Perlunya Akhlak

Orang-orang yang asing (Al Ghuroba)
Perlunya para penuntut ilmu atau umat muslim pada umumnya memahami tentang akhlak
Baiklah kita lanjutkan tulisan sebelumnya tentang kesombongan
Kalau kita amati, telah terjadi keanehan pada zaman modern ini, zaman  yang dikatakan penuh ulama-ulama “mengaku” pembaharu (mujaddid), dimana sebagian mereka merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Mereka bahkan adalah orang yang berilmu agama yang tinggi, menguasai bahasa Arab yang baik, hafal sejumlah hadits dan bahkan hafal Al-Qur’an dengan baik

Dahulu kita kenal, bahwa semakin tinggi ilmu manusia maka dia semakin merunduk (sadar akan Allah yang Maha Mengetahui).
Ibarat Padi, semakin berisi semakin merunduk artinya semakin tinggi ilmunya semakin rendah hatinya, atau kalau sudah pandai jangan sombong, selalulah rendah hati.
Zaman modern ini, sebagian orang yang merasa ilmunya tinggi menjadikan mereka  sombong, berdasarkan kajian atau ijtihad mereka atau kelompok mereka, akhirnya menurut mereka, mereka telah menemukan “kebenaran”, bahkan memandang orang tuanya, keluarganya, lingkungannya, ulama-ulama terdahulu itu keliru dalam mengikuti/memahami  agama Islam.
Klo saya tanyakan , mengapa yang keliru itu begitu banyak?.

Mereka menjawab dengan rujukan hadist yang menjadi “pembenaran” bagi mereka yakni,
Rasulullah bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’).”(hadits shahih riwayat Muslim)
“Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak.“(hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)
Mereka memandang bahwa mereka hidup zaman sekarang ini ditengah banyak manusia yang rusak. Artinya mereka memandang dirinya lebih baik dibandingkan banyak orang lain.
Bahkan dengan pembenaran terhadap golongan mereka, menggunakan hadits berikut
“Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (hadits shahih riwayat Ahmad).
Menurut mereka, mereka bisa  paham kenapa banyak orang yang memusuhi mereka dan jumlah mereka yang memusuhi lebih banyak daripada yang mengikuti mereka. Padahal kami sesama muslim, InsyaAllah tidak akan memusuhi orang muslim lainnya karena sesungguhnya sesama muslim adalah bersaudara sebagaimana firman Allah yang artinya, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” ( Qs. Al-Hujjarat :10). Mungkin mereka telah berprasangka buruk terhadap sesama muslim.
Mereka belum dapat memahami dengan benar yang dimaksud orang-orang asing (ghuroba) yakni orang-orang shalih ditengah-tengah orang yang berperangai / bertabiat buruk.  Mereka berpemahaman bahwa orang-orang shalih adalah cukup menjalankan seluruh perintah (hukum/perkara wajib) dan menjauhi larangan  atau menjauhi yang diharamkan (hukum/perkara haram).  Belum-belumlah cukup dengan hanya dengan ibadah ketaatan yang dapat menjamin kita akan masuk surga.
Hal yang terpenting yang kadang terlupakan bahwa kita memerlukan ridho Allah ta’ala  atau kita memerlukan karunia Allah ta’ala agar kita masuk surga. Mereka yang masuk surga adalah mereka yang mendapat petunjuk Allah dan mereka temasuk orang-orang shalih atau orang-orang asing (ghuroba).
Untuk mendapatkan ridho Allah yang perlu kita lakukan adalah amal kebaikan atau amal sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Allah juga berfirman memberitakan tentang penduduk surga, yang artinya: ”..Dan mereka berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini, dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk..” (QS Al-A’raaf:43).
Tahukah para pembaca, mengapa mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh?
Karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.
Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.
Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin/muhsinin).  Ihsan (kata arab) yang maknanya baik, terbaik.
Siapakah yang termasuk muhsinin (orang-orang sholeh) ?
Orang-orang sholeh (muhsinin) adalah orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan / amal kebaikan / amal sholeh atau yang mencapai ihsan.
Firman Allah yang artinya
“menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan(muhsinin) , (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Lukman [31] 3-5 ).
Orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, mereka tahu bahwa jalan menuju kesempurnaan (ihsan) seorang muslim adalah mendalami tentang ihsan(tasawuf/akhlak),  sehingga mereka berupaya mencitrakan buruk kepada tasawuf dalam Islam dan sebagian ulama termakan propaganda tersebut.
Perhatikanlah bagaimana Orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik berupaya meruntuhkan akhlak kaum muslim dengan budaya mereka, pornografi, seks bebas, homoseksual, miras, narkoba dll.
Jelaslah bahwa akhlakul karimah adalah kunci bagi keberhasilan, kesuksesan dan keselamatan seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat.
Juga ada sebagian dari mereka yang salah memahami tentang orang-orang asing (ghuroba) mendakwahkan jangan bertaqlid pada imam yang empat (imam madzhab) karena mereka tidak maksum.  Apakah mereka memahami oleh karena tidak maksum maka hasil upaya ijtihad imam yang empat menyalahi Al-Qur’an dan Hadits ? Ataukah mereka tidak paham membedakan antara yang dimaksud taqlid buta dengan taqlid itu sendiri yakni mengikuti, mentaati ulama mujtahid. Sebagaimana Allah telah firmankan yang artinya, ”Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 ).

Begitu juga kalau saya berdiskusi dan mencoba mengingatkan mereka, pada suatu keadaan tertentu malah mereka “mengakhiri” diskusi dengan menggunakan firman Allah yang artinya
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah,  maka merekalah orang-orang yang merugi”(Al’A'raaf:178).
Disesatkan Allah berarti bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah.
Mereka belum paham bahwa orang yang disesatkan Allah adalah  bukan orang yang telah bersyahadat juga bukan orang yang beriman kepada Kitabullah dan Sunnah.
Dalam Al-Qur’an dapat diketahui siapa yang dimaksud oleh Allah dengan orang-orang dimurkai dan orang-orang disesatkan.
Orang-orang yang dimurkai Allah ta’ala sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi424 dan (orang yang) menyembah thaghut ?”. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus” (Al Maa-idah [5]:60 )
“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus“. (QS Al Maa-idah [5]:77 )
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Jadi klo boleh saya simpulkan, bahwa mereka bukannya menegakkan/ mensiarkan kebenaran namun menegakkan pembenaran atau menggunakan kebenaran untuk kepentingan (hawa nafsu) mereka.
Sebagaimana ketika disampaikan kepada Saidina ‘Ali Ra, semboyan orang khawarij,    kemudian beliau menjawab:  “kalimatu haqin urida bihil batil”(perkataan yang benar dengan tujuan/keinginan/hasrat/kepentingan  yang salah)
Oleh karenanya zaman modern ini kita dapatkan sebagian dari ulama pembaharu, sesungguhnya adalah ulama pragmatis, ulama berdasarkan/bersandarkan kepentingan seperti kekuasaan atau kebutuhan/keperluan duniawi lainnya. Mereka bukan ulama yang idealis, yang semata-mata berpegang pada al-Qur’an dan Hadits.
Salah satu solusi agar orang-orang yang menuntut ilmu tidak menjadi sombong maka mereka harus dilengkapi dengan ilmu tentang akhlak, hati, tazkiyatun nafs, ma’rifatullah
Nasehat ulama sufi, syaikh Ibnu Athailllah
“Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya. ”
Jika kita ibaratkan hati sebuah cermin, bagaimana cermin itu akan memantulkan cahaya kebenaran, jika terhijabi oleh nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah juga hijab,  sampai karomah juga hijab, dan hijab lainnya.
Selengkapnya saya telah uraikan dalam tulisan pada
dan
Sesungguhnya kita tidak mebutuhkan ulama yang “mengaku”  pembaharu (mujaddid) dalam agama Islam, yang kita butuhkan adalah kesungguhan dan ke-kafah-an dalam mengikuti dan mengimplementasi Al-Qur’an dan Hadits, bagaimanapun atau kapanpun zaman kehidupan atau  teknologi yang kita hadapi karena Al-Qur’an dan Hadits tidak akan pernah ”usang”.
Tak mengapa kita mengikuti / taqlid pada ulama-ulama mujtahid karena keterbatasan kemampuan kita untuk berijtihad.  Lagi pula harus terpenuhi syarat-syarat yang banyak untuk dapat melakukan ijtihad. Bahkan sebagian ulama menyatakan agak sulit mendapatkan imam mujtahid pada masa sekarang karena masa kehidupan kita sudah terlampau jauh dengan masa kehidupan Rasulullah dan masa kehidupan generasi Salafush Sholeh.
Imam mujtahid, merekapun tentu berpegang pada Al-Qur’an dan Hadits juga mengambil pelajaran dari kehidupan Salafush Sholeh (generasi terbaik dari umat Islam).
Namun umat Islam dalam mengikuti (taqlid) Imam mujtahid harus tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.  Selama kita selalu mengingat Allah maka insyaAllah,  Allah akan menganugerahkan pemahaman yang dalam (al-hikmah) sehingga kita dapat mengambil pelajaran / petunjuk dari Al-Qur’an dan Hadits.  Sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Wassalam
Zon di Jonggol
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar