Terjerumus Bid’ah

Mereka justru terjerumus ke dalam bid’ah dlolalah
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi tulisan kami padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/03/bentuk-penyembahan/ yang menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan bid’ah dlolalah, menyesatkan dan segala kesesatan tempatnya di neraka.
Segala kesesatan pada hakikatnya dikarenakan memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Bid’ah dlolalah atau bid’ah yang menyesatkan adalah bid’ah yang ditimbulkan karena memperturutkan hawa nafsu.
Bid’ah dloalalah adalah perkara baru dalam syariat, dalam “urusan kami” atau amal ketaatan yang berkaitan dengan perkara menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya yang meliputi kewajiban, batas /larangan dan pengharaman.
Pada hakikatnya seluruh kewajiban, batas/larangan ataupun pengharaman telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, berlaku bagi manusia sampai akhir zaman dan Allah Azza wa Jalla tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Jika seorang ulama menetapkan atau memfatwakan perkara kewajiban, batas/larangan atau pengharaman wajib berdasarkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atau “turunan” dari apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla karena perkara kewajiban, batas/larangan atau pengharaman adalah hak Allah Azza wa Jalla semata.
Ulama yang mengada-ada atau menetapkan atau memfatwakan perkara kewajiban, batas/larangan atau pengharaman berdasarkan ra’yu atau akalnya sendiri tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits maka inilah yang dinamakan bid’ah dlolalah.
Ada seorang ulama dari kalangan mereka berpendapat bahwa doa terlarang dibuat dengan bahasa Arab namun boleh berdoa menggunakan bahasa sendiri karena doa yang dibuat dengan bahasa Arab menurut pendapat mereka akan menimbulkan fitnah bahwa itu berasal dari Rasulullah shallallahu wasallam. Mereka sampaikan pendapatnya itu tanpa dalil dari Al-Qur’an maupun hadits.
Larangan tersebut tidak masuk akal sama sekali karena bagaimana orang Arab berdoa menggunakan bahasa mereka sendiri kalau doa yang dibuat dengan bahasa Arab terlarang ?
Ulama dari kalangan mereka yang lain menyampaikan pendapat mereka atas pertanyaan, “Apakah shalawat itu boleh dengan do’a apa saja? Dengan cara apapun,dengan lafazh-lafazh apapun, karena ia adalah do’a sebagaimana do’a secara umum?
Jawaban mereka adalah tidak boleh. Sesuai dengan kaidah ushul,lafazh-lafazh yang tidak ada atau tidak diajarkan atau tidak dicontohkan oleh Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam
Menurut mereka, terlaranglah kami bersholawat dengan ungkapan seperti ini,
“Semoga shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, tauladan kita, manusia yang paling mulia, paling taqwa, paling agung sepanjang zaman, baginda Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Semoga kita berada dalam golongan yang mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.

Menurut mereka, terlaranglah sholawat Imam Asy Syafi’i
“Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
atau
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas cahaya di antara segala cahaya, rahsia di antara segala rahasia, pe-nawar duka, dan pembuka pintu kemudahan, yakni Say-yidina Muhammad, manusia pilihan, juga kepada ke-luarganya yang suci dan sahabatnya yang baik, sebanyak jumlah kenikmatan Allah dan karunia-Nya.”

Begitupula mereka mensesatkan ratib (untaian doa, dzikir, sholawat, tahlil, tasbih, tahmid) karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam seperti ratib Al Haddad
Doa, sholawat, Ratib adalah termasuk amal kebaikan (amal sholeh) dimana perkara baru memang dibolehkan asalkan lafadznya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Sebuah amal kebaikan (amal sholeh) tidak terkait dengan dicontohkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam maupun para Salafush Sholeh.
Perkara baru dalam amal kebaikan (amal sholeh) asalkan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits tetaplah perkara yang baik (mahmudah/hasanah)
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Dapat kita simpulkan pada hakikatnya mereka justru telah membuat bid’ah dlolalah karena membuat larangan-larangan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan Hadits.
Mereka pada hakikatnya telah membuat larangan berdasarkan ra’yu atau akalnya sendiri atau bahkan berdasarkan kepentingan yang pada hakikatnya mereka memperturutkan hawa nafsunya. Segala yang memperturutkan hawa nafsu adalah kesesatan dan segala kesesatan tempatnya di neraka.
Bagi mereka yang menetapkan dan mengikuti fatwa berdasarkan ra’yu atau akalnya sendiri maka itulah penyembahan di antara mereka sendiri.
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Ada dari mereka mengada-ada larangan berlandaskan kaidah yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan Hadits yakni kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya)
Kesalahpahaman kaidah tersebut telah kami uraikan dalam tulisan pada

Boleh jadi karena mereka sering menghujat saudara muslim sendiri dengan hujatan “ahlul bid’ah” akhirnya mereka terjerumus dalam bid’ah dlolalah.
Pada hakikatnya mereka yang menhujat saudara muslim sendiri dengan “ahlul bid’ah” sama dengan “wahai kafir” , artinya kalau kebid’ahan tidak dilakukan oleh saudara muslimnya maka akan kembali kepada mereka sendiri karena membuat batas/larangan yang tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits , hanya memperturutkan hawa nafsu mereka atau kepentingan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim).
Marilah kita ingat selalu bahwa “Segala yang memperturutkan hawa nafsu adalah kesesatan dan segala kesesatan tempatnya di neraka.“
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Begitupula, marilah kita tinggalkan berdiskusi yang memperturutkan hawa nafsu atau berjidal atau berdebat. Berjidal atau berdebat adalah berdiskusi yang diikuti dengan memperturutkan hawa nafsu seperti saling menyerang, saling menghujat, saling merendahkan, saling menilai pribadi, saling menghujat, saling memperolok-olok, bertengkar dan ahlak-akhlak buruk lainyya yang pada hakikatnya mereka termasuk orang yang tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak ada satu kaum yangg tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yg suka bertengkar. (QS Az-Zuhruf [43]: 58 )” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar