Kami telah menyampaikan dalam tulisan sebelumnya pada :
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/23/pemahaman-secara-hikmah/tentang perbedaan pemahaman secara ilmiah dengan pemahaman secara hikmah.
Kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka pada hakikatnya terjadi karena mereka menyandarkan kepada pemahaman secara ilmiah.
Jumhur ulama yang sholeh dalam memahami Al Qur’an dan Hadits menyandarkan kepada (karunia) Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh pemahaman yang dalam atau pemahaman secara hikmah. Pemahaman yang melampaui kerongkongan atau pemahaman dengan hati atau akal secara bathin sebagaimana Ulil Albab.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
Salah satu kesalahpahaman mereka lainnya adalah keyakinan bahwa Rasulullah tidak mengetahui hal yang ghaib.
Contohnya apa yang disampaikan padahttp://almanhaj.or.id/content/1676/slash/0
*****awal kutipan*****
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang mengaku mengetahui yang ghaib?
Jawaban.
Hukum orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib adalah kafir, karena ia mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman.
“Artinya : Katakanlah : “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” [An-Naml : 65]
*****akhir kutipan *****
Pendapat senada disampaikan oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam bukunya Risalah fi Hukmi as-Sihr wa al-Kahanah
Firman Allah ta’ala dalam (QS an Naml:65), Allah ta’ala menegaskan hal yang ghaib hanya diketahui oleh Allah ta’ala seperti pengetahuan kapan mereka dibangkitkan. Namun Allah ta’ala tidak mengatakan apa yang diketahui oleh Allah ta’ala seluruhnya tidak disampaikan kepada manusia karena Allah ta’ala berfirman pada ayat yang lain yang artinya,
“Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“. (QS Al Isra [17]:85 ).
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS Al An’aam [6]:50)
Dari ketiga firmanNya tersebut dapat diketahui bahwa Allah ta’ala memberikan pengetahuan tentang ghaib walaupun sedikit atau sebatas apa yang diwahyukan kepada Rasul yang dikehendakiNya, tentulah Rasul yang dikehendakiNya adalah Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Mereka ada pula yang menyampaikan bahwa Rasulullah tidak mengetahui perkara ghaib berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS Al A’raaf [7]:188) “
Firman Allah ta’ala dalam (QS Al A’raaf [7]:188) terkait dengan ayat sebelumnya yakni (QS Al A’raaf [7]:187) Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengetahui yang ghaib khusus dalam hal tentang hari kiamat.
Pada hakikatnya mereka menyempitkan atau mendangkalkan ajaran Islam. Bagi mereka pengetahuan tentang ghaib terbatas pada pengetahuan tentang kapan dibangkitkan atau tentang kapan hari kiamat atau apa yang akan terjadi esok hari.
Kalau tujuan mereka agar umat muslim tidak mendatangi perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘irafah) yang menyampaikan kejadian esok hari maka tidak masalah mereka mengatakan bahwa Rasulullah tidak mengetahui perkara ghaib dalam hal itu.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak adan yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpuun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. al-An’am [6] : 59)
“Kunci perkara ghaib itu ada lima, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya melainkan Allah Ta’ala : ‘Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok selain Allah Ta’ala, dan tidak ada seorangpun mengetahui apa yang ada di dalam kandungan selain Allah Ta’ala, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat selain Allah Ta’ala, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati selain Allah Ta’ala, dan tidak seorangpun yang mengetahui kapan hujan akan turun selain Allah Ta’ala”. (Hadis Riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar)
“Orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi wasallam”. (Hadis Riwayat Imam Ahmad dan al-Hakim dari Abu Hurairah)
Namun perkara ghaib tidak sebatas pada tentang kapan dibangkitkan atau tentang kapan hari kiamat atau apa yang akan terjadi esok hari.
Kata ghoib, menurut beberapa kamus arab, seperti lisaanul arab berasal dari kata ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata hadhoro atau dhoharo (hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kita atau sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata.
Diri manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani (jasad) adalah bagian yang dapat tampak dengan panca indera kita disebut juga lahiriah sedangkan ruhani adalah bagian yang tidak tampak dengan panca indera kita disebut juga bathiniah atau ghaib. Jadi pengetahuan tentang ghaib adalah pengetahuan seputar ruhani.
Nilai manusia tidak terletak pada jasmani (jasad) nya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: ”Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya“.(QS Shaad [38]: 71-72)
Diantara manusia ada yang menyadari dan mengenali siapa yang meniupkan ruh kapadanya dan yang memuliakannya atas seluruh makhlukNya. Mereka itu akan bersyukur kepada pemberi nikmat, sementara ada manusia-manusia yang melupakan Tuhannya, melupakan kepada Dzat yang meniupkan ruh kepadanya.
Pengetahuan tentang ghaib adalah pengetahuan tentang ruhani atau pengetahuan tentang ruh.
Ruh dapat bertindak sebagai berperasaan, berkehendak dan berpikir.
Ruh bertindak sebagai berperasaan seperti sedih, senang, marah, kesal dan sebagainya dikatakan sebagai hati
Ruh bertindak sebagai berkehendak seperti berkehendak positif atau negatif, baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram dikatakan sebagai nafsu
Ruh bertindak sebagai berpikir, memahami, menyelidik, menilai, mengambil pelajaran dikatakan sebagai akal.
Kita harus bisa membedakan antara akal dari kerja otak dengan akal dari ruh. Akal dari kerja otak yang dikatakan pemahaman secara ilmiah/logika atau pemahaman secara dzahir sedangkan akal dari ruh yang dikatakan pemahaman secara hikmah atau pemahaman secara bathin.
Pengetahuan tentang ghaib atau pengetahuan tentang ruhani atau pengetahuan tentang ruh adalah pengetahuan tentang akhlak atau pengetahuan tentang ihsan.
Dia (malaikat Jibril) bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Sayyidina Ali ra. menjelaskan “tidak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat” artinya sesuatu yang ghaib. Jadi jelaslah pengetahuan yang ghaib terkait pengetahuan tentang Ihsan atau pengetahuan tentang akhlak dan semuanya terurai pada tasawuf dalam Islam.
Tasawuf sejak dahulu kala pada perguruan tinggi Islam adalah tentang akhlak atau tentang ihsan.
Namun segelintir ulama telah membuat citra buruk tentang tasawuf dalam Islam atau ulama yang telah terhasut citra buruk tentang tasawuf dalam Islam yang ditengarai dilakukan oleh pusat-pusat kajian Islam yang didirikan oleh kaum non muslim, orientalis yang dibelakang semuanya adalah kaum Zionis Yahudi. Upaya mereka mencitrakan hal yang buruk terhadap tasawuf dalam Islam ada terlukis dalam tulisan pada :
Hasutan pencitraan yang buruk terhadap Tasawuf termakan pula oleh para pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Para penguasa kerajaan dinasti Saudi menyusun kurikulum pendidikan bekerjasama dengan Amerika yang dibaliknya adalah Zionis Yahudi. Hal ini telah kami sampaikan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/01/2011/02/07/muslim-bukanlah-ekstrimis/
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani menyampaikan dalam makalahnya bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapnya ada padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/18/ekstrem-dalam-pemikiran-agama/
Muslim yang berakhlak baik adalah muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang sholeh (sholihin), muslim yang melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (hakikat keimanan) atau minimal muslim yang meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan manusia.
Imam Malik ra menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fikih (perkara syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Imam Syafi’i ra menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?”
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Nasehat Imam Syafi’i seputar tasawuf atau seputar kaum sufi, ada pula diputarbalikan oleh mereka sehingga menyesatkan orang banyak. Hal ini tercantum pula dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/23/pemalsuan-kitab/
Mereka melakukan tahrif, memotong perkataan Imam Syafi’i rahimahullah. Bahkan mereka menyampaikannya sebagai bahan celaan atau bahan olok-olokan. Kami sudah sampaikan bahwa indikator seseorang telah beragama atau berpemahaman yang baik dan benar adalah diwujudkan dalam akhlak yang baik. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2011/07/07/indikator-muslim-baik/
Mereka yang gemar mencela atau memperolok-olok saudara muslim lainnya jelaslah bukan akhlak yang baik. Kalau kita mengaku mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka marilah kita hindari segala bentuk celaan maupun olok-olokan kepada saudara muslim kita sendiri yang semua itu adalah termasuk celaan dan hal yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Selengkapnya tentang pemutarbalikan perkataan ulama tentang tasawuf diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/29/pemutarbalikan-perkataan-ulama/
Syaikh Al-Buthi menerangkan bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansinya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan santri, “La musyahata fil ishthilah” (tidak perlu ribut karena membahas istilah). Perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu dan takkan memberikan manfaat yang signifikan. Demikian pula dalam masalah istilah Tasawuf. Banyak orang berbondong-bondong mengumandangkan genderang dan mengibarkan bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian-pengajian digelar, perang opini dikobarkan. Semuanya dengan satu tujuan, memberangus Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong-bondong pula orang yang siap membela mati-matian Tasawuf. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Berikut nasehat Sayyidina Ali ra kepada puteranya yang mengutamakan tentang akhlak dibandingkan lainnya.
” Sejak awal aku bermaksud menolong mengembangkan akhlak yang mulia dan mempersiapkanmu menjalani kehidupan ini. Aku ingin mendidikmu menjadi seorang pemuda dengan akhlak karimah, berjiwa terbuka dan jujur serta memiliki pengetahuan yang jernih dan tepat tentang segala sesuatu di sekelilingmu.
Pada mulanya aku hanya ingin mengajarimu Kitab Suci, secara mendalam, mengerti seluk-beluk (tafsir dan takwil)nya, membekalimu dengan pengetahuan yang lengkap tentang perintah dan larangan-Nya (hukum-hukum dan syariat-Nya) serta halal dan haramnya.
Kemudian aku khawatir engkau dibingungkan oleh hal-hal yang diperselisihkan di antara manusia, akibat perbedaaan pandangan di antara mereka dan diperburuk oleh cara berpikir yang kacau, cara hidup yang penuh dosa, egoisme dan kecenderungan hawa nafsu mereka, sebagaimana membingungkan mereka yang berselisih itu sendiri“.
Nasehat selengkapnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/04/nasehat-sayyidina-ali-ra/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
yani prawiro
terimakasih banyak…….atas sharingnya
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar