Mengakhirkan Sahur

Makna  “mengakhirkan sahur”
Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi.
Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.
Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka.
Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan.
Definisi Salaf dilihat dari sisi bahasa,  Salaf berarti yang telah lalu. Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam. Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.
Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad ke-empat hijriyah, yang awalnya mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah dengan pemahamannya sendiri.
Pada hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud -yang membonceng seorang rohaniawan bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris.
Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi.
Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy”. Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hambali.
Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan”. Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah”.
Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri.
Berikut pernyataan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah tidak lagi sesuai dengan mazhab Hambali
***** awal kutipan *****
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?

Beliau menjawab:
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.

Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah masalah ini, karena sangat penting.
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan orang seperti mereka berdua.
Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk, kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.
Sumber : Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480 karya Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
***** akhir kutipan *****

Baik Ibnu Taimiyah maupun para pengikutnya seperti Muhammad bin Abdul Wahhab menurut pendapat kami, mereka  salah memahami pernyataan Imam Ahmad bin Hambal ~rahimullah  bahwa “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.  Sehingga mereka terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi  mereka,  pendukung ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka memahami Al Qur’an dan Hadits secara harfiah atau apa yang tertulis (tersurat) atau yang kami katakan memahami dengan metodologi “terjemahkan saja”.  Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/22/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Contoh paling sederhana mereka menafsirkan  makna hadits “mengakhirkan sahur” dengan makna : mereka mensyariatkan makan sahur sehingga lewat fajar sidiq atau ketika azan berkumandang  bahkan mendekati waktu iqamat shalat subuh!
Padahal waktu puasa yang sebenarnya adalah dari terbit fajar sidiq sampai terbenam matahari sehingga menurut Imam Madzab manapun dari yang empat,  akan batal puasa orang yang menyengaja makan setelah tahu fajar sidiq sudah tiba.
Adapun beberapa riwayat tentang sahabat yang masih makan sahur sewaktu adzan subuh, kita pahami mereka (para sahabat) memulai sahur sebelum adzan subuh (sebelum fajar sidiq) tetapi saat adzan subuh dikumandangkan mereka masih belum selesai makan.  Jadi mereka secepatnya menghabiskan makanan tersebut. Bukan menyengaja  makan setelah tahu fajar sidiq telah datang.
Firman Allah Azza wa  Jalla yang artinya,  “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” ( QS Al Baqarah [2]:187 )
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar Al Qawariri telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Sulaiman telah menceritakan kepada kamiAbu Hazim telah menceritakan kepada kami Sahl bin Sa’dari ia berkata; Ketika turun ayat; “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”, ia berkata;  Ada seorang lelaki yang mengambil satu benang berwarna hitam dan satu benang lagi berwarna putih, lalu ia makan (sahur) sampai keduanya terlihat jelas sehingga Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat;  “ yaitu fajar”. Maka perkara itupun menjadi jelas baginya. (HR Muslim  1825)

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ashim berkata, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa Zaid bin Tsabittelah menceritakan kepadanya, bahwa mereka pernah sahur  bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mereka berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku bertanya, Berapa jarak antara sahur  dengan shalat subuh? Dia menjawab, Antara lima puluh hingga enam puluh ayat. (HR Bukhari  541  )

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah mengabarkan kepada kami Waki’ dari Hisyam dari Qatadah dari Anas dari Zaid bin Tsabitradliallahu ‘anhu, ia berkata; Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sesudah itu kami beranjak untuk menunaikan shalat. saya bertanya, Kira-kira berapa lama jarak antara makan sahur dan shalat. Ia menjawab, Kira-kira selama pembacaan lima puluh ayat.  ( HR Muslim 1837)

Hadis-hadits ini menunjukkan bahwa jarak  menahan (imsak)  antara bersahurnya Sayyyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam  dengan sholat Subuh adalah sekitar pembacaan  50 ayat dan jumhur ulama sepakat antara 10 s/d 15 menit sebelum azan Subuh, lebih lama dari waktu itu akan menyelisihi Sunnah Rasulullah agar kita “mengakhirkan sahur”.
Jelaslah kesalah pahaman mereka meyakini bahwa Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam makan sahur sehingga berkumandang azan Subuh.
Sedangkan hadits lain yang menyatakan bahwa  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu terhalang dari makan sahur karena adzan Bilal” makna  adzan yang dilakukan Bilal ra  bukanlah azan Subuh
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai’ dari Sulaiman At Taimi dari Abu Utsman dari Abdullah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  Janganlah sekali-laki adzan Bilal menghalangi kalian untuk makan dan minum. Atau beliau bersabda: Adzan Bilal pada waktu sahur. Sesungguhnya ia adzan hanya untuk membangunkan kalian (HR Bukhari 4887)

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman At Taimidari Abu ‘Utsman Al Hindi dari ‘Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Adzannya Bilal tidaklah menghalangi seorang dari kalian, atau seseorang dari makan sahur nya, karena dia mengumandangkan adzan saat masih malam supaya orang yang masih shalat malam dapat pulang  dan untuk mengingatkan mereka yang masih tidur. Dan Bilal adzan tidak bermaksud memberitahukan masuknya waktu fajar atau subuh.  (HR Bukhari  586)

Jelaslah  makna “Janganlah kamu terhalang dari makan sahur  karena adzan Bilal” adalah adzan pertama sebelum waktu Subuh karena adzan Subuh dilakukan dua kali yakni untuk membangunkan mereka yang masih tidur dan adzan pada waktu fajar (subuh).  Oleh karenanya sebagian ulama berpendapat untuk menghilangkan kesalahpahaman, menggantikan adzan pertama sebelum subuh dengan pengingat waktu sahur atau sekedar pembacaan sholawat.
Wassalam
Zon di Jonggol Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar