Pemimpin dalam Islam

Sebuah tinjauan terhadap pendapat umum ulama Wahabi/Salaf(i) terhadap sistem pemerintahan kerajaan (monarki) dan pembiaran para ulama Wahabi terhadap kebijakan umara mereka mengikat perjanjian dengan kaum kafir.
Alhamdulillah, kami telah dapat diterima kembali pada forum arrahamah.com
Tulisan berikut merupakan sebuah diskusi kami pada situshttp://arrahmah.com/index.php/forum/viewthread/4740/P0/
Berikut ini pendapat mereka tentang adanya kesesuaian sistem kerajaan (monarki) dalam syariat Islam,
Abu Bakar menjadi khalifah bukan krn ditetapkan oleh Rasulullah saw.  Sedangkan Umar menjadi khalifah krn ditetapkan oleh Abu Bakar. Umar sendiri tdk menetapkan penggantinya seperti Abu Bakar tapi lebih memilih mengikuti Rasulullah saw:
Yahya bin Musa menceritakan kepada kami, Abdur Razzaq memberitahukan kepada kami, Ma’mar memberitahukan kepada kami dari Az Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya berkata: “Dikatakan kepada Umar bin Al Khaththab: “Seandainya kamu menetapkan khalifah pasti itu lebih baik”, dia berkata: “Kalau aku menetapkan khalifah maka Abu Bakar telah menetapkan khalifah dan kalau aku tidak menetapkan khalifah. Maka Rasulullah tidak menetapkan khalifah….” Di dalam hadits terdapat cerita panjang. (HR At Tirmidzi)
Hanya saja Umar tdk murni mengikuti Rasulullah saw krn beliau menetapkan 6 orang utk dipilih yg salah satunya sebagai khalifah penggantinya.
Dari Amr bin Maimun Al Audi, ia berkata: “Umar bin Khaththab berkata: “Tidak ada suatu persoalanpun yang saya anggap lebih penting untukku pada saat ini melainkan tempat berbaring di dekat kedua sahabatku itu. Apabila saya telah dicabut nyawaku lebih dulu bawalah saya olehmu semua, terus bersalamlah kepada orang banyak dan katakanlah: “Umar bin Khaththab meminta izin (yakni kepada kamu sekalian)”, jika diberi izin, maka makamkanlah aku (yakni di kamar Aisyah), tetapi jika tidak mendapat izin, maka kembalikanlah aku dan makamlah aku dalam makamnya seluruhnya kaum muslimin (yakni Baqi’). Sesungguhnya tiada seorangpun yang kuketahui lebih berhak dalam persoalan ini (yakni untuk dimakamkan di kamar Aisyah) daripada orang-orang yang di waktu wafatnya Rasulullah saw dan beliau itu merasa ridha dengan beliau-beliau tersebut. Oleh sebab itu siapa saja yang menjabat sebagai khalifah sepeninggalku nanti, maka beliau itu adalah khalifah yang sebenarnya. Untuk itu hendaklah kamu semua mendengar apa yang diucapkan olehnya dan taatilah segala perintahnya.” Sesudah itu Umar bin Khaththab menyebut-nyebut nama beberapa orang sahabat Nabi saw, yaitu Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abu Waqqash. (HR Bukhari)
Dan dari keenam orang tsb, Utsman bin Affan yg terpilih sebagai khalifah. Ali ditetapkan menjadi khalifah krn orang banyak setelah wafatnya Utsman. Tapi Mu’awiyah tdk membai’at Ali sebagai khalifah sehingga terjadi perang dan perdamaian antara keduanya. Masing2 lalu meng claim dirinya sebagai khalifah yg sah. Ali wafat dan tdk menunjuk penggantinya tapi pengikut Ali membai’at Hasan bin Ali sebagai khalifah. Krn Mu’awiyah tetap merasa sebagai khalifah yg sah, maka Hasan berdamai dan mundur sebagai khalifah. Hasan sebagai khalifah dan pendamai dua pihak muslim yg berselisih diakui oleh Rasulullah saw:
Dari Abu Bakrah ia berkata: “Aku melihat Rasulullah saw di atas mimbar sedangkan Al Hasan berada di sampingnya, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin, dan semoga Allah memperbaiki dua kelompok di antara kaum muslimin melalui dirinya.” (HR Bukhari)
Dgn demikian semua penetapan khalifah yg terjadi hingga Mu’awiyah menjadi khalifah telah diketahui oleh Rasulullah saw, sehingga cara penetapan khalifah seperti yg dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan umat diketahui oleh Rasulullah saw dan beliau tdk menyalahkannya. Beliau mengetahui usia khalifah rasyidin dan setelah itu khalifah dlm bentuk kerajaan, tapi beliau tdk berwasiat sedikitpun tentang khalifah:
Ahmad bin Mani’ menceritakan kepada kami, Suraih bin Annu’man memberitahukan kepada kami Hasyraj bin Nubatah memberitahukan kepada kami dari Said bin Jumhan, dia berkata: “Safinah menceritakan kepadaku dia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Khalifah dalam umatku tiga puluh tahun kemudian kerajaan setelah itu” kemudian Safinah berkata kepadaku: “Hitunglah dengan jari-jarimu masa Khilafah Abu Bakar.” Kemudian dia berkata: dan masa Khalifah Umar dan masa Khalifah Utsman. Kemudian berkata: “Hitunglah masa khalifah Ali” maka kami jumpainya tiga puluh tahun. Dalam bab ini terdapat hadits dari Umar dan Ali, mereka berkata: “Rasulullah saw. tidak berwasiat sedikitpun tentang khalifah.” (HR At Tirmidzi)
Dgn demikian apa yg dilakukan oleh para khalifah rasyidin dlm cara menetapkan khalifah tdk salah. Selain itu, Rasulullah saw perintahkan umatnya utk bertakwa kpd Allah swt mengikuti sunnah beliau dan sunnah para khalifah yg lurus:
Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Baqiyyah bin Al-Walid memberitahukan kepada kami, dari Bahir bin Said dari Kholid bin Ma’dan, dari Abdur Rahman bin Amr As Sulami, dari Al-Irbadh bin Sariyah berkata: “Rasulullah saw menasehati kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh suatu nasehat yang penting yang mana mata menangis dan hati bergetar karenanya. Seseorang berkata: “Sesungguhnya ini adalah nasehat orang yang akan meninggalkan, maka dalam hal apa saja engkau mengamanatkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu) karena sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kamu tentu akan melihat terjadinya banyak perselisihan. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya perkara-perkara yang baru (bid’ah) itu sesat. Barang siapa di antara kamu menjumpai hal itu, maka ia harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus yang diberi petunjuk, peganglah sunnah itu dengan kuat-kuat.” (HR At Tirmidzi)
Diantara sunnah para para khalifah yg lurus adalah para khalifah rasyidin. Mu’awiyah yg sempat bersama Rasulullah saw dan merupakan salah satu penulis wahyu, menetapkan khalifah penggantinya yaitu Yazid anaknya sendiri. Dlm hal itu Mu’awiyah tdk salah krn beliau mengikuti Abu Bakar. Tapi krn yg ditetapkan Mu’awiyah adalah anaknya atau keturunannya, maka disitulah bermula yg namanya system kerajaan dan itu sesuai dgn sunnah Rasulullah saw di atas. Tdk ada yg salah dgn apa yg dilakukan oleh Mu’awiyah, sekalipun kerajaan, terlebih lagi Rasulullah saw menjelaskan bahwa Islam berjaya dibawah 12 khalifah yang berasal dari orang2 Quraisy:
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata: “Nabi saw bersabda: “Islam ini akan selalu berjaya di tangan kedua belas orang khalifah.” Kemudian nabi saw mengucapkan sesuatu yang tidak bisa aku pahami. Ketika hal itu aku tanyakan kepada ayahku, dia menjawab: “Mereka itu dari golongan kaum Quraisy.” (HR Muslim)
Dan dari 12 khalifah tsb termasuk dari keturunan Mu’awiyah dlm dinasti Ummayyah yg berdasarkan kerajaan.
Apa yg dilakukan oleh Sa’ud raja Saudi tdk berbeda dgn yg dilakukan oleh Abu Bakar dan Mu’awiyah dlm menetapkan pemimpin. Jika penetapan raja di Saudi berdasarkan keturunan, maka Mu’awiyah juga begitu. Jika keluarga Mu’awiyah melaksanakan syariat Islam, maka keluarga Sa’ud juga melaksanakan syariat Islam.
Jadi dimanakah letak kesalahan ulama Saudi yg telah melakukan bid’ah dan tdk mengikuti para salafush sholeh dlm penetapan pemimpinnya seperti yg anda tuduhkan di atas itu?
Jika ulama2 telah melaksanakan penetapan khalifah yg berdasarkan syariat Islam dgn mengikuti Al Qur’an dan as sunnah serta para salafush sholeh, maka apakah ulama2 itu hrs bertanggung jawab juga atas zalim atau lurusnya pemimpin tsb?
Apakah Muawiyah atau sisa2 para sahabat ketika itu tahu jika Yazid Mu’awiyah akan berlaku zalim?
Apakah para ulama Umayyah tahu jika Umar Abdul Aziz akan berlaku lurus ketika ditetapkan sebagai khalifah? Apakah ada yg tahu takdir seseorang?
Krn itu bagaimana anda dpt mengatakan ulama2 Saudi telah mendudukan pemimpin2 zalim di kerajaan Saudi?
Kalau anda katakan itu atas ulama2 di negeri anda ini, maka anda benar, krn ulama2 di negeri anda itu tahu jika pemimpin2 negeri anda tdk melaksanakan hukum Allah atau syariat Islam, tapi melaksanakan hukum2 yg berasal dari musuh2 Allah.
Knp anda tdk urus saja ulama2 dan pemimpin negeri anda ini yg jelas2 telah melakukan bid’ah dan mengingkari firman2Nya:
Kemudian Kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS: Al Jaatsiyah 18)
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS: Al Maa-idah 44)
Jika anda tdk sanggup mengurus ulama2 dan pemimpin anda, maka lebih baik anda diam saja tanpa hrs menuduh pihak lain apalagi tanpa bukti2.
Wallahu a’lam.
Berikut jawaban kami yang telah dimuat di situs mereka, setelah beberapa saat dibloknya  akses kami.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Baiklah kita diskusikan tentang kepemimpinan dalam Islam
Pertama kita pahami dahulu hadits yang telah disampaikan
Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Baqiyyah bin Al-Walid memberitahukan kepada kami, dari Bahir bin Said dari Kholid bin Ma’dan, dari Abdur Rahman bin Amr As Sulami, dari Al-Irbadh bin Sariyah berkata: “Rasulullah saw menasehati kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh suatu nasehat yang penting yang mana mata menangis dan hati bergetar karenanya. Seseorang berkata: “Sesungguhnya ini adalah nasehat orang yang akan meninggalkan, maka dalam hal apa saja engkau mengamanatkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu) karena sesungguhnya orang yang hidup (panjang) di antara kamu tentu akan melihat terjadinya banyak perselisihan. Dan jauhilah perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya perkara-perkara yang baru (bid’ah) itu sesat. Barang siapa di antara kamu menjumpai hal itu, maka ia harus berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus yang diberi petunjuk, peganglah sunnah itu dengan kuat-kuat.” (HR At Tirmidzi).
Hadits ini terkait pula dengan firman Allah ta’ala yang artinya
” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Dalam ayat tersebut, Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rosul-Nya dan ulil amri.
Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya.
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah “para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam“.
Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rosulullah saw adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafa’ rasyidin sesudahnya : Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya.
Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rosul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam. Dalam hal ini Ibnu Qayyim dalam bukunya ” I’lam Al Muwaqi’in ” ( 1/9 ) menyatakan : ” Pendapat yang benar adalah bahwa para umara’ hanya boleh ditaati jika mereka memerintahkan kepada sesuatu yang berdasarkan ilmu, hal itu bisa terwujud jika para umara’ tersebut mengikuti para ulama, karena ketaatan itu hanya diwajibkan pada hal-hal yang baik –baik saja dan berdasarkan ilmu. Oleh karenanya, kita mentaati ulama, karena mereka mentaati Rosulullah saw, begitu juga kita mentaati umara’ karena mereka mentaati para ulama . ”
Kita kembali memahami hadits yang pertama
“Beliau bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu)”
Bagi kami memahami hadits ini yang mencontohkan seorang hamba sahaya bukanlah kepada kemampuan atau kompetensi mereka dalam memimpin atau tidak mempermasalahkan siapapun yang menjadi pemimpin namun hadits itu mencontohkan walaupun hamba sahaya yang terpenting adalah ketaqwaan  kepada Allah ta’ala.
Sungguh sebaik-baik pemimpin adalah yang paling taqwa kepada Allah ta’ala, begitu pula  sebaik-baiknya imam sholat,  sebaik-baiknya pemimpin keluarga (bagaimana memilih calon suami).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[QS. Al-Hujurat (49) : 13]
Hadits tersebut kami pahami agar kita mentaati pemimpin yang bertaqwa kepada Allah ta’ala walaupun dia hanya seorang hamba sahaya.
Mustahil kita mentaati pemimpin yang tidak cakap(berkompeten) atau pemimpin yang dzhalim.
Kita boleh mengingkari dan membenci pemimpin seperti itu namun kita dilarang memberontak atau makar apalagi sampai tertumpah darah  sesama muslim (selama masih sholat).
“Seburuk-buruknya Pemimpin adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim).
Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Jelaslah bagi siapa yang ridha dan terus mengikuti pempimpin yang buruk maka mereka pun turut berdosa.
Kita wajib berupaya memilih pemimpin apalagi pemimpin sebuah negeri.
Rasulullah bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) ”
Sungguh, dianggap (penisbatan) berkhianat kepada Allah , Rasul-Nya dan kaum mukminin, merupakan ancaman keras bagi siapapun yang tidak bertanggung jawab dalam memilih pemimpin, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. akan wafat,  Nabi tidak berwasiat apa-apa, baik kepada salah seorang karib, atau kepada sahabat-sahabat yang lain, tentang siapa yang akan jadi Khalifah pengganti Nabi. Persoalan yang besar ini beliau serahkan kepada musyawarah ummat Islam.
Setelah Nabi wafat, berkumpullah orang Muhajirin dan Anshar di Madinah, guna bermusyawarah siapa yang akan dibaiat (diakui) jadi Khalifah. Orang Anshar menghendaki agar Khalifah itu dipilih dari golongan mereka, mereka mengajukan Sa’ad bin Ubadah. Kehendak orang Anshar ini tidak disetujui oleh orang Muhajirin. Maka terjadilah perdebatan diantara keduanya, dan hampir terjadi fitnah diantara keduanya.
Abu Bakar segera berdiri dan berpidato menyatakan dengan alasan yang kuat dan tepat, bahwa soal Khalifah itu adalah hak bagi kaum Quraisy,  bahwa kaum Muhajirin telah lebih dahulu masuk Islam, mereka lebih lama bersama bersama Rasulullah, dalam Al-Qur’an selalu didahulukan Muhajirin kemudian Anshar.
Khutbah Abu Bakar ini dikenal dengan Khutbah Hari Tsaqifah, setelah khutbah ini ummat Islam serta merta membai’at Abu Bakar, didahului oleh Umar bin Khattab, kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.
Adapun Abu Bakar Siddiq adalah sahabat nabi yang tertua yang amat luas pengalamannya dan amat besar ghirahnya kepada agama Islam. Dia adalah seorang bangsawan Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan dan dermawan. Jabatannya dikala Nabi masih hidup, selain dari seorang saudagar yang kaya, diapun seorang ahli nasab Arab dan ahli hukum yang jujur. Dialah yang menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Dia telah merasakan pahit getirnya hidup bersama Rasulullah sampai kepada hari wafat beliau. Dialah yang diserahi nabi menjadi imam sembahyang ketika beliau sakit. Oleh karena itu, ummat Islam memandang dia lebih berhak dan utama menjadi Khalifah dari yang lainnya.
Jelaslah apa yang telah dicontohkan bahwa pemilihan berdasarkan permusyawarahan dan diwakili oleh orang-orang berkompeten untuk memilih.
Lalu timbul pertanyaan bagaimana dengan Mu’awiyah yg sempat bersama Rasulullah saw dan merupakan salah satu penulis wahyu, menetapkan khalifah penggantinya yaitu Yazid anaknya sendiri ?.
Umat Islam ketika itu telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyyah juga bermaksud meniru suksesi kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu Monarki (kerajaan).
Akan tetapi, gelar pemimpin pusat tidak di sebut raja (malik), mereka tetap menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang di perbaharui.
Pada zaman khalifah empat, khalifah (pengganti) yang dimaksudkan adalah khalifah Rasul Saw.  Sebagi pemimpin masyarakat; sedangkan pada zaman Bani Umayyah, yang dimaksud dengan khalifah adalah khalifah Allah (Khalifah Allah),pemimpin atau penguasa yang di angkat oleh Allah ta’ala.
Langkah awal dalam rangka memperlancar pengankat Yazid sebagai penggantinya adalah menjadikan Yaizid Ibn Muawiyyah sebagi putra mahkota (tahun 53 H).
Penunjukkan Yazid sebagai putra mahkota telah melahirkan reaksi dari masyrakat. Proses terjadi dimasyarakat karena Muawiyyah telah mengubah sistem suksesi peminpin; di samping itu, pengangkatan Yazid sebagai pengganti Muawiyyah berarti telah terjadi pelanggaran perjanjian antara Muawiyyah dengan Hasan Ibn Ali sa.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah menolak melakukan bai’at. Akan tetapi, Muawiyyah berhasil memaksa mereka untuk melakukan bai’at. Dua tokoh yang tidak berhasil dipaksa melakukan bai’at adalah Husain Ibn Ali dan Abd Allah Ibn Zuabair.
Apa yang dilakukan dan dicontohkan oleh Muawiyyah membentuk kepemimpinan pemerintahan dengan sistem kerajaan meniru peradaban Persia dan Bizantium pada hakikatnya adalah perkara baru (bid’ah) namun karena Rasulullah saw tidak berwasiat apa-apa (tidak menetapkan atau tidak mensyariatkan) sistem pemerintahan atau khalifah maka pada awalnya sistem kerjaaan  ini tidaklah termasuk yang disebut bid’ah dholalah.
Kullu bid’atin dhalaalah, “Sekalian bid’ah adalah dholalah” .  Sekali lagi kami sampaikan sekalian itu bukan berarti seluruhnya karena sesungguhnya bid’ah dholalah hanya untuk perbuatan/ibadah mahdah saja . Ibadah Mahdah adalah urusan kami, ibadah yang telah ditetapkan/disyariatkan/disyaratkan  oleh Allah swt  baik berupa kewajiban, larangan dan pengharaman. Semua yang ditetapkan Allah ta’ala telah dijelaskan dan diuraikan oleh Rasulullah saw. Sedangkan sistem pemerintahan atau sistem kekhalifahan tidak diwasiatkan/disyariatkan/disyaratkan oleh Rasulullah saw. Sehingga perbuatan baru dalam bidang sistem pemerintahan atau sistem kekhalifahan yang termasuk perbuatan ghairu mahdah bukanlah termasuk bid’ah dholalah. Perbuatan ini tergantung pada akibat perbuatan itu sendiri.  Dapat merupakan perkara baik/bid’ah hasanah/bid’ah mahmudah jika akibatnya baik dan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits namun jika akibatnya buruk dikarenakan melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits maka itu termasuk bid’ah dholalah.
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Selengkapnya tentang perbuatan/ibadah silahkan baca  tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/09/peta-perbuatan-ibadah/
Jadi bid’ah sistem kerajaan terpulang kepada akibatnya apakah baik atau buruk. Apakah tidak melanggar larangan atau melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Semakin jauh masa kehidupan kita dengan masa kehidupan Rasulullah saw maka dapat kita saksikan seorang ulil amri yang dicontohkan oleh Rasulullah saw bersatunya kemampuan ulama dengan umara, pada masa kini semakin terpisah dengan jelas. Sehingga ketaatan kita kepada Ulama wajib didahului daripada ketaatan kita kepada umara karena ulama lebih tahu tentang ketaqwaan kepada Allah ta’ala dan Rasulullah dibandingkan umara maka dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang kemungkinanan lebih besar akibatnya baik adalah kembali kepada sistem musyawarah dan perwakilan yang berkompeten atau dikenal sebagai ahlul halli wal ‘aqdi.
Ulamalah yang berkompeten menasehatkan siapa umara yang baik atau yang menunjukkan ketaqwaan yang lebih baik kepada Allah ta’ala dan Rasulullah.  Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:  “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Sistem kerajaan (monarkhi) tidak lagi memberi peluang bagi ulama menetapkan pemimpin yang lebih bertaqwa kepada Allah ta’ala dan Rasulullah. Sehingga jika ulama membiarkan perihal tersebut berlangsung terus maka sesungguhnya mereka membiarkan kedzhaliman atau ketidak adilan atau perkara yang buruk akibatnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-Nisa; 4: 135)
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Sungguh merupakan kekeliruan jika para ulama membiarkan umara mengikat perjanjian dengan orang-orang kafir walaupun mereka dinegeri itu tidak memerangi mereka namun dibelahan dunia lainnya mereka telah jelas-jelas memerangi saudara muslim kita lainnya. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.
Amir berkata, aku mendengar al-Nu’man bin Basyir berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Kamu melihat kaum mukminin dalam hal sayang menyayangi, cinta mencintai, dan kasih mengasihi, bagaikan satu tubuh. jika ada salah satu anggota tubuh yang mengeluh (sakit), maka anggota tubuh lainnya ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5552, Muslim: 4685, dan Ahmad: 17648. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari).
Jadi jika muslim lainnya di negeri mereka diperangi oleh orang-orang kafir maka hakikatnya mereka telah memerangi kita karena mereka seolah-olah bagian dari tubuh kita.
Kecuali kalau memang mereka sesungguhnya telah menganggap saudara-saudara muslim lainnya bukanlah seorang muslim (bukan “bagian tubuh” mereka ) dikarenakan berbeda manhaj/pemahaman. Seperti yang telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/10/pertengkaran-wahabisalafi/
Dari tulisan tersebut dapat terlihat bagaimana mereka menganggap muslim lainnya hanya berdasarkan manhaj/pemahaman mereka sendiri.
Sungguh merupakan sebuah kesalahpahaman, karena hakikatnya setiap pemahaman/pemikiran/pendapat bisa salah dan bisa benar.
Yang paling benar hanyalah kedua pokok itu yakin, Al-Quran dan Hadits.

“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih.
Kita tidak dapat menganggap saudara muslim lainnya telah keluar dari Islam hanya berdasarkan pemahaman/pendapat/pemikiran kita sendiri atau kaum kita sendiri. Terlebih telah jelas mereka telah bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.
Ketika Sahabat Usamah RA meremehkan, berprasangka buruk, menyangsikan terhadap orang yang telah mengucapkan syahadat bahkan telah membunuhnya. Rasulullah saw menegurnya dan berkata “Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya ?, (sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?)
Kita sebagai muslim dilarang merendahkan, menghinakan setiap orang yang telah bersyahadat (muslim)
“Seorang Muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak menzaliminya,merendahkannya, menyerahkan (kepada musuh) dan tidak menghinakannya.” (HR. Muslim)
Bahkan merendahkan saudara muslim lain maka kelak tidak akan masuk surga. Naudzubillah min zalik
“Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Wassalam
Zon di Jonggol
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar