Luruskan kesalahpahaman

Beberapa alasan kami berupaya meluruskan kesalahpahaman
Salah satu pencetus yang mendorong kami untuk memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar diberikan kekuatan dan kemudahan dalam upaya meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang telah terjadi selama ini adalah adanya ulama yang serampangan berhujjah atau beristinbath atau berfatwa sehingga membuat larangan, pengharaman ataupun kewajiban yang tidak ada landasannya dari Al Qur’an maupun Hadits. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/04/hati-hati-beristinbath/
Pada umumnya larangan yang mengada-ada (perkara baru / bid’ah dlolalah)  itu terjadi karena kaidah tanpa dalil dari Al Qur’an dan Hadits yakni kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIHI” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya). Kesalahpahaman kaidah ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/08/lau-kaana-khoiron/
Perkataan “Lau kaana khoiron lasabaquna ilahi” diperkatakan salah satunya oleh ulama Ibnu Katsir ketika beliau menyampaikan tafsir firman Allah Azza wa Jalla “waqaalal ladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi” , “Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya” (QS Al Ahqaaf [46]:11 ).  Perkataan ulama Ibnu Katsir tersebut tidak ada kaitannya dengan apa yang ditafsirkan olehnya atau tidak ada kaitannya dengan perkataan orang-orang kafir dalam (QS Al Ahqaaf [46]:11). Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/04/apa-kaitannya/

Perkataan ulama Ibnu Katsir, “Lau kaana khoiron”,  “seandainya hal itu baik” adalah khusus ketika beliau menyampaikan pendapat bahwa para Sahabat tidak pernah melakukan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“. Sama sekali beliau tidak bermaksud membuat kaidah apalagi ayat yang dijelaskan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH”  Hal ini telah kami jelaskan dalam tulisan sebelumnya padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/  danhttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/03/lagi-tentang-bidah/
Sedangkan kajian tentang “pengiriman pahala bacaan” dapat ditemukan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/26/kiriman-amal/

Hal lain yang mendorong kami untuk meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang telah terjadi selama ini adalah  ketika kami disampaikan oleh rekan-rekan kami yang baru pulang mengikuti pendidikan di wilayah kerajaan Dinasti Saud bahwa saat ini segelintir ulama pegangan i’tiqod  sudah beralih dari apa yang  menjadi pegangan para pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi  yakni Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/lima-puluh-aqidah/ menjadi berlandaskan pemahaman secara harfiah/dzahir terhadap hadits tentang budak Jariyah. Kajian tentang hadits ini dapat dibaca padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/2010/06/12/hadits-jariyah/
Salah satu dasar aqidah mereka adalah menerjemahkan hadits budak jariyah atas pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “di mana Allah” sebagai pertanyaan tentang tempat atau keberadaan bagiNya.
Pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai pertanyaan tentang tempat namun maknailah dengan hakikat keimanan.
Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Ketika itu orang-orang tidak beriman karena menyembah berhala sehingga dengan jawaban “di langit” maka dapat dipastikan bahwa budak Jariyah tidak menyembah tuhan berhala walaupun di langit itu ada matahari, bintang dan bulan. Jawaban budak jariyah dipertegas dengan jawaban atas pertanyaan Rasulullah shallallahu berikutnya yang artinya, “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
Perhatikanlah perkataan mereka lainnya tentang tempat atau keberadaan Allah Azza wa Jalla,
“Fakta Empiris yang disuguhkan sains menunjukkan bahwa Bumi ini ada dalam wahana langit tata surya matahari. Ini berarti kata “atas” juga menunjuk keluar dari wahana langit tata surya matahari. Dan wahana langit tata surya matahari ini ada didalam wahana wahana langit kumpulan tata surya yang disebut dengan galaxy (kita menamainya galaxy Bima Sakti). Sementara wahana galaxy itu berkumpul dalam kumpulan grup galaxy dan kumpulan grup galaxy ini ada dalam wahana grup-grup galaxy yang dalam sains, astronomi disebut nebula dan seterusnya. Hal ini sangatlah sesuai dengan informasi wahyu bahwa langit itu tersusun atas 7 “lapis”. Langit (langit pertama sampai Ketujuh). Sehingga dari informasi wahyu dan fakta empiris sains menunjukkan bahwa alam semesta itu punya batas. Dan batas tertinggi wahana alam semesta tersebut adalah Langit ke 7. Diatas langit ke 7 itulah wahana Arsy. Sementara Allah ber-Istiwa’  di atas ArsyNya. Tentu kata “di atas” ArsyNya menunjukkan posisi Allah ada di luar alam semesta”

Jadi keyakinan mereka bahwa Allah ta’ala mempunyai posisi / tempat / keberadaan di arah atas yang jauh melampaui matahari, galaxy Bima Sakti, kumpulan galaxi, nebula  sampai di atas langit ke 7 tepatnya diatas wahana/tempat ‘Arsy.
Hakikat Arsy (Singgasana) diciptakan bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla karena Dia wujud (ada) sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berubah dan berpindah hanyalah ciptaanNya.
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya” (diriwayatkan oleh Abu manshur al baghdadi dalam kitab alfarq baynal firoq hal 333).  Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/25/langit-dan-bumi/ dan  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/27/bukan-tempat-baginya/
Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy artinya ‘Arsy menghalangiNya
Allah Azza wa Jalla tidak ada sesuatupun yang menghalangiNya.
Apabila Allah Azza wa Jalla terhalang sesuatu maka keberadaan Allah Azza wa Jalla itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasainya, ada yang menguasai Allah Azza wa Jalla itu mustahil karena Allah Maha Kuasa.
Jadi mustahil ada sesuatu yang menghalangi Allah Azza wa Jalla termasuk ‘Arsy maupun jarak. Allah Azza wa Jalla, dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak.

Al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H) dalam kitab “Talbis Iblis”, artinya Membongkar Tipu Daya Iblis menuliskan, (yang artinya)
“Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi/harfiah) ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [--dengan pemahaman yang salah--] dari hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Yanzil Allah Ila Sama’ ad Dunya”, mereka berkata: “Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah”. Mereka memahami makna “nuzul” (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi / harfiah). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul “Minhaj al Wushul Ila ‘Ilm al Ushul”.

Imam Ibn al Jawzi al Hanbali menegaskan bahwa “keyakinan Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy adalah keyakinan musyabbihah”
Uraian selengkapnya pendapat para ulama Ahlussunnah wal jama’ah tentang kesalahpahaman-kesalahpahaman dalam i’tiqod  pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod/
Batasan-batasan yang harus kita taati dalam i’tiqod telah disampaikan oleh para ulama Ahlussunnah wal jama’ah antara lain,
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
“Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Baihaqi dan lainnya)
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat yang terkait dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, kita tidak boleh memahaminya secara harfiah untuk menghindari kekufuran dalam i’tiqod. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/30/2011/06/20/hindari-kekufuran-itiqod/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/23/2011/07/24/asma-wa-sifat/ dan http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/25/jika-ada-kanan/
Pemahaman secara harfiah atau pemahaman secara apa yang tertulis atau pemahaman yang “tidak melewati kerongkongan”  atau pemahaman sebatas ra’yu (akal/otak/rasio/ilmiah) saja atau  pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” sebagaimana yang telah kami sampaikan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Pemahaman yang melewati kerongkongan adalah pemahaman secara hikmah atau  pemahaman yang dalam atau pemahaman dengan hati atau mengambil pelajaran sebagaimana Ulil Albab.
Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Ulil Albab melakukan ta’wil atau tafwid dalam rangka mengambil pelajaran atau hikmah dari firman Allah Azza wa Jalla namun mereka tidak “mencari-cari” takwil. Hal ini dibenarkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya, “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Selengkapnya,
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. 
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab“. (QS Ali Imron [3]:7 )

Wassalam

Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

2 Tanggapan
meluruskan kesalahpahamah dengan kerancuan berfikir?!
bagaikan membelah air.



apanya yang rancu?
yang rancu itu mengatakan Allah bertempat dan berarah.
Sebuah kerancuan berpikir dalam memahami Al Quran.

=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar