Ulama mereka berpendapat bahwa ada beberapa hadist yang melarang kuburan di dalam masjid serta larangan sholat di dalam masjid yang ada kuburan nya.
Hadits-hadits yang dipahami mereka sebagai landasan larangan tersebut salah satu contohnya adalah,
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika dalam keadaan sakit dan sesudah itu tidak bangun lagi: “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara, karena mereka menggunakan kuburan nabi-nabi sebagai tempat shalat.” (HR Muslim)
Lalu bagaimana ulama mereka menjawab pertanyaan seperti, “kuburan Nabi shallallahu alaihi wasallam ada di dalam masjid Beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa kuburan Beliau tetap di dalam masjid ?” atau mengapa kaum muslim tetap sholat di masjid Nabawi yang ada kuburannya ?
Ulama mereka menjawab, “Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman Sahabat. Setelah Beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad Beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan Beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun 88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu Sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia”
Ulama mereka menyampaikan riwayat rehabilitasi Masjid sbb, “Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah ra. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78 Hijriah. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86 Hijriah, dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu”.
Dari pendapat ulama mereka tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang memahami hadits diatas sebagai larangan kuburan dalam masjid atau larangan sholat pada masjid yang ada kuburan didalamnya hanyalah para Sahabat.
Artinya para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dalam kesesatan karena telah melanggar larangan yang termuat pada hadits di atas.
Dengan kata lain, para Sahabat seolah telah gagal menyampaikan adanya larangan kuburan di dalam masjid kepada para Tabi’in
Pertanyaannya adalah,
Manakah yang benar, apakah pendapat ulama mereka yang memahami melalui tulisan/buku hadits sehingga memahami hadits di atas sebagai larangan kuburan dalam masjid atau para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in yang meriwayatkan hadits dari lisan ke lisan dan membiarkan kuburan Rasulullah di dalam masjidnya?
Apakah para ulama dari mulai Sahabat terakhir wafat sampai dengan ulama masa kini telah melanggar larangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ? ataukah para ulama telah sepakat untuk melakukan pelanggaran larangan Rasulullah demi perluasan Masjid Nabawi ? ataukah pemahaman ulama mereka yang keliru ?
Padahal kita pahami bahwa perkara sunnah boleh kita kerjakan semampunya namun setiap larangan Rasulullah, wajib kita patuhi untuk menjauhinya atau meninggalkannya tanpa kecuali
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7
“Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Baiklah mari kita kaji hadits tersebut
Hadits selengkapnya,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ قَالَا حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي حُمَيْدٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
6.16/823. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Amru an-Naqid keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Hilal bin Abi Humaid dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah radhiyallahu’anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda dalam sakitnya yang menyebabkan beliau tidak bisa bangkit lagi, ‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid’
Oleh karena hadits ini menguraikan tentang laknat Allah ta’ala terhadap kaum Yahudi dan Nashrani maka kata masjid tidak dapat dimaknai sebagai tempat sholat bagi kaum muslim namun kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud.
Jadi makna hadits tersebut yang terkait dengan kaum Yahudi dan Nasrani adalah larangan menyembah kuburan. Termasuk kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani membuat gambar-gambar atau patung-patung pada kuburan untuk penyembahan. Hal ini terurai pada hadits-hadits yang lain.
Kesimpulannya bagi kami, hadits ini hanyalah larangan menyembah kuburan tidak ada kaitannya dengan masjid atau tempat sholat kaum muslim.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
5 Tanggapan
pada 13 Juni 2011 pada 8:30 am | Balashamba Allah
Benar mas,.. yg paling penting kita udah misahkan antara batas kuburan dan mesjidnya (dengan tembok misalnya) trus yah gak nyembah tuh kuburan,.. Sungguh bijak,. masak kl solat ada kuburan disekitar mesjid ga mau solat disitu,. Ntar berarti tuh orang kl ke madinah gak solat mesjid nabawi,.. ^_^
Wallahuallam
pada 17 Juni 2011 pada 5:48 pm | BalasYusuf Ibrahim
“Dari Abu Hayyaz al-Asadi berkata: “Ali bin Abi Thalib berkata padaku: Maukah saya mengutusmu seperti Rasulullah mengutusku? Jangan tinggalkan patung kecuali kamu menghancurkannya dan kuburan yang yang tinggi kecuali kamu meratakannya” (Shahih Muslim : 2239)
Imam Syafi’i berkata ; “……Aku mendapati para imam di Mekkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan (di atas kuburan) dan saya tidak mendapati para ulama mencela hal itu”. (Al-Umm 1/277)
“Dari Jabir berkata: Rasulullah melarang kuburan dikapur, diduduki dan di bangun di atasnya.” (HR. Muslim : 2240)
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kuburan tidak ditinggikan dari tanah dengan sangat tinggi, namun hanya ditinggikan seukuran satu hasta. Ini adalah madzhab Syafi’i dan yang sependapat dengannya”. Lalu beliau menukil ucapan Imam Syafi’i di atas (Aku mendapati para imam di Mekkah memerintahkan…..) dan menyetujuinya.” (Syarah Shahih Muslim 7/40-41)
Al-Munawi berkata: “Mayoritas ulama Syafi’iyyah berfatwa tentang wajibnya menghancurkan segala bangunan di Qorofah (tempat pekuburan) sekalipun kubah Imam kita sendiri Asy-Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa” (Faidhul Qodir 6/309)
Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Sumber penyembahan berhala adalah karena sikap berlebih-lebihan terhadap kuburan dan penghuninya” (Al-Bidayah wa Nihayah 5/703)
Wallahu ‘alam……
pada 18 Juni 2011 pada 5:08 pm | BalasYusuf Ibrahim
Abu Daud berkata, “Ahmad bin Shalih meriwayatkan kepada kami, beliau berkata, ‘Aku membaca di hadapan Abdullah bin Nafi’, (iaberkata), ‘Ibnu Abi Dzi’b mengabarkan kepadaku dari Sa’id Al-Maqbari dari Abi Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jangan kamu jadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, jangan pula kamu jadikan kuburanku sebagai tempat berhari raya (perayaan), tetapi ucapkanlah shalawat untukku, karena sesungguhnya ucapan shalawatmu sampai kepadaku di mana pun kamu berada.” (Diriwayatkan Abu Daud (2042), Ahmad (2/367), Al-Baihaqi dalam Hayatul Anbiya’ (hal. 12)).
Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Al-Hafidz Ad-Dyiya’ dalam kitab ‘Al-Mukhtaroh’ bahwa Ali bin Husain radhiallahu’ahuma, beliau melihat seseorang mendatangi tempat kosong di kuburan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam kemudian memasuki dan berdoa di sana. Kemudian beliau (Ali bin Husain) melarangnya dan berkata:”Saya akan beritahukan kepada kamu semua, suatu hadits saya dengarkan dari ayahku dari kakekku dari Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam:
“Janganlah engkau semua menjadikan kuburanku sebagai ied (tempat perayaan) dan janganlah engkau semua menjadikan rumah-rumah kamu semua (seperti) kuburan. Dan bershalawatlah kamu semua kepadaku, karena salam kamu semua akan sampai kepadaku dimanapun kamu berada.” (HR. Abu Dawud, 2042)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata dalam kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan : “Kata ied berasal dari akar kata mu ‘awadah dan i’tiyad. Jika merupakan lama tempat, berarti ia adalah tempat yang dituju buat berkumpul dengan maksud ibadah atau lainnya, sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah dan Masya’ir dijadikan Allah sebagai hari raya bagi orang-orang yang beragama Islam sekaligus berpahala, sebagaimana Dia juga menjadikan hari-hari beribadah di tempat-tempat tersebut sebagai hari raya.”
Sa’id (Beliau adalah Ibn Manshur, pengarang As-Sunan) berkata, “Abdul Azis bin Muhammad menceritakan kepada kami, Suhail bin Abi Suhail berkata kepadaku, ‘Al-Hasan bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib melihatku di kuburan, lalu beliau memanggilku, ketika beliau sedang makan di rumah Fathimah. Beliau berkata,
‘Mari makan malam!’
Lalu aku menjawab, ‘Aku tidak menginginkannya.’
Beliau kemudian bertanya, ‘Aku melihatmu di kuburan, apa yang engkau lakukan?’
Aku menjawab, ‘Aku menyampaikan salam kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.’
Beliau lalu berkata, ‘Jika engkau masuk masjid, maka ucapkanlah salam,
lantas melanjutkan, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kalian jadikan rumahku sebagai tempat perayaan, dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Dan ucapkanlah shalawat untukku, sesungguhnya ucapan shalawat kalian sampai kepadaku, di manapun kalian berada. Kamu dengan orang yang berada di Andalusia adalah sama saja’.” (Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah menyucikan ruhnya-berkata, “Maksudnya, bahwa kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah seutama-utama kuburan di muka bumi. Namun demikian, beliau melarang menjadikannya sebagai tempat perayaan.
Maka, lebih-lebih lagi terhadap kuburan SELAIN dari kuburan beliau. Kemudian beliau membandingkan hal tersebut dengan sabdanya, ‘Dan janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. ‘Maksudnya, jangan kalian mengosongkan rumah-rumah tersebut dari ibadah shalat, berdoa dan membaca Al-Qur’an, karena jika demikian akan sama dengan kuburan. Karena itu beliau memerintahkan agar kita mengupayakan shalat sunat di rumah dan melarang kita melakukan ibadah di kuburan.
Dan ini berbeda dengan orang-orang musyrik dari kalangan Nasrani dan sejenisnya. Selanjutnya, beliau mengakhiri pelarangan menjadikan kuburan sebagai tempat perayaan dengan sabdanya, Dan ucapkanlah shalawat untukku, karena sesungguhnya ucapan shalawatmu sampai kepadaku di mana saja kamu berada.
‘Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah sama saja, antara yang dekat dengan kuburan beliau dan yang jauh dengannya, karena itu tidak perlu kamu menjadikannya sebagai tempat perayaan. (kitab Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Wallahu ‘alam
pada 6 Juli 2011 pada 6:58 am | BalasIhsan
Adapun perbuatan para sahabat Nabi saw., maka dalam kitab al-Muwatha’, Imam Malik menyebutkan sebuah riwayat tentang perbedaan pendapat para sahabat Nabi saw mengenai tempat penguburan jasad Nabi saw.. Sebagian sahabat berkata, “Beliau kita kubur di sisi mimbar saja”. Para sahabat lainnya berkata, “dikubur di Baqi’ saja”. Lalu Sayyidinaa Abu Bakar ash-Shiddiq r.a datang dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,
Artinya “Seorang nabi tidaklah dikubur kecuali di tempatnya meninggal dunia”.
Lalu digalilah kuburan di tempat beliau meninggal dunia itu”.
Posisi mimbar tentu merupakan bagian dari masjid. Namun, dalam riwayat di atas, tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi saw. yang mengingkari usulan itu. Hanya saja usulan itu tidak diambil oleh Sayyidinaa Abu Bakar r.a karena mengikuti perintah Nabi saw. agar dikubur ditempat beliau meninggal dunia. Maka, beliau pun dikubur di kamar Sayyidah ‘Aisyah r.a yang melekat pada masjid yang digunakan sebagai tempat shalat oleh orang-orang muslim. Kondisi ini sama dengan kondisi kuburan-kuburan para wali dan orang-orang shaleh yang ada di dalam masjid-masjid pada zaman ini.
Adapun klaim bahwa kebolehan itu khusus untuk Nabi saw., maka klaim ini tidaklah benar. karena tidak ada dalil pendukung klaim ini. Bahkan sangat jelas kebatilan klaim tersebut dengan dikuburkannya Sayyidinaa Abu Bakar r.a dan Sayyidinaa Umar r.a di tempat yang sama dengan Nabi saw., yaitu kamar Sayyidah ‘Aisyah r.a. yang masih dia gunakan untuk tinggal dan melakukan shalat-shalat fardhu dan sunnah. Dengan demikian, hukum kebolehan ini merupakan ijmak para sahabat radhiyallahu’anhum.
pada 24 Juli 2011 pada 8:32 am | Balasaerries
ohhhhhhh, yang bikin tulisan orang sufi bodohhh, toohhhh
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar