Atasi Bahaya Radikalisme

Ketika kami melihat video-video berikut
Terlintas dibenak kami seorang bapak yang bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla ketika mendapatkan anaknya yang baru pulang mengenyam pendidikan di Arab Saudi dan mendapatinya berkata, “Bapak kafir”
Kira-kira bunyi munajatnya seperti ini,
Ya Rabb, apa gerangan yang terjadi dengan anak kami.
Sekembalinya mereka belajar agama dari Arab Saudi malah mengatakan kami termasuk orang kafir dan hidup dengan bangsa jahiliyah.
Andaikan kami telah kafir tentulah kami tidak akan bersusah payah menyekolahkan mereka ke Arab Saudi.
Ya Rabb apa gerangan yang terjadi pada akal anak kami.
Bagaimana mungkin kami telah kafir padahal mereka melihat kami setiap hari taat mengerjakan sholat, hanya beribadah dan meminta pertolongan kepadaMu
Ya Rabb apa gerangan yang dilakukan guru-guru mereka terhadap akal anak kami sehingga mereka seperti tidak berakal.
Ya Rabb, berikanlah taufik dan hidayah kepada anak kami sehingga mereka dapat menggunakan akalnya kembali di jalanMu.
Ya Rabb, mudahkanlah kami menghadapi cobaan yang Engkau telah berikan kepada kami.
Bahaya radikalisme dapat ditimbulkan dari pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits hanya pada tahap mengumpuilkan dalil naqli (memori) dan menterjemahkan saja (pikiran) tanpa melanjutkannya dengan mengambil pelajaran atau hikmah (pemahaman yang dalam) menggunakan akal dan hati.
Diterjemahkan belum termasuk konteks suasana atau asbabun nuzul dan juga belum termasuk kaitan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits lainnya. Hal inilah yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Hal yang berbahaya adalah memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan sekedar diterjemahkan bukan dipahami
Memang Al-Quran “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195) namun dalam firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangkan bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Begitu pula tafsir bil matsur seperti tafsir Ibnu Katsir, tafsir Ath Thabari adalah tafsir pada tahap pengumpulan dalil naqli dan penterjemahan, perlu dilanjutkan upaya mengambil pelajaran atau pemahaman yang dalam (hikmah).
Penterjemahan adalah menggunakan pikiran, dalil naqli adalah bukti/memori.
Sedangkan pemahaman yang dalam (hikmah) adalah menggunakan akal dan hati pada jalan Allah dan RasulNya…
Penjelasan lebih lanjut perbedaan antara pemahaman dengan “pikiran dan memori” dengan “akal dan hati”, silahkan baca tulisan kami pada
Mereka yang menggunakan akal dan hati di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau yang mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikatakan dalam Al-Qur’an sebagai Ulil Albab sebagaimana contohnya firman Allah ta’ala.
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
wamaa yadzdzakkaru illaa uluu al-albaab
… “dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269 )
Jika kita belum dapat merujuk atau memahami secara langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits maka kita disarankan untuk bertanya dengan mereka yang mengetahui sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl [16]:43).
Apa yang terjadi ketika mereka memahami sepotong-potong ayat seperti:
[2:191] Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah[17:29] Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal
Bahaya sekali jika memahami agama dengan ayat sepotng-potong tanpa memperhatikan kaitan dengan ayat sebelumnya, kaitan dengan ayat lain pada surah yang lain, kaitannya dengan hadits, asbabun nuzul, gaya bahasa (uslub), kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan dll
Kalau menurut orang dulu, membaca Al Qur’an itu minimal 1 ‘Ain (sekitar setengah halaman atau 3-9 ayat). Jadi tidak asal baca/potong saja.
Hal ini terjadi pula pada ulama sekelas ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahhabi. Jumhur ulama sepakat “memanggilnya” dengan Wahhabi mengikuti nama bapaknya, karena kalau “dipanggil” Muhammadi dapat menimbulkan kesalah-pahaman.
Kalau kita cermati dengan baik tentang “sepuluh pembatal keislaman” yang disebarluaskan oleh pemerintah Arab Saudi terutama disebarluaskan melalui umat muslim yang telah menjalankan umrah atau ibadah haji akan kita temui salah “menggunakan” hujjah. Sebagaimana pula salah “menggunakan” hujjah yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/19/siapakah-yang-jahiliyah/ Salah “menggunakan” hujjah , entah disengaja atau memang maksud mereka seperti itu. Wallahu a’lam
“Sepuluh pembatal keislaman” diambil dari kitab Al-Qaul Al-Mufid fii Adillah At-Tauhid Bab: Nawaqidh Al-Islam ‘Asyarah, karya: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-Yamani.
Contoh paling mudah melihat kesalahpahaman adalah pada point kelima
Orang yang membenci apa yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam-, walaupun dia mengamalkannya.
Mereka berhujjah dengan,
Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghilangkan amalan-amalan mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang Allah turunkan maka Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 8-9)
Maksud firman Allah ta’ala tersebut adalah bagi orang-orang kafir (yang membenci Al-Qur’an, termasuk mengingkari Muhammad sebagai Rasulullah) maka Allah ta’ala akan menghapus amalan-amalan orang kafir sebagaimana firmanNya yang lain yang artinya
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh“. (QS Ibrahim [14]:18 )
Sama sekali tidak ada kaitannya firman Allah ta’ala dalam (QS. Muhammad: 8-9) dengan batasan yang mengada-ada tersebut. Perbedaan mendasar akan terjadi pada diri manusia jika mereka bersyahadat atau tidak bersyahadat. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/10/2011/04/26/peta-manusia/
Jadi kesimpulan menurut apa yang kami pahami dari Al-Qur’an dan Hadits mereka yang radikalisme adalah mereka yang pemahaman secara ilmiah/logika atau dengan “pikiran dan memori”.
Sebaiknyalah kita menggunakan pemahaman secara hikmah atau dengan “akal dan hati” sebagaimana Ulil Albab.
Mereka bagaikan robot yang mempunyai kemampuan berpikir (logika) namun tidak mempunyai hati. Robot yang bersikap, berbuat berdasarkan “perintah” berupa dalil-dalil naqli yang diterjemahkan saja.
Bisa jadi mereka beribadah tanpa dapat memandang Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Perihal memandang Allah ta’ala dengan hati atau hakikat keimanan adalah yang dinamakan dengan Ihsan atau tentang akhlak atau tentang tasawuf yakni suatu hal yang telah “dilupakan” bahkan diharamkan di wilayah Arab Saudi. Padahal dengan tasawuflah dapat melembutkan hati dan mencegah bahaya radikalisme.
Sekali lagi kami mengingatkan bahwa kita harus dapat membedakan pendapat dengan akal (ra’yu) dan menggunakan akal di jalan Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Sungguh hanya muslim yang dapat menggunakan akalnya di jalan Allah Azza wa Jalla dan RasulNya yang akan mendapatkan kemuliaan di sisiNya karena dapat menggunakan Al-Qur’an dan hadits sebagai petunjuk agar sampai kepada Allah Azza wa Jalla dan berkumpul dengan para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.
Marilah kita istiqomah pada jalan yang lurus dengan jiwa-jiwa yang tenang.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

2 Tanggapan
mamo cemani gombong
bang Zon kalau ana cermati semua masalah justru terletak di METODOLOGI nya . bagaimana bisa rujuk kalau begini ya …??? cara pandang pemahamanya dah bagai bumi langit …..hidayah Alloh saja harapan satu2 nya ………wallohu’alam


Dianth
Kalaupun mereka memakai logika, maka mereka ternyata bukan ahli logika juga. Yang paling susah menghadapi mereka adalah sikap anti kritik dan fanatisme yg luar biasa. Salam buat Mas Zon.
=====
21 Mei 2011 oleh mutiarazuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar