Tidak sebagaimana arti

Sebaiknya tidak memahami sebagaimana arti yang telah diketahui
Mereka menyampaikan bahwa dalam memahami ayat-ayat sifat Allah mereka mengikuti Salafush Sholeh yakni tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya, membayangkan, menanyakan bagaimana), tanpa tasybih / tamtsil (penyerupaan),  tanpa ta’thil (penolakan atau peniadaan) dan tanpa takwil (penyimpangan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
Mereka pada hakikatnya tidak mengikuti  Salafush Sholeh karena Salafush Sholeh tidak juga memaknai atau mentafsirkan ayat-ayat sifat Allah  sebagaimana  makna yang diketahui orang awam atau sebagaimana yang telah diketahui atau makna dzahir.
Ulama salaf membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhahir) maupun makna majazi (takwil).
Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ulama Salaf tidak mentafsirkan ayat-ayat sifat  dengan tafsiran apapun, tidak memperdalam maknanya, tidak mentakwilkan dan menyerahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa.
Tugas kita hanya mengimani dan mensucikan (tanzih) Allah dari segala sifat kekurangan (naqsh) dan penyerupaan (tasybih).
Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya.
Bacaannya adalah melihat & mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Mayoritas mereka tidak mau mentafsirkan ayat-ayat sifat, jika ditafsirkan secara zhahir maka akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana. Begitu pula mereka tidak mau melakukan takwil sebab wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah, “tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”
Imam Malik tidak mau membahas masalah ayat sifat ini. Sampai-sampai dia pernah mengusir orang yang menanyakan istiwa’nya Allah:
وما روي عن عبد الله بن الوهاب عن الإمام مالك بن أنس من أنه جاءه رجل فقال له: يا أبا عبد الرحمن {الرحمن على العرش استوى} فكيف إستوى؟ قال: فأطرق مالك رأسه حتى علاه الحضاء, ثم قال: الإستواء غير مجهول, و الكيف غير معقول, و الإيمان به واجب و السؤال عنه بدعة, وما أراك إلا مبتدعا. فأمره أن يخرج.
“Dan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Wahhab dari Imam Malik bin Anas bahwasanya datang kepada beliau seorang dan berkata: “Wahai Abu Abdurrahman (Yang Maha Rahman bersemayam di atas arasy) maka bagaimana bersemayamnya?” Kemudian Imam Malik tertunduuuk kepalanya dan baru mengangkatnya kembali setelah peluh panas kemarahannya menyadarkan dirinya, lalu berkata: “‘Bersemayam’ bukan tidak diketahui, dan bagaimananya tidak tercerna akal, mengimaninya wajib, menanyakannya adalah bid’ah dan aku tidak melihat dirimu melainkan ahlu bid’ah. Maka Imam Malik menyuruhnya keluar”
Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa’ ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an.  Hal ini sama dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata/lafaz Istawa tersebut di dalam al-Qur’an bukan sebagaimana makna zhahir atau makna yang dipahami sebagaimana lazimnya.
Dalam memahami ayat-ayat sifat Allah, para ulama sejak dahulu telah menyampaikan peringatan seperti,
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Dalam memahami ayat-ayat sifat Allah kita harus mengikuti apa yang telah dipahami oleh para Salafush Sholeh. Bagaimana pemahaman Salafush Sholeh sebenarnya telah disampaikan melalui lisan ke lisan ulama-ulama yang sholeh hingga sampai kepada kita. Inilah yang disebut dengan sanad ilmu atau sanad guru.
Dalam memahami ayat-ayat sifat Allah , tidak boleh “tidak melewati kerongkongan” atau tidak boleh sampai kepala saja atau mempergunakan akal pikiran (otak/logika) sendiri atau secara otodidak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)
Pengertian “tidak melewati kerongkongan” adalah pemahaman hanya sampai kepala atau pemahaman dengan akal pikiran sendiri, ra’yu / logika  tanpa sanad ilmu atau sanad guru
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra~ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dlm neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Kita ambil pelajaran dari bagaimana pendapat ulama panutan mereka yakni ulama Ibnu Taimiyah dalam memahami hadits berikut
Rasulullah bersabda (yang artinya): “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepadaKu, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepadaKu niscaya Aku mengampuninya!” (HR Bukhari)
Pendapat ulama Ibnu Taimiyah yang diyakini pula oleh para pengikutnya bahwa  “Turunnya Allah Ta’ala ini sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya Turun merupakan salah satu sifat Fi’liyah. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki. Arti turun telah diketahui, tetapi bagaimana keadaan turun-Nya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah”.
Pada saat ulama Ibnu Taimiyah berkata “Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja Dia menghendaki” dan  ”arti turun telah diketahui” maka beliau telah mentafsirkan lafaz nuzul sebagaimana makna yang selama ini diketahui atau makna dzahir dan Allah turun ke langit dunia pada waktu yang dikehendakiNya.
Padahal Salafush Sholeh sebagaimana yang telah kami sampaikan di atas, mereka  tidak mentafsirkan dan hanya menyerahkan arti/makna kepada Allah Azza wa Jalla.  Para Salafush Sholeh mendengar dan mentaati apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Berikut makna yang kami dengar dan pahami dari para ulama yang sanad ilmu tersambung kepada Rasululllah shalllallahu alaihi wasallam menyampaikan seperti,
*****awal kutipan*****
“Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah. Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un” (QS Assyura 11) (Allah tidak sama dengan segala sesuatu). 
Allah subhanahu wa ta’ala turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.”
*****akhir kutipan*****
Jadi pada hakikatnya dengan metode pemahaman seperti pemahaman ulama Ibnu Taimiyah justru dapat terjerumus kedalam tasybih, menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhlukNya.
Oleh karenanya merekapun berkeyakinan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua tangan dan kedua-duanya adalah kanan berdasarkan pemahaman mereka pada
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-orang yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
Hal ini disampaikan contohnya pada
Beberapa ulama  menyarankan untuk meninggalkan kitab-kitab karya ulama Ibnu Taimiyah, khususnya masalah i’tiqod sebagaimana yang terurai  dalam
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah  membantah pemahaman ulama Ibnu Taimiyah sebagaimana termuat dalam tulisan pada
dan para ulama menjelaskan adanya  kesalahpahaman-kesalahpahaman seputar i’tiqod dalam tulisan pada
Mereka bertanya, “kalau  sifat wajah Allah, tangan, pinggang, betis, dll ditolak karena diangap menyerupai makhluk, kenapa tidak ditolak juga sifat mendengar, melihat ?
Sifat mendengar, sifat melihat kita sudah mengetahuinya namun tidak ada satupun ayat yang menyampaikan bahwa Allah ta’ala mendengar dengan telinga dan melihat dengan mata.
Kata wajah, misalnya, dalam Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif  (makna dzahir), dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”, maksudnya adalah dzatnya, secara majaz.
Akan tetapi, orang Arab tidak pernah menggunakan kata wajah dalam arti  “wajah, tapi tidak seperti wajah”. Padahal Al Qur’an berbahasa Arab, maka ayat-ayat dan kata-katanya seharusnya ditafsirkan dengan Bahasa Arab.
Kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya.  Maka mereka berkata: “jaa’a wajhul qoumi” telah datang wajah kaum.
Dengan demikian (QS Ar Rahmaan [55]: 27 )
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
wayabqaa wajhu rabbika dzuul jalaali wal-ikraam, yang diterjemahkan “dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”  makna wajah dalam konteks itu artinya adalah Dzat Allah Ta’ala sehingga makna yang harus kita pahami adalah, “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. Ingat bahwa dapat terjadi perbedaan antara terjemahan dengan makna sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada
Para ulama mengingatkan kita bahwa dalam memahami redaksi Qur’an, Hadits, atau lafaz/tulisan/ pernyataan para Ulama, hendaknya menggunakan disiplin ilmu, baik Nahwu, Shorof, Mantiq, Bilaghah atau ilmu yang lainnya. Jangan mengartikan mentah atau secara dzahir, karena akan berakibat keliru dalam memaknai redaksi, yang pada akhirnya keliru dalam pemahaman.
Semoga kita semua terlindung dari paham-paham yang sesat dan menyimpang.  Amin Ya Rabbal Alamin
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar