Urusan kami

Urusan kami
Sungguh tepatlah ketiga kaidah ini
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya“
atau selengkapnya
“Hukum asal perbuatan / ibadah manusia adalah mubah (boleh) namun jika mereka mengingat Allah, memandang Allah, mengaku sebagai hamba Allah, merujuk kepada petunjukNya (al-Quran dan Hadits) akan berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram (larangan) atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah“.
Kita sudah paham bahwa Allah swt telah menetapkan seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman sedangkan selebihnya Allah swt telah diamkan/bolehkan. dan Allah swt tidak lupa. Seluruh yang Allah swt telah tetapkan, sudah dijelaskan, disampaikan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, kepada hamba Allah swt. Seluruh kewajiban, seluruh “urusan kami” telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Itulah yang disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan.
Seluruh kewajiban, larangan dan pengharaman atau seluruh syariat bagi hamba Allah swt telah ditetapkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an dan Hadits, selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang boleh dilakukan selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya.
Apalagi jika perbuatan/ibadah yang dibolehkan tersebut termasuk perbuatan/ibadah yang dianjurkan maka mereka yang melaksanakan akan mendapatkan kebaikan/pahala.
Seluruh perbuatan/ibadah yang dibolehkan dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan, sebagai tanda kasih Allah swt pada hambaNya.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Oleh karenanya dapat kita pahami kesalah-pahaman ulama/syaikh selama ini dengan kaidah “Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena seluruh yang bathil, yang diharamkan, yang dilarang, telah Allah swt syariatkan, telah Allah swt tetapkan dan telah disampaikan, dijelaskan Rasulullah saw, seluruh kewajiban, seluruh “urusan kami” telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Allah swt tidak lupa !
Tidak ada perkara baru lagi yang termasuk kewajiban, larangan dan pengharaman selain yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Allah swt tidak lupa. Kalau ada fatwa ulama atau ijma ulama tentang kewajiban, larangan atau pengharaman mutlak berlandaskan Al Qur’an dan Hadits artinya kewajiban, larangan dan pengharaman yang dikeluarkan fatwa dan ijma ulama hakikatnya adalah turunan/rujukan dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sekali lagi kami ingatkan bahwa tidak diperkenankan melarang/mengharamkan perbuatan/ibadah seorang muslim hanya berdasarkan sebuah kaidah, bukan berdasarkan dalil dalam Al Qur’an dan Hadits. Sebagaimana telah kami uraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/06/pengharaman-ibadah/
Apakah yang dimaksud atau termasuk perkara syari’at ?
Perkara syariat = Perbuatan syariat = Ibadah syariat = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh muslim / seluruh umat Islam = Perbuatan / Ibadah yang disyaratkan bagi hamba Allah = Perbuatan / Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim = Perbuatan / Ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman = ibadah mahdah = ibadah ketaatan = syarat yang harus dipenuhi sebagai orang beriman = perbuatan/ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Sedangkan perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan = amal kebaikan = amal sholeh = ibadah ghairu mahdah = perbuatan/ibadah kebaikan = perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa = perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa perkara syari’at hanyalah untuk ibadah mahdah sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah perkara amal sholeh = amal kebaikan = ibadah kebaikan
Jika kita melaksanakan perkara syari’at (memenuhi syarat sebagai orang beriman) + perkara amal sholeh maka sesuai janji Allah swt, kita akan dimasukkan kedalam surga tanpa di hisab atau tanpa dianiaya walau sedikitpun,
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Orang dalam keadaan beriman atau orang yang beriman adalah orang dalam ketaatan atau orang yang melaksanakan ibadah mahdah (ibadah ketaatan), orang yang memenuhi syarat sebagai orang beriman atau mukmin.
Orang mengerjakan amal yang shaleh atau amal-amal shaleh adalah orang yang mengerjakan kebaikan atau orang melaksanakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), orang yang sholeh atau muslim sholeh atau muhsin atau muhsinin atau muslim yang ihsan atau muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat segala perbuatan/perilakunya.
Begitu menariknya janji Allah swt itu, sehingga membuat kami kukuh untuk menyampaikan kaidah-kaidah yang telah kami kaji dan berlandaskan Al-Qur’an dan hadits dan kukuh pula untuk menyampaikan kesalah-pahaman kesalahpahaman berdasarkan apa yang kami kaji dalam Al-Qur’an dan Hadits. Mohon maaf sebesar-besarnya, jika dalam penyampaian kami, ada yang kurang berkenan.
Sedangkan salah satu kaidah yang telah saya sampaikan bahwa
“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“ merupakan kaidah untuk ibadah mahdah / ibadah ketaatan.
maknanya adalah
“Segala sesuatu (perbuatan/ibadah) tidak boleh dianggap kewajiban, larangan atau pengharaman selain apa yang Allah swt telah tetapkan“.
Kaidah ini sesuai dengan hadits,
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Sekali lagi kami mengingatkan bahwa fatwa ulama atau ijma ulama tentang kewajiban, larangan dan pengharaman wajib/mutlak berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan kaidah “Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)” , hakikatnya adalah bagian dari kaidah “Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“.
Kaidah “Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)” saya sampaikan untuk menegaskan dan mengingatkan baik diri saya sendiri maupun lainnya bahwa kita tidak boleh melarang perbuatan/ibadah seorang muslim tanpa dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits atau kita tidak boleh menganggap perbuatan/ibadah seorang muslim sebuah kesesatan tanpa dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Perlu kami sampaikan dasar atau alasan perubahan kaidah yang telah kami sampaikan pada awalnya,
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya“, adalah karena timbul pertanyaan, bagaimana kalau ada yang merasa lebih baik kalau sholat subuhnya empat rakaat bukankah tidak ada larangan ? Pertanyaan ini pada dasarnya merupakan pengujian kaidah.
Ketika itu saya jawab , larangan hakikatnya berbeda dengan melarangnya. Melarangnya bisa termasuk pula pengaturan yakni kewajiban, larangan dan pengharaman. Namun apa yang saya pahami belum tentu dapat diterima oleh orang lain dan juga meninggat akan timbulnya kesalahpahaman maka kami ubah kaidahnya menjadi
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya“
Mengaturnya = syariat = yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman.
Sehingga akan tercegahlah kemungkinan ibadah baru seperti sholat subuh 4 rakaat, karena sudah ada dalil/hujjah yang mengaturnya. Begitu pula akan tercegah kemungkinan timbulnya segala ibadah-ibadah baru dalam bentuk kewajiban, larangan dan pengharaman karena sudah ada dalil/hujjah yang mengaturnya.
Sekali lagi saya sampaikan kesalahpahaman kaidah “Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” karena kita sudah paham bahwa ada perbuatan/ibadah yang pada asalnya, pada awalnya memang telah Allah swt telah diamkan/bolehkan.
Adakah dalil/hujjah yang menjelaskan bahwa perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan, pada asalnya, pada awalnya adalah bathil/haram/terlarang ?
Juga kita paham bahwa perbuatan/ibadah mahdah, pada asalnya, pada awalnya bukanlah bathil/haram/terlarang namun hakikatnya pada awalnya, pada asalnya adalah mubah(boleh) dan kemudian ditetapkan oleh Allah swt dalam berupa kewajiban, larangan dan pengharaman sampai pada hari yang Allah swt katakan sebagai “hari ini telah Kusempurnakan”.
Sebagaimana firman Allah swt yang artinya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu“. (QS Al Maaidah [5]:3 )
Hakikat bahwa pada asalnya atau pada awalnya adalah mubah (boleh) berlandaskan kejadian pada asalnya/awalnya yakni pada masa Nabi Adam as sebagaimana firman Allah swt yang artinya
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al A’raaf [7]:19 )
Pada awalnya, pada asalnya  Nabi Adam as dan istrinya dibolehkan untuk tinggal di surga dan Allah swt membolehkan makan makanan yang tersedia kecuali suatu larangan.
Kemudian kaidah tsb berlaku pula ketika manusia pada awalnya dibolehkan untuk memilih masuk agama Islam atau tidak , artinya tanpa paksaan namun pada hakekatnya ada sebuah larangan untuk tidak menyekutukan Allah swt.
Sebagaimana bisa kita pahami kebolehan/tidak ada paksaan pada firman Allah swt yang artinya
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (QS Al Baqarah [2]: 256)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-syams: 8-10)
“Hanya kepada Allah sujud (tunduk) siapapun yang berada di langit dan di bumi secara patuh dan terpaksa“. (QS Ar-Rad [13]:15 ).
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi“. (QS Az Zumar [39]:65 )
“Sesungguhnya Allah mela’nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka)” (QS Al Ahzab [33]:64 )
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” (QS al Maaidah [5]: 10 )
“Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka“. (QS Ibrahim [14]:30 )
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)
Intinya, pada dasarnya, pada asalnya, pada awalnya seluruh perbuatan/ibadah adalah mubah(boleh) atau memilih, namun yang ada pada hakekatnya ada larangan yang ditetapkan Allah swt yakni untuk tidak menyekutukan Nya.
Manusia diberikan pilihan oleh Allah swt jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. Jika manusia memilih jalan kefasikan (beribadah kepada selain Allah swt) maka mereka mengerjakan larangan Allah swt yakni kafir (menyekutukan Allah swt) maka mereka akan menempati neraka di akhirat kelak.
Akibat kesalahpahaman sebuah kaidah tentang ibadah
Disebabkan oleh kaidah “Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” , kaum wahabi atau salaf(i) dan sebagian ulama lainnya menganggap seluruh perbuatan/ibadah seorang muslim wajib mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Salafush Sholeh sehingga kerap kali mereka bertanya, “Apakah perbuatan/ibadah itu pernah dikerjakan Rasulullah saw dan Salafush sholeh ?”
Pada akhirnya mereka melarang segala perbuatan/ibadah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw atau Salafush Sholeh atau ulama-ulama terdahulu (ulama salaf). Sehingga secara tidak disadari mereka telah melarang perbuatan/ibadah seorang muslim hanya bersandarkan pada sebuah kaidah yang sesungguhnya tidak mempunyai dalil dalam Al-Qur’an dan hadits.
Bahkan gara-gara kaidah tersebut mereka salah memahami tentang bid’ah sehingga secara tidak disadari mereka keliru menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah. Mereka tidak dapat membedakan perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan), dikarenakan mereka salah paham kaidah tentang ibadah.
Sebagian dari mereka bahkan mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalah-pahaman tentang bid’ah, yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan pentakfiran. Kerap kali mereka yang mensesatkan, “menggunakan” firman Allah swt untuk “menilai” atau “menghukum” saudara muslim lainnya salah satunya yang artinya,
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus” (QS Al An’aam [6]:39 )
atau
“Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan“. (QS Al A’raaf [7]:186 )
Untuk itulah kami bersikukuh untuk menyampaikan segala kesalah-pahaman yang telah terjadi, sekali lagi kami mohon maaf, jika ada yang kurang berkenan dalam hal penyampaian.
Ikutilah jalan/manhaj/tarekat yang berupaya agar  masuk surga tanpa hisab.
“..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, makaberlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS Al Maaidah [5]:48)
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa“. (QS Al An’aam [6]:153 )
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan“.(QS Al Maaidah [5]:35 )
“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana“. (QS An Nisaa’ [4]:26 )
Jalan/manhaj/tarekat agar kita masuk surga tanpa hisab atau tanpa dianiaya walau sedikitpun adalah mengikuti apa yang telah diajarkan oleh malaikat Jibril dan telah disampaikan oleh Rasulullah saw,  memahami dan melaksanakan keseluruhan pokok ajaran Islam yakni tentang Islam (rukun Islam/fikih), tentang Iman (rukun iman/ushuluddin) dan tentang Ihsan (akhlak/tasawuf).
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Jadilah Muslim Sholeh sebagaimana Rasulullah saw dan Salafush Sholeh.
Allah SWT telah menyatakan tentang keluhuran akhlak Rasulullah, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Qolam : 4 “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim” (dan sungguh kamu benar-benar berbudi pekerti yang Agung).
Di antara keistimewaan Nabi Muhammad saw adalah keberadaannya sebagai manusia yang memiliki akhlak tinggi, mulia dan agung. Akhlak ini dimiliki beliau saw semenjak belum menjadi nabi dan rasul, sebagaimana pernyataan Ummul Mukminin Khadijah ra, “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, engkau menyambung hubungan silaturrahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, membantu yang tidak berpunya, menyuguhkan penghormatan untuk tamu dan membantu mereka yang terkena musibah.” (HR Bukhari)
Suatu ketika ‘Aisyah, istri Rasulullah ditanya oleh sahabat beliau tentang akhlak Rasulullah. ‘Aisyah menjawab: “Kaana khuluquhul quran” (akhlak beliau adalah ajaran-ajaran Al-Quran). Jadi Rasulullah SAW adalah teladan manusia Qur’any. Kalau kita ingin melihat Al-Qur’an hidup, Al-Qur’an berjalan adalah pada diri Rasulullah SAW.
Rasulullah saw pernah bersabda, “Kebajikan itu adalah akhlak yang baik” (HR Muslim).
Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku tidak diutus oleh Allah swt kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR Malik).
Rasulullah saw bersabda, “Orang-orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan manusia yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi)
Rasulullah saw bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga adalah ketaqwaan kepada Allah swt dan akhlak yang baik, sementara yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah mulut dan kemaluan.” (hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Muslim yang sholeh adalah muslim yang ihsan atau muhsinin, muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah swt atau muslim yang dapat melihat Allah swt dengan hati (bashirah) atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah swt melihat seluruh perbuatan/perilaku.
Muslim yang sholeh adalah muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang mempunyai kesadaran atau berbuat dan berperilaku secara sadar dan selalu mengingat Allah swt.
Jika kita menjadi muslim sholeh maka kita akan selalu didoakan oleh seluruh umat muslim sepanjang masa.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar