Terhalang melihat Allah swt

Kita menyembah Allah swt sebaiknya dapat memandang (melihat) Allah swt atau kalau belum mampu kita wajib yakin bahwa Allah swt melihat kita, agar amal (perbuatan) kita sampai (wushul) ke hadhirat Allah swt bukan kepada selainNya. Yang dimaksud dengan memandang (melihat) Allah swt disini adalah dengan mata hati (bashirah). Sebagaimana riwayat berikut ini,

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Contoh sederhana akan hadits ini, jika kita mendirikan Sholat , sholat sudah mengikuti Al-Qur’an dan Hadits (Fikih), sholat dilakukan diniatkan karena Allah swt (Ushuluddin) , namun memandang (melihat) selainNya (Tasawuf), misalkan timbul di hati memandang (melihat) manusia agar dianggap sebagai muslim yang sholeh. Sehingga sholatnya lalai. Maka celakalah !
Ini sebuah contoh yang memuat seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, Islam (rukun Islam/ Kitab Fikih), Iman (rukun Iman, kitab Ushuluddin), Ihsan (akhlak, kitab Tasawuf).
Rasulullah saw berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.”

Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Secara sederhana kita bisa kita tangkap makna perkataan Imam Qusyairi,
sesuatu hadir dalam hati ===> selalu sadar dan ingat ==> seakan-akan senantiasa melihat dan meyaksikanNya
Dengan selalu sadar dan ingat kepada Allah swt (mengingat Allah), seorang muslim dapat mencapai tingkatan Ihsan (muhsin), ”seolah-olah melihat-Nya”.
Jadi “seolah-olah melihatNya” timbul dari akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.
Penuhilah hati kita dengan selalu mengingat Allah, kita akan mencapai muslim yang Ihsan (muhsin), “seolah-olah melihat-Nya”.
Sebagaimana yang dikisahkan seorang pemuda dengan kekasih wanita nya. Di mana pemuda itu setiap akan makan, mandi, tidur dan perbuatan lainnya selalu mengingat sang kekasih dan hatinya dipenuhi kekasihnya atau kekasihnya selalu hadir di hati pemuda itu, maka pemuda itu akan ”seolah-olah melihat kekasihnya”. Pemuda tersebut “seolah-olah” menjadi hamba sang kekasih.
Begitu pula bagi seorang muslim, yang mengingat Allah setiap melakukan perbuatan seperti ketika makan, mandi, tidur, mengadakan perjalanan dan perbuatan yang lain, muslim yang selalu mengingat Allah, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi akan mencapai tingkatan ihsan, “seolah-olah melihatNya”. Muslim yang menjadi hamba Allah.
Mengingat Allah setiap melakukan perbuatan ====>> doa sebelum makan, tidur, berjalan, berwudhu, dll.  Minimal dengan
Bismillahirohmanirohim
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang”
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap perbuatan, jika tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.
Perbuatan (amal)  yang tidak dilakukan dengan sadar dan mengingat Allah akan terputus  atau tidak sampai (wushul) ke hadhirat Allah, perbuatan (amal) yang sia-sia.
Amal walaupun dengan Ilmu namun tanpa Akhlak maka akan sia-sia.
Contoh  sederhana lainnya, di dunia maya(internet) kita menulis (AMAL) dalam forum diskusi , milis, jaringan sosial, email, dengan dukungan ILMU yang kita ketahui namun disampaikan dengan AKHLAK yang buruk (terhalang memandang Allah) maka kita dapat celaka.
Lalu, ada yang bertanya, bahwa dia sudah menulis dengan berbagai sindiran, hujatan, olok-olok, fitnah, dengan kemarahan, namun dia yakin bahwa dia dalam kebenaran karena dia yakin Allah setuju, dikarenakan Allah swt tidak memberikan teguran,hukuman/balasan.
Kita harus yakin bahwa al-Haq (kebenaran) tidak akan bercampur dengan kebathilan.
Kebenaran tidak disampaikan dengan hujatan, olok-olok, fitnah maupun kemarahan.
Ingatlah, bisa saja Allah swt mengundur teguran/hukuman/balasan kepada waktu nanti di Akhirat, maka ini adalah sebenar-benarnya kerugian.
Jika Allah swt mencintai hambaNya , bisa Dia menegur seketika itu juga, agar hambaNya mempunyai waktu untuk meminta ampunanNya. Teguran langsung dari Allah swt dapat menunjukkan kedekatan hambaNya kepada Allah swt.
Lalu kenapa kita terhalang melihatNya ?
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah.  Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah swt yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita sehingga tidak dapat memandang Allah swt ?
Di zaman modern ini, sebagian ulama hanya terfokus mengajarkan tentang Islam (rukun Islam / Kitab Fikih),  Iman (rukun Iman / Kitab Ushuluddin) namun sedikit yang mengajarkan tentang Ihsan (akhlak / Kitab Tasawuf).
Bahkan sebagian ulama anti mendalami/mengajarkan kitab Tasawuf hanya karena istilah Tasawuf atau memaknai tasawuf dengan keliru,  atau melihat kepada orang/kaum yang keliru mendalami Tasawuf dalam Islam.
Sehingga kita dapat temukan sebagian muslim yang tahu tentang sholat (ilmu) , menjalankan sholat dengan rajin (amal) namun terhalang memandang Allah (akhlak) sehingga mereka berani melakukan perbuatan korupsi, zina, setengah bugil atau bugil di depan kamera, memimpin dengan zalim, memperkaya diri sendiri dan kelompok, dll.
Oleh karenanya para ulama harus mendalami dan mengajarkan seluruh pokok-pokok ajaran agama Islam, termasuk tentang Ihsan (akhlak / kitab Tasawuf).
Kelirulah jika terpengaruh himbauan sebagian ulama untuk modernisasi Agama, atau terpengaruh ulama yang mengaku sebagai pembaharu (mujaddid), karena mereka hanya fokus mendalami dan mengajarkan kitab fikih dan kitab ushuluddin saja dengan meninggalkan kitab Tasawuf yang menguraikan tentang akhlak, tazkiyatun nafs, ma’rifatullah dan lain-lain.
Sehingga dengan mengabaikan salah satu pokok ajaran agama Islam, yakni tentang Ihsan maka sesungguhnya mereka secara tidak disadari mengupayakan pendangkalan ajaran agama Islam.  Mereka menamai kitab Tasawuf sebagai kitab klasik atau kitab tradisionil  atau kolot yang bagi mereka layak untuk dilupakan karena zaman sudah modern.
Dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i’tiqad (aqidah), soal hakikat, soal ma’rifat  maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah swt  dan RasulNya, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah saw.
Allah swt telah memberikan petunjuk bahwa kita dalam pengajaran harus mengajarkan tentang akhlak (tentang Ihsan) agar terbuka mata hati orang yang akan kita ajarkan, sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).” (QS Ar ruum 30 : 53)
“Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS As Zukhruf 43:40)
Alhamdulillah, adanya kesadaran dari pemerintah melalui melalui Kementerian Pendidikan Nasional yang sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari SD-Perguruan Tinggi .
Namun pendidikan karakter bukanlah pendekatan melalui filsafat, psikologi, motivasi, menurut prasangka manusia atau hubungan antar manusia semata, yang terbaik adalah pendekatan melalui pendidikan akhlakul karimah, menghubungkan kembali manusia dengan Allah, mendidik manusia untuk dapat menghilangkan hijabnya dengan Allah sehingga dapat merasakan kedekatan atau kebersamaan dengan Allah yang memotivasi untuk mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Solusi pendidikan agama yang harus diselenggarakan pemerintah adalah  kembali mengajarkan apa yang diajarkan ulama-ulama kita terdahulu yang mengajarkan  kitab-kitab klasik atau kitab-kitab Tasawuf.
Silahkan baca juga tulisan tentang pendidikan dan akhlak pada
Wassalam
Zon di Jonggol

3 Tanggapan
Pendidikan modern di Indonesia terfokus hanya untuk mendidik akal/logika, tidak mendidik hati.



Nashir
“Dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i’tiqad (aqidah), soal hakikat, soal ma’rifat maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah swt dan RasulNya, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah saw.”
Afwan, tidak sepenuhnya benar jika dalam soal syari’at, ibadah, i’tiqad, hakikat, dan ma’rifat, kita harus menolak modernisasi. tetapi justru modernisasi harus diarahkan ke jalan yang benar dengan cara yang baik..
Sebagai contoh, artikel/Posting ini adalah contoh modernisasi menuju arah yang benar..
Barokallahufik..



Nashir
InsyaAllah, selebihnya, posting ini sangat bermanfaat..
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar