Perkara baru yang tertolak

Sekali lagi kami berupaya menjelaskan apa yang dimaksud perkara baru yang tertolak.
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Shabah dan Abdullah bin ‘Aun Al Hilali semuanya dari Ibrahim bin Sa’d. Ibnu Shabah berkata; telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auftelah menceritakan kepada kami ayahku dari Al Qasim bin Muhammad dari‘Aisyah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak.” (HR Muslim 3242)
Sumber: 

Apakah yang dimaksud dengan “dalam urusan kami” atau “dalam urusan agama” ?
Urusan kami atau urusan agama adalah segala perkara yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam perkara kewajiban, larangan (batas) dan pengharaman.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas (larangan), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
“Urusan kami” disebut dengan perkara syariat artinya syarat yang harus ditaati sebagai hamba Allah atau disebut sebagai amal ketaatan.
Amal ketaatan adalah ibadah yang terkait dengan menjalankan kewajibanNya (perkara kewajiban) dan menjauhi laranganNya (perkara larangan dan pengharaman).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau tidak ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran,  ganjaran baik (pahala) maupun ganjaran buruk (dosa).
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
Mendekatkan kamu dari surga = perkara kewajiban
Menjauhkan dari neraka =  batas (larangan) dan pengharaman

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi telah mengabarkan kepada kami Abu al-Ahwash. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Ishaq dari Musa bin Thalhah dari Abu Ayyubdia berkata, Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya bertanya, ‘Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang mendekatkanku dari surga dan menjauhkanku dari neraka? ‘ Beliau menjawab: ‘Kamu menyembah Allah, tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyambung silaturrahim dengan keluarga. Ketika dia pamit maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika dia berpegang teguh pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya niscaya dia masuk surga’. Dan dalam suatu riwayat Ibnu Abu Syaibah, Jika dia berpegang teguh dengannya. (HR Muslim 15)

Dalam hadits di atas, Rasulullah mencontohkan amal ketaatan meliputi ketauhidan dan kewajiban mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan mencontohkan amal kebaikan berupa menyambung silaturrahim dengan keluarga.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam beberapa ayat yang semakna, contohnya  yang artinya,
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Baqarah [2]:110)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Al Baqarah [2]: 277)
Allah Azza wa Jalla menyampaikan amal ketaatan meliputi orang-orang beriman yang menjalankan kewajiban mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan melakukan amal kebaikan (amal shaleh)

Apakah amal kebaikan (amal shaleh) ?
Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika dilakukan dapat pahala dan tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri  kepada Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa amal kebaikan (amal sholeh) sangat luas sekali.
Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim 1674)

Al-Qur’an dan Hadits pada hakikatnya memuat amal ketaatan atau ketetapan yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla yakni ketetapan berupa kewajiban dan larangan (batas/larangan dan pengharaman). Dalam Al-Qur’an dan Hadits memang disebutkan beberapa contoh amal kebaikan (amal sholeh) namun tidak seluruh amal kebaikan (amal sholeh) yang akan dikerjakan manusia sejak Nabi Adam a.s sampai kiamat nanti diuraikan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Kalau diuraikan seluruhnya akan membutuhkan lembaran Al-Qur’an maupun Hadits yang luar biasa banyaknya.
Intinya amal kebaikan atau amal sholeh adalah perkara diluar perkara kewajiban dan larangan (batas/larangan dan pengharaman) yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan (amal sholeh) tidak terkait dengan dicontohkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi.
Kesalahpahaman segelintir ulama mengenai amal kebaikan atau perkara yang baik dikarenakan berpegang pada sebuah kaidah yang tidak ada dalil dari Al Qur’an dan Hadits yakni  “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya). Kesalahpahaman kaidah ini telah kami uraikan dalam tulisan pada

Jadi dapat kita simpulkan perkara baru yang tertolak atau bid’ah dlolalah adalah mengada-ada atau membuat perkara baru dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman.
Perkara baru yang diperbolehkan atau bid’ah hasanah / mahmudah adalah perkara baru dalam amal kebaikan yakni perkara baru di luar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Imam as Syafi’i ~rahimahullah membolehkan perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh), dikatakan beliau sebagai, “apa yang baru terjadi dari kebaikan“
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”

Oleh karenanya hal yang sebaiknya kita ingat selalu bahwa jika ulama hendak menetapkan atau berfatwa sehubungan perkara kewajiban, larangan dan pengharaman maka wajib mengikuti atau “turunan” dari apa yang telah Allah Azza wa Jalla tetapkan karena perkara kewajiban, larangan dan pengharaman hanyalah hak Allah Azza wa Jalla semata.
Jika ulama menetapkan atau berfatwa dalam perkara amal ketaatan tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka jelaslah mereka terperosok atau terjerumus dalam bid’ah dlolalah. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada

Kenapa mengada-ada atau membuat perkara baru dalam perkara yang menjadi hak Allah Azza wa Jalla berupa penetapan kewajiban, larangan dan pengharaman adalah bid’ah dlolalah, kesesatan yang akan bertempat di neraka ?
Karena mengada-ada atau menetapkan kewajiban, larangan dan pengharaman yang tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla maupun tidap pernah disampaikan/dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk penyembahan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Penyembahan diantara manusia yang menetapkan dan yang mengikutinya.
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/03/bentuk-penyembahan/

Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Syabib telah menceritakan kepada kami al-Hasan bin A’yan telah menceritakan kepada kami Ma’qil -yaitu Ibnu Ubaidullah- dari Abu az-Zubair dari Jabir bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Apa pendapatmu bila saya melaksanakan shalat-shalat wajib, berpuasa Ramadlan, menghalalkan sesuatu yang halal, dan mengharamkan sesuatu yang haram, namun aku tidak menambahkan suatu amalan pun atas hal tersebut, apakah aku akan masuk surga? Rasulullah menjawab: Ya. Dia berkata, Demi Allah, aku tidak akan menambahkan atas amalan tersebut sedikit pun. (HR Muslim 18)

Dalam hadits tersebut dijelaskan tidak boleh menambah dalam perkara kewajiban dan kewajiban  menghalalkan sesuatu yang halal dan mengharamkan sesuatu yang haram dan tidak diperbolehkan menambahkan atau merubahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan menghindari perkara baru (bid’ah) dalam kewajiban.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687) Sumber:  http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Penetapan larangan  yang tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah kejahatan (bid’ah dlolalah)
“Sungguh sebesar-besarnya kejahatan diantara kaum muslimin adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan/dilarang, kemudian menjadi diharamkan/dilarang karena ia mempermasalahkannya“. (HR. al-Bukhari)
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Demikialah tulisan kami pada kesempatan kali ini. Sedangkan contoh dan penerapan bid’ah dlolalah dan bid’ah hasanah telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/15/contoh-bidah/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar