Tidak ada larangan

Ketika kami meluruskan makna “dengan Rasulullah” dalam tulisan sebelumnya  pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/10/dengan-rasulullah-2/,  salah seorang dari mereka mempermasalahkan bagian dari kutipan pendapat Habib Munzir al Musawa yakni pada bagian,
“Mengenai anda ingin membacanya 11X, atau berapa kali demi tercapainya hajat, maka tak ada dalil yg melarangnya”
Mereka berpendapat,  “tidak adanya larangan, tidak serta merta bisa menjadi alasan pembenar suatu ibadah dilaksanakan. Sekedar saran, jangan lagi pakai “tidak adanya larangan” sebagai hujjah”
Sebenarnya yang berhak menjawab adalah Habib Munzir al Musawa karena kami mengutip perkataan beliau namun kami sering juga menggunakan kaidah “tidak ada dalil yang melarangnya” untuk sebuah amal kebaikan (amal sholeh), untuk itu kami mencoba menjelaskan sesuai pemahaman kami terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Kita paham sesungguhnya apa yang mereka lakukan adalah dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar.  Namun hal yang harus kita ingat bersama dalam mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar  sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik ( bil hikmah wal mau’idzoh al – hasanah ).
Permasalahan ini timbul karena begitu ragamnya pemahaman terhadapi hadits yang artinya “tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka” [H.R Muslim, Nasa'i, Abu Dawud]
Bid’ah pada prinsipnya adalah hal yang baru dalam ibadah, urusan kami, urusan agama, atau syariat. Bid’ah yang paling pokok adalah mengada-ada pada bidang yang merupakan haknya Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya / mensyariatkannya yakni kewajiban, batas/larangan dan pengharaman. Allah ta’ala tidak akan lupa menetapkannya bagi manusia sampai akhir zaman. Jika kita membuat sebuah batas/larangan baru tanpa berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits maka jelas termasuk bid’ah yanng sesat.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Begitupula umumnya kita sepakat tidak boleh melakukan ibadah yang bukan di sunnah kan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.  Setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.
Terkait dicontohkan secara khusus atau tidak, sunnah terbagi dalam 3 macam yakni, sunnah fi’liyah (Rasulullah mencontohkan/melakukan), sunnah qauliyah (Rasulullah memerintahkan) dan sunnah taqririyah (Rasululah mendiamkan, tidak mencontohkan/melakukan dan tidak memerintahkan).
Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu’
Pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha’if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar atau sekedar memberikan dorongan atau semangat dalam beramal.
Jadi sebenarnya untaian doa dan dzikir seperti ratib Al Hadad, doa al matsurat, doa robithoh, sholawat Nariyah, sholawat Badar  pada dasarnya adalah ibadah yang sudah ada perintahnya yakni “Berdoalah, Bersholawatlah, Berdzikirlah” namun matan (redaksi) nya saja yang baru dan tidak ada larangan dalam matan (redaksi) doa, dzikir dan sholawat.
Bahkan kita dapat berdoa dan bersholawat dengan mengguinakan bahasa Indonesia. Sebagaimana yang kita sampaikan dalam pembukaan pembicaraan seperti,
“Shalawat dan salam kita haturkan dan tujukan kepada nabi kita, rasul kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam  karena atas perjuangan beliaulah hingga saat ini kita masih bisa menikmati nikmatnya Iman, Islam dan ukhuwah. Semoga kita dimasukan ke dalam golongan umat beliau yang kelak akan bertemu beliau di surga.”
Sedangkan mengenai penetapan bilangan sholawat tidaklah menjadi masalah, namun semakin  besar sebuah amal kebaikan (amal sholeh) maka akan semakin besar pula kebaikan (pahala) yang akan di dapat. Angka-angka bilangan hanyalah sebagai bentuk keteraturan dan tidak ada satu ulamapun berpendapat jika keliru bilangannya maka tidak akan mendapatkan kebaikan(pahala). Itu semua sekedar dorongan atau semangat dalam beramal.
”Bahwasanya seutama-utama manusia (orang yang terdekat) dengan aku pada hari kiamat adalah mereka yang lebih banyak bershalawat kepadaku.”  (HR. An-Nasai dan Ibnu Hibban dari Ibnu Mas’ud ra).
Berkata Ubay,” Wahai Raulullah, aku memperbanyak bershalawat atasmu, lantas berapa kadar banyaknya shalawat yang sebaiknya aku lakukan?”
Beliau saw menjawab,” Berapa banyaknya terserah padamu.”
Ubay berkata,” Bagaimana kalau seperempat (dari seluruh doa yang aku panjatkan)?”
Beliau menjawab,” Terserah padamu. Tetapi jika engkau menambah maka akan lebih baik lagi.”
Ubay berkata,” Bagaimana jika setengah?”
Beliau saw menjawab,” Terserah padamu, tatapi jika engkah menambah maka akan lebih baik lagi.”
Ubay berkata,” Bagaimana jika duapertiga?”
Beliau saw menjawab,”Terserah padamu, tetapi jika engkau menambah maka akan lebih baik lagi.”
Ubay berkata,” Kalau demikian maka aku jadikan seluruh doaku adalah shalawat untukmu.”
Bersabda Nabi saw,” Jika demikian halnya maka akan tercukupi segala keinginanmu dan diampuni segala dosamu.”

Jadi kesimpulannya kita harusnya dapat membedakan antara ibadah dengan amal kebaikan (amal sholeh).
Amal kebaikan (amal sholeh) adalah segala sikap dan perbuatan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits walaupun amal kebaikan (amal sholeh) tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Sahabat tetaplah merupakan amal kebaikan.
Seperti contohnya,
Sholawat Badar, Sholawat Nariyah, Sholawat Imam Syafi’i ~rahimullah dan sholawat lainya,
Untaian doa dan dzikir ratib al hadad, al matsurat , doa robithoh, dan untaian doa lainnya,
Sholat dengan alas sajadah, dzikir menggunakan tasbeh, dan segala kebaikan dan kemudahan bagi pelaksanaan ibadah.
Istilah Fiqih, Istilah Ushuluddin, Istilah Tasawuf, Mazhab, Istinbath, Sifat wajib 20 Allah ta’ala dan istiqra (telaah) ulama lainnya yang baik.

Prinsipnya amal kebaikan (amal sholeh) pun sudah ada perintahnya seperti
“Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan “(QS Ali Imran [3]: 148 )

Semoga dengan penjelasan kami ini dapat tercipta Ukhuwah Islamiyah,  “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara  (QS Al Hujurat [49]:10 ) 
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

Satu Tanggapan
pada 11 Mei 2011 pada 5:54 am | Balasmamo cemani gombong
Amiiiin ……ya Robbal Alamiin …..semoga bang Zon…
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar