang ditengarai (diduga) dilakukan oleh pemerintah ini justru untuk meredam gerakan Islam  yang sesungguhnya.
Untuk itulah kita kaum muslim pada umumnya dan khususnya saudara-saudara kita yang mempunyai semangat mendirikan kekhalifahan harus bersatu padu untuk menyusun rencana  dan langkah yang sistematis dan terukur.  Secara bersama-sama buat dan susunlah perangkat hukum sesuai Syariat Islam yang akan menggantikan sistem perundangan yang berlaku saat ini.  Kemudian sosialisasikan kepada seluruh masyarakat muslim untuk dapat dikaji bersama sehingga dengan persetujuan seluruh masyarakat muslim maka kelak memperoleh dukungan bersama-sama mengajukan dan mendorong dengan santun kepada lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif  agar mereka dapa merealisasikannya sehingga insyaallah terbentuk Negara Baldatun ThoyyibatunWarobbun Ghafur
Tulisan kami sebelumnya tentang kekhalifahan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/05/perlukah-kekhalifahan/ 
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar