Keselamatan Dunia Akhirat

Berangkat dari banyaknya permasalahan yang terjadi pada zaman modern ini, pada negeri ini, sesungguhnya pokok permasalahan ada pada masalah akhlak. Apa yang kita dapat ambil pelajaran dari perilaku penguasa, pengusaha, artis, pekerja, orang-orang tua, generasi muda, mahasiswa, pelajar atau rakyat pada umumnya bermasalah karena akhlak mereka. Mereka yang dzalim, korupsi, kolusi, mafia kasus/hukum, berzina, pornografi, narkotika, miras, berkelahi/kerusuhan, gaya hidup berlebihan, rakus dan cinta dunia dan perbuatan buruk lainnya pada dasarnya timbul dari akhlak yang buruk. Mereka melakukan kerusakan di muka bumi.
Untuk itu kita perlu mensosialisasikan tentang akhlakul karimah.
Akhlakul karimah adalah keadaan sadar (kesadaran) atau  perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah (zikrullah).
Selain sosialisasi , wajib kita memasukkan tentang akhlakul karimah kedalam sistem pendidikan agar dihasilkan sumber daya manusia yang berakhlakul karimah.
Dalam tulisan kali ini, Insyaallah saya mencoba menguraikan tentang akhlakul karimah.
Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
Kita, muslim sudah paham dan sering mengucapkan doa keselamatan dunia dan akhirat berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Al Baqarah [2] : 201 )
Selain berdoa kita diwajibkan mengiringinya dengan ikhtiar atau upaya.
Apakah ikhtiar atau upaya kita menuju keselamatan dunia dan akhirat ?
Kuncinya adalah berupaya menjadi hamba-hamba Allah yang sholeh (‘ibaadillaahish shoolihiin), mukmin yang sholeh, mukmin yang berakhlakul karimah, mukmin yang terbaik, mukmin yang ihsan atau muhsin, Mukmin yang seolah-olah melihatNya atau miminal mukmin yang yakin bahwa Allah melihat kita.
Kunci keselamatan dunia dan akhirat  berdasarkan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mi’raj dan menghadap Allah Subhaanahu wa Ta‘ala.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam membaca, “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin” yang artinya  “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.  Do’a yang selalu kita baca pula setiap sholat.
Pokok-pokok ajaran dalam agama Islam adalah

Islam (rukun Islam / fikih),
Iman (rukun Iman / Usuluddin/I’tiqad),
Ihsan (akhlak / tasawuf)
Berdasarkan pokok-pokok ajaran dalam agama Islam maka tingkatan manusia sebagai berikut:
Muslim (muslimin)   =>  Mukmin (mukminin)  =>   Muhsin (muhsinin)
Tingkatan pertama (paling rendah) dalam tingkatan muhsin (muhsinin) adalah “selalu merasa dilihat Allah”. Sampai disini belum muncul akhlakul karimah.
Barulah ketika merasakan seolah-olah melihat Allah (tingkatan kedua) akan muncul akhlak tersebut sehingga mencapai muslim yang sholeh sebagaimana yang telah dicapai pula oleh Salafush sholeh atau “‘ibaadillaahish shoolihiin” , hamba-hamba Allah yang sholeh
Dzikir jahar dan dzikir khofi dapat kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah.
Rumusan sederhananya,
“Seolah-olah melihatNya” = Akhlakul karimah =  Keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.
Oleh karenanya dalam Al-Qur’an selalu diingatkan untuk orang-orang mukmin untuk meningkatkan diri untuk mencapai tingkatan muhsin (muhsinin) dengan contoh keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah yakni, sabar, shalat dan zakat
“Hai orang-orang yang beriman (mukmin), jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar“. ( QS al Baqarah [2] : 153 )”
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati“. (QS al Baqarah [2]: 277 )
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)“. (QS al Maaidah [5] : 55 )

Sabar adalah contoh keadaan sadar (kesadaran) dan mengingat Allah dalam hubungannya dengan Allah dan Manusia.
Sholat adalah contoh perbuatan yang dilakukan secara sadar dan mengingat Allah dalam hubungannya dengan Allah
Zakat adalah contoh perbuatan yang dilakukan secara sadar dan mengingat Allah dalam hubungannya antar manusia.
Melihat  hasil  dari keyakinan
Untuk menjelaskan tentang ‘Seolah-olah melihatNya”, marilah kita ambil hikmah dari cerita anak dan ayah yang berjalan dalam kegelapan malam.
Syaikh ibnu Athoillah mengatakan “Orang yang ikut mengatur bersama Allah adalah seperti anak yang pergi bersama ayahnya. Keduanya berjalan di malam hari. Karena menyayangi anaknya, sang ayah senantiasa mengawasi dan memperhatikannya tanpa diketahui sang anak. Anak itu tidak bisa melihat ayahnya karena malam yang teramat gelap. Ia meresahkan keadaan dirinya dan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Ketika cahaya bulan menyinari dan ia melihat ayahnya dekat kepadanya, keresahannya sirna. Ia tahu ayahnya begitu dekat dengannya. Kini ia merasa tidak perlu ikut mengurus dirinya karena segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya. Seperti itulah orang mengatur untuk dirinya. Ia melakukannya karena berada dalam kegelapan – terputus dari Allah. Ia tidak merasakan kedekatan Allah. Andaikata bulan tauhid atau mentari makrifat menyinarinya, tentu ia melihat Tuhan begitu dekat, sehingga ia malu untuk mengatur dirinya dan merasa cukup dengan pengaturan Allah”.
Anak itu melihat ayahnya,  setelah lepas dari kegelapan malam karena cahaya bulan ===> timbul keyakinan ===> keresahannya sirna, anak itu yakin bahwa ayahnya begitu dekat, anak itu merasa (yakin)  tidak perlu mengurus dirinya karena segala sesuatu telah diperhatikan oleh ayahnya, anak itu yakin bahwa ayahnya mengawasi (melihat) dirinya.
Intinya,  Anak itu melihat ayahnya ===> maka timbul keyakinan.

Sedangkan kita terhadap Allah kebalikan dari hal ini.
Dari keyakinan yang ada  ===> maka timbul (mendapatkan karuniaNya) seolah-olah melihatNya.

Keyakinan bahwa Allah melihat/mengawasi kita. Berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS al Hujurat [49]:18 )

Keyakinan bahwa Allah mengurus kita. Berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya” (QS Ali Imran [3]:2 )

Keyakinan bahwa Allah itu dekat. Berdasarkan firman Allah yang artinya,
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56] : 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] : 16 )
Berdasarkan keyakinan-keyakinan diatas dan keyakinan yang lainnya maka kita dapat merasakan seolah-olah melihatNya, mengalami kebersamaan dengan Allah (Billah) , bertemu dengan Allah di dunia.

Selanjutnya kita berupaya menjaga dan memelihara keyakinan-keyakinan (iman) tersebut sampai akhirat kelak dimana pertemuan dengan Allah sesungguhnya dengan wajah berseri-seri.
Firman Allah yang artinya,
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS Al Qiyaamah [75] : 22-23 )
Upaya menjaga dan memelihara keyakinan-keyakinan (iman) itulah yang disebut dengan taqwa kepada Allah,  sedangkan kunci taqwa adalah akhlakul karimah = Keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku yang sadar dan mengingat Allah. Kata Taqwa merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang artinya adalah memelihara atau menjaga
Akhlakul karimah, mengingat Allah (zikrullah) inilah yang memotivasi kita untuk menjadi muslim yang sholeh (‘ibaadillaahish shoolihiin), memotivasi kita mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang mulia di sisi Allah, pada shaf-shaf terdepan dan terdekat dengan Allah, dekat dengan Tauladan kita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Nabi dan Rasul Allah, para Salafush Sholeh, para muslim pilihan Allah.
Terlintas di benak.
“Seolah-olah melihatNya” ,  kata “melihat” ini sebaiknya tidak dimaknai secara dzahir sehingga mengharapkan akan terlintas, terbentuk, tergambar dalam benak.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
Maknanya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“. Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.

Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.
Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah).
Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim”. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)
Melihat dibalik ciptaanNya
“Seolah-olah melihatNya”, mata kepala kita melihat benda/makhluk atau ciptaanNya tapi akal dan qalbu / mata hati (bashirah) melihat siapa Pencipta semuanya.
Mata hati (bashirah) melihat Allah di balik semuanya.
Begitulah seolah-olah melihat Allah.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya–
“Jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim“
Seolah-olah melihatNya termasuk ulil albab (orang-orang berakal), sebagaimana firman Allah yang artinya
“yakni, orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS Ali Imran : 191).
Muslim yang dapat merasakan seolah-olah melihatNya, dalam kehidupannya akan dapat “bercengkerama” atau berinteraksi dengan Allah, berinteraksi melalui firman-firmanNya. Muslim yang akan menikmati apa-apa yang telah diputuskan atau dipilihkan Allah untuk kita

Keniikmatan ini sesuai dengan nasehat (diwan) Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– bahwa
“Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf / akhlakul karimah, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan / kenikmatan takwa” Jadi untuk mendapatkan kenikmatan taqwa maka kita harus menjalankan tasawuf. Ingat menjalankan tasawuf, bukan memahami tasawuf karena tasawuf adalah keadaan, perilaku atau perbuatan.
Intinya kita wajib menjaga dan memelihara keadaan sadar (kesadaran)  atau perilaku yang sadar dan mengingat Allah.
Muslim yang sholeh, muslim yang Ihsan, muslim yang seolah-olah melihatNyadalam menjalankan kehidupan di dunia  tidak akan khawatir dan bersedih hati  karena dapat merasakan bahwa Allah bersama kita (Billah), sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS al Baqarah [2]: 277 )
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar Ra’d [13] : 28 )
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir” (QS at Taubah [9]: 26 ).
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al Fath [48] : 26)
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS Al Baqarah [2]: 153)
“….Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al Ankabut [29] : 45 )
Allah beserta orang-orang beriman (mukmin) yang sabar (akhlakul karimah) yang bisa menjadikan sholat sebagai mengingat Allah.
Muslim ====> Mukmin ==== > Mukmin yang sabar = Muhsin = Muslim yang Sholeh (‘ibaadillaahish shoolihiin) = Hamba-hamba Allah yang menuju keselamatan dunia maupun Akhirat
Amin
Wassalam
Zon di Jonggol,  Kab Bogor, 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar