Kesalahpahaman yang satu ini telah membawa malapetaka berkelanjutan bagi dunia Islam. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sunnah & bid’ah yang selalu dibahas oleh kaum Wahabi atau Salaf(i) adalah pembahasan lama yang sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama sejak masa salaf dan seterusnya di dalam kitab-kitab mereka. Para ulama itu seolah sudah menghidangkannya untuk umat dalam bentuk “makanan siap saji” yang dapat langsung diikuti atau diamalkan. Bahkan perbedaan pendapat dalam urusan furu’ (cabang) sekalipun sudah selesai dibahas dengan hasil sangat memuaskan diiringi rasa solidaritas serta saling menghormati antara yang satu dengan yang lain.
Singkatnya, apa yang disampaikan para imam 4 mazhab dalam pembahasan perkara syariat yakni apa yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman, merupakan hasil ijtihad yang sangat maksimal dalam mengkaji seluruh dalil-dalil agama. Itu adalah hadiah yang sangat berharga bagi seluruh umat Islam, terlebih lagi umat belakangan yang bila disuruh mengkaji sendiri dalil-dalil tersebut maka tidak mungkin dapat mencapai hasil yang sama. Mengapa tidak mungkin, apakah pintu ijtihad telah tertutup? Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang belakangan. Syarat orang berijtihad atau mujtahid, silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/
Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw., apalagi dengan pemahaman secara tekstual, harfiah, tersurat terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut, adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam. Artinya, semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu, dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.
Sebagai contoh bagaimana memahami hadits berikut,
Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb: “Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah adalah dholalah (sesat)”
Hadits ini diterangkan oleh hadits yang lain seperti
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
Kedua hadits itu menjelaskan bid’ah dholalah yang dimaksud adalah bid’ah dalam urusan kami atau bid’ah di dalam Islam.
Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam” atau “urusan kami”.
Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami” ialah kebid’ahan dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan), Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim, perkara syariat, Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh umat Islam, ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Sedangkan kebid’ahan dalam hal perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan. Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga perkara baru, bid’ah, inovasi, kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan, sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan kebaikan/pahala.
Perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah, ibadah kebaikan, amal kebaikan, amal sholeh, perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa, perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Rujukan Bid’ah dalam bidang ibadah ghairu mahdah
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Perhatikan perkataan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah
Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Perhatikan perkataan Imam Syafii ra “apa yang baru terjadi dari kebaikan” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah.
Contoh ibadah ghairu mahdah , berdoa dan bersholawat
Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa.
Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.
Oleh karenanya berdoa dan bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.
Kita boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kita boleh bersholawat sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat ibrahimiyah. Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw”. Contoh sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i ra yang artinya “Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
Dari kesalahpahaman tentang bid’ah kaum wahabi atau salaf(i) secara tidak disadari, mereka dapat keliru menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah karena mereka tidak dapat dengan baik membedakan perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)
Sebagian dari mereka bahkan mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalahpahaman tentang bid’ah, yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan pentakfiran.
Pen-takfir-an secara gegabah tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi yang tertuduh, namun juga bagi dirinya sendiri. Maka siapapun dari kalangan Muslim dilarang memvonis kafir kepada siapapun sebelum ada bukti nyata yang mengarah terhadap perbuatan kafir secara konkrit (qoth’iy). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ ِلأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila ada seseorang berkata kepada saudaranya (sesama muslim), “Hai kafir !“, maka sungguh di antara keduanya itu pulang dengan membawa predikat (kafir) tersebut.“ (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA).
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam menyerukan keimanan yang benar dan lurus. Beliau tidak pernah menggunakan takfir kepada para sahabat beliau. Bahkan disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, beliau amat marah terhadap sahabat Usamah RA. lantaran ia bertindak gegabah membunuh seorang kafir yang telah bersyahadat yang dikala itu ia sedang terdesak dalam sebuah peperangan. Sahabat Usamah RA sempat memberikan alasan kepada Rasulullah mengapa ia tetap membunuhnya meski telah mengucapkan kalimah syahadat. Besar kemungkinan orang kafir tersebut bersyahadat karena takut di bunuh. Maka apa jawab Nabi Saw. ?
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
Dari hadis ini semakin jelas kiranya bahwa sebaik apapun niat dan tujuan kita dalam melaksanakan kebaikan, harus menghindari cara-cara yang mendeskriditkan (menyudutkan) orang lain dengan takfir atau semisalnya. Karena hal itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, sebelum ada bukti nyata bahwa ia benar-benar telah kafir.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
12 Tanggapan
mutiarazuhud
Silahkan. Seluruh artikel di blog ini diizinkan untuk disebarluaskan dengan menyebutkan sumbernya. Tidak semua artikel merupakan tulisan kami , yang bukan tulisan kami telah dicantumkan sumber tulisannya.
Semoga Allah ta’ala memudahkan dan meridhoi terhadap keinginan antum menyebarluaskannya
pada 17 Mei 2011 pada 1:25 am | Balas
indonesiannetter
Assalamu’alaikum saudaraku.
Saya masih bingung tentang kaidah2 bid’ah antara Wahabi dan Non-Wahabi sebab keduanya saling berbenturan.
Dalam tulisan diatas anda mengatakan bahwa Ibadah Ghairu Mahdhah adalah Ibadah yang tidak wajib. Betul kan? Anda menyatakan sbb:
“Contoh ibadah ghairu mahdah , berdoa dan bersholawat
Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa.
Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.”
Atau kesimpulan saya yang salah -ketika membaca tulisan anda diatas-?
Jika benar maka shalat Sunnah Rawatib juga termasuk Ibadah Ghairu Mahdhah dong? Trus saya mau tanya. Ulama mana yang mendefinisikan bahwa ibadah Ghairu Mahdhah adalah yang sifatnya Sunnah [bukan Wajib] seperti yang telah anda katakan. Saya minta referensinya. Kalo bisa yang berbahasa arab saja supaya saya lebih puas. Oya, akan lebih baik lagi jika dalam menulis artikel diatas anda menyertakan referensi dari para Ulama tentang pembagian ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdah sebab seperti yang telah anda katakan diatas:
“Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang belakangan.”
Saya khawatir jika anda tidak menyediakan referensi dari para Ulama mengenai pembagian ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah maka berarti anda telah berijtihad dan orang yang berijtihad disebut Mujtahid. Dengan kata lain anda telah memenuhi kriteria yang sulit dipenuhi oleh kebanyakan orang2 belakangan. Juga anda gengsi dan lebih senang bersusah2 lalu tidak mau memakan makanan yang “siap saji” yang telah disediakan oleh para Ulama karena anda adalah seorang Mujtahid. Selamat kalo begitu… *Bercanda kok
Jika komentar saya ini telah anda respon maka saya akan melanjutkan diskusi ini insyaa Allah…
Teirma kasih…
pada 17 Mei 2011 pada 5:26 am | Balas
mutiarazuhud
Walaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh.
Memang pembagian ibadah kedalam mahdah dan ghairu mahdah menimbulkan perbedaan pemahaman namun ini semua adalah hasil istiqra (telaah) para ulama. Dari asal katanya ghairu adalah umum , jadi gharu mahdah adalah ibadah yang bersifat umum, termasuk perbuatan manusia yang bernilai ibadah. Amal kebaikan atau amal sholeh termasuk di dalamnya doa, sholawat, dzikir adalah ibadah ghairu mahdah. Ibadah yang tidak termasuk perkara mendekatkan ke surga atau menjauhkan ke neraka namun ibadah yang terkait kecintaan Allah ta’ala kepada hambaNya dan kecintaan hambaNya kepada Allah ta’ala dan RasulNya.
Sholat sunnah rawatib adalah termasuk sunnah muakad atau sunnah yang diutamakan, sebagian ulama memasukkannya tetap ke ibadah mahdah atau ibadah khusus yang ada aturan dan contoh yang utamanya untuk diikuti. Sholawat, dzikir dan berdoa adalah ibadah yang dicontohkan pula oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun tidak termasuk yang wajib mengikuti apa yang dicontohkan karena perintahnya hanyalah berdoalah, berdzikirlah, bersholawatlah. Ketika berdoa dan berdzikir boleh disesuaikan dengan kecintaan kita kepada Allah ta’ala begitupula dengan bersholawat kita boleh bersholawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disesuaikan dengan kecintaan kita kepadanya, sebagaimana perkataan para Sahabat ra , “Setelah itu ia boleh memilih pujian yang ia kehendaki”. Silahkan periksa http://www.indoquran.com/index.php?surano=60&ayatno=25&action=display&option=com_bukhari
Wasallam
pada 17 Mei 2011 pada 11:22 am | Balas
indonesiannetter
Jadi yang benar menurut saudara ibadah Ghairu Mahdhah adalah ibadah2 yang tidak ada tata caranya secara khusus dalam Syariat gitu ya? Bukan sekadar ibadah Sunnah seperti yang telah anda katakan sebelumnya? So. Anda meralat definisi anda nih?
Nah, pertanyaan saya yang sebelumnya belum anda jawab. Ulama mana yang mendefinisikan ibadah Ghairu Mahdhah itu sebagai ibadah yang tidak ada tata caranya secara khusus dalam Syariat? Saya minta referensinya dong.
Oya ada satu lagi yg membuat saya heran. Anda katakan:
“Dari asal katanya ghairu adalah umum , jadi gharu mahdah adalah ibadah yang bersifat umum,”
Anda mengatakan ghairu artinya adalah Umum. Apa benar Ghairu artinya adalah Umum? Anda melihat di kamus yang mana? Mahdhah juga dalam bahasa arab artinya juga bukan umum lho…
pada 17 Mei 2011 pada 1:21 pm | Balas
mutiarazuhud
Simak tanya jawab yg kami nukil berikut ini,
Tanya:
Assalamu’alaikum wrwb.
Saya ingin penjelasan tentang ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Apa saja cakupannya? Beberapa artikel (internet) mengenai hal ini namun tanpa ada referensi, bahkan hanya pendapat penulis.
Saya ingin jika keterangan disertai dari referensi yang kuat (ulama aswaja atau rujukan kitabnya).
Terima kasih sharingnya.
Jawab:
Mungkin ini hanya referensi,
dalam ta’bir dibawah ini tersirat makna Ibadah Mahdlah,
سبل السلام ج: 4 ص: 110
وذهب أكثر الشافعية ونقل عن المالكية إلى أن النذر مكروه لثبوت النهي واحتجوا بأنه ليس طاعة محضة لأنه لم يقصد به خالص القربة وإنما قصد أن ينفع نفسه أو يدفع عنها ضررا بما التزم
sedangkan yang dibawah ini menjelaskan tentang bentuk2 ibadah mahdlah,
أنيس الفقهاء ج: 1 ص: 139
فالعبادات على ثلاثة أنواع بدنية محضة كالصلاة ومالية محضة كالزكاة ومركبة منهما كالحج
Demikian Wallahu a’lam bisshawab.
Ta’bir di atas Dari kitab Subulussalam karya Syeh Mohammad bin Isma’il As Son’ai (773-852 H. ) cetakan Daru Ihya’ Beirut.
Ibadah Mahdlah : sebentuk Perbuatan yang semata2 ditujukan untuk beribadah ( seperti sholat, zakat, puasa, haji, )
lebih jelasnya devinisi ibadah mahdlah itu merupakan jawaban dari sebuah contoh pertanyaan, ” untuk apa orang melaksanakan sholat, puasa, haji atau berzakat ? “
Ibadah ghoiru mahdlah : sebentuk perbuatan yang pada asalnya tidak ditujukan untuk beribadah tapi bisa bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat dan tujuan beribadah, seperti makan, tidur, bekerja, kumpul bojo dll.
Ibadah mahdah adalah bentuk Ibadah yang tatacaranya diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah sangat jelas, dan bersifat pasti/mutlak. seperti puasa, zakat, sholat haji dan lain2.
Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah bentuk ibadah yang dapat menjadi ibadah jika diniatkan sebagai ibadah, namun dapat menjadi kegiatan sosial biasa jika tidak disertai niat untuk ibadah, seperti bersedekat, bergotong royong dan membaca-baca buku. terima kasih.
artinya sedekah, tidak ditentukan ukurannya , hanya berdasar kemampuan masing-masing. dan lain-lain.
Tanya:
Di referensi manakah keterangan spt itu dapat kami baca?
Kemudian … bagaimana dengan ibadah2 yg sunnah, spt dzikir, shalawat, baca qur’an dll. Ini termasuk mahdah atau ghairu mahdah?
Jawab:
Silahkan baca di Tahrirut Tankih karya Zakariya al-Anshori atau fathul Mu’in karya al-malabari
ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghoiru mahdah, karena tiak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus. orang dapat berdzikir kapan pun di manapun. demikian juga dengan membaca al-Qur’an. tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
Adapun hadits-hadits yang menerangkan jumlah-jumlah dzikir Rasulullah dalam waktu-waktu tertentu biasanya berfungsi sebagai anjuran.
demikian terima kasih
pada 17 Mei 2011 pada 1:27 pm | Balas
mutiarazuhud
Atau pahami keterangan berikut
A. Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin[1]. Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya[2];
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
Ø Wudhu,
Ø Tayammum
Ø Mandi hadats
Ø Shalat
Ø Shiyam ( Puasa )
Ø Haji
Ø Umrah
‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
Rumus Ibadah Mahdhah adalah = “KA + SS” (Karena Allah + Sesuai Syariat)
2. Ibadah Ghairu Mahdah
Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Rumus Ibadah Ghairu Mahdhah = “BB + KA” (Berbuat Baik + Karena Allah)
pada 18 Mei 2011 pada 9:39 am | Balas
indonesiannetter
Ya saya cocok dengan dua keterangan yang telah anda nukilkan diatas. Terima kasih…
pada 19 Juli 2011 pada 2:20 pm | Balas
abdul kadir zaelani
mutiarazuhud ana minta alamat email antum, syukron ana abu nufail domosili di kalimantan selatan
pada 19 Juli 2011 pada 2:23 pm | Balas
abdul kadir zaelani
mutiarazuhud ana minta alamat email antum,ana abdul kadir ada di kalimantan selatan
pada 20 Juli 2011 pada 2:18 pm | Balas
mutiarazuhud
email addres kami zonatjonggol pada server yahoo.com
pada 31 Juli 2011 pada 2:07 pm | Balas
Yusuf Ibrahim
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam ; “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik……”
——————————————————-
‘memulai’ bukan berarti ‘membuat’ perkara baru bukan?
Terima kasih atas penjelasannya, semoga bisa memperjelas dan mengurangi kebingungan umat atas semakin maraknya pernyataan2 yang membingungkan dan tersebar selama ini
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar