Permasalahan dalam dunia Islam

Kita telah mendapati kenyataan dalam dunia Islam telah terjadi perbedaan pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits atau bahkan timbul perselisihan yang merupakan bentuk perbedaan pemahaman yang diikuti dengan hawa nafsu. Hal ini telah kami uraikan dalam beberapa tulisan pada
Ketika terjadi perbedaan pemahaman / pendapat /pemikiran,  hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pemahaman / pendapat/ pemikiran. Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).
Permasalahannya adalah apakah kita mempunyai kompetensi untuk memahami dan mendalami atau berijtihad terhadap Al Qur’an dan Hadits ?
Memang Al-Quran “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun dalam firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangkan bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3).
Kemampuan menterjemahkan bahasa Arab atau memahami secara harfiah atau pemahaman secara ilmiah atau metodologi “terjemahkan saja” sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/06/2011/02/02/terjemahkan-saja/tidak lah cukup untuk berijtihad terhadap Al Qur’an dan Hadits. Kalau ijtihad tersebut dipergunakan untuk diri pribadi tidaklah masalah namun ketika ijtihad tersebut hendak disampaikan kepada orang lain maka harus memenuhi syarat sebagai imam mujtahid (pemimpin ijtihad) sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/12/2010/03/31/imam-mujtahid/
Kami telah menyampaikan dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/30/ikutilah-jumhur-ulama/   bahwa ketika terjadi perbedaan pemahaman ataupun perselisihan maka kita wajib mengikuti sunnah Rasulullah untuk mengikuti as-sawaad al-a’zhom(jama’ah kaum muslimin yang terbanyak), karena kesepakatan mereka (as-sawaad al-a’zhom) mendekati ijma’, sehingga kemungkinan keliru sangatlah kecil.
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Kita yang hidup pada zaman yang telah jauh masanya dengan kehidupan Salafush Sholeh semakin sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai mujtahid atau Imam Mujtahid karena tidak seluruh hadits telah dibukukan, sebagian hadits hanya tersampaikan melalui penghafalan dan juga pada zaman sekarang ada ditemukan pemalsuan kitab-kitab karya ulama klasik  sebagaimana yang disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/23/pemalsuan-kitab/ dan
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/23/2011/03/11/al-ibanah/
Juga banyak kitab-kitab imam mazhab yang telah ditahrif oleh mereka yang bukan pengikut mazhab.
Oleh karenanya ketika kompetensi sebagai imam mujtahid semakin tidak mungkin dapat dipenuhi maka lebih baik kita mengikuti para Imam Mazhab yang sudah jelas berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan mereka melihat langsung bagaimana implementasi dari pemahaman Salafush Sholeh dalam amal ketaatan atau perkara syariat atau menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya. Kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab seraya merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits.
Kita sebaiknya tidak mengikuti pemahaman segelintir ulama yang sering salah pikir (fikr) atau salah paham dan terlebih mereka belum dikenal sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Mereka tidak melihat langsung bagaimana implementasi dari pemahaman Salafush Sholeh dalam amal ketaatan atau perkara syariat atau menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya.  Mereka meraba-raba bagaimana pemahaman Salafush sholeh melalui upaya mereka memahami lafaz / tulisan ulama salaf yang sholeh dan upaya mereka bisa benar dan bisa pula salah.
Ketika hal di atas kami sampaikan kepada mereka, mereka menguji kami dengan mempertanyakan adakah para Imam Mazhab menyampaikan tentang pelafadhan niat sholat.
Kita mengikuti Imam Mazhab sebaiknya jangan hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab fiqih mereka saja. Kita ikuti penjelasan langsung dari para pengikut Imam Mazhab karena kitab fiqih hanya memuat perkara syariat saja atau amal ketaatannya saja yang berlandaskan Al Qur’an dan Hadits sedangkan amal kebaikan seperti melafadhkan niat disampaikan ketika mereka mengajarkan kepada para pengikutnya.
- Mazhab Hanafi : Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud untuk melaksanakan sholat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunah hukumnya, sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah lebih afdlal. (al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66)
- Mazhab Maliki : Ulama Malikiyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat, dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan (al-Syarhu al-Shaghir wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305. al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520).
- Mazhab Syafi’i : Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud melaksanakan sesuatu yang disertai dengan perbuatan. Letaknya dalam hati. Niat sholat disunnahkan melafadzkan menjelang Takbiratul Ihram dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan. (Hasyiyah al-Bajury I/149. Mughny al-Muhtaj I/148-150. 252-253. al-Muhadzab I/70 al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab III/243-252).
- Mazhab Hambali : Ulama Hanabilah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sholat tidak sah tanpa niat, letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis sholat serta tujuan mengerjakannya. (al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’ I364-370).
Pelafadzan niat sholat yang lengkapnya dimulai dengan membaca surat An Naas, ta’awudz dan mengucapkan bismillaahirrahmaanirrahiim, kemudian baru diikuti pelafadzan niat sholat yang akan dilaksanakan berfungsi untuk menguatkan hati, mengatasi was-was dalam niat, berlindung kepada Allah ta’ala  dari gangguan syetan. Begitupula kalimat “mustaqbilal kiblati” juga untuk mengukuhkan arah kiblat secara bathin akan kemungkinan kesalahan arah kiblat walau secara dzahir ada kesalahan beberapa derajat saja.
Batasan amal ketaatan dalam perkara sholat adalah niat untuk melakukan ibadah sholat, takbiratul  ihram sampai dengan salam wajib kita mengikuti sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Prinsipnya perkara syariat atau amal ketaataan yakin menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya (larangan dan pengharaman) wajib kita mencontoh dan mengikut apa yang telah disampaikan oleh Rasulullan shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan amal kebaikan yakni perkara diluar amal ketaatan kita boleh melakukan tidak sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah asalkan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/10/belum-paham-istinbat/
Imam Mazhab dalam kitab fiqihnya utamanya menjelaskan amal ketaatan atau perkara syariat saja.
Begitupula hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam terkait amal kebaikan atau tentang akhlak atau tentang Ihsan tidak seluruhnya telah dibukukan, sebagian disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh atau ulama yang ihsan, mereka yang sanad ilmu atau sanad gurunya tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam terkait amal ketaatan yakni perkara menjalan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya (larangan dan pengharaman) atau perkara syariat telah dijelaskan oleh Rasulullah kepada semua lapisan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
Makna “mendekatkan kamu dari surga” adalah perkara kewajiban
Makna “menjauhkanmu dari neraka” adalah perkara larangan dan pengharaman
Perkara syariat atau amal ketaatan adalah perkara yang mau tidak mau harus kita jalankan dan taati sedangkan amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas keinginan dan kesadaran kita sendiri.
Perkara syariat atau amal ketaatan adalah untuk pembuktian cinta kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya sedangkan amal kebaikan (amal sholeh) adalah sebagai ungkapan cinta kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya untuk menggapai kecintaan atau keridhoanNya atau upaya kita mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Untuk itulah dikenal adanya Syariat, Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat.  Syariat diketahui seluruh lapisan umat Islam sedangkan Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat bagi mereka yang ingin mendalami dan mengamalkannya. Tharikat, Hakikat, Ma’rifat adalah rangkaian yang perlu dipahami dan diamalkan untuk mencapai muslim yang Ihsan. Hal ini disampaikan melalui lisan ke lisan dalam bentuk bimibingan oleh ulama-ulama yang sholeh atau ulama yang ihsan. Perkara Ihsan tidak dapat dipahami dan diamalkan melalui bahasa tulisan.
Ihsan ada dua kondisi yakni kondisi minimal meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat sikap dan perbuatan kita dan kondisi yang terbaik dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan atau yang dikenal juga sebagai ma’rifatullah.
Dengan Ihsan kita dapat mencapai akhlakul karimah atau akhlak yang baik atau akhlak yang ihsan atau akhlak yang sholeh yang merupakan tujuan akhir dari kita beragama.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Indikator bahwa pemahaman dan pengamalan seseorang dalam perkara syariat telah baik dan benar sesuai dengan syariat adalah terwujud dalam akhlak yang baik. Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/indikator-muslim-baik/
Tentang Ihsan atau tentang akhlak atau tauhid tingkat lanjut (tharikat, hakikat dan ma’rifat) semua terurai pada tasawuf dalam Islam yang segelintir ulama tidak mendalami dan tidak menjalaninya bahkan sebagain ulama lainnya menganggapnya sebagai sebuah kesesatan. Sungguh anggapan atau pendapat yang sangat keliru. Pendapat seperti itu umumnya dipengaruhi oleh pusat-pusat kajian Islam yang didirikan oleh kaum non muslim, para orientalis dan khususnya kaum Zionis Yahudi.
Kaum Zionis Yahudi memang berkeinginan merusak kaum muslim melalui akhlak atau tentang ihsan baik melalui pencitraan buruk terhadap tasawuf dalam Islam , mendirikan tharikat-tharikat palsu maupun mereka menyerang akhlak melalui kebebasan, pornografi, gaya hidup dan lainnya.
Bagaimana upaya-upaya mereka mencitrakan hal yang buruk terhadap tasawuf dalam Islam atau tentang Ihsan, telah diuraikan dalam tulisan seperti padahttp://www.facebook.com/note.php?note_id=10150221622764817 danhttp://www.facebook.com/note.php?note_id=10150248336979817  danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/29/pemutarbalikan-perkataan-ulama/
Lihatlah mereka yang terpengaruh ghazwul fikri, mereka berpendapat bahwa tasawuf adalah tentang mistik, kebatinan bahkan penyembahan jin. Mereka mengetahui tasawuf dari dukhala ilmi (ulama yang bukan ahlinya) yakni ulama yang menyampaikan tentang tasawuf namun mereka tidak mengamalkan tasawuf. Berhati-hatilah memahami tulisan maupun kutipan perkataan/pendapat ulama Tasawuf atau ulama Sufi namun telah ditahrif (dimaknai) oleh mereka yang tidak mengamalkan tasawuf atau tidak mengamalkan tentang Ihsan.
Tahap awal memahami tasawuf atau tentang Ihsan, kami merekomendasikan beberapa buku-buku baru yang merupakan terjemahan dari karya penulis ulama Tasawuf ternama seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, Syaikh Ibnu Athoillah, dll
Karya Syaikh Abdul Qadir Jailani yang diterjemahkan
Trilogi “Jalan Sejati Menuju Sang Khalik”
Buku ke 1 “Rahasia mencintai Allah”
Buku ke 2 “Rahasia berjumpa Allah”
Buku ke 3 “Rahasia menjadi kekasih Allah”
Buku-buku itu diterbitkan oleh penerbit Sabil, Jogyakarta. http://www.divapress-online.com/
Karya Syaikh Ibnu Athoillah yang diterjemahkan
1 set buku “Terapi Makrifat” penerbit Zaman, http://www.penerbitzaman.com/
1. Misteri Berserah kepada Allah
2. Rahasia Kecerdasan Tauhid
3. Tutur Penerang Hati
4. Zikir Pententram Hati
5. Kasidah Cinta dan Amalan Wali Allah
Bacaan dalam bentuk majalah yang kami rekomendasikan adalah Cahaya Sufi.
Cobalah perhatikan bacaan yang kami rekomendasikan tersebut, Insyaallah tidak akan ditemukan tentang hal mistik, kebatinan ataupun penyembahan jin. Hal mistik berbeda dengan hal ghaib, kebatinan berbeda dengan hal bathin. Hal ghaib atau hal bathin contohnya keyakinan tentang alam malakut, alam jabarut begitupula tentang pengenalan diri kita yang terdiri dari jasmani dan ruhani dimana ruhani adalah hal ghaib atau hal bathin. Kata ghoib, menurut beberapa kamus arab, seperti lisaanul arab berasal dari kata ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata hadhoro atau dhoharo (hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kita atau sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata. Ihsan atau memandang Allah dengan hati atau hakikat keimanan bukan dengan kasat mata adalah termasuk hal ghaib.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani menyampaikan dalam makalahnya bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Sayang sekali wilayah kerajaan Arab Saudi , kurikulum pendidikan dibuat kerjasama dengan Amerika yang dibelakangnya adalah kaum Zionis Yahudi, hal ini telah diuraikan dalamn tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/
Permasalahan ini lah yang menjadi pokok masalah dalam dunia Islam dimana kaum non muslim khususnya kaum Zionis Yahudi tampaknya telah berhasil mempengaruhi (ghazwul fikri) terhadap ulama dan umaro di wilayah dimana dua tanah suci berada.
Pengaruh ghazwul fikri dapat kita lihat dengan timbulnya sekte salafi / wahhabi yang keluar dari keumuman pemahaman as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak)
Periode kehidupan umat Islam di dunia telah digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
“Kalian akan mengalami babak Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak Raja-raja yang menggigit,selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak para penguasa yang memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian kalian akan mengalami babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian, kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad)
Sebagaimana kita ketahui Ummat Islam dewasa ini sedang menjalani babak keempat dari lima babak perjalanan sejarahnya di Akhir Zaman.
Tiga babak sebelumnya telah dilalui:
Babak pertama, babak An-Nubuwwah (Kenabian) yakni masa ketika manhaj kenabian berlangsung
Babak kedua, babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Sistem / Metode Kenabian),
Babak ketiga, babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit)., masa ketika raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits.
Sesudah berlalunya babak ketiga yang ditandai dengan tigabelas abad masa kepemimpinan Kerajaan Daulat Bani Umayyah, kemudian Kerajaan Daulat Bani Abbasiyyah dan terakhir Kesultanan Utsmani Turki, maka selanjutnya ummat Islam memasuki babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan (Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
Babak keempat diawali semenjak runtuhnya Kesultanan Utsmani Turki yang sekaligus merupakan kekhalifahan Islam terakhir pada tahun 1924. Setelah runtuhnya sistem pemerintahan Islam, maka selanjutnya ummat Islam mulai menjalani kehidupan dengan mengekor kepada pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara ala Barat.
Mulailah di berbagai negeri muslim didirikan di atasnya berbagai nation-state (negara bedasarkan kesatuan bangsa). Padahal sebelumnya semenjak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama ribuan tahun.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan)  dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Saat itu Theodore Hertzl, pemimpin Gerakan Zionis Internasional, mendatangi Abdul Hamid untuk meminta agar Turki Utsmani mau membagi sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel.
Permintaan Hertzl ini disertai dengan bujuk rayu dan janji, jika keinginannya dituruti maka Turki dan juga Sultan Abdul Hamid II akan diberi hadiah sangat besar oleh gerakan Zionis Internasional.
Namun dengan sikap tegas Abdul Hamid mengusir Hertzl seraya berkata, “Turki tidak akan pernah sekali pun menyerahkan Tanah Palestina kepada kamu hai orang-orang Yahudi. Tanah Palestina bukanlah milik Turki, melainkan milik seluruh umat Islam dunia. Jangan bermimpi bisa menginjak Tanah Palestina selama saya masih hidup!”
Sebab itu, Hertzl dan para tokoh Zionis lainnya merancang suatu konspirasi untuk menghancurkan kekhalifahan Islam Turki Utsmani sehingga kekhalifahan ini benar-benar ambruk pada tahun 1924 dan Turki pun diubah menjadi negeri Sekuler.
Salah satu proyek mereka adalah mendirikan pusat-pusat kajian  ketimuran (kajian Islam) yang pada akhirnya meracuni pemikiran-pemikiran Islam generasi muda Turki dengan model Islam yang berpihak ke Barat. Di Indonesia, gerakan ini sama persis dengan gerakan liberal.
Secara perlahan namun pasti, “lembaga-lembaga pengkajian” yang dipimpin para orientalis Barat ini meracuni pemikiran umat Islam Turki. Para orientalis menjelek-jelekkan sistem Islam dan membangga-banggakan sistem nasionalisme. Jumlah orang-orang kafir pun meningkat. Lewat penguasaan jaringan media dunia, Yahudi Internasional menghembuskan stigma jahat kepada Turki Utsmani jika Turki merupakan “The Sickman From Asia”, Orang Sakit Dari Asia. Sejumlah kebijakan ekonomi Turki disabotase. Dan perekonomian Turki pun terpuruk. Tentang nasionalisme yang sesungguhnya adalah paham individualisme dalam skala besar, telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/18/paham-individualisme/  Zionis Yahudi dengan mengusung paham nasionalisme dapat mengakibatkan kita antar muslim dapat saling memusuhi, saling menyerang bahkan mungkin saling membunuh hanya karena “batas” negara (hubud dunya).
Dari luar, strategi Yahudi adalah dengan memisahkan Turki Utsmani dengan Arab. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab. Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya di makan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia.
Para pemuda Arab diracuni pemikirannya untuk meninggalkan Islam dan menuhankan Nasionalisme Arab. Maka pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab sebagai jalan baru untuk berjuang. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Dalam Perang Dunia I (1914), Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Inggris kemudian sengaja mendongkrak popularitas Mustafa Kemal dengan memunculkannya sebagai pahlawan Perang Ana Forta (1915). Mustafa Kemal menjadi populer dan kemudian menggerakan revolusi nasionalisme. Dia menghasilkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan melucuti semua wilayah kekhalifahan Utsmaniyah. Akhirnya Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan sebagainya mendeklaraskan diri sebagai negara nasionalis sendiri yang lepas dari Utsmaniyah. Ideologi Islam dibuang dan digantikan dengan ideologi Nasionalisme.
Saat itu, banyak tokoh Islam yang tertipu dan termakan propaganda Barat mengatakan jika politik Islam atau “politik aliran” sudah bukan masanya lagi, alias sudah ketinggalan zaman.
Sejak saat itu, Mustafa Kemal secara cepat dan gradual berhasil menguasai Turki. Pada 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun rakyat masih banyak yang mendukung kekhalifahan yang kekuasaannya sebenarnya sudah banyak yang lumpuh. Oleh rakyat, Mustafa Kemal dinyatakan murtad. Namun Mustaf Kemal melakukan aksi tandingan dengan mengorbankan darah Muslim Turki. Akhirnya pada 3 Maret 1924, Mustafa Kemal memecat Khalifah dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Turki dijadikan negara sekuler. Semua simbol-simbol keagamaan, terutama Islam, dihapuskan dan terlarang.
Jadi saat ini kita dalam  babak Mulkan Jabbriyyan (Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
Pemerintahan kerajaan dinasti Saudi didirikan atas kolaborasi antara ulama asal Nejd yakni Muhammad bin Abdul Wahhab dengan penguasa Muhammad bin Sa’ud
Berikut kutipan perkenalan dari kedutaan besar Saudi Arabia,http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.
Padahal hal yang terlarang bekerjasama antara ulama dengan penguasa. Ulama dilarang mendekati pintu penguasa karena mereka akan sukar menegakkan kebenaran. Fatwanya bisa jadi merupakan pembenaran terhadap keinginan/hawa nafsu penguasa. Namun ulama boleh kalau sekedar silaturrahim dengan penguasa.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “barangsiapa mendatangi pintu penguasa maka ia akan terfitnah” ( HR Abu Dawud [2859]).
Diriwayatkan dari Abu Anwar as-Sulami r.a, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Jauhilah pintu-pintu penguasa, karena akan menyebabkan kesulitan dan kehinaan‘,”
Hadits yang sangat “disukai” oleh penguasa dan digunakan mereka sebagai pembenaran kekuasaan mereka adalah,
Kami bertanya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “ Ya, Rasulullah! Apakah tidak sebaiknya kita perangi saja mereka ketika seperti itu ?, Beliau menjawab : “Tidak…, selagi mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Tidak…, selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Tidak halal memerangi penguasa, tidak pula memberontak kepadanya meskipun dia penguasa yang dzalim”.
Inilah yang dikatakan oleh Imam Sayyidina Ali ra,  “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah / berlainan). Perkataan Rasulullah ketika sistem pemerintahan kekhalifahan, kesatuan dalam aqidah (aqidah state) kemudian oleh mereka  “dipergunakan” pada sistem pemerintahan kesatuan dalam negara (nation state). Terkait  sistem pemerintahan telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/17/pemimpin-dalam-islam/
Penguasa kerajaan dinasti Saud dengan bantuan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab memaksakan kehendak mereka (Mulkan Jabbriyyan ) untuk menggantikan pemahaman jumhur ulama berdasarkan pemahaman para Imam Mazhab yang melihat langsung implementasi pemahaman Salafush Sholeh menggantikan dengan pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah.
Pengikut pemahaman ulama Ibnu Tamiyah dikenal sebagai Salafi. Sedangkan pengikut pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang tentu ada perbedaan dengan pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dikenal sebagai Salafi Wahhabi atau disingkat Wahhabi.  Begitupula pemahaman ulama Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin yang mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dikenal sebagai Salafi Sururi. Perkembangan pemahaman ulama Ibnu Taimiyah telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2011/06/21/pemahaman-ibnu-taimiyah/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/keironian-salafi/
Ulama-ulama asal Indonesia yang mengajar dan menjadi imam di tanah suci dan berupaya untuk tetap mempertahankan pemahaman berdasarkan pemahaman Imam Mazhab, sebagian besar meninggalkan wilayah kerajaan Saudi dan kembali ke Indonesia. Diantara mereka yang kembali langsung mendirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama bukanlah firqoh/sekte/aliran namun hanya sebuah jama’ah minal muslimin atau kelompok kaum muslimin yang para pendirinya berniat untuk teguh, istiqomah sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah atau dikenal sebagai ASWAJA. Oleh karena keistiqomahan mereka dalam mengikuti pemahaman sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui sanad ilmu atau sanad guru yang tersambung sehingga mereka dikenal kolot/klasik atau traditional atau tradisi mempertahankan pemahaman ulama-ulama Salaf yang sholeh melalui pemahaman Imam Mazhab khususnya Imam Syafi’i. Sungguh dalam hal ilmuNya kita harus klasik/kolot/tradisional mempertahankan pemahaman ulama-ulama Salaf yang sholeh. Namun hal yang perlu kita ingat bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah dapat berada pada jama’ah minal muslimin manapun.
Masalah lain dari para penguasa yang memaksakan kehendak (Mulkan Jabbriyyan ) seperti kerajaan Dinasti Saudi maupun penguasa di negeri kita adalah mereka bekerjasama dengan kaum non muslim khususnya Amerika yang dibelakangnya adalah kaum Zionis Yahudi
Mereka telah menjadikan kaum non muslim sebagai teman, sebagai penasehat bahkan pelindung (sistem pertahanan)  dan meninggalkan kaum muslim.
Begitu pula kita menyesalkan pemimpin-pemimpin negeri yang muslim mau menjadi “pemimpin boneka” Amerika seperti di Afghanistan, Palestina dan termasuk pemimpin seperti Husni Mubarak di Mesir yang telah tumbang. Begitupula kita menyesalkan Wakil Presiden Mesir, Omar Suleiman yang mempunyai “hubungan dekat” dengan Amerika.
Mereka adalah para pemimpin yang mempunyai ”hubungan dekat” dengan Amerika. Mereka menjadi pemimpin yang ”memenuhi” kepentingan Amerika. Pada hakikatnya mereka berkawan dengan Amerika, yang sangat berperan didalamnya adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.
Mereka semakin jelas sebagai mulkan jabbriyyan (Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).
Padahal Allah ta’ala telah memperingatkan dengan firmanNya yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al Mujadilah : 22)
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (Qs. Ali-Imran : 28)
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
Demikianlah uraian kami sekelumit permasalahan dalam dunia Islam. Namun hal yang perlu kita ingat selalu bahwa apa yang telah terjadi merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla. Kita dalam menghadapi kehendak Allah Azza wa Jalla seharusnya dengan sikap dan perbuatan yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.
Biarkanlah semua itu adalah cobaan bagi kita dan wajib kita perangi. Perangi disini maksudnya bukan dibasmi dengan pembunuhan namun luruskanlah kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka dengan cara-cara yang penuh hikmah dan kesantunan.
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan dan keteguhan bagi kita dalam menghadapi semua permasalahan dalam dunia Islam. Istiqomahlah untuk selalu meletakkan urusan dunia pada tangan dan akhirat pada hati kita dengan begitu cahaya dari Allah Ar Rahmaan Ar Rahiim dapat selalu kita gunakan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan dunia dan menggapai keselamatan di akhirat kelak, berkumpul dengan mereka yang disisi Allah Azza wa Jalla meliputi 4 golongan manusia yakni
Para Nabi , termasuk Nabi yang paling utama dan mulia serta kita cintai, Nabi yang paling dekat di sisi Allah Azza wa Jalla, Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Para Shiddiqin, mereka yang teguh dan istiqomah dalam  kebenaran dan menjaga diri mereka dengan sifat Nabi (Shiddiq, Amanah, Fathonah, Tabligh)
Para Syuhada mereka yang syahid atau mereka yang menyaksikan, baik mereka yang berjuang menegakkan agama Allah hingga kematian mencapai mereka dalam perjuangan itu sehingga mereka menyaksikan kebenaran maupun mereka yang berjuang menegakkan agama Allah hingga kematian mereka walaupun bukan di medan perang.
 Orang-orang sholeh atau kaum muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin), muslim yang berakhlak baik, muslim yang sholeh (sholihin) yakni minimal muslim yang selalu yakin bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan manusia atau muslim yang terbaik adalah muslim yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan. Muslim yang terbaik adalah yang istioqmah mengikuti tharikat/jalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun tharikat/jalan turunan (pengikut) Beliau atau tharikat yang muktabaroh sehingga memahami dan menggapai hakikat yang berujung dengan pencapaian ma’rifat.
Wali Allah atau kekasih Allah adalah derajat yang mulia yang dicapai manusia selain Rasulullah atas kehendak Allah Azza wa Jalla. Wali Allah adalah mereka yang Shiddiqin, bukan Syuhada (mati syahid dalam perang) namun mati dalam keadaan syahid (dalam menyaksikan Allah Azza wa Jalla) dan termasuk sholihin.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’ (mati syahid dalam perang). Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala“
Seorang dari sahabatnya berkata,  “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“.
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita“. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).
Salah satu manusia yang mencapai Wali Allah bahkan imam para Wali Allah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah adalah Imam Sayyidina Ali ra.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bekata: “Kedudukan Ali dengan diri saya sama dengan kedudukan Harun dengan Musa; kecuali tidak ada Nabi setelah saya!” (Shahih Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan setelah wafatnya beliau maka  pengganti beliau sebagai Imam Wali Allah atau Imam Zaman adalah Sayyidina Ali ra dan kedudukan Imam Zaman seperti  Nabi, namun kita ketahui,  paham dan yakini bahwa tiada Nabi setelah Rasulullah.
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari Jumat. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“
Perhatikan (bagian di atas yang dibold/cetak tebal) bahwa Rasulullah mengatakan “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali” maksudnya hanya muslim yang ahlinya yang dapat mengakui/meyakini Ali sebagai wali Allah atau imamnya para Wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dapat memahami/meyakini pula bahwa Rasulullah adalah imamnya para Wali Allah.
Telah terjadi fitnah, perselisihan dan kesalahpahaman umat muslim tentang pemahaman riwayat yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqash ataupun riwayat yang semakna, mereka memahami  imamnya para Wali Allah adalah khalifah dan mengakui riwayat-riwayat seperti itu merupakan ketetapan Rasulullah untuk pengangkatan Sayyidina Ali ra sebagai khalifah.  Mereka adalah saudara-saudara muslim kita yakni kaum Syiah.
Jadi apa yang diperselisihkan umat muslim bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau bahkan anggapan keji bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra menghianati ketetapan Rasulullah di Ghadir Khumadalah merupakan kesalahpahaman karena sesungguhnya kepemimpinan pada wilayah yang berbeda.
Imam Sayyidina Ali karamallah wajhu berkata: aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka?
Baginda shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”.
Khalifah adalah kepemimpinan secara umum atau secara syariat. Sedangkan Wali adalah kepemimpinan yang secara khusus yang diketahui/diyakini oleh para ahlinya atau secara hakikat.
Rasulullah tidak pernah mewasiatkan tentang khalifah dan kita sudah ketahui khalifah pertama adalah Sayyidina Abu Bakar ra, kemudian Sayyidina Umar ra, dilanjutkan  oleh Sayyidina Ustman ra dan terakhir dari para Khulafaur Rasyidin yakni Imam Sayyidina Ali karamallah wajhu atas permintaan para Sahabat.
Lebih lanjut tentang Wali Allah telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/siapakah-wali-allah/
Ya Allah, Tuhan kami
Kumpulkan kami di dunia dengan orang –orang yang shaleh (sholihin)  dan kumpulkan kami di akhirat dengan  para nabi,  shiddiqiin, syuhada dan sholihin.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar