Dalam tulisan kami kali ini marilah kita mengkaji hadits yang menjadi dasar pegangan mereka yang dikatakan mereka sebagai landasan utama adanya pemahaman Salafush Sholeh namun pada hakikatnya adalah pemahaman ulama-ulama mereka terhadap lafaz/tulisan Salafush Sholeh atau ulama Salaf yang sholeh. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa salah, yang jelas ulama-ulama mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Kita ambil salah satu hadits yang sejenis dan kita perbandingkan pemahaman ulama mereka Ibnu Taimiyah (w. 728H/ 1328M) dengan Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M). Perbandingan kedua ulama ini bersumber dari
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari ‘Ubaidah dari ‘Abdullah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka. Kemudian akan datang sebuah kaum yang persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya. Ibrahim berkata; “Dahulu, mereka (para shahabat) mengajarkan kami tentang bersaksi dan memegang janji (Mereka memukul kami bila melanggar perjanjian dan persaksian)” (HR Bukhari 2458) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=34&ayatno=16&action=display&option=com_bukhari
Ibnu Taimiyyah berpegang pada tiga prinsip yang berikut:
(1) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan seluruh segi ajaran agama, baik dasar-dasarnya maupun cabang-cabangnya; baik segi lahirnya maupun segi batinnya; baik segi ilmunya maupun segi amalnya.
(2) bahwa generasi al-salaf al-shalih, yang dari segi kurun waktu paling dekat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling mengetahui ajaran agama. Tidak mungkin generasi yang hidup kemudian lebih mengetahui ajaran agama dibandingkan dengan generasi salaf.
(3) penegasan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa: ”sebaik-baik generasi adalah generasi ketika aku diutus, kemudian generasi sesudahnya dan generasi sesudahnya”.
Berdasarkan tiga prinsip tersebut Ibnu Taimiyyah memandang Sahabat Nabi orang beriman terbaik. Disusul Tabi’un kemudian Tabi’u at-Tabi’in. Tidak mungkin muncul seorang yang lebih utama dari sahabat Nabi yang dinamakan khatim al-awliya. Ibnu Taimiyyah berpendapat, ummat yang paling utama adalah khatm al-anbiya, yakni Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam Awwal al-awliya (wali yang pertama) adalah yang terdahulu masa hidupnya. Adapun itu afdhal al-awliya (wali yang paling utama) adalah yang paling dekat dengan khatam al-anbiya sebab seorang wali mengambil ajaran dari Nabi dan pengikut beliau. Makin dekat dengan Nabi makin utama martabatnya. Makin jauh dengan Nabi makin berkurang keutamaannya. Berbeda dengan khatam al-anbiya sebab beliau mendapat sumber legitimasi keutamaanya dari Allah; maka posisinya sebagai Nabi akhir zaman tidak menyebabkan berkurang martabatnya dan keutamaan beliau. Al-awliya dari generasi al-sabiqun adalah wali yang paling utama.
Al-Hakim al-Tirmidzi berpendapat, seorang beriman memperoleh kewalian semata-mata karena al-minnat al-ilahiyyah (karunia Tuhan) yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kesucian hati seseorang merupakan rahasia Allah. Orang yang hidup diakhir zaman boleh jadi menerima karunia Allah sehingga mempunyai kesucian hati yang sama, bahkan melebihi kesucian hati para Sahabat ra. Di akhir zaman boleh saja ada orang yang menyamai Abu Bakar al-Shiddiq ra dan Umar Ibn Khattab ra dalam derajat, bukan dalam amal. Sebab derajat seseorang di hadapan Allah ditentukan oleh kesucian hatinya, bukan oleh kualitas amalnya. Tidak ada yang membatasi rahmat Allah atas ummat di akhir zaman sehingga di antara mereka tidak ada yang menjadi sabiq(yang paling depan derajatnya), muqarrab (yang didekatkan kepada Allah),mujtaba’ (yang diangkat) dan mushthafa (yang dipilih) kelebihan al-anbiyakarena nubuwwah bukan karena amalnya; kelebihan al-awliya karena shidiqiyyahbukan karena amal mereka. Nabi Muhammad atas Nabi yang lain karena qalb-nya, bukan karena amal beliau. Sebab usia beliau singkat dibanding dengan Nabi yang lain.
Menurut al-Tirmidzi, al-walayah adalah lanjutan dari al-nubuwwah. Ketika kenabian berakhir, mulailah kewalian. Di antara orang-orang beriman ada yang meraih kehormatan menjadi khatim al-awliya dan menjadi wali yang paling utama. Ia tidak dapat di pastikan dari kalangan Sahabat, karena semua umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mempunyai peluang yang sama untuk meraihnya.
Ummat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam Adalah shafwat al-rahman(pilihan Tuhan). Allah membagi mereka kedalm tiga bagian: yang menganiaya diri sendiri, yang bertahan, dan yang bergegas dalam kebaikan. Dalam setiap periode terdapt sabiqin hingga akhir zaman.
Perbedaan paradigma keduanya dalam memandang khatam al-walayah, bukan karena perbedaan rujukan; melainkan karena perbedaan standar penilaian terhadap rujukan yang sama, Al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Tirmidzi menerima pandangan Ibnu Taimiyyah bahwa sabahat Nabi adalah orang beriman yang terbaik dan sahabat Abu Bakar as-shiddiq ra dan Umar bi Khattab ra adalah sebaik-baik orang beriman; namun menurut al-Tirmidzi ada dua standar penilaian, faktor amaliyah dan faktor derajat. Kelebihan Abu Bakar ra dan Umar ra atas ummat karena faktor amaliyah, bukan karena faktor derajat. Faktor derajat berkenaan dengan kesucian hati.
Al-Tirmidzi memandang para sahabat adalah ummat yang terbaik, tetapi tidak sekaligus wali yang terbaik. Ia menggunakan kualitas amal untuk mengukur ummat yang terbaik, dan menggunakan kualitas kesucian hati untuk menilai wali yang tebaik. Ibnu Taimiyyah memandang para sahabat adalah ummat yang terbaik sekaligus wali yang terbaik.Ibnu Taimiyyah menggunakan kualitas sebagai standar penilaian yang sama untuk menilai ummat yang terbaik dan wali yang terbaik. Dengan menggunakan kualitas amal sebagai standar penilaian yang sama untuk menilai ummat yang terbaik, Ibnu Taimiyyah memandang tertutup peluang bagi generasi akhir zaman untuk meraih kehormatan sebagai ummat yang terbaik, dan tertutup pula untuk meraih peluang sebagai wali yang terbaik.
Al-Tirmidzi dengan menggunakan kualitas amal untuk mengukur ummat yang terbaik dan menggunakan kesucian hati untuk mengukur wali yang terbaik, memandang tertutup peluang bagi generasi akhir zaman untuk meraih ummat terbaik; namun masih terbuka peluang untuk menjadi khatim al-awliya dan sekaligus menjadi wali paling utama.
Dari kedua pendapat ulama di atas kita dapat mengambil pelajaran yang mana lebih baik pendapatnya.
Kalau kita berpegang pada kaidah yang diutarakan oleh Ibnu Tamiyyah bahwa dari segi kurun waktu paling dekat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling mengetahui ajaran agama dan tidak mungkin generasi yang hidup kemudian lebih mengetahui ajaran agama dibandingkan dengan generasi sebelumnya tentulah Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) lebih mengetahui ajaran agama dibandingkan Ibnu Taimiyah (w. 728H/ 1328M) karena masa kehidupan Ibnu Tamiyyah lebih kemudian dibandingkan Al-Hakim al-Tirmidzi.
Kesalahpahaman Ibnu Taimiyah seperti inilah dikarenakan memahami Al Qur’an dan Hadits berdasarkan pemahaman ilmiah atau lebih bersandarkan akal pikiran dibandingkan akal qalbu atau pemahaman berdasarkan hikmah. Pemahaman berdasarkan hikmah telah kami uraikan dalam beberapa tulisan diantaranya
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/08/23/pemahaman-secara-hikmah/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/15/pahamilah-dengan-hati/
Pemahaman Ibnu Taimiyah bagaikan pemahaman logika matematika, sebab akibat, bahwa sebab kurun waktu paling dekat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi akibat pengetahuan ajaran agama lebih baik. Pengetahuan ajaran agama atau ilmu yang baik terwujud pada amal yang baik.
Sedangkan pemahaman Al-Tirmidzi disamping memperhatikan ilmu yang terwujud menjadi amal juga memasukkan unsur yang terpenting dari manusia dibandingkan “robot” adalah kesucian hati. “Robot” dapat kita beri pengetahuan (ilmu) atau program dan robot dapat melaksanakan perbuatan (amal) tanpa kesalahan sedikitpun namun yang membedakannya dengan manusia adalah unsur ruhani atau kesucian hati atau akal qalbu.
Pemahaman ilmiah atau pemahaman logika matematika atau sebab-akibat yang juga mengakibatkan ulama panutan mereka yang dikatakan sebagai ahli hadits yakni ulama Al Albani mengingkari perkataan Rasulullah bahwa, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Pendapat Al Albani yang termuat padahttp://almanhaj.or.id/content/2324/slash/0 , “matan (redaksi) hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tidak disetujui oleh syari’at ini”
Dikatakan mereka sebagai “tidak masuk akal” adalah yang dimaksud akal pikiran (hasil kerja otak) atau logika bukan akal qalbu. Mereka memperlakukan perkataan Rasulullah sebagaimana pendapat atau tulisan ilmiah tanpa aspek ruh (bathiniah), qalbu atau hikmah. Dari pengetahuan (ilmu) berhenti sampai amal (perbuatan) tanpa mempedulikan unsur terpenting dari manusia yakni qalbu
Pada hakikatnya berdasarkan pendapat mereka ini, merupakan klaim mereka kepada Allah ta’ala bahwa jika mereka telah menjalankan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya maka “otomatis” mereka dekat kepada Allah ta’ala. Tidak masuk akal pikiran mereka, kemungkinan akan semakin jauh dariNya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Dan barangsiapa tidak khusyuk dalam sholat sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.
Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb dengan sholatnya atau muslim yang Ihsan (muslim yang baik , muslim yang sholeh) – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya
Segelintir kaum muslim, ibadah sholat mereka sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)
Tidaklah mereka mencapai sholat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Kami sependapat dengan Al Tirmidzi bahwa tidak ada yang membatasi rahmat Allah atas ummat di akhir zaman sehingga di antara mereka tidak ada yang menjadi sabiq (yang paling depan derajatnya), muqarrab (yang didekatkan kepada Allah), mujtaba’ (yang diangkat) dan mushthafa (yang dipilih) kelebihanal-anbiya karena nubuwwah bukan karena amalnya; kelebihan al-awliya karenashidiqiyyah bukan karena amal mereka.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam atas Nabi yang lain karena qalb-nya, bukan karena amal beliau. Sebab usia beliau singkat dibanding dengan Nabi yang lain.
Menurut al-Tirmidzi, al-walayah adalah lanjutan dari al-nubuwwah. Ketika kenabian berakhir, mulailah kewalian. Di antara orang-orang beriman ada yang meraih kehormatan menjadi khatim al-awliya dan menjadi wali yang paling utama. Ia tidak dapat di pastikan dari kalangan Sahabat ra, karena semua umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mempunyai peluang yang sama untuk meraihnya.
Ummat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam Adalah shafwat al-rahman(pilihan Tuhan). Allah membagi mereka kedalm tiga bagian: yang menganiaya diri sendiri, yang bertahan, dan yang bergegas dalam kebaikan. Dalam setiap periode terdapt sabiqin hingga akhir zaman.
Dalam tulisan sebelumnya pada http:
//mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/20/pemahaman-salafush-sholeh/ kami telah menjelaskan Sahabat dikatakan “sebaik-baik manusia” karena termasuk manusia awal yang “melihat” Rasulullah atau manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.
Ini terkait dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i berkata:
“Ash-Shabi (sahabat) ialah orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam“
Begitu pula dengan Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Sahabat) maupun Tabi’ut Tabi’in (orang yang “melihat”/”bertemu” dengan Tabi’in adalah “sebaik-baik manusia” karena mereka termasuk manusia awal yang bersaksi atau bersyahadat.
Bahkan Allah Azza wa Jalla menjamin untuk masuk surga bagi “sebaik-baik manusia” paling awal atau manusia yang bersaksi/bersyahadat paling awal atau yang membenarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah ta’ala paling awal atau as-sabiqun al-awwalun. Hal ini dinyatakan dalam firmanNya yang artinya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS At Taubah [9]:100 )
Mereka yang termasuk 10 paling awal bersyahadat/bersaksi atau yang termasuk “as-sabiqun al-awwalun” adalah, Abu Bakar Ash Shidiq ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra, Thalhah bin Abdullah ra, Zubeir bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqas ra, Sa’id bin Zaid ra, ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah ra .
Jadi yang disebut sebaik-baik manusia adalah bagi seluruh umat Nabi Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam atau bagi seluruh manusia yang telah bersaksi/bersyahadat atau bagi seluruh umat muslim sampai akhir zaman.
Tidak ada hubungannya antara “sebaik-baik manusia” dengan kapan waktu dia dilahirkan. Tidak ada hubungannya “sebaik-baik manusia” dengan pembagian atau periodisasi ulama salaf (terdahulu) dengan ulama khalaf (kemudian), seluruh ulama baik salaf maupun khalaf dapat menjadi ulama terbaik. Indikatornya adalah berakhlak baik atau ulama yang sholeh sebagaimana telah kami sampaikan dalam tulisan pada
Kesimpulannya sebaik-baik manusia adalah muslim dan sebaik-baik muslim adalah muslim yang ihsan.
Barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb maka ia mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Inilah yang disebut muslim yang ihsan atau muslim yang baik atau muslim yang sholeh atau muslim yang berakhlakul karimah sebagaimana tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Satu Tanggapan
ilham
subhanallah:)
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar