Melampaui batas

Berserah diri – Terimalah batas sebagaimana yang telah Allah swt tetapkan.
Masih saja ada umat muslim mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama yakni tentang peringatan maulid Nabi saw.
Perbuatan/ibadah memperingati kejadian pada masa lampau sebagai pelajaran untuk masa akan datang merupakan perbutan/ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan, amal sholeh) atau termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt diamkan/bolehkan namun termasuk pula yang dianjurkan oleh Allah swt sehingga bagi yang melaksanakannya akan mendapatkan kebaikan/pahala sebagaimana firmanNya,
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad
Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu (QS al Hasyr [59] : 18 )

Bagaimana kita bisa memenuhi anjuran Rasulullah saw agar hari esok kita lebih baik dari hari yang lampau ?
Bagaimana bisa tahu bahwa hari esok kita lebih baik kalau kita tidak mengetahui/memperingati/mengingat hari yang lampau ?
Perbuatan/ibadah memperingati hari kelahiran tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Tidak ada satupun fatwa ulama atau ijma ulama yang menyatakan larangan atau pengharaman perbuatan memperingati hari kelahiran seorang muslim atau organisasi muslim atau jama’atul minal muslimin.
Mentaati larangan ulama tanpa dalil dalam Al-Qur’an dan hadits merupakan sebuah sikap melampaui batas (ghuluw) dalam beragama. Inilah yang tanpa disadari menyembah kepada selain Allah swt sebagaimana yang diuraikan berikut
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, kewajiban dan larangan dengan firmannya sebagai berikut: “Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.” (at-Taubah: 31)
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Perbuatan/ibadah memperingati hari kelahiran seorang bayi / anak kecil merupakan perbuatan/ibadah ghairu mahdah. Tidak ada satupun ulama yang menetapkan memperingati hari kelahiran sebagai ibadah kewajiban (ibadah mahdah). Perbuatan/ibadah memperingati hari kelahiran sorang bayi / anak kecil merupakan perwujudan rasa syukur atas ketetapan Allah swt, dan penyelenggaraan perayaannya merupakan perwujudan menjaga hubungan silaturahim.
Perbuatan/ibadah memperingati hari kematian, intinya sama saja dengan ziarah kubur yakni mengingat kematian dan menghormati/mengenang/berterima kasih/bersyukur atas jasa-jasa orang yang telah wafat bagi kita yang telah ditinggalkan.
Sekali lagi kami mengingatkan bahwa memperingati hari kelahiran khususnya maulid Nabi saw merupakan perbuatan/ibadah ghairu mahdah. Kita sudah paham perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdah adalah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah karena kita tahu tidak ada larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah memperingati masa lampau merupakan sebuah anjuran dari Allah swt. Sehingga bagi mereka yang melaksanakan perbuatan/ibadah yang termasuk perbuatan yang Allah swt diamkan/bolehkan dan termasuk anjuran maka yang melaksanakannya tentu mendapatkan kebaikan / pahala. Perbuatan/ibadah dalam bidang ibadah ghairu mahdah boleh kita tidak mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, Salafush sholeh ataupun ulama-ulama terdahulu.
Kaum Wahabi atau salaf(i) (kita harus selalu bisa membedakan dengan ulama salaf) salah paham tentang ghuluw.
Salah satunya mereka menyikapi hadits berikut
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)
Rasulullah Saw. bersabda: “Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama” (HR. Ahmad).
Mengenai kesalah pahaman tentang ghuluw atas dalil/hadits ini, saya ambil uraian yang jelas dan baik dari saudara kita Abdurrahman At-Tsauri ~ semoga Allah swt meridhoinya ~
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku “ghuluw” (berlebihan) dalam beragama. Sisi “berlebihan” yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara “amalan bernuansa agama” dengan “amalan di dalam agama”.
Kegiatan tersebut adalah sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata “berlebihan”, sebab rumusnya di dalam agama,
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik” (QS. At-Taubah: 120).
Jadi, “semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan”. Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan “berlebihan di dalam agama”, sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata “ghuluw” (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis tersebut dengan ungkapan “telah binasa orang-orang sebelum kalian”.
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-’Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar, yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, “Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama.”
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang “berlebihan di dalam agama”, apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
Perhatikanlah vonis-vonis “berlebihan” yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: “Tidak ada pahalanya!”, “sesat!”, “sia-sia”, “musyrik!”, “kafir!”, “masuk neraka!”, “tidak ada dalilnya!”, “menambah-nambahi agama!”, “mengada-ngada!”, “haram!”, “jangan bergaul dengan ahli bid’ah!”, dan lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan “Quburiyyun”, bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan “Abdun-Nabi” (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur’an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?
Pembahasan di atas hanyalah satu contoh dari sekian banyak keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & amp; Wahabi dalam berfatwa tentang bid’ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka anggap sebagai bid’ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim!!
Sekali lagi saya tegaskan bahwa sebuah larangan atau pengharaman yang telah ditetapkan oleh Allah swt adalah nash muhkamat, selalu jelas dan ada batasnya.
Seperti hadits diatas menjelaskan berlebihan (ghuluw) dalam agama.
Kita sudah paham kalau dikatakan “dalam agama”, “urusan kami”, “perkara syariat” yang dimaksud adalah ibadah mahdah/ketaatan atau ibadah yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman sedangkan selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau yang disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Berikut uraian lengkap tentang ghuluw yang disampaikan Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya pada pertemuan Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah

Definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia… “ (Q.S. al Baqoroh: 142)
Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem) bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar dengan umur manusia.
Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian….” (Q.S. an Nisa’: 171)
Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ
“Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”   Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.
Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para nabi.
Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul –rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus. Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al Baqarah: 87)
Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’, padahal al Masih sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’. Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).
Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.
Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)
Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah:
وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا …“
…. Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ….“ (Q.S. al Hadid: 27)
Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.
Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.
Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.
Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)
Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)
“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41– 42).
Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.
Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw.
Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).
Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.
Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.
Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.
(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”
Kesimpulannya Ghuluw adalah tindakan melampaui batas, tindakan ekstrem atau tindakan meremehkan.
Kalau kita gambarkan secara diagram,
Titik 0 kita anggap batas yang telah ditetapkan oleh Allah swt
- – - -3 – - – -2 – - – -1 – - – - 0 + + + +1 + + + +2 + + + +3 + + + +
Bergerak kearah -1, -2, -3 dst.  yang dinamakan tindakan meremehkan
Bergerak kearah +1, +2, +3 dst. yang dinamakan tindakan ekstrem

Sikap menerima batas sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah swt merupakan wujud sikap berserah diri.
Sikap ghuluw sebagai tindakan ekstrem adalah dapat kita pelajari dari kaum Khawarij
Sikap ghuluw sebagai tindakan merehmehkan adalah dapat kita pelajari dari kaum Murjiah.
Tentang contoh sikap ghuluw dari kaum Khawarij dan Kaum Murjiah, silahkan baca tulisan pada

Bagi saya berpemahaman bahwa perbuatan/ibadah yang seharusnya ibadah ghairu mahdah dan menganggap sebagai ibadah mahdah adalah termasuk tindakan ekstrem. Oleh karenanya ada sebagian ulama menganggap kaum wahabi atau salaf(i) dapat termasuk neo khawarij. Wallahu a’lam
Bagi saya pribadi, kaum Wahabi atau Salaf(i) bukanlah kaum yang sesat. Kaum Wahabi atau Salaf(i) dengan segala kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka dan melakukan perbuatan yang melampaui batas merupakan perbuatan yang melanggar larangan Allah swt sehingga tidak disadari, mereka melakukan perbuatan yang berdosa.
Perbuatan-perbuatan yang berdosa menyebabkan hati menjadi keras.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati.

Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah swt. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Sehingga mereka terhalang dari seolah-olah melihat Allah swt.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada

Tentang buta hati, kita dapat meengingat firman Allah swt yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
18 Tanggapan
Setiap tulisan yang Anda ulas, sepertinya membenci sekali cara bersikap agama kaum Salaf. Keanehan apa yang menyebabkan Anda bersikap seperti itu..? Apakah Anda suka dengan ke bid’ahan..?
Menurut Anda, Bersikap beragama jika dalam hal kebaikan, itu termasuk dalam hal Ibadah. .. apakah Rasul memberikan perintah untuk melakukan hal itu..?
Apakah Ibadah yang di syariatkan atau diperintahkan Allah dan Rasulnya masih dirasa kurang..? sehingga dengan seenaknya membuat ritual Ibadah sendiri karena menganggap itu baik. Kalau bersikap seperti itu, siapa saja boleh dong membuat ritual ibadah sendiri sendiri karena menganggap itu adalah baik, dan mendekatkan diri pada Allah.
Banyak sekali di masyarakat kita yang mengagung-agungkan ibadah-ibadah yg tidak di syariatkan, mereka berbangga dengan hal itu. Tapi merasa alergi terhadap ajaran/perintah Rasulnya… Saya melihat sendiri..
- Ada seorang ustadz yg suka dengan ritual mauludan, tapi tidak perduli akan perintah AlQur’an yg menyuruh Istrinya berjilbab. Menurut Anda pentingan mana..?
- Ada Imam sholat yg tidak perduli akan barisan makmumnya, baik kelurusan maupun kerapatan shof.
- Ada Ustadz yg sering melakukan puji-pujian setelah adzan, tapi menghindari sholat Rawatib yg memang disunnahkan.. (menurut Anda pentingan mana antara puji-pujian dengan sholat sunnah Rawatib..?)

Menurut Anda, sebenarnya siapa yang berlebih-lebihan dalam beragama..?
Satu pihak ingin menjalankan Syari’at/perintah sesuai dengan perintah Allah dan Rasulnya, dibilang ghuluw..

Sedangkan pihak Lain yg menjalankan Ibadah tidak sesuai atau tidak ada perintah dari Allah dan Rasulnya dibilang melakukan bid’ah hasannah dan itu baik..
Makasih…



Setiap tulisan yang Anda ulas, sepertinya membenci sekali cara bersikap agama kaum Salaf. Keanehan apa yang menyebabkan Anda bersikap seperti itu..? Apakah Anda suka dengan ke bid’ahan..?
Insyaallah, saya tidak pernah membenci satu kaum muslim pun apalagi kaum Salaf, kita harus bisa membedakan kaum Salaf dengan kaum Wahabi atau Salaf(i). Kami bukanlah membenci mereka, namun sekedar menyampaikan kesalahpahaman – kesalahpahaman mereka agar umat muslim lainnya tidak ikut salahpaham.
Kami mendukung kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan) atau amal kebaikan atau amal sholeh yakni bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah. Kreativitas, Inovasi, Perkara baru yang baik dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits khusus dalam ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)
Menurut Anda, Bersikap beragama jika dalam hal kebaikan, itu termasuk dalam hal Ibadah. .. apakah Rasul memberikan perintah untuk melakukan hal itu..?
Bagi kami sebagai hamba Allah swt maka seluruh perbuatan, kami upayakan merupakan ibadah yang ditujukan kepada Allah swt, karena untuk beribadah kepadaNya lah alasan Allah swt menciptakan kami.
Apakah Ibadah yang di syariatkan atau diperintahkan Allah dan Rasulnya masih dirasa kurang..?
Perkara syariat jelas telah ditetapkan oleh Allah swt berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kami yakin tidak ada yang kurang dan Allah swt tidak lupa !. Perkara syariat inilah yang disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan) sedangkan selebihnya adalah perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan bahkan sebagian merupakan yang dianjurkan. Perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan merupakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan) atau amal sholeh.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Wassalam



setahu saya para sahabat dahulu tidak merayakan maulid, jika ini adalah bagian dari agama berati mereka para sahabat terlewatkan dari amalan yang disyariatkan ini dalam keadaan mereka adalah generasi terbaik dan orang-orang yg paling bersemangat mjalankan agama dari umat ini.. Atau bagaimana mas Zuhud? Imam Malik berkata tentang ayat dalam surat al maidah: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian…”. Imam Malik berkata, “apa-apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun ia bukan bagian dari agama”



Kita paham peringatan maulis timbul tidak pada zaman salafush sholeh dan kita paham peringatan maulid bukanlah bagian dari agama atau bukanlah bagian dari “urusan kami” atau bukanlah bagian dari ibadah mahdah (ibadah ketaatan) namun bagian dari ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan) atau amal kebaikan/sholeh.
Imam Malik berkata tentang ayat dalam surat al maidah: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian…”.
Imam Malik berkata, “apa-apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun ia bukan bagian dari agama”

Imam Malik, mengatakan “bukan bagian dari agama” maknanya adalah perbuatan/ibadah bukan yang telah Allah swt tetapkan yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman.
Dengan kata lain,
Bagian perbuatan/ibadah yang telah Allah swt tetapkan (berupa kewajiban, larangan dan pengharaman), sampai akhir zamanpun tetap sebagaimana yang telah Allah swt tetapkan.
bagian perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan, sampai akhir zamanpun tetaplah sebagai perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan
Inilah dinamakan menegakkan syariat Islam atau menegakkan hukum Islam.




Cukup dan benarlah sebagaimana yang antum katakan bahwa peringatan maulid itu bukan bagian dari agama. Sehingga kita tidak perlu untuk bersibuk-sibuk dengan sesuatu yang bukan dari agama dalam keadaan masih banyak bagian-bagian dari agama yang belum kita amalkan, masya Allah…



Peringatan maulid bukan bagian dari ibadah mahdah atau kewajiban namun termasuk ibadah ghairu mahdah atau amal kebaikan/sholeh.
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad
Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu (QS al Hasyr [59] : 18 )




Nampak ada yang rancu dalam konsep yang anda sampaikan. Setahu saya baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah semuanya adalah bagian dari agama. Shalat, zakat, puasa, haji, semuanya adalah bagian dari agama. Begitu pula menolon sesama, memuliakan tetangga, berbakti kepada orang tua, semua juga bagian dari agama. Tapi kenapa dengan maulid anda kemudian mengatakan ia bukan bagian dari agama, dalam keadaan anda menerangkan bahwa ia adalah termasuk dari ibadah mahdhah…??
Memang jelas keadaannya bahwa peringatan maulid sebenarnya bukanlah bagian dari agama tapi ia adalah sesuatu yang dimasuk-masukkan dan dianggap sebagai agama,
walhamdulillahi rabbil ‘alamin…



ralat, maulid menurut anda ibadah ghairu mahdhah maksudnya



Peringatan Maulid Nabi adalah termasuk kategori ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan) atau amal kebaikan/sholeh atau perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan.
Perkara baru / bid’ah dalam kategori ibadah ghairu mahdah yang tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan perkara baik atau bid’ah hasanah atau bid’ah mahudah

Secara garis besar,
Ibadah mahdah adalah meliputi perkara wajib dijalankan (perkara wajib/fardhu) dan wajib dihindari (perkara haram baik larangan maupun diharamkan)
Ibadah ghairu mahdah adalah meliputi perkara boleh dijalankan baik perkara boleh-boleh (mubah), boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) atau boleh-tidak disukai (makruh)
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.

Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)
Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.
Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka“. (QS At Taubah [9]:111 )
Selengkapnya silahkan baca tulisan

Wassalam



Anda menulis “Perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan merupakan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan) atau amal sholeh”
Syariat sholat wajib itu ada 5 waktu…
Apakah dengan menambah waktu sholat menjadi 6 waktu itu dibolehkan..?
Atau, apakah sholat dengan berbahasa Indonesia diperbolehan..?
tks



Perbuatan/ibadah seorang muslim ada dua kategori yakni
1. Perbuatan yang Allah swt telah tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Kategori ini disebut ibadah mahdah atau ibadah ketaatan atau perkara syariat atau “urusan kami”
2. Perbuatan yang Allah swt telah diamkan/bolehkan termasuk disini adalah perkara mubah, perkara sunnah, perkara makruh, kategori ini disebut ibadah ghairu mahdah atau ibadah kebaikan atau amal kebaikan/sholeh.
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.

Sholat wajib termasuk kategori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, atau hukumnya wajib artinya perbuatan/ibadah yang jika ditinggalkan akan berdosa.
Bid’ah atau perkara baru pada ketegori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah (buruk/tertolak).



Anda menulis “Bid’ah atau perkara baru pada ketegori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah (buruk/tertolak).”
Bukannya kita menambah waktu sholat merupakan bentuk ibadah juga..? agar lebih mendekatkan diri pada Allah. karena merasa dengan sholat hanya 5 waktu dirasa kurang.
Atau mungkin, dengan banyaknya harta. Ada orang yang tidak mau zakatnya 2,5 persen. Dia pengin 10%. karena mengharapkan Ridho Nya..
Atau juga, orang itu melakukan Wirid 1000x. Biar terasa mantaf. dan mendapatkan karomah.
Atau juga, Dia pengin membagi harta warisan ke anaknya sama rata. Baik anak laki maupun anak perempuan, Biar adil.
Secara logika, semua ini memang sepertinya bagus dan baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tapi semuanya itu tidak benar. Karena semua itu tidak dicontohkan oleh Nabi SAW.
Anda menulis “Bid’ah atau perkara baru pada ketegori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah (buruk/tertolak).”
Terasa lucu.. Kita semua tahu, bahwa segala bentuk Ibadah yang ada perintah untuk melaksanakan/melakukannya itu adalah ibadah taat, atau ketaatan kita kepada yang memberi perintah. kalau menurut Anda Ibadah ketaatan.
Dari beberapa contoh yg tadi saya tulis, apakah ada dalil pelarangannya..? Suatu bentuk Ibadah itu haram jika dikerjakan tanpa ada perintah/syariat yang sudah ada. Jika kita menambah-nambah syariat atau bentuk Ibadah yg dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah, dengan ritual/cara yang tidak diperintahkan, berarti kita menuduh Rasulullah tidak menyampaikan Wahyu Allah seluruhnya kepada ummatnya.
Contoh yg sangat mudah,
Kita menyuruh seorang tukang untuk mengecat rumah kita dengan warna Biru.
Si Tukang ini merasa dirinya sok pintar dan berilmu, maka ditambahlah dengan warna kuning agar dianggap oleh yang punya rumah itu bagus dan dapat tambahan bonus.
Apakah akan ada tawar menawar dengan alasan yg dikemukakan si Tukang ini..?

tks,



Bagaimana toh antum ini.
Sudah kami sampaikan bahwa
Bid’ah atau perkara baru pada ketegori ibadah mahdah (ibadah ketaatan) adalah dholalah (buruk/tertolak).
Kita paham bahwa ibadah sholat, zakat adalah termasuk ibadah mahdah (ibadah ketaatan) sehingga perkara baru / bid’ah dalam hal ini ada dholalah.

Sedangkan berdzikir adalah termasuk kategori ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan) atau amal kebaikan/sholeh atau perbuatan/ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan. Perkar baru / bid’ah dalam kategori ibadah ghairu mahdah yang tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Haidts merupakan perkara baik atau bid’ah hasanah atau bid’ah mahudah
Secara garis besar,
Ibadah mahdah adalah meliputi perkara wajib dijalankan (perkara wajib/fardhu) dan wajib dihindari (perkara haram baik larangan maupun diharamkan)
Ibadah ghairu mahdah adalah meliputi perkara boleh dijalankan baik perkara boleh-boleh (mubah), boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) atau boleh-tidak disukai (makruh)
Sebagian ulama mendangkalkan/mempersempit kategori ini hanyalah sebagai perkara muamalah.

Hakikatnya dikatakan amal shaleh / Kebaikan jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang boleh-dianjurkan (sunnah/mandub) dan menjauhi seluruh yang boleh-boleh (mubah) dan boleh-tidak disukai (makruh)
Hakikatnya dikatakan orang beriman jika menjalankan seluruh perbuatan/ibadah yang wajib dan menghindari seluruh yang dilarang dan yang diharamkan.
Jika seorang muslim menjalankan dan mentaati kedua-duanya sampai akhir hidupnya maka dia dijanjikan Allah swt untuk masuk surga tanpa hisab sebagaimana firmanNya yang artinya
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
dan
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Sebagai contoh, biasanya kami sampaikan kepada yang merokok bukan bahayanya merokok namun sampaikan apakah mau masuk surga tanpa dihisab. Intinya kami dalam penyampaian membiasakan untuk tidak menakuti-nakuti namun menumbuhkan kesadaran mengingat Allah swt dengan menyampaikan kenikmatan yang akan didapat sesuai janji Allah swt dan Allah swt pasti menepati janjinya. Innallâha lâ yukhliful mî`âd (sesungguhnya Allah Swt. tidak mengingkari janji-Nya) (QS Ali Imran [3]:9 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:7)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka“. (QS At Taubah [9]:111 )
Selengkapnya silahkan baca tulisan

Wassalam



pada 28 September 2010 pada 10:51 pm | BalasYusuf Ibrahim
Syarat sah atau diterimanya suatu ibadah (Shohih Tafsir Ibnu Katsir oleh Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah hal.57/III, terbitan Dar Ibnu Rojab, Mesir) ) antara lain :
1. Ikhlas karena Allah, dan
2. Mengikuti petunjuk Rasulullah (baik waktunya, tata caranya, dan bilangannya (jika berhubungan dengan bilangan)).

Pertanyaannya adalah, apakah perayaan Maulid Nabi setiap tahun yang katanya ibadah dan berpahala itu sudah memenuhi kedua syarat ibadah tsb atau belum?
“………..Kreativitas, Inovasi, Perkara baru yang baik dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits khusus dalam ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)…..”
——————————————–
saya ingin tanya, SIAPA saat ini orang yang berhak melakukan inovasi dan berwenang berkreasi dalam menciptakan perkara baru dalam ibadah? dan siapa juga orang yang dapat menjelaskan besar kecilnya pahala-pahala ibadah baru tsb karena ibadah sangat berkorelasi dengan pahala……

“Peringatan maulid bukan bagian dari ibadah mahdah atau kewajiban namun termasuk ibadah ghairu mahdah atau amal kebaikan/sholeh.
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad
Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu (QS al Hasyr [59] : 18 )…..”
————————————————-
kalo begitu, bolehkah saya menggunakan Q.S Al-Hasyr : 18 sebagai dalil untuk memperingati/merayakan hari kelahiran (maulid) Nabi Ibrahim setiap tahunnya sebagai wujud rasa syukur saya atas kelahiran beliau? karena kita semua tahu bahwa Nabi Ibrahim adalah bapaknya para Nabi, banyak Nabi yang lahir dari keturunan beliau……

pertanyaannya adalah boleh atau tidak? dan kenapa?



syarat sah ibadah berbeda dengan syarat diterima tidaknya sebuah ibadah, ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya ibadah sementara sesuai atau tidak dengan petunjuk Rosulallah saw adalah syarat sah atau tidak sebuah amalan, untuk menjawab pertanyaan nt soal ikhlas dan petunjuk atas amalan maulid, nt harus pahami dulu konsep ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh, kalo nt dah paham nt ga bakal nanya seperti diatas.



Persoalan maulid memang tak pernah sepi dari pembahasan…menarik perhatian bagi yang pro maupun kontra…sepertinya ga ada ujungnya…



Insyaallah, jika kesalahpahaman-kesalahpahaman sudah dapat disadari, persoalan maulid Nabi saw dapat teratasi dan meneguhkan Ukhuwah Islamiyah. Salah satu kesalapahaman yang inti/pokok adalah tentang Sunnah Nabi saw dan perkara sunnah. Silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/27/gigitlah-sunnah/



bid`ah bisa terjadi pada ibadah yang mahdloh maupun ghoiru mahdloh, bid`ah dolalah atau sesat selalu terjadi pada ibadah mahdloh, sementara bid`ah hasanah biasa terjadi pada ibadah ghoiru mahdloh, konsep ibadah seperti ini biasanya tidak dipahami oleh kaum wahabi salafi, meskipun mereka selalu mengajak kembali pada qur`an dan sunnah namun tidak faham isi keduanya sangat disayangkan.
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar