Berjamaah dan Kepemimpinan

Tulisan kali ini, Insyaallah saya akan menguraikan sebuah kesalahpahaman lagi, yakni mengenai berjama’ah dan kepemimpinan. Kesalahpahaman ini mulai terjadi sejak kejatuhan khalifah Turki Ustmani dan terus sampai saat kini atau sampai zaman modern ini.
Sebagian kaum Wahabi atau Salaf(i) melarang kaum muslim untuk membentuk jama’atul minal muslimin (kelompok muslim, organisasi masa muslim, tandzim, harokah, tarekat atau bentuk yang lain).
Bagi mereka perihal ini akan mempengaruhi Ukhuwah Islamiyah. Sebenarnya apa yang mereka khawatirkan adalah bentuk firqah atau aliran dalam agama Islam.
Firqah atau aliran terbentuk jika terjadi perbedaan dalam i’tiqad/aqidah/keyakinan dengan yang disepakati oleh jumhur ulama.
Perbedaan i’tiqad/keyakinan, sebagai contoh yang telah diuraikan oleh Al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya– berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang mengaturnya) maka dia adalah mu’aththil -atheis- (orang yang meniadakan Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah); muslim“. (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan lainnya)
Kita harus dapat membedakan antara berfirqah dengan berjama’ah.
Sedangkan jama’atul minal muslimin atau berjamaah sangat dianjurkan jika kita mempertimbangkan belum lagi terbentuk Jama’atul Muslimin sejak berakhirnya sistem khalifah (pemerintahan) pada masa Turki Ustmani.
Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad).
Oleh karena telah lepasnya ikatan Jama’atul Muslimin dalam sistem khalifah (pemerintahan) maka kewajiban kaum muslimin sekarang adalah untuk membentuk Jama’atul minal muslimin seperti dalam bentuk Majelis, Organisasi Masa Muslim, Partai Muslim, Harokah, Gerakan Muslim, Tandzim, Tarekat dan bentuk-bentuk kelompok Muslim lainnya, untuk memperteguh ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Firman Allah, yang artinya
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS Ali-Imraan [3]:103 ).

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS as Shaff [61]:4 )
Begitu juga mengingat sunnah Rasulullah saw agar kita dalam sebuah perjalanan sebaiknya dilakukan lebih dari seorang dan menunjuk salah satu diantaranya sebagai pemimpin.
Dari ‘AbduUah bin ‘Umar r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Sekiranya orang-orang tahu bahaya menyendiri seperti yang aku ketahui niscaya tidak akan ada orang yang berani berpergian seorang diri pada malam hari” (HR Bukhari [2998]).
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, yakni ‘Abdullah bin ‘Amr r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Musafir seorang diri adalah syaitan, dua orang adalah dua syaitan, tiga orang jauh dari syaitan’,” (Hasan, HR Abu Dawud [2607], at-Tirmidzi [1673], Malik [II/978/35], Ahmad [II/186, 214], al-Hakim [II/102], al-Baihaqi [V/267], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [2675]).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, “Bahwa Rasulullah saw. melarang menyendiri, yaitu seseorang bermalam seorang diri atau bersafar seorang diri,” (Shahih, HR Ahmad [11/9]).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibenarkan tiga orang bepergian di tengah padang pasir yang tandus, kecuali jika mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)”.
Apalagi dalam “perjalanan” kita di alam dunia, wajib kita mengikuti sunnah Rasulullah saw untuk menjalaninya tidak dengan seorang diri namun dengan bergabung pada jama’atul minal muslimin dan menunjuk seorang pemimpin / amir yang taat pada Allah dan RasulNya, atau bergabung pada jama’atul minal muslimin yang dibentuk atau dipimpin seorang ulama yang taat pada Allah dan RasulNya.
Sesuai dengan firmah Allah yang artinya,
” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )

Seluruh pemimpin jama’atul minal muslimin yang ada dalam suatu negara/wilayah/pemerintahan kemudian membentuk ahlul halli wal ‘aqdi atau perwakilan tingkat negara/wilayah/pemerintahan  yang menunjuk seorang pemimpin sebagai pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa atau yang kita kenal sebagai umara.
Dalam penunjukkan pemimpin tidak berdasarkan ras, suku bangsa, kaum, atau keturunan namun berdasarkan ketaatan kepada Allah dan RasulNya serta kompetensi kepemimpinan negara sebagaiman yang ditauladankan oleh Salafush sholeh dalam menentukan kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa adalah sebagai pemegang amanat kaum muslimin yang melayani kaum muslimin bukan sebaliknya.
Jika pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa  yang berlaku dzhalim atau tidak berkompeten/mampu dalam kepemimpinan maka wajib bagi ahlul halli wal ‘aqdi mencabut amanat dan menunjuk seorang pemimpin yang baru. Jangan dibiarkan membuat “kerusakan” yang berlarut-larut.
Inilah sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang sesuai dengan syariah Islam dengan mempertimbangkan kesadaran pada realitas peran dan fungsi kita di dunia sebagai hamba Allah.
Sistem pemerintahan dan pemilihan kepemimpinan di negeri kita harus pula  dikembalikan dan mengikuti syariah Islam sebagaimana yang diupayakan para pendiri bangsa kita yakni sistem perwakilan untuk mufakat, karena sistem yang sekarang memungkinkan terpilihnya pemimpin yang dzhalim, lamban, tidak tegas, tidak taat kepada ulama, pemimpin sekedar popularitas, pemimpin yang lahir dari proses pencitraan semata maupun pemimpin yang tidak berkompeten karena hanya berdasarkan jumlah suara pemilih semata bukan kepada ketaatan pada Allah dan RasulNya sebagai hambaNya di muka bumi.
Ketaatan pada Ulama diatas ketaatan pada Umara. Bentuk kesatuan negara atau Nasionalisme adalah dibawah kesatuan dalam akidah sebagai perwujudan pengakuan sebagai hamba Allah.
Dimanapun umat muslim berada di dunia ini harus dalam kesatuan akidah (Ukhuwah Islamiyah), ketaatan pada ulama harus diatas ketaatan kepada Umara karena sungguh kita adalah hamba Allah bukan hamba manusia / umara.  Ketaatan kita kepada Negara, atau ketaatan kepada pemimpin Negara hanyalah sebuah kesepakatan/perjanjian antar manusia sebagai bagian yang disebut “perhiasan” dunia.
Kita harus belajar dari kesalahpahaman kaum Wahabi atau Salaf(i) mengedepankan semangat kebangsaan (nasionalisme Arab) diatas kesatuan dalam akidah atau Ukhuwah Islamiyah.
Strategi Yahudi adalah dengan memisahkan Turki Utsmani dengan Arab. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab. Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya dimakan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia. Adalah hal yang aneh, gerakan Wahabi yang mengakui sebagai pengikut sunnah Rasulullah SAW ternyata mendukung pendirian kerajaan, monarkhi absolut, yang tidak dikenal dalam khasanah keislaman. Sistem Monarkhi Absolut merupakan bid’ah kubro.
Para pemuda Arab diracuni pemikirannya untuk meninggalkan sistem Islam dan menuhankan Nasionalisme Arab. Maka pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab sebagai jalan baru untuk berjuang. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Dari dalam kekhalifahan sendiri, Konspirasi Yahudi menanamkan banyak orang untuk bisa bekerja demi kepentingannya. Salah satunya adalah Rasyid Pasha, menteri luar negeri di era Sultan Abdul Majid II (1839) ini memperkenalkan Naskah Terhormat (Kholkhonah), yang sesungguhnya merupakan copy-paste dari UU sekuler Eropa.
Pada 1 September 1876, pihak Konspirasi berhasil mengangkat Midhat Pasha, seorang Mason, jadi perdana menteri. Dia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD sekuler Belgia (dikenal sebagai Konstitusi 1876). Namun Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak Konstitusi ini karena isinya bertentangan dengan syari’at Islam. Midhat Pasha pun dipecat. Hal ini menyebabkan Konspirasi menjalankan agenda B, yakni melakukan pemberontakan yang dijalankan oleh Gerakan Turki Muda yang berpusat di Salonika, sebuah pusat komunitas Yahudi Dumamah, tempat Mustafa Kemal berasal (1908). Kemudian, atas bantuan Barat, Sultan Abdul Hamid II dipecat dan dibuang ke Salonika.
Dalam Perang Dunia I (1914), Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli.
Inggris kemudian sengaja mendongkrak popularitas Mustafa Kemal dengan memunculkannya sebagai pahlawan Perang Ana Forta (1915). Mustafa Kemal menjadi populer dan kemudian menggerakan revolusi nasionalisme. Dia menghasilkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan melucuti semua wilayah kekhalifahan Utsmaniyah. Akhirnya Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dan sebagainya mendeklaraskan diri sebagai negara nasionalis sendiri yang lepas dari Utsmaniyah. Ideologi Islam dibuang dan digantikan dengan ideologi Nasionalisme.
Saat itu, banyak tokoh Islam yang tertipu dan termakan propaganda Barat mengatakan jika politik Islam atau “politik aliran” sudah bukan masanya lagi, alias sudah ketinggalan zaman.
Sejak saat itu, Mustaf Kemal secara cepat dan gradual berhasil menguasai Turki. Pada 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun rakyat masih banyak yang mendukung kekhalifahan yang kekuasaannya sebenarnya sudah banyak yang lumpuh. Oleh rakyat, Mustafa Kemal dinyatakan murtad. Namun Mustaf Kemal melakukan aksi tandingan dengan mengorbankan darah Muslim Turki. Akhirnya pada 3 Maret 1924, Mustafa Kemal memecat Khalifah dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Turki dijadikan negara sekuler. Semua simbol-simbol keagamaan, terutama Islam, dihapuskan dan terlarang.
Kita harus berupaya mengembalikan kepada sistem pemerintahan dalam Islam, wujud dari kembali kepada Allah dan mengakui sekaligus  menguatkan peranan para ulama sebagai wali Allah di muka bumi ini.
Sehingga tidak ada lagi ungkapan, “Jangan memberontak pada pemimpin muslim walaupun dia dzhalim asalkan ia masih sholat dan tidak menganjurkan perbuatan maksiat”, karena tidak diperlukan pemberontakan namun sekedar mencabut amanat dari kaum muslimin yang terwakili oleh para amir dan para ulama pemimpin yang tergabung dalam ahlul halli wal ‘aqdi.
Kita harus segera tinggalkan sistem demokrasi atau sistem-sistem lain hasil olah pikir manusia atau sistem-sistem hasil budaya atau interaksi manusia, kembali kepada sistem berdasarkan petunjukNya sebagai perwujudan kesadaran pada realitas peran dan fungsi kita di dunia sebagai hamba Allah.
“Hai jiwa yang tenang,
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku
masuklah ke dalam syurga-Ku“
(QS al Fajr [89]: 27-30 )

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830

5 Tanggapan
Assalamualaikum Wr WB…
Saya copy paste pernyataan diatas supaya gampang saya untuk bertanya : “Dimanapun umat muslim berada di dunia ini harus dalam kesatuan akidah (Ukhuwah Islamiyah), ketaatan pada ulama harus diatas ketaatan kepada Umara karena sungguh kita adalah hamba Allah bukan hamba manusia / umara. Ketaatan kita kepada Negara, atau ketaatan kepada pemimpin Negara hanyalah sebuah kesepakatan/perjanjian antar manusia sebagai bagian yang disebut “perhiasan” dunia.”

Kalau memang kita orang Islam dimana aturan dan peraturan bersumberkan dari aturan2 Allah (dienullah) semata, kenapa ada lagi kesepakatan/perjanjian antar manusia…..dimana letaknya kita mentauhidkan Allah sebagai Malik (Rajanya manusia)……..coba kita perhatikan Firman Allah Ibrahim 24 : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”
Kalau kita menginginkan buah tomat….apakah mungkin bagus tomatnya kalau uratnya sendiri diselingi oleh urat ilalang..? sudah murnikah pentauhidan kita ?



Asmen , asal komen he he he……..



Uda Asmen, kesepakata/perjanjian antar manusia dapat dibuat berlandaskan Al Qur’an dan Hadits. Sehingga kita kenal ada istilah kaum kafir dibawah perjanjian.



seperti apa contohnya kaum kafir dibawah perjanjian disaat sekarang ini pak….



pada 1 Oktober 2011 pada 5:22 ammutiarazuhud
Uda Asmen untuk mengetahui perjanjian kaum muslim dengan kaum kafir di negeri kita maka perlu kita melihat sejarah berdiri negeri kita.
Dahulu para ulama kita tentu duduk bersama dengan kaum kafir untuk mewujudkan negera Indonesia yang berdaulat

Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. Dengan semangat kemandirian bangsa sebelum kemerdekaan, tidak mungkin lagi dilakukan perubahan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila pada zaman sekarang ini karena sulit menghadirkan kembali “jiwa” dan pemahaman keinginan yang sesungguhnya dari mereka pendiri negara yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut kecuali perubahan pada batang tubuh UUD 45 yang mereka memang memperbolehkannya namun sekali lagi harus sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Kedaulatan rakyat adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sangat sesuai dengan sila ke empat dari Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada pancasila yang mana pada sila kesatu adalah ketuhanan yang Maha Esa. Jelas sekali kedaulatan rakyat berdasarkan kedaulatan Tuhan dimana seluruh rakyat harus berserah diri, ikhlas menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan Tuhan berdasarkan agama yang dianut. Hukum Tuhan diatas hukum manusia yang dibuat secara musyawarah dan mufakat berdasarkan sila-sila lain dari pancasila dan pembukaan UUD 1945. Begitu pula hak asasi Tuhan diatas hak asasi manusia.
Sungguh mulia pemikiran, pemberian dasar negara oleh para Pendiri Negara dimana mereka selalu menyadari kuasa mereka sesungguhnya atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dimana tersebut dalam pembukaan UUD 1945 dan produk – produk mereka lainnya. Dengan kesadaran ini melahirkan pengertian kekuasaan negara berdasarkan izin kuasa Allah semata. Kesadaran kehadiran Allah disetiap saat kehidupan, sehingga tidak ada sama sekali dualisme masa/waktu, sekedar urusan dunia maupun sekedar urusan akhirat, karena sesungguhnya kedua urusan masa/waktu tersebut dalam kesatuan. Kesadaran kehadiran Allah akan melahirkan bangsa besar dengan warga negara yang dapat mengendalikan hawa nafsu sehingga dapat menghindari segala kejahatan, korupsi, dengki , kikir, amarah, angkuh ,dll
Kesadaran kehadiran Allah akan merealisasikan cita-cita para Pendiri Bangsa sesuai pembukaan UUD 1945 yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Inilah sesungguhnya arti dari Bangsa yang religius yang diridhoi oleh Allah yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang. Negara Indonesia dianugerahi Allah dengan kekayaan alam dan budaya. Namun karena pemerintahan dan seluruh elemen pemimpin bangsa belum menyadari apa yang dicita-citakan oleh para Pendiri Bangsa sehingga rakyat belum merasakan kemakmuran dan keadilan merata. Tidak ada kata terlambat dan harus dilakukan perubahan dari mulai sekarang.
Dahulu para pendiri bangsa menetapkan sistem demokrasi Pancasila berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Pemilihan penguasa negeri (presiden) berdasarkan musyawarah mufakat dengan sistem perwakilan (seharusnya perwakilan yang berkompetensi). Hal ini yang sesuai dengan sistem “ahlu a-halli wa al-‘aqdi”
Kita wajib memilih penguasa negeri (presiden) yang paling taat kepada Allah ta’ala dan RasulNya walaupun seorang budak yang terpilih.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku pesan kepadamu sekalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, biarpun seorang hamba sahaya dari Habsyah (yang memimpinmu)”
Dalam hal ini hamba sahaya yang taat kepada Allah ta’ala dan RasulNya sebagai “wakil” penguasa di muka bumi.
Kita tidak boleh memilih penguasa negeri (presiden) yang taat kepada orang non muslim menjadi kaki tangan orang Amerika yang dibelakangnya Zionis Yahudi.
Allah ta’ala telah memperingatkan dengan firmanNya yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (Ali Imran, 118)

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (Ali Imran, 119)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al Mujadilah : 22)
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (Qs. Ali-Imran : 28)
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
Kalau masalah menegakkan dan menjalankan syariat, tidak perlu menunggu terlampau lama perubahan sistem pemerintah.
Cukup kesadaran penguasa negeri (presiden) untuk menerapkan syariat Islam seperti memperluas wewenang pengadilan agama (mukti). Berinisiatif untuk merubah produk-produk hukum peninggalan kaum non muslim alias peninggalan kolonialis Belanda dengan produk-produk hukum berlandaskan ketuhanan Yang Maha Esa alias syariat Islam.
Selengkapnya telah kami uraikan dalam tulisan pada

=====
16 Agustus 2010 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar