Tersebut dalam sejarah, bahwa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.
Sulaiman bertanya kepada adiknya: “Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima ”.
Sulaiman: “Tetapi kamu menjadikan 6!”
Muhammad: “Apa?“
Sulaiman: “Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir“.
Muhammad : “Terdiam dan marah“.
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi)
Tertulis pula perdebatan seorang laki-laki dengan Muhammad bin Abdul Wahab.
Seorang laki-laki bertanya : “Berapa orang yang dibebaskan Tuhan dalam bulan Ramadhan?”
Muhammad bin Abdul Wahab : “Seratus ribu”.
Laki-laki itu bertanya lagi : “Pada akhir malam bulan Ramadhan berapa?”
Muhammad bin Abdul Wahab menjawab : “Pada akhir bulan Ramadhan dibebaskan Tuban sebanyak yang telah dibebaskannya tiap-tiap malam Ramadhan”. (Jawaban ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi).
Laki-laki ini bertanya lagi : “Dari mana diambil orang Islam sebanyak itu padahal murid kamu tidak sampai sebanyak itu?”
Muhammad bin Abdul Wahab marah dan berusaha menangkap orang itu.
Kedua percakapan di atas kami ambil dari buku I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, KH Siradjuddin Abbas, hal 356, Cetakan ke 8, 2008 , Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810
Apa yang disampaikan oleh Sulaiman bin Abdul Wahhab tentang Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa “Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.“ Hal ini menjadi teladan bagi segilintir ulama. Mereka berkeyakinan bahwa “barangsiapa yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ikuti atau mereka pahami adalah sesat atau bahkan kafir”
Ulama mereka berpendapat,
*****awal kutipan*****
“Golongan (Hizb) atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata!”
Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya.
Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.
Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih”
*****akhir kutipan*****
Lihatlah contoh lainnya nya padahttp://nasihatonline.wordpress.com/2010/09/24/fatwa-fatwa-ulama-ahlus-sunnah-tentang-kelompok-kelompok-islam-kontemporer/
Bagi mereka menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah cukup. Harus sesuai dengan apa yang mereka ikuti atau pahami dan mereka namakan manhaj Salafush Sholeh
Apakah sebenarnya yang mereka namakan manhaj Salafush Sholeh ?
Jalan/cara yang dipahami oleh segilintir ulama yang berupaya memahami lafazh / tulisan ulama Salaf yang Sholeh namun pemahaman segelintir ulama tersebut bisa benar dan bisa pula salah
Salafi adalah saudara muslim kita yang mengikuti mazhab/manhaj Salaf
Mazhab/manhaj Salaf walaupun namanya terkait Salaf (terdahulu) namun sebenarnya adalah perkara baru yang tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para Salafush Sholeh.
Hal ini telah kami uraikan dalam beberapa tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/07/mengapa-harus-salafi/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/18/istilah-yang-menyesatkan/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/12/boleh-jadi-fitnah/
Umumnya mereka meremehkan ulama-ulama khalaf (ulama kemudian) walaupun pada hakikatnya merekapun termasuk ulama khalaf.
Ulama khalaf dapat mencapai derajat sebagaimana ulama salaf asalkan mencapai kesholehan. Jadi boleh saja ada ulama khalaf yang sholeh.
Generasi terbaik tidak terbatas hanya pada tiga generasi pertama namun diiikuti generasi-generasi berikutnya bagi mereka yang bersaksi bahwa “Muhammad adalah utusan Allah”.
Ini terkait dengan firman Allah ta’ala yang artinya, “kuntum khayra ummatin ukhrijat lilnnaasi“, “Kamu (umat Rasulullah) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS Ali Imran [3]:110 ).
Derajat manusia tidak tergantung kapan mereka hidup atau kapan mereka dilahirkan namun semua itu tergantung dengan ketaqwaan kita kepada Allah Azza wa Jalla.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“. (QS al Hujurat [49]:13 )
Indikator ketaqwaan adalah terwujud dalam akhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan.
Tentang Ihsan atau tentang akhak yang terurai pada kitab-kitab klasik tasawuf dan disusun oleh ulama-ulama Sufi adalah puncak dari Risalah yang dibawa oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad). Hal ini telah kami uraikan dalam bebrapa tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/indikator-muslim-baik/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/05/pengikut-salafush-sholeh-sebenarnya/
Oleh karenanya yang kita ikuti adalah Salaf yang sholeh begitupula kita boleh mengikuti khalaf yang sholeh.
Muslim yang berakhlak baik adalah muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang sholeh (sholihin), muslim yang melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan atau minimal muslim yang meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan manusia.
Dia (malaikat Jibril) bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim)
”Musllim yang bagaimana yang paling baik?” Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
“Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
“Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
“Peliharalah (perintah dan larangan) Allah, niscaya kamu akan selalu merasakan kehadiranNya.
Kenalilah Allah waktu kamu senang, niscaya Allah akan mengenalimu waktu kamu dalam kesulitan.
Ketahuilah, apa yang luput dari kamu adalah sesuatu yang pasti tidak mengenaimu dan apa yang akan mengenaimu pasti tidak akan meleset dari kamu.
Kemenangan (keberhasilan) hanya dapat dicapai dengan kesabaran.
Kelonggaran bersamaan dengan kesusahan dan datangnya kesulitan bersamaan dengan kemudahan” (HR. Tirmidzi)
“Sesungguhnya bermula datangnya Islam dianggap asing (aneh) dan akan datang kembali asing. Namun berbahagialah orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud orang asing (aneh) itu?” Lalu Rasulullah menjawab, “Orang yang melakukan kebaikan-kebaikan di saat orang-orang melakukan pengrusakan.” (HR. Muslim)
“Umat terdahulu selamat (jaya) karena teguhnya keyakinan dan zuhud. Dan umat terakhir kelak akan binasa karena kekikiran (harta dan jiwa) dan cita-cita kosong.” (Ibnu Abi Ad-Dunia)
Tiga perkara berasal dari iman:
(1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan;
(2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil;
(3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)
“Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Kami akhiri tulisan kali ini dengan menyampaikan perkataan seorang ulama khalaf yang sholeh dan mendalami tasawuf menerangkan kepada kami salah satu cara memaknai perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Muutu qabla an tamuutu”, matilah sebelum mati
***** awal kutipan *****
“Sebelum anda meninggal dunia, cobalah mematikan diri anda sejenak.
Tutuplah kedua mata anda dan bayangkan jenazah anda sedang berada di atas keranda mayat diiringi oleh para pengantar jenazah. Keadaan bagaimana yang anda inginkan setelah anda mati, maka jadilah seperti yang anda inginkan di saat anda hidup sekarang ini.
Perbaikilah kesalahan anda, perbaikilah tingkah laku anda, bertaubatlah di atas segala perbuatan maksiat anda, bukalah lembaran baru kehidupan anda dengan perjalanan hidup dan budi pekerti yang baik.
Cucilah hati anda dari kedengkian dan bersihkanlah dari pengkhianatan. Kelak anda akan mengingat apa yang telah anda lakukan karena makhluk-makhluk ibarat pena Allah ta’ala dan seluruh manusia adalah saksi Allah ta’ala di bumiNya.
Jika mereka bersaksi dengan memuji anda, maka itu adalah khabar baik buat anda dan kesaksian ini diterima di sisi Allah yang Maha Esa. Namun jika mereka bersaksi dengan menyebutkan keburukan anda, maka anda sangat merugi di atas apa yang sedang menanti anda“
*****akhir kutipan ****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
2 Tanggapan
kalau mengaku mu’min tentunya pandangan dan sikap hidupnya sesuai dengan apa yg digambarkan dalam Al Qur’an.
apa iya orang mu’min itu suka mendahului Allah dan Rasul Nya??
pada 19 Oktober 2011 pada 8:53 pm | Balassalafy totok
terima kasih, ya ustadz. Smoga Alloh memberikan cahaya hikmah pada kami agar dapat memahami maksud anda baik tersurat ataupun tersirat….
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar