NU dan Politik

Nahdlatul Ulama dan Perkembangan Politik
Sumber : Einar Martahan Sitompul , NU dan Pancasila
Segera setelah menjadi partai politik NU harus menghadapi tantangan berat, yaitu makin meluasnya pemberontakan apa yang menyebut dirinya Darul Islamatau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo, yang bermula dan berpusat di Jawa Barat, “tempat Negara Islam Indonesia diproklamasikan pada 7 Agustus 1949, gerakan ini kemudian menyebar ke bagian-bagian Jawa Tengah, ke Kalimantan Selatan, ke Sulawesi Selatan, dan ke Aceh.” (68)
Tentang pengertian Darul Islam C. van Dijk menguraikan, Darul Islam (bahasa Arab dar-Islam) secara harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam, yaitu “dunia atau wilayah Islam.” Yang dimaksud adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan Islam dan pelaksanaan syariat Islam dan peraturan-peraturannya diwajibkan. Lawannya adalah, Darul Harb, “wilayah perang, dunia kaum kafir”, yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar-Islam.
Di Indonesia kata-kata Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia.(69)
Kartosuwiryo adalah seorang bekas pengurus PSII dan pernah dekat dengan pendiri PSII Cokroaminoto.(70).  Ia mempunyai latar belakang pendidikan Barat. “Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam.“(71)
Pemberontakan Darul Islam ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia justru karena mengatasnamakan agama Islam. Apalagi karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).”(72)
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia. Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain. Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum Islam.(73)
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954.(74) Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu(75) memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati.(76) Boland menerjemahkannya: “pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasar Surah 4 ayat 59).”(77) Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang Surah 4: 59, Ulu-l-amr adalah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melakokan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan. Adalah sudah menjadi kenyataan di mana-mana terdapat pemisahan yang tajam antara hukum dan moral, antara urusan sekuler dan keagamaan, sebagaimana terjadi di berbagai negeri sekarang ini, Islam tetap mengharapkan kekuasaan sekuler dijalankan secara benar ….(78)
Keputusan ini sangat penting bagi NU khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah adalah gerakan politik keislaman yang menentang pemerintahan yang sedang berkuasa. Gelar itu memberikan kemantapan atau kepastian bagi umat Islam untuk mematuhi tindakan pemerintah yang dipimpin Sukarno terhadap DI/TII. Keputusan itu makin diperlukan mengingat Masyumi tidak tegas, bahkan cenderung simpati terhadap gerakan DI/TII.(79)
Penjelasan yang lebih tegas lagi tentang sikap NU di atas kita peroleh dari Abdurrahman Wahid dalam artikelnya “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini” yang ditulisnya pada tahun 1984.(80) Menurut Abdurrahman Wahid pengukuhan kedudukan pimpinan negara menjadi Waliyal Amri Dharuris Bis Syaukati merupakan keputusan yang berlandaskan hukum fiqh.(81) Diakuinya pimpinan negara “tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal ‘aqdi) . . . sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya tetap harus efektif, karenanya ia berkuasa penuh.”(82) Karena pemerintah menjalankan kepentingan umat Islam — melalui wewenang yang ada pada Menteri Agama — maka ulama harus memberikan penegasan tentang keabsahan pimpinan negara.(83) “Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan,” demikian Wahid,
Itulah yang membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dewasa ini. Dalam pandangan fiqh, asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apa pun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama….(84)
Ia juga membantah tuduhan bahwa NU bersikap oportunistik; karena yang penting bagi NU bakanlah “strategi perjuangan politik” atau “ideologi Islam” tetapi “keabsahan di mata hukum fiqh.”(85) Sudah tentu penentuan sikap berdasarkan hukum fiqh bukanlah hal yang mudah seperti memilih sebuah buku dari perpustakaan, karena pemberlakuan hukum Islam dalam sejarah dapat berubah, berbeda, bahkan bertentangan antara yang satu dengan yang lain.(86) NU bukan tidak pernah mengalami perbedaan atau pertentangan pendapat, seperti contoh yang diketengahkan oleh Wahid yaitu waktu NU menanggapi pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat oleh Sukarno pada tahun 1960-an, sebagian ulama setuju tetapi sebagian lagi menentang.(87) Namun karena NU memiliki mekanisme konsensus yang tinggi yang disebutnya “setuju untuk tidak setuju (agree to disagree)”, maka keutuhan NU selalu terpelihara.(88) Mekanisme ini mempunyai kelemahan juga, yaitu seperti yang dikatakan oleh Wahid, “lamanya proses pengambilan keputusan dan tidak jelasnya pendapat organisasi dalam sesuatu masalah.”(89)
Dari uraian di atas terungkap bahwa NU mengutamakan sikap keagamaan yang berlandaskan hukum fiqh ketimbang sikap politis-ideologis (yang cenderung rasionalistik), dan sikap yang demikian akan lebih mudah dimengerti oleh umat Islam.
Dengan keputusan itu berarti pemerintah Sukarno adalah pemerintahan yang sah menurut hukum Islam,(90) dan “sekaligus berarti memberikan legitimasi keagamaan dalam rangka politik menghadapi pemberontakan DI/TII dan wewenang mengangkat para pejabat yang berwewenang untuk menangani urusan-urusan yang langsung menyangkut ummat Islam ….(91) Ciri khas NU sebagai organisasi keagamaan tetap menonjol walaupun ia sudah menjadi partai politik. Mungkin sekali ciri khas itu yang menyebabkan NU selalu berhati-hati menilai suatu perkembangan dan tidak mudah jatuh kepada sikap hitam putih!
Setelah pemilihan umum 1955 usai, NU harus menghadapi persoalan lain yang tak kurang beratnya. Sebagaimana telah disinggung bahwa konstituante tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang dasar negara dan kemudian Presiden Sukarno mengatasi dengan Dekrit Kembali ke UUD ’45 tanggal 5 Juli 1959.(92) Ketika terlihat tanda-tanda Presiden akan memberlakukan kembali UUD 1945, NU tidak berdiam diri menantikan apa yang akan terjadi. Pada tanggal 26-28 Maret 1958 NU mengadakan Sidang Dewan Partai di Cipanas Bogor, dan berhasil merumuskan usul yang sedikit banyak menyetujui niat Presiden untuk kembali ke UUD 1945, Dapat menerima UUD 1945 sebagai UUD RI dengan pengertian:
a) Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD tersebut pada keseluruhannya dan merupakan sumber hukum;
b) Islam tetap menjadi perjuangan partai NU;
c) Hasil-hasil pleno Konstituante tetap berlaku.(93)
Dan salah satu pertimbangan Dekrit itu menyebutkan tentang Piagam Jakarta;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.(94)

Kata menjiwai oleh kalangan nasionalis muslim segera dijadikan titik perjuangan menuntut memberlakukan rumusan Piagam Jakarta. Dengan panjang lebar Anshari menguraikan berbagai pendapat untuk menguatkan posisi Piagam Jakarta berdasarkan kata menjiwai itu.(95) A. Sanusi mengatakan bahwa kata menjiwai berarti “memberi jiwa” dan “memberi kehidupan dan kekuatan.”(96) Dengan kata lain menjiwai bagi kalangan nasionalis muslim berarti bahwa rumusan Piagam Jakarta (yang memberi kedudukan istimewa bagi umat Islam) yang menentukan pemberlakukan Pancasila dan UUD 1945! Tetapi tidak demikian pengertian Sukarno dan kalangan nasionalis sekuler (nasionalis netral agama). Bagi mereka — seperti yang dirumuskan dengan tepat oleh Tanja — maksud menjiwai hanyalah “menunjukkan adanya jalinan atau hubungan menyejarah antara Jakarta Charter dan Pancasila.”(97)
Dekrit berikut pertimbangan menjiwai tadi merupakan langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk meredakan ketegangan dalam konstituante akibat tuntutan gencar kalangan Islam agar negara berlandaskan Islam.(98) Lagi pula, pada masa itu pemerintah sedang menghadapi pemberontakan DI/TII (Darul Islam) dan pemberontakan lain di luar Jawa.(99)
Presiden Sukarno bertindak demikian, tidak hanya untuk mendobrak kemacetan parlementer tetapi juga untuk membuyarkan ketegangan yang dapat meledak serta untuk menenangkan perbedaan-perbedaan keagamaan dengan kembali kepada cara pemecahan tahun 1945 yang dari segi agama tidak mengambil pihak.(100)
Setelah keluar Dekrit — yang didukung oleh Angkatan Darat dan disetujui oleh DPR hasil pemilu 1955(101) — maka makin kuatlah kedudukan Presiden Sukarno.(102) Dan dengan gagasan Demokrasi Terpimpinnya, ia mampu mengendalikan semua kekuatan politik.(103) Ketika Sukarno membubarkan Masyumi tahun 1960, maka praktis hanya NU, PSII dan Perti — yang menjadi tumpuan kekuatan Islam.
Dalam upaya untuk mengendalikan kekuatan politik, Sukarno mencetuskan gagasan Nasakom (singkatan dari Nas, untuk Nasionalis, A untuk Agama, dan Kom untuk Komunis) untuk menghimpun tiga aliran kekuatan politik kala itu, yang berlandaskan nasionalisme (seperti PNI), Agama (seperti NU) dan Komunis (PKI).(104)
Nasakom mengungkapkan cita-cita Bung Karno (istilah populer untuk Presiden Sukarno) yang lama tentang persatuan nasional. Akarnya sudah terdapat dalam tulisan Bung Karno ‘Nasionalisme—Islamisme—Marxisme’ (1926). Pada waktu itu, di Indonesia terdapat bermacam-macam partai yang dapat dibagi dalam tiga golongan besar: Nasionalis, Agama dan Marxis. Agar cita-cita setiap golongan, maka lebih dahulu di antara mereka harus ada semacam persatuan dalam program perjuangan dasar untuk bersama-sama melepaskan diri dari penjajahan. Sesudah tahun 1959 …. untuk menghilangkan ‘kesulitan’ masa Liberal (1950-1959) yang tidak memungkinkan Sukarno memerintah sendiri. Maka persatuan tiga unsur NAS—A—KOM dipropagandakan dengan dalih ‘demi penyelesaian revolusi’ . . . Sejak dahulu Soekarno haus akan kerukunan, betapa pun rapuh landasannya …. (105)
Sebenarnya gagasan Sukarno itu bertolak dari “warisan kebudayaan Jawa yang merupakan campuran selaras dari semua anasir yang berbeda-beda menjadi satu sistem yang manunggal.”(106) Sulit sekali tantangan yang dihadapi NU dengan adanya gagasan Nasakom itu. Bila ia berdiam diri sama dengan membiarkan PKI bertindak makin leluasa. Bila menentang, nasib Masyumi dapat saja terjadi pada NU. Kalau ia ikut serta, dapatkah ia berdampingan dengan PKI yang atheis itu? Sebenarnya Nasakom hanyalah salah satu kasus sulit — mungkin yang paling sulit di zaman Orde Lama — dihadapi NU.
Dengan keluarnya Dekrit Presiden, semua partai khususnya NU harus mengeluarkan segala daya untuk dapat bertahan menghadapi berbagai gebrakan-gebrakan politik pemerintahan Sukarno. Dalam keadaan yang sangat sulit itu NU lebih cenderung memilih sikap fleksibel agar mampu bertahan hidup. Bertahan hidup akan memberi harapan daripada keras tetapi dengan resiko kematian. Di saat yang sulit itu besar sekali jasa K.H. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971), Rois Am, memimpin NU mengatasi tantangan. Dia yang dilukiskan oleh Zuhri mempunyai “pergaulan luas” dan “daya pemersatu di kalangan ulama yang sedang mencari jawaban antara cita-cita dan kenyataan yang mereka hadapi,”(107) memberikan fatwa:  Jadilah seperti ikan yang hidup! Ikan itu selagi dia masih hidup, masih mempunyai ruh atau nyawa biar dia seratus tahun hidup di laut yang mengandung garam, dia tetap saja tawardagingnya tidak menjadi asin. Sebabnya karena dia mempunyai ruh, karena dia hidup dengan seluruh jiwa. Sebaliknya kalau ikan itu sudah mati, sudah tidak mempunyai nyawa, tiga menit saja taruh dia di kuali yang bergaram, maka dia akan menjadi asin rasanya.(108)
Bagaimana agar tetap hidup dengan “tidak menjadi asin” itulah yang penting bagi NU. NU tidak ingin hidup berlandaskan oportunisme politik, tetapi harus mempunyai landasan keagamaan (diniyah). Untuk itu NU mengajukan kaidah menerima Nasakom: “Dar’ul mafaasid moqoddamun ala jalbil mashalih” yang dapat diartikan “menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.”(l09) Dalam kaitan ini Idham Chalid, ketua umum, yang terkenal dekat dengan Wahab Hasbullah menyatakan tentang politik NU: Dalam segi politik dalam negeri, Nahdlatul Ulama selalu mencoba dalam batas-batas kemungkinan menyesuaikan dirinya dengan waktu dan peristiwa dan tidak pernah tampil baik aktif maupun reaktif dengan sesuatu yang absolut dan mutlak-mutlakan.(110)
Sikap-sikap yang dirumuskan di atas, di laut tetapi tidak menjadi asin” atau “selalu mencoba dalam batas-batas kemungkinan”, sikap yang fleksibel dalam politik, berakar pada doktrin ahlusunnah wal jamaah.(111) Sambil menandaskan anutan NU dalam tauhid mengikuti al-Asyari dan al-Maturidi, mengikuti salah satu dari empat mazhab, dan mengikuti al-Junaid dalam tasawuf (sufisme), sebagai dasar NU mengembangkan “tradisi keilmuagamaan paripurna,” maka NU — kata Wahid — “telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran kegiatan atau bidang perhatian yang baku.”(112)
Pada kesempatan lain Wahid membandingkan sikap keagamaan golongan tradisional (NU) dengan golongan reformis (modernis) dalam memandang kehidupan dunia, Kelompok reformis menganggap bahwa kehidupan dunia mempunyai timbangan sama dalam pandangan agama …. pada kalangan tradisional mempunyai arti lain: persambungan vertikal, dan hal-hal duniawi hanyalah persiapan belaka bagi kebahagiaan kekal di alam baka nanti.(113)
Kendati ia tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut “persambungan vertikal” itu, menurut hemat saya apa yang diungkapkannya sejajar dengan ungkapan yang terkenal di kalangan NU, sebagaimana dikutip oleh Wahid: “Hidup dunia sangatlah penting kalau dijadikan persiapan untuk kebahagiaan akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu.”‘(114)
Dengan demikian NU dapat menerima suatu perkembangan kendati pun perkembangan itu tidak disukainya. Namun serentak dengan itu NU akan selalu mengusahakan sesuatu perkembangan agar selaras dengan tuntutan agama. Sikap keagamaan bukan sikap ideologis yang ditekankan NU dalam menghadapi masalah Nasakom.
Sambil bersikap fleksibel dalam percaturan politiknya, NU mengadakan konsolidasi organisasi. Ormas-ormas (organisasi massa) khususnya organisasi pemuda NU (sering disebut Pemuda Ansor(115) ) disiapkan menghadapi segala kemungkinan akibat ketegangan politis dengan PKI.(116) Sehingga ketika kudeta pecah yang didalangi oleh PKI (yang terkenal dengan istilah G—30—S PKI, singkatan dari Gerakan tiga puluh September) tahun 1965,(117) Praktis NU yang paling siap secara fisik dan politis dalam aksi penumpasan terhadap PKI. Secara fisik, massa NU dengan gigih turut menumpas PKI baik spontan maupun bersama-sama dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), seperti yang terjadi di Jawa Timur.(118) Dan dalam waktu kurang dari seminggu pada tanggal 5 Oktober 1965 mengeluarkan pernyataan politik yang disebut Resolusi Mengutuk Gestapu yang isinya:
1.              Memustuskan kepada Presiden agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya membubarkan PKI beserta semua organisasi massanya.
2.              Memohon kepada Presiden agar mencabut ijin terbit semua surat kabar/pemuda publikasi lainnya yang secara langsung atau tidak langsung membantu kudeta Gerakan 30 September.
3.              Menyerukan kepada seluruh umat Islam dan segenap kekuatan revoulusioner lainnya agar membantu ABRI melaksanakan perintah Presiden dalam menyelesaikan segala akibat yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September.(119)
Kita melihat betapa kuat tuntutan NU dalam soal pembubaran PKI sebagai dalang kudeta. Untuk pembubaran PKI digunakan istilah memutuskan! Yang kedua adalah permohonan dan yang ketiga adalah seruan. Agaknya hal ini mencerminkan sikap hati-hati karena saat itu Presiden Sukarno tidak tegas sikapnya menanggapi kudeta yang gagal itu. Keadaan dan arah makin jelas ketika Mayor Jenderal Suharto, orang yang paling berjasa menumpas PKI dan kemudian menjadi presiden, menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 yang lebih dikenal dengan Supersemar) dari Presiden dan dengan bekal Supersemar itu ia berwenang mengambil segala tindakan yang perlu untuk menegakkan ketertiban dan keamanan.(120)
Kegagalan kudeta PKI dan kemunculan Suharto merupakan babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak 1965 mulailah kurun waktu yang dikenal sebagai Orde Baru (sebelumnya disebut Orde Lama). Orde Baru adalah suatu pengertian politis sebagai upaya meluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen karena Orde Lama dinilai telah menyimpang dari landasan UUD 1945 dan Pancasila.(121) Orde Baru dalam kiprah politiknya ditandai dengan makin kuat dan meluasnya peranan ABRI serta kemunculan kekuatan politik baru yaitu Golkar, serta naiknya kaum teknokrat di panggung pemerintahan. Dan secara ekonomi Orde Baru adalah usaha pembangunan dalam segala bidang.
Dalam lapangan politik Orde Baru melancarkan apa yang disebut Demokrasi Pancasila sebagai antitesis dari Demokrasi Terpimpin yang dinilai telah menyimpang dari UUD 1945. Menyadari usaha ke arah itu tidak mudah, pemerintah menjalankan secara bertahap.(122) Ada dua pokok perhatian, yaitu agar jangan terulang kebebasan tanpa batas seperti dalam zaman Demokrasi Liberal dan upaya mematikan kebebasan seperti dalam zaman Demokrasi Terpimpin.
…. kerangka pemikiran yang melandasi Demokrasi Pancasila ialah membangun sistem politik Indonesia di atas keseimbangan selama ini menunjukkan dua ekstrim yang bisa membahayakan itu. Pertama, kecenderungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas yang mudah meningkatkan kadar konflik menjadi tinggi dan berlarut-larut sehingga masyarakat tetap terpecah belah dalam kotak-kotak ikatan sub-nasional atau primordial. Kedua, kecenderungan mematikan sama sekali konflik (kritik atau perbedaan pendapat) yang menjurus kepada sikap dan tingkah laku diktatorial.(123)
Bagaimana sikap NU menghadapi pembaharuan politik yang dilancarkan oleh Orde Baru?
Partai-partai politik khususnya NU memandang bahwa dengan jatuhnya Orde Lama adalah kesempatan untuk menunjukkan kemampuan politik dengan cara mendesak pemerintah segera mengadakan pemilihan umum. Pemilu yang direncanakan tahun 1968 kemudian tertunda karena Undang-undang Pemlihan Umum tersendat penyelesaiannya, pemerintah ingin menunda sampai tahun 1973, akhirnya diputuskan untuk dilansungkan tahun 1971 atas desakan NU!(124) Dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (yang disahkan tabun 1969) kedudukan ABRI dijamm melalui pengangkatan.(125) Secara tidak langsung ABRI berhasil mengukuhkan kehadirannya tetapi bagi partai berarti “merosotnya peranan partai terutama NU”!(126)
H. Subchan Z.E. seorang tokoh NU memberi komentar yang bernada pasrah, Secara umum dikatakan bahwa UU Pemilihan Umum tidak relevant dan tidak “demokratis” secara sempurna. Namun demikian masih lebih baik dari pada tidak ada undang-undang pemilihan umum itu. Ini merupakan permulaan yang baik dari kehidupan demokrasi, setelah ditinggalkan oleh rezim Soekarno.(127)
Subchan Z.E. adalah seorang tokoh NU yang cukup berbobot. Ia terpilih menjadi Ketua I (semula Ketua IV) dalam Muktamar NU ke-24 di Bandung tahun 1968.(128) Dia juga menjabat Wakil Ketua MPR Sementara.(129) Kalangan NU menilainya seorang tokoh yang keras sikapnya dan Subchan sering menilai sikap NU selama ini (di zaman Orde Lama) terlalu lunak.
Subchan memang sangat ambisi untuk membawa NU sebagai kekuatan sosial politik yang disegani. Di saat posisi NU sedang terjepit, khususnya di lembaga konstitusi, Subchan justru mengemukakan resep untuk mengangkat derajat NU di medan politik …. Menurut Subchan, bahwa sikap ekstrim bukanlah fitrah perjuangan NU . . Tetapi sikap oportunisme juga dikecam oleh Subchan . . . oportunisme hanya membuat NU akhirnya disenangi dan dipergunakan, tetapi tidak dihormati dan didengar sama sekali.(130)
Sikapnya itu menimbulkan pertentangan di dalam tubuh NU. Secara terang-terangan Idham Chalid mengritik sikap Subchan.(131) Namun dia tampaknya mempunyai banyak pendukung. Muktamar Ke-25 di Surabaya hampir saja memilih dia sebagai ketua umum tetapi atas tekanan KH. Bishri Sansuri seorang ulama senior yang kemudian menjadi Rois Am menggantikan wahab Hasbullah, Subchan mengundurkan diri dari pencalonan.(132) Akhirnya ambisi Subchan kandas dengan keluarnya Surat Pemecatan Rois Am K.H. Bishri Sansuri pada bulan Januari 1972. Tetapi Subchan menolak dengan keras pemecatan itu dan menuntut diadakan Muktamar luar biasa.(133) Hanya karena Subchan meninggal dalam tahun yang sama maka NU terhindar dari kemelut.(134)
Kemunculan Subchan mungkin boleh dinilai merupakan fenomena baru dalam kiprah NU. Pertama, pada masa Orde Lama karena tekanan eksternal sangat kuat, NU tampil berhati-hati dan prihatin terhadap kelangsungan hidup partai, serta lebih menonjolkan sifat keagamaannya. Tetapi setelah Orde Baru dan hancurnya musuh lama PKI, maka NU mulai memperjuangkan pengaruh dalam lapangan politik. Sekurang-kurangnya penampilan Subchan mengungkapkan bahwa NU makin larut dalam memperjuangkan pengaruh politik. Mungkin hal ini sebagian didorong oleh pengalaman manis di awal Orde Baru ketika NU bersama ABRI dan kekuatan sosial politik lainnya yang anti komunis menikmati “bulan madu.” Sebelum Pemilu 1971 NU berpengaruh kuat dalam legislatif dan kabinet (Subchan menjadi Wakil Ketua MPR Sementara, K.H.A. Sjaichu menduduki jabatan Ketua DPR, dan K.H. Mohammad Dachlan sebagai Menteri Agama).(135) Kedua, konsekuensi dari hal itu NU makin bergantung pada politisi dan serentak dengan itu peranan ulama makin tergeser ke belakang.
Pembangunan yang digalakkan oleh Orde Baru telah mulai terasa dampaknya pada NU. Di saat NU berusaha memperkuat pengaruh politiknya, secara organisasi keagamaan ia makin mundur. Maksoem Machfoedz menilai dengan realistis bahwa ada lima hal penyebab kemunduran (menurut dia sejak 1967),
1.              Bergesernya tata nilai
Sejak NU menjadi partai politik, apa yang diutamakan hanyalah angka pengikut dan kursi. Ia mengabaikan pengembangan ajaran agama.

2.              Munculnya tokoh-tokoh baru
Karena kurangnya tenaga tekhnokrat maka muncullah tokoh-tokoh baru menduduki posisi kepengurusan walaupun integritas keagamaannya belum terjamin.

3.              Tanpa generasi penerus
Pesantren yang dikenal sebagai basis, karena diabaikan, tidak mampu lagi menelorkan tenaga muda sebagai generasi penerus.

4.              Sistematika penyerapan hukum Islam goyah
Disiplin hidup makin longgar dan NU tidak mampu memberi pedoman baru, karena hukum (fiqh) tidak digali secara mendalam. Bahkan ada kecenderungan memperalatnya untuk program.

5.              Memindahkan basis
Hangatnya profesionalisme di mana NU juga mempunyai wadahnya (terbentuknya organisasi-organisasi buruh, petani, guru, dan sebagainya, yang bernaung di bawah NU), adalah pertanda bertambah basis-basis baru di samping pesantren sebagai basis lama. Tetapi pertambahan basis belum sempat dikelola secara organisatoris.(136)

Kemunculan Orde Baru telah membuat NU dan kekuatan politik Islam lainnya menaruh harapan akan dapat meraih kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan pada masa Orde Lama. Harapan itu rupanya hanyalah harapan semu. NU kurang menyadari bahwa sejak kemunculan Orde Baru situasi telah berubah; pemerintahan dikendalikan oleh kalangan birokrat, ABRI dan teknokrat. Dengan menangnya Golkar, organisasi politik dari pemerintah yang sedang berkuasa, maka mudah bagi pemerintah mengarahkan perkembangan politik dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. Serentak dengan itu peranan partai politik tidak lagi sekuat seperti pada zaman Orde Lama. Secara khusus NU “kehilangan” jabatan menteri agama yang selalu dipercayakan kepada tokohnya sejak tahun 1950-an. Jabatan menteri agama pada tahun 1971 dipercayakan kepada seorang teknokrat tamatan sebuah universitas di Kanada, yaitu Mukti Ali.
______________________
68. C.van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner of Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm. xvii-xviii.
69. Ibid., hlm. 170.
70. Ibid., hlm. 13-14.
71. Boland, op cit., hlm. 59.
72. Yusuf, et al., op cit., hlm. 46.
73. Ibid., Cetak tebal dari saya.
74. Anam, op.cit., hlm. 200.
75. Ibid.
76. Yusuf, et al., loc.cit.
77. Boland, op.cit., hlm. 138. Istilah Syaukati yang “pasukan bersenjata” terdapat dalam Sura 8:7. Lihat, Ibid., Catatan Kaki nomor 100. Pemberian Gelar itu dikecam habis-habisan oleh kalangan pembaharuan. Alasan mereka, antara lain, karena negara Indonesia tidak berlandaskan Islam. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 341-344.
78. A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Translation and Commentary, (Brentwood, Maryland: Amana Corp., 1983), hlm. 198. Cetak tebal dari saya.
79. Van Dijk, op.cit., hlm. 142.
80. Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini”,Prisma, nomor 4, April 1984, hlm. 31-38.
81. Ibid., hlm. 34. Secara hurufiah fiqh berarti pemahaman atau pengertian. Bersama dengan ilmu (‘ilm), fiqh merupakan usaha (proses) memberlakukan perintah atau jalan Tuhan (Syariah) dan ketaatan kepada Tuhan (ad-Diin); istilahsyariah dan ad-Diin bisa saling dipertukarkan selama menyangkut kandungan agama. Semula fiqh dimengerti sebagai “pemikiran pribadi seorang ulama” dan dalam proses perkembangan selanjutnya menjadi disiplin tersendiri. Rahman,Islam, him. 141 144.
82. Ibid.
83. Ibid.
84. Ibid. Cetak tebal dari saya
85. Ibid.
86. Lihat, Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terjemahan dari ‘The History of Islamic Law’, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. vii-ix (Kata Pengantar Penerbit); Lihat juga, hlm. 1-8.
87. Wahid, “Nabdlatul Ulama”, hlm. 36.
88. Ibid.
89. Ibid.
90. Yusuf, et al., loc.cit.
91. Ibid. Akhirnya, operasi militer berhasil menumpas pemberontakan dengan taktik mengikutsertakan rakyat. Kartosuwiryo ditangkap pada tanggal 4-6-1962 dan dihukum mati 16-8-1962. Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm.162.
92. Supra, hlm. 137.
93. Anam, op.cit., hlm. 217.
94. Lihat Naskah Dekrit dalam Pranarka, op.cit., hlm. 169-170. Cetak tebal dari saya.
95. Lihat, Anshari, op.cit., hlm. 123-130 dan 145-159. O.K. Rahmat, dalam tesisnya 1969 dengan mengutip konsiderans menjiwai mengatakan bahwa Piagam Jakarta mendapat kekuatan hukum untuk turut bersama-sama dengan UUD 1945 menjadi landasan kehidupan bangsa dan perjuangannya.” O.K. Rahmat, Titik-Titik Taut Antara Undang-undang Dasar 1945 dan Hukum Islam, tesis doktor pada Universitas Sumatera Utara 1969, (Medan: Indera Luthfi, 1969), hlm. 26.
96. Dikutip melalui, Ibid., hlm. 146-147.
97 Tanja, Himpunan, hlm.41.
98. Pranarka menginventarisir kalangan Islam mengajukan 99 dalil untuk menuntut agar Islam menjadi dasar dan 49 dalil untuk menolak Pancasila. Lihat, Pranarka, op.cit., hlm. 140-149.
99. Pemberontakan-pemberontakan di daerah menyebabkan Presiden Sukarno memberlakukan keadaan perang (yang lebih dikenal dengan SOB, singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg), yang dengan sendirinya memusatkan kekuasaan pada Presiden dan militer. Lihat, Demokrasi dan Proses Politik, hlm. 184.
100. Tanja, Himpunan, hlm. 86. Cetak tebal dari saya.
101. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 171 di bawah “Dekrit Kembali ke UUD ’45″.
102. Bandingkan, Tanja, Himpunan, hlm. 86-87.
103. Menurut Sukarno Demokrasi Terpimpin adalah jalan keluar dari sistem Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer) yang telah menyebabkan keadaan politik tidak stabil. Dengan adanya Demokrasi Terpimpin peranan Parlemen berkurang tetapi kekuasaan Presiden makin besar. Karim, Perjalanan, hlm. 140-141.
104. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 3, hlm. 215-216 di bawah “Nasakom”.
105. Ibid., hlm. 215.
106. Tanja, Himpunan, hlm. 97.; Bandingkan Badri Yatim, Soekarno. Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hlm. 189.
107. Zuhri, Sejarah. hlm. 607.
108. Diktuip dalam, Anam, op.cit, hlm. 231.
109. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 47.
110. Dikutip dalam Ibid.
111. Supra, hlm. 61-74.
112. Wahid, “Nahdlatul Ulama”, hlm. 33.
113. Wahid, op cit., hlm. 73. Cetak tebal dari saya.
114. Wahid, “Nahdlatul Ulama”, hlm. 34.
115. Ansor (dari kata Arab Anshar atau al-Anshar yang artinya penolong) semula dalam sejarah Islam digunakan untuk penduduk Madinah) yang mendukung nabi Muhammad ketika beliau pindah (hijrah) dari Mekah ke Medinah (623 M ) Boland, op.cit, hlm 55 Catatan kski nomor 110.
116. Anam, op. cit., hlm. 238-243.
117. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 2, hlm. 35-43 di bawah “Gerakan 30 September”.
118. Anam, op.cit., hlm. 245.
119. Lihat, Ibid., Lampiran, hlm. 67-68 (Kutipan merupakan ringkasan). Gestapu adalah singkatan Gerakan September Tiga Puluh, versi lain untuk menyebutkan G – 30 – S. Disebutkan agar orang mudah mengingat karena kekejamannya disamakan dengan kekejaman GESTAPO Nazi Jerman.
120. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 4, hlm. 245-247 di bawah “Surat Perintah Sebelas Maret 1966″.
121. Lihat, Ibid., jilid 3, hlm. 265-268 di bawah “Orde Baru” dan “Orde Lama.”
122. Demokrasi dan Partai Politik, hlm. 145-268
123. Ibid., hlm. 145-146. Cetak tebal dari saya
124. Lihat, Anam, op.cit., hlm. 257.
125. Demokrasi dan Partai Politik, hlm. 191.
126. Anam, op.cit., hlm. 258.
127. Demokrasi dan Partai Politik, hlm. 192.
128. Anam, op.cit., hlm. 259.
129. Ibid., hlm. 246.
130. Ibid., hlm. 260. Cetak tebal dari saya.
131. Ibid., hlm. 262.
132. Ibid., hlm. 265.
133. Lihat, Ibid., hlm. 265-266.
134. Ibid., hlm. 267.
135. Ibid., hlm. 246.
136. Machfoedz, op.cit., hlm. 198-216 (Kutipan adalah ringkasan).
 =====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar