Lagi tentang Bid’ah

Masih saja ada ulama yang gemar menjuluki saudara muslim lainnya sebagai ahlul bid’ah namun mereka sendiri belum paham tentang bid’ah bahkan pada akhirnya mereka sendiri pun tanpa disadari telah melakukan bid’ah dlolalah karena menyembah kepada selainNya. Mau tahu bagaimana pada akhirnya mereka menyembah kepada selainNya silahkan simak tulisan kami berikut ini.
Segala sikap atau perbuatan seorang hamba Allah adalah ibadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”   (QS Adz Dzaariyaat [51] : 56)
Segala sikap atau perbuatan atau disingkat dengan amal ada 2 macam yakni
Amal ketaatan, yang menjalankannya termasuk orang beriman (taqwa)
Amal kebaikan atau Amal Sholeh, yang menjalankannya termasuk orang sholeh
Jika kita menjalankan kedua macam amal tersebut maka Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan akan memasukkan ke surga tanpa di hisab.
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab. (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Amal ketaatan atau taqwa adalah amal dalam hal menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
Amal kebaikan atau amal sholeh adalah segala amal yang baik diluar amal ketaatan.
Amal yang baik adalah amal yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Jadi sikap dan perbuatan kita sebagai hamba Allah hanyalah amal ketaatan dan amal kebaikan, janganlah melakukan amal keburukan.
Baiklah dari pembagian amal  (sikap atau perbuatan) di atas kita akan bahas penerapannya dalam masalah tentang bid’ah.
Hadist Nabi yang menyatakan bahwa “Kullu bid’atin dlolalah”, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah  seperti “urusan Kami”.
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Urusan kami adalah apa-apa yang telah ditetapkan/disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla berupa kewajiban, batas/larangan dan pengharaman.
Kewajiban adalah perkara hukumnya wajib, jika ditinggalkan berdosa.
Batas/larangan dan pengharaman adalah perkara hukumnya haram , jika dikerjakan berdosa.
“Urusan kami” ini adalah yang dimaksud dengan amal ketaatan.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Contoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghindari bid’ah pada kewajiban.
Rasulullah bersabda, “Pada pagi harinya orang-orang mempertanyakannya, lalu beliau bersabda: “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687)
Dalil untuk menghindari bid’ah dalam pelarangan maupun pengharaman.
“Sungguh sebesar-besarnya kejahatan diantara kaum muslimin adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan, kemudian menjadi diharamkan karena ia mempermasalahkannya“. (HR. al-Bukhari)
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Sedangkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh) adalah baik selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Walaupun perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh) tersebut belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para Sahabat contohnya bentuk-bentuk sholawat seperti sholawat Nariyah, sholawat Badar, untaian doa dan dzikir seperti Ratib Al Hadad , Perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diisi dengan kegiatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits dll
Imam as Syafi’i ra membolehkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh), dikatakan beliau sebagai, “apa yang baru terjadi dari kebaikan“
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Rasulullah pun membolehkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh) yang tidak diatur/disyariatkan secara khusus oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dikatakan beliau sebagai “perkara yang baik”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Ada ulama yang berpendapat bahwa hadits Nabi diatas adalah tentang sedekah.
Hadits tersebut adalah memang tentang sedekah atau amal kebaikan atau amal sholeh. Hadits itu yang menjelaskan bahwa perkara baru dalam amal kebaikan atau amal sholeh adalah perkara baik atau bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.  Sedekah atau amal kebaikan atau amal sholeh adalah luas sekali sebagaimana yang disampaikan dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah saw. berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah saw., orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Ada ulama lain melarang amal kebaikan yang baru (tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun para sahabat berdasarkan perkataan atau kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya).
Perkataan atau kaidah itu tidak ada dalil yang mendukung dari Al Qur’an maupun Hadits.
Ada yang mendekati kaidah itu seperti,
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)
atau
“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Namun keduanya menjelaskan bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu terbatas pada apa yang dilarang Rasulullah, bukan pada apa yang tidak dikerjakannya.
Ada perkataan “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” pernah disampaikan oleh Ibnu Katsir.
Kami sudah menemukan pada dua tempat (halaman) pada tafsir Ibnu Katsir yakni
1. Pada saat beliau menafsirkan ( QS Al Ahqaf 46:11. )
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikanpun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya“
Perkataan Ibnu Katsir tersebut adalah pendapat pribadi beliau.
Apakah mungkin segala perbuatan dan ucapan manusia yang baik sampai akhir zaman hanyalah apa yang telah dilakukan/dicontohkan oleh Sahabat Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam ?
Apakah tidak mungkin adanya perbuatan dan ucapan manusia sampai akhir zaman yang tidak dilakukan/dicontohkan oleh Sahabat Rasulullah termasuk hal yang baik ?
Kalau kita cermati perkataan Ibnu Katsir pada paragraf di atas “Sedangkan ……. melaksanakannya” menurut pendapat kami tidak berhubungan atau tidak menjelaskan ( QS Al Qhqaf 46:11 ) yang artinya, “Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: Kalau sekiranya ia (Al Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami (beriman) kepadanya.”
2. Pada saat beliau menjelaskan QS An-Najm ayat 38 dan 39 namun perkataan itu adalah pendapat beliau bahwa para sahabat tidak pernah melakukan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“. Sama sekali beliau tidak bermaksud membuat kaidah apalagi ayat yang dijelaskan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH”  Hal ini telah kami jelaskan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
Amal kebaikan atau amal sholeh yang baru  (yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau para Sahabat ) yang dilakukan  oleh orang-orang non muslim, seperti penemuan-penemuan baru dalam sains, kedokteran dll  pun tetaplah sebagai amal kebaikan atau amal sholeh namun amal-amal mereka tidak diperhitungkan. Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh“. (QS Ibrahim [14]:18 )
Kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” adalah  menghambat kaum muslim untuk berinovasi atau berkreasi dalam amal kebaikan atau amal sholeh.
Kita tidak boleh berinovasi atau berkreasi dalam amal ketaatan yakni amal yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai “mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun  yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“yang mendekatkan kamu dari surga” = kewajiban, “menjauhkanmu dari neraka” = batas/larangan, pengharaman
Sedangkan amal kebaikan atau amal sholeh adalah amal yang membuat Allah ta’ala mencintai hambaNya.
“Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah (amal kebaikan / amal sholeh) hingga Aku mencintainya“. (HR Bukhari)
Yang dikatakan oleh Allah ta’ala sebagai “yang Aku wajibkan” adalah amal ketaatan sedangkan yang dikatakan sebagai “amalan sunnah hingga Aku mencintainya” adalah amal kebaikan atau amal sholeh.
Contoh amal kebaikan atau amal sholeh adalah doa dan sholawat.
Allah ta’ala memerintahkan “berdoalah” namun tidak pernah mengharuskan atau mewajibkan berdoa sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ataupun sebagaiman doa para Sahabat.
Kita boleh berdoa sebagaimana yang kita inginkan walaupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau para Sahabat tidak pernah mencontohkanya asalkan redaksi (matan) nya baik. Redaksi (matan) nya baik adalah yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan kita boleh berdoa dengan bahasa Indonesia. Hal ini telah kami ambilkan contoh dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/01/karena-doa-robithoh/
Allah ta’ala memerintahkan “bersholawatlah” namun tidak pernah mengharuskan atau mewajibkan bersholawat sebagaimana yang dicontohkan oleh  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ataupun para Sahabat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah melarang bagaimanapun sholawat atau ungkapan cinta kita kepadanya asalkan redaksinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits
[47.76]/4750 Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al Mufadldlal Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun berkata, “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Maka beliau bersabda: “Tinggalkanlah ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan.“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya mengkoreksi perkataan “Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari” karena Beliau tahu sebatas yang diwahyukan namun beliau tidak melarang ungkapan cinta (sholawat) sebagaimana kita ingin mengungkapkannya dengan pernyataan “katakanlah apa yang ingin kamu katakan“
Dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud bid’ah dlolalah adalah perkara baru dalam amal ketaatan  sedangkan perkara baru dalam amal kebaikan atau amal sholeh adalah perkara yang baik atau sebagian ulama mengatakan sebagai bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Jadi kita harus menghindari bid’ah dlolalah adalah perkara baru dalam kewajiban atau menetapkan sesuatu menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) dan perkara baru dalam batas/larangan dan pengharaman (dikerjakan berdosa). Jika ulama membuat ketetapan (berfatwa) untuk suatu kewajiban atau batas/larangan atau pengharaman yang baru yang tidak pernah  atau tidak secara jelas ditetapkan/disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla maka ketetapan atau fatwa tersebut adalah “turunan” atau berlandaskan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah azza wa Jalla.
Sekali lagi kami ingatkan bahwa sebuah kaidah merupakan sebuah kebenaran jika didukung oleh dalil dari Al-Qur’an dan Hadits karena kebenaran hanyalah berasal dari Allah Azza wa Jalla
Jadi jelaslah  kekeliruan , “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) karena tidak ada dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Jika kita membuat larangan yang tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka sama saja menganggap Allah ta’ala lupa atau telah melakukan bid’ah dlolalah.
Barangsiapa yang mentaati larangan yang tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits, sama saja menyembah kepada pembuat larangan.
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Orang-orang Yahudi telah berhasil menyesatkan orang-orang Nasrani dengan berpura-pura menjadi pengikut Nabi Isa a.s
Orang Yahudi berkeinginan untuk menjadikan manusia di muka bumi sebagai Tuhan.
Mereka sukses menciptakan sosok “orang yang diserupakan dengan ‘Isa ” (QS An Nisaa [4]:157) sebagai putera Tuhan dan sistem kepausan yang dapat memutuskan yang sebenarnya halal menjadi haram atau yang sebenarnya haram menjadi halal
Selanjutnya orang Yahudi ditengarai akan menciptakan atau mengarahkan ulama dikalangan muslim untuk dapat menetapkan yang haram menjadi halal dan yang halal menjadi haram
Bagi orang Yahudi , manusia yang unggul adalah Tuhan. Tuhan yang sebenarnya ditempatkan di tempat yang jauh/tinggi yakni di surga sebagaimana keyakinan orang-orang Nasrani dan  bagi kaum muslim Tuhan ditempatkan di atas Arasy, sedangkan di dunia adalah manusia yang unggul.
Mereka akan berupaya untuk menjadi manusia yang unggul diatas manusia yang diciptakan/diarahkan menjadi penetap yang bertentangan dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Selengkapnya silahkan baca tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/26/peta-manusia/
Wallahu a’lam
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar