Satu masuk surga, bukanlah Salafi manapun dan bukan satu kelompok manapun.
Dustalah bagi mereka yang mengaku bahwa hanya kelompok mereka saja yang pasti masuk surga.
Mereka salah memahami hadits “73 golongan masuk neraka dan hanya satu masuk surga” Golongan yang satu masuk surga adalah golongan pengikut Rasulullah dan para Salafush Sholeh yakni Orang-orang Sholeh, Orang yang istiqomah pada jalan yang lurus. Orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Orang sholeh atau muslim yang sholeh bisa ada di mana saja, dari tingkatan, golongan, kelompok, jama’ah, tarekat, harakah, manhaj, mazhab, hizb, organisasi massa/keagamaan, dan bentuk-bentuk lain dari jama’ah minal muslimin (bentuk kumpulan kaum muslimin) mana saja. Dan kepastian terakhir kita masih termasuk orang-orang sholeh adalah setelah kita wafat, karena sebelum kita wafat , bisa saja terjadi perubahan. Ada yang sebelum wafat menjadi mantan orang sholeh dan ada pula yang menjadi orang sholeh baru.
Untuk itulah kita harus mempunyai rasa khauf (takut), takut tidak termasuk orang sholeh dan rasa harap (raja), mengharap kepada Allah Azza wa Jalla untuk meneguhkan menjadi orang sholeh hingga akhir hayat. Hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui dan Maha Memutuskan/Menghukum (Al Fattaah)
“Katakanlah: “Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (QS Sabaa’ [34]:26 )
Orang-orang sholeh bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al-Maidah: 54)
Jadilah orang sholeh(sholihin) atau muslim yang sholeh atau muslim yang baik atau muslim yang ihsan.
Tingkatan orang sholeh hanya ada dua tingkatan.
Paling topnya adalah muslim yang dapat memandang Allah ta’ala dengan hati atau hakikat keimanan (Sikap aktif, memandang Allah Azza wa Jalla )
Paling minimum adalah muslim yang berkeyakinan bahwa segala sikap/perbuatannya selalu dilihat oleh Allah Azza wa Jalla (Sikap pasif, dipandang oleh Allah Azza wa Jalla)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Marilah kita berupaya untuk dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati sehingga tidak lagi bertanya “di mana” atau “bagaimana”. Maha Suci Allah ta’ala dari “di mana” dan “bagaimana”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
“Allah adalah dekat”, dekat di hati orang-orang yang sholeh.
Orang-orang sholeh yang dengan hati mereka dapat memandang Allah Azza wa Jalla.
Dengan hati mereka mencintai Allah subhanallahu wa ta’ala dan mencintai RasulNya yakni Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.:
“Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Orang sholeh adalah orang yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla dan dicintai oleh manusia
Dari Abul ‘Abbas, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ اَحَبَّنِيَ اللهُ وَ اَحَبَّنِيَ النَّاسُ فَقَالَ : – اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ-
حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه وَ غَيْرُهُ بِاَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya, maka aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia’. Beliau lantas bersabda:
‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu’.”
[Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dengan sanad hasan]
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu” menunjukkan bahwa kecintaan Allah diperoleh dengan seseorang zuhud terhadap dunia. Definisi yang paling bagus, ‘zuhud terhadap dunia’ adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikannya dari mengingat Allah. Definisi ini sebagaimana dinukil dari Al Hafizh Ibnu Rojab ketika beliau menjelaskan hadits ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaiman Ad Daaroniy.
Beliau mengatakan:
“Para ‘alim ulama di Iraq berselisih pendapat mengenai pengertian zuhud. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah menjauhi dari manusia. Ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan berbagai nafsu syahwat. Ada juga yang mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan diri dari kekenyangan. Semua definisi ini memiliki maksud yang sama.”
Kemudian Ad Daaroniy mengatakan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ‘azza wa jalla. Definis beliau ini sangatlah bagus. Karena definisi yang beliau ajukan telah mencakup makna dan macam-macam zuhud.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu”. Manusia dikenal begitu tamak terhadap harta dan berbagai kesenangan di kehidupan dunia. Kebanyakan manusia sangat kikir untuk mengeluarkan hartanya dan enggan untuk berderma. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At Taghaabun: 16)
Seharusnya seseorang tidak terkagum-kagum dengan orang yang sangat tamak terhadap dunia dan menampakkan padanya. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang ada pada manusia, dia akan memperoleh kecintaan mereka dan manusia pun akan mencintainya. Jika sudah demikian, maka dia akan selamat dari kejelekan mereka.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
4 Tanggapan
mamo cemani gombong
NICE ARTICLE ……….kenapa mesti adu argumentasi “dimana Alloh ” ????? kenapa tidak mencari ” kekasih Alloh ” yang selalu menjumpainya ????? agar kita diantar sampai kehadiratNya ………..
mutiarazuhud
Alhamdulillah, tampaknya mas Mamo tidak hanya memahami apa yang tertulis (makna dzahir) atau apa yang tersurat namun mas Mamo dapat memahami apa yang tersirat atau pemahaman yang dalam (hikmah).
Pamahaman secara dzahir atau apa yang tersurat adalah pemahaman melalui akal (tidak melampaui kerongkongan) sedangkan
Pemahaman yang dalam (hikmah) atau apa yang tersirat adalah pemahaman melalui hati (melampaui kerongkongan).
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)“. (QS Al Isra [17]: 72 )
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46 )
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).” (QS Ar Ruum [30]:53 )
Kita dapat membedakan antara orang buta hatinya yang menyampaikan apa yang di dekat mereka dengan orang dapat memandang/melihat dengan hatinya yang menyampaikan apa yang di dekat mereka.
Orang-orang sholeh atau muslim yang sholeh adalah orang-rang yang mendapatkan kemulian dan dekat di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka adalah kekasih Allah atau Wali Allah.
Wassalam
mamo cemani gombong
sepakat bang Zon ……
enot
Zuhud mrupakan sikap batin, apapun posisinya baik di istana negara maupun di sawah di pasar di wc di mesjid di kasur dmanapun bagaimanapun ksibukanya. insya
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar