Tak butuh Tempat dan Arah

Subhanallah….!
Allah Mahasuci dari Kebutuhan Tempat dan Arah
Oleh: Abu Fateh
Bantahan Terhadap Kaum Anti Takwil
[ALLAH MAHA SUCI DARI TEMPAT DAN ARAH; Mewaspadai Ajaran Wahhabi]
Bantahan Wahabi
Maha Suci Allah dari bertempat dan arah
Makna Nama Allah “al-‘Alyy” Dan Kata“Fawq” Pada Hak Allah. Kata “fawq” dalam makna zahir berarti “di atas”, dalam penggunaannya kata fawq ini tidak hanya untuk mengungkapkan tempat dan arah atau makna indrawi saja, tapi juga biasa dipakai dalam penggunaan secara maknawi; yaitu untuk mengungkapkan keagungan, kekuasaan dan ketinggian derajat.
Kata fawq dengan disandarkan kepada Allah disebutkan dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat, itu semua wajib kita yakini bahwa makna-maknanya bukan dalam pengertian tempat dan arah. Di antaranya dalam firman Allah:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)
Pengertian fawq dalam ayat ini ialah bahwa Dia Allah yang maha menundukan dan maha menguasai para hamba-Nya. Kata fawq dalam ayat ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah berada di arah atas dari hamba-hamba-Nya.
Al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menjelaskan bahwa pemaknaaan seperti itu;  yaitu makna menguasai dan menundukan serta ketinggian derajat, adalah makna yang dimaksud dari salah salah satu sifat Allah; al-‘Uluww. Dan inilah makna yang dimaksud dari firman Allah:
سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى (الأعلى: 1)
juga yang dimaksud dengan firman-Nya:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (اابقرة: 255)
Karena makna al-‘Uluww dalam pengertian indrawi, yaitu tempat atau arah atas hanya berlaku pada makhluk saja yang notabene sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran, tentunya hal itu adalah suatu yang mustahil bagi Allah.
Dengan jelas tentang hal ini Ibn Hajar menuliskan: “Sesungguhnya mensifati Allah dengan sifat al-‘Uluww adalah dalam pengertian maknawi, karena mustahil memaknai al-‘Uluww (pada hak Allah) dalam pengertian indrawi. Inilah pengertian sifat-sifat Allah al-‘Âli, al-‘Alyy, dan al-Muta’âli”.
Pada halaman lain dalam kitab yang sama, al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan alasan mengapa para ulama sangat keras mengingkari penisbatan arah bagi Allah, adalah tidak lain karena hal itu sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan sesungguhnya Allah mustahil membutuhkan kepada tempat, karena Dia bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran, dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda.
Al-Hâfizh Ibn al-Jawzi dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybîh, dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18) menuliskan sebagai berikut:
“Penggunaan kata fawq biasa dipakai dalam mengungkapkan ketinggian derajat. Seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan:“Fulân Fawqa Fulân”, maka artinya si fulan yang pertama (A) lebih tinggi derajatnya di atas si fulan yang kedua (B), bukan artinya si fulan yang pertama berada di atas pundak si fulan yang kedua. Kemudian, firman Allah dalam ayat tersebut menyebutkan “Fawqa ‘Ibâdih”, artinya, sangat jelas bahwa makna yang dimaksud bukan dalam pengertian arah. Karena bila dalam pengertian arah, maka berarti Allah itu banyak di atas hamba-hamba-Nya, karena ungkapan dalam ayat tersebut adalah “’Ibâdih” (dengan mempergunakan kata jamak)“ (Daf’u Syubah at-Tasybîh, h. 23).
Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl menuliskan sebagai berikut:
“Allah berfirman: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan berfirman tentang para Malaikat:
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ (النحل: 50)
Ketahuilah bahwa penggunaan kata fawq dalam bahasa Arab terkadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat yang tinggi, terkadang juga dipergunakan untuk mengungkapkan kekuasaan, juga untuk mengungkapkan derajat yang tinggi.
Contoh untuk mengungkapkan kekuasaan, firman Allah:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
dan firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhiru Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18). Pemahaman fawq dalam dua ayat ini adalah untuk mengugkapkan kekuasaan.
Contoh untuk mengungkapkan ketinggian derajat adalah firman Allah:
وَفَوْقَ كُلّ ذِي عِلمٍ عَلِيْمٌ (يوسف: 76)
Tidak ada seorangpun yang memahami makna fawq dalam ayat ini dalam pengertian tempat, karena sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah ketinggian kekuasaan dan kedudukan.
Telah kita jelaskan di atas bahwa adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu batil, maka dengan demikian menjadi jelas pula bagi kita bahwa pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Karena itu dalam penggunaanya dalam ayat QS. Al-An’am: 18 di atas bersamaan dengan al-Qahhâr; salah satu nama Allah yang berarti maha menguasai dan maha menundukan. Kemudian dari pada itu, penggunaan kata fawq jika yang dimaksud pegertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan. Karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya, -apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri?!- Karenanya, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Ghulâm Fawq as-Sulthân” atau “al-Ghulâm Fawq as-Sayyid”, maka tujuannya bukan untuk pujian tetapi yang dimaksud adalah untuk menyatakan tempat dan arah.
Adapun penggunaan kata fawq untuk tujuan pujian maka makna yang dituju adalah dalam pengertian menguasai, menundukan, dan ketinggian derajat, dan pengertian inilah yang dimaksud dengan ayat “Yakhâfuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Karena sesungguhnya seseorang itu merasa takut terhadap yang memiliki derajat dan keagungan lebih tinggi darinya” (Idlâh ad-Dalîl, h. 108-109).
Inilah pengertian fawq pada hak Allah, yaitu bukan dalam pengertian tempat dan arah, tapi dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya. Pemaknaan inilah yang telah disepakati oleh para ulama ahli tafsir, seperti al-Imâm al-Qurthubi, dan lainnya.
Al-Imâm Ibn Jahbal dalam Risâlah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allâh menuliskan sebagai berikut:
“Penggunaan kata fawq dikembalikan kepada dua pengertian.
Pertama; Fawq dalam pengertian tempat bagi suatu benda yang berada di atas benda lainnya. Artinya posisi benda yang pertama berada di arah kepala posisi benda yang kedua. Pemaknaan semacam ini tidak akan pernah dinyatakan bagi Allah kecuali oleh seorang yang berkeyakinan tasybîh dan tajsîm.
Kedua; Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan. Contoh bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalîfah Fawq as-Sulthân, Wa as-Sulthân Fawq al-Amîr”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulân Fawq Fulân”, maka artinya: “Si fulan (A) kedudukannya di atas si fulan (B)”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilm Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”. Contoh makna ini dalam firman Allah:
وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ (الزخرف: 32)
artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun:
وَإنّا فَوقَهُمْ قَاهِرُوْنَ (الأعراف: 127)
yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun merasa menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il” (Lihat dalam Risâlah Fî Nafy al-Jihah dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah, j. 9, h. 47).
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân menuliskan tentang pemahaman kata fawq pada hak Allah, sebagai berikut: “…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qâhir Fawqa ‘Ibâdih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhâfûna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Innâ Fawqahum Qâhirûn” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai mereka”.
Salah seorang ulama bahasa yang sangat terkenal; az-Zujaji, dalam kitab Isytiqâq Ismâ’ Allâh al-Husnâ menuliskan bahwa makna al-‘Alyy dan al-‘Âli pada hak Allah adalah dalam pengertian menguasai dan menundukan segala sesuatu.
Al-Imâm Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitab Tafsîr al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut:
“Makna ke tiga; bahwa pengertian al-‘Uluww adalah al-Ghalabah (menguasai dan menundukan) seperti dalam firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna…” (QS. Ali ‘Imran: 139),  artinya: “Kalian dapat menguasai dan menundukan musuh-musuh kalian”.  Contoh lainnya seperti bila dikatakan dalam bahasa Arab: “’Alawtu Qarnî…”, artinya: “Saya telah menguasai teman-teman sebaya saya”. Contoh lainnya firman Allah: “Inna Fir’awna ‘Alâ Fî al-Ardl” (QS. Al-Qashash: 4), artinya: “Fir’aun seorang yang berkuasa, sombong, dan durhaka”. Contoh lainnya firman Allah: “Wa an Lâ Ta’lû ‘Alâ Allâh” (QS. Ad-Dukhan: 19), artinya: “Janganlah kalian sombong atas Allah”. Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan Nabi Sulaiman: “An Lâ Ta’lû ‘Alayya Wa’tûnî Muslimîn” (QS. An-Naml: 31), artinya: “Janganlah kalian sombong atasku dan datanglah kalian kepadaku dalam keadaan Islam”.
Demikian pula nama Allah al-‘Alyy diambil dari kata al-‘Uluww dalam pengertian bahwa Allah maha tinggi atau maha agung pada derajat-Nya di atas segala apapun, artinya tidak ada apapun yang lebih agung dari pada Allah. Pengertian al-‘Alyy di sini bukan berarti Allah berada di arah atas, karena Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”.
Al-Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqi dalam al-Asmâ’ Wa ash-Shifât menuliskan sebagai berikut:
“Allah berfirman: “al-Kabîr al-Muta’âl” (QS. Ar-Ra’ad: 9). Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits tentang nama-nama Allah; telah berkata al-Halimi: Pengertian ayat di atas ialah bahwa Allah Maha Suci dari segala apa yang ada pada makhluk-makhluk-Nya, seperti memiliki istri, anak, anggota badan (baik yang besar maupun anggota yang kecil), mengambil ranjang (tempat) untuk duduk di atasnya, bersembunyi di balik tirai supaya tidak terlihat, pindah dari satu tempat ke tampat lain, dan lain sebagainya. Karena sifat-sifat semacam ini sebagiannya menetapkan adanya bentuk dan penghabisan, sebagian lainnya menetapkan adanya kebutuhan kepada yang lain, dan sebagian lainnya menetapkan adanya perubahan. Sedikitpun sifat-sifat semacam demikian itu sangat tidak layak bagi Allah dan mustahil atas-Nya”.
Al-Imâm al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam Idlâh ad-Dalîl dalam menjelaskan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-‘Azhîm” (QS. Al-Baqarah: 255), firman Allah: “Sabbihisma Rabbik al-A’lâ” (QS. Al-A’la: 1), dan firman Allah: “Wa Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Saba’: 23), menuliskan bahwa makna-makna itu semua penjelasannya adalah dalam pemahaman ketinggian derajat, keagungan, dan kekuasaan bagi-Nya, bukan dalam pengertian arah atau tempat yang tinggi. Kita semua sepakat dalam memahami makna-makna dari beberapa ayat tentang “Ma’iyyah Allâh”, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa Ma’akum Ainamâ Kuntun” (QS. Al-Hadid: 4), dan firman-Nya: “Innallâh Ma’a al-Ladzînattaqau…” (QS. An-Nahl: 128), bahwa makna “Ma’a” dalam ayat-ayat semacam ini bukan dalam pengertian Dzat Allah menyertai setiap makhluk-Nya. Artinya bahwa ayat-ayat ini tidak boleh dipahami secara zahir (literal). Maka demikian pula dalam memahami makna al-‘Alyy, al-‘Âli, atau al-Muta’âli pada hak Allah, itu semua tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Banyak dalil yang menunjukan kepada keharusan memahami makna seperti yang kita ungkapkan di atas, di antaranya firman Allah: “Wa Antum al-A’lawna…” (QS. Ali ‘Imran: 139), juga firman Allah tentang Nabi Musa “Lâ Takhaf Innaka Anta al-A’lâ” (QS. Thaha: 68), serta firman Allah: “Wa Kalimatullâh Hiya al-‘Ulyâ” (QS. At-Taubah: 40). Ayat-ayat ini semua sama sekali bukan untuk menunjukan tempat dan arah atas, tetapi yang dimaksud adalah ketinggian kedudukan dan martabat (Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, h. 110-111).
Ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi dalam tafsirnya dalam penjelasan makna firman Allah: “Wa Annallâh Huwa al-‘Alyy al-Kabîr” (QS. Al-Hajj: 62) menuliskan sebagai berikut:
“al-‘Alyy artinya bahwa Allah maha menguasai atas segala sesuatu, Dia Maha Suci dari segala keserupaan dan penentang, dan Maha Suci dari segala pernyataan orang-orang kafir yang mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak sesuai bagi keagungan-Nya.
Al-Kabîr artinya bahwa Dia Allah yang maha agung dan maha besar dalam derajatnya, (bukan dalam makna bentuk). Menurut pendapat lain, makna al-Kabîr adalah bahwa Dia Allah yang memiliki segala kesempurnaan. Artinya bahwa wujud Allah itu mutlak; Dia ada tanpa permulaan (al-Qadîm al-Azaliy) dan tanpa penghabisan (al-Bâqî al-Abadiy)” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 12, h. 91).
Al-Imâm Abu al-Qasim al-Anshari an-Naisaburi dalam kitab Syarh al-Irsyâd; sebuah kitab teologi Ahlussunnah karya Imam al-Haramain, menuliskan pasal khusus dalam penjelasan makna-makna tentang sifat-sifat Allah yang kita sebutkan. Simak tulisan beliau berikut ini:
“Pasal; Tentang makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Kibriyâ’ dan al-Fawqiyyah. Seluruh orang Islam telah sepakat bahwa Allah maha agung. Dia lebih agung dari segala sesuatu yang agung. Dan makna al-‘Azhamah, al-‘Uluww, al-Izzah, ar-Rif’ah, dan al-Fawqiyyah (pada hak Allah) semuanya memiliki satu pengertian, yaitu bahwa Dia Allah maha memiliki segala sifat kesempurnaan dan segala sifat kesucian. Artinya bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya, maha suci dari memiliki sifat-sifat benda, suci dari kebutuhan, suci dari kekurangan. Dan hanya Dia Allah yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti sifat Qudrah (Kuasa) yang mencakup atas segala sesuatu (dari Jâ’iz ‘Aqliy), sifat Irâdah (Kehendak) yang akan terlaksana bagi segala sesuatu yang ia kehendaki-Nya, sifat ‘Ilm (Mengetahui) yang mencakup atas segala sesuatu dari makhluk-Nya, maha memiliki sifat al-Jûd dan sifat ar-Rahmah, maha pemberi segala nikmat, maha memiliki sifat as-Sama’, al-Bashar, al-Qawl al-Qadîm (sifat kalam yang bukan berupa huruf, suara dan bahasa), dan maha kekal”.
Keyakinan ini juga dipegang teguh oleh para Masyâyikh al-Azhar Cairo Mesir, antar generasi mereka ke generasi berikutnya hingga sekarang ini. Hanya beberapa gelintir oknum saja yang terkena faham tasybîh, dan itupun terjadi belakangan ini ketika faham-faham Wahhabiyyah merebak. Kita dapat pastikan bahwa pemegang tumpuk keilmuan di al-Azhar, atau yang dikenal dengan gelar Syaikh al-Azhar, dari generasi ke generasi di dalam akidah mereka semua memiliki faham Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas rintisan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari. Para Masyâyikh al-Azhar sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Di antara bukti atas itu adalah majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar sendiri, pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la menuliskan sebagai berikut: “al-A’lâ adalah salah satu sifat Allah, yang dimaksud dengan al-‘Uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.
Kemudian pada halaman berikutnya dalam majalah al-Azhar pada edisi yang sama dituliskan sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para ulama Salaf telah sepakat bahwa al-‘Uluww pada hak Allah mustahil maknanya dalam pengertian tempat yang berada di arah atas. Hal ini berbeda dengan faham sebagian orang bodoh yang sesat yang sama sekali tidak memiliki pegangan dalam permasalahan ini. Padahal sesungguhnya seluruh ulama, maupun ulama Salaf maupun ulama Khalaf, sepakat bahwa Allah maha suci dari menyerupai makhluk-Nya”.
Wallahu A’lam.
===============================================
Berikut ini tulisan tentang pendapat Ulama Ahlussunnah Dalam Menjelaskan Bahwa Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah. Sumber tulisan pada :
http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/28/dari-pernyataan-ulama-ahlussunnah-dalam-menjelaskan-bahwa-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah-mewaspadai-ajaran-wahhabi/
Dalam tulisan ringkas ini kita kutip pernyataan beberapa ulama dalam penjelasan dalil-dalil akal bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah, sekaligus untuk menetapkan bahwa keyakinan Allah bersemayam di ata arsy, atau bahwa Allah berada di arah atas, serta keyakinan-keyakinan tasybih lainnya adalah keyakinan batil, berseberangan dengan akidah Rasulullah dan para sahabatnya serta keyakinan yang sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat. Berikut ini kita kutip pernyataan mereka satu persatu.
• al-Imam Abu Sa’id al-Mutawalli asy-Syafi’i (w 478 H) dalam kitab al-Ghunyah Fi Ushuliddin menuliskan sebagai berikut:
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” .
• al-Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i (w 505 H) dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menuliskan sebagai berikut:
“Dasar ke empat; ialah berkeyakinan bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat dan arah. Dia Maha Suci dari mamiliki arah. Dalil akal atas ini adalah bahwa segala benda pasti memiliki arah khusus baginya, dan bedan tersebut tidak lepas dari dua keadaan; dalam keadaan diam pada tempatnya atau dalam keadaan bergerak dari tempatnya tersebut. Artinya setiap benda tidak lepas dari sifat gerak dan diam, dan keduanya jelas baharu. Dan segala sesuatu yang tidak lepas dari sifat baharu maka hal tersebut menjukan bahwa sesuatu tersebut adalah baharu” .
• al-Imam Abu al-Mu’ain an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah telah menuliskan penjelasan yang logis dan dalil-dalil yang sangat kuat dalam bantahan beliau atas kaum Musyabbihah. Di antaranya beliau menuliskan sebagai berikut:
“Kaum Mujassimah memiliki tiga kerancuan: Pertama; Pernyataan mereka bahwa setiap dua sesuatu yang ada pasti keduanya memiliki jarak dan arah satu dari lainnya. Kita jawab kesesatan mereka ini; Kalian menetapkan bahwa dua sesuatu pasti memiliki jarak dan arah satu dari lainnya bagi orang yang melihatnya, apakah kalian membolehkan sifat arah semacam ini atas Allah? Jika mereka menjawab iya maka mereka telah membatalkan keyakinan mereka sendiri. Karena dalam keyakinan mereka Allah tidak boleh disifati berada di bawah alam. Dan jika mereka menjawab tidak maka mereka juga telah membatalkan argumen mereka sendiri bahwa dua sesuatu pasti memiliki arah satu dari lainnya. Jika mereka berkata; Kita tidak membolehkan arah bawah bagi Allah karena arah ini sifat kurang dan merupakan cacian, dan Allah tidak disifati dengan sifat kurang semacam itu. Jawab; Jika demikian berarti kalian telah menetapkan adanya argumen perbedaan (at-tafriqah) antara Allah dengan makhluk-Nya.
• Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut:
“Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilkan dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurnaan sementara selain Allah memiliki kesempurnaan. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
Di bagian lain dari tafsirnya dalam penafsiran firman Allah QS. Thaha: 5 menuliskan sebagai berikut:
“Masalah kedua; Kaum Musyabbihah menjadikan ayat ini sebagai rujukan dalam menetapkan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka duduk, bertempat atau bersemayam di atas arsy. Pendapat mereka ini jelas batil, terbantahkan dengan dalil akal dan dalil naql dari berbagai segi;
Pertama: Bahwa Allah ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum menciptakan arsy dan tempat. Dan setelah Dia menciptakan segala makhluk Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-Nya, tidak butuh kepada tempat, Dia Maha Kaya dari segala makhluk-Nya. Artinya bahwa Allah Azali -tanpa permulaan- dengan segala sifat-sifat-Nya, Dia tidak berubah. Kecuali bila ada orang berkeyakinan bahwa arsy sama azali seperti Allah. -Dan jelas ini kekufuran karena menetapkan sesuatu yang azali kepada selain Allah-”.
Kedua: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan terjadinya bagian-bagian pada dzatnya. Bagian dzatnya yang berada di sebelah kanan arsy jelas bukan bagian dzatnya yang berada di sebelah kiri arsy. Dengan demikian maka jelas bahwa sesuatu itu adalah merupakan benda yang memiliki bagian-bagian yang tersusun. Dan segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan tersusun maka ia pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunannya tersebut. Dan hal itu jelas mustahil atas Allah.
Ketiga: Bahwa sesuatu yang duduk di atas arsy dipastikan ia berada di antara dua keadaan; dalam keadaan bergerak dan berpindah-pindah atau dalam keadaan diam sama sekali tidak bergerak. Jika dalam keadaan pertama maka berarti arsy menjadi tempat bergerak dan diam, dan dengan demikian maka arsy berarti jelas baharu. Jika dalam keadaan kedua maka berarti ia seperti sesuatu yang terikat, bahkan seperti seorang yang lumpuh, atau bahkan lebih buruk lagi dari pada orang yang lumpuh. Karena seorang yang lumpuh jika ia berkehendak terhadap sesuatu ia masih dapat menggerakan kepada atau kelopak matanya. Sementara tuhan dalam keyakinan mereka yang berada di atas arsya tersebut diam saja.
Keempat: Jika demikian berarti tuhan dalam keyakinan mereka ada kalanya berada pada semua tempat atau hanya pada satu tempat saja tidak pada tempat lain. Jika mereka berkeyakinan pertama maka berarti menurut mereka tuhan berada di tempat-tempat najis dan menjijikan. Pendapat semacam ini jelas tidak akan diungkapkan oleh seorang yang memiliki akal sehat. Kemudian jika mereka berkeyakinan kedua maka berarti menurut mereka tuhan membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam kekhususan tempat dan arah tersebut. Dan semacam ini semua mustahil atas Allah” .
• al-Imam Saifuddin al-Amidi (w 631 H) dalam kitab Ghayah al-Maram menuliskan sebagai berikut:
“Telah tetap bahwa apapun yang kita saksikan dari segala yang ada ini tidak lain kecuali benda dan sifat-sifat benda. Menetapkan adanya sesuatu yang ke tiga adalah pendapat yang tidak diterima akal. Dengan demikian setelah tetap bahwa segala sesuatu yang ada -dari segala makhluk Allah- ini tidak lepas dari benda dan sifat-sifat benda, maka berarti Allah -yang menciptakan itu semua- mustahil sebagai sifat benda. Karena sifat benda itu selalu membutuhkan kepada benda itu sendiri, padahal Allah mustahil membutuhkan kepada sesuatu. Karena bila Allah membutuhkan kepada sesuatu maka berarti sesuatu yang Ia butuhkannya tersebut lebih agung dan lebih mulia dari dari-Nya sendiri, dan ini jelas mustahil. Dengan demikian terbantahkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah sifat benda. Sekarang tersisa bantahan atas mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah benda.
Kita katakan kepada mereka: Sumber kerancuan kalian dalam masalah ini adalah bahwa kalian membangun keyakinan kalian di atas prasangka. Dasar keyakinan kalian berangkat dari prasangka kesamaan antara Allah dengan sesuatu yang tampak dengan mata (benda). Kalian menghukumi kesamaan antara sesuatu yang tidak dapat disentuh dengan sesuatu yang dapat disentuh. Padahal keyakinan dengan dasar prasangka semacam ini jelas hanya khayalan, kedustaan, dan sama sekali tidak benar. Prasangka berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tampat karena prasangka ini berangkat dari pemahaman bahwa segala sesuatu itu benda. Ini berbeda dengan kesaksian akal. Dalam kesaksian akal, alam (segala sesuatu selain Allah) tidak berada pada tempat. Karena alam itu sendiri mencakup segala apapun, selain Allah, termasuk tempat dan arah itu sendiri. Bahkan ada sebagian orang yang menjadikan prasangkanya lebih menguasai dirinya dari pada akal sehatnya. Perumpamaannya adalah seperti orang yang menolak untuk bermalam dalam satu rumah bersama sesosok mayat. Rasa takutnya sebenarnya timbul dari prasangkanya bahwa mungkin sewaktu-waktu mayat tersebut akan bergerak atau berdiri. Walaupun pada sebenarnya pada akal sehatnya mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi. Dengan demikian dapat dipaham bahwa seorang yang berakal sehat itu adalah yang meninggalkan prasangkanya dan hanya mengambil pendapat akal sehat untuk tuntunannya.
Dari sini kita simpulkan bahwa mereka yang berkeyakinan Allah bertempat tidak lain hanya didasarkan kepada prasangka belaka. Maka jalan satu-satunya untuk menetapkan keyakinan adalah dengan membuang jauh-jauh prasangka, dan membangunnya di atas dasar akal yang sehat. Sementara itu akal sehat kita telah menetapkan bahwa segala sesuatu ini pasti ada yang menciptakan. Juga akal sehat kita telah menetapkan bahwa Sang Pencipta tersebut pasti tidak serupa dengan yang diciptakannya, baik ciptaan-Nya yang dapat disaksikan oleh mata kita atau tidak. Dengan menetapkan dua dasar kaedah ini menjadi jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh prasangka tidak lain hanyalah khayalan belaka yang tidak memiliki kebenaran. Jika Allah itu disimpulkan sebagai benda -seperti dalam kesimpulan prasangka- maka berarti mestilah Dia juga memiliki ketentuan-ketantuan yang berlaku pada benda itu sendiri -yaitu sifat-sifat benda-, dan ini jelas tertolak. Di atasa sudah kita jelaskan bahwa Allah bukan sifat benda. Karena bila Dia sifat benda maka ia butuh kepada benda untuk menetap padanya. Karena sifat benda itu tidak dapat berdiri sendiri. ia hanya ada dan menetap pada benda. Dan ini jelas mustahil atas Allah” .
Masih dalam kitab Ghayah al-Maram, al-Imam al-Amidi menuliskan sebagai berikut:
“Jika adalah Allah berada pada arah maka tidak lepas dari keadaan pada seluruh arah atau pada atu arah saja. Jika Ia ada pada seluruh arah maka berarti tidak ada satu arahpun bagi kita kecuali Allah berada pada arah tersebut. Dan ini jelas mustahil. Kemudian jika ia berada pada satu arah maka tidak lepas dari dua keadaan; ada yang menjadikannya pada arah tersebut atau arah tersebut ada azali; tanpa permulaan bersama-Nya. Tentunya mustahil jika arah tersebut ada azali bersama-Nya. Karena pada dasarnya seluruh arah bagi Allah itu sama, tidak khusus dengan satu arah saja -semuanya mekhluk Allah-. Maka demiian berarti ada yang mengkhususkan-Nya pada arah tertentu tersebut. Inipun sesuatu yang mustahil, dengan melihat kepada dua segi:
Pertama: Bahwa yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut tidak lepas dari dua keadaan; antara qadim atau baharu (hadits). Jika qadim maka berarti ada dua yang qadim; -Allah dan yang mengkhususkan-Nya pada arah tersebut-, ini jelas mustahil. Dan jika baharu maka berarti ia membutuhkan kepada lainnya. Dan lainnya ini butuh pula kepada yang yang lainnya pula. Dan terus menerus berantai demikian tanpa penghabisan (tasalsul). Ini tentunya mustahil.
Kedua: Bahwa menurut pendapat yang mengatakan Allah memiliki arah berarti kekhususan arah tersebut bagi merupakan sifat-Nya. Itu berarati adanya kekhususan sifat tersebut membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dan yang mengadakannya, dan secara hukum akal berarti tidak ubahnya seperti makhluk. Karena sesuatu yang ada yang membutuhkan kepada yang mengadakannya berarti sesuatu tersebut adalah makhluk. Kemudian jika ada pada Allah satu sifat saja yang baharu seperti makhluk maka dimungkinkan adanya kebaharuan pada sifat-sifat yang lainnya juga. Padahal Allah wajib pada seluruh sifat-sifat-Nya maha Qadim” .
• al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram membahas dengan sangat detail argumen rasional bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam kitab ini beliau menjelaskan ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar bahwa adanya Allah Azali; tanpa permulaan. Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dialah Pencipta segala sesuatu. Maka setelah menciptakan segala sesuatu Dia tetap tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dia maha Qadim, sementara tempat dan arah itu baharu.
Dari ungkapan al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar tersebut al-Imam al-Bayyadli menyimpulkan beberapa poin penjelasan penting berikut ini.
Pertama: Dari pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas terdapat argumen yang sangat kuat. Ialah bahwa jika Allah ada pada tempat dan arah maka berarti arah dan tempat tersebut mesti qadim, dan berarti pula bahwa Allah adalah benda. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang dipenuhi oleh suatu benda. Dan definisi arah adalah nama bagi objek penghabisan bagi suatu isyarat. Keduanya; tempat dan arah hanya berlaku bagi suatu benda dan apapun yang memiliki bentuk. Semua ini mustahil atas Allah sebagaimana telah kita jelaskan. Inilah yang dimaksud oleh al-Imam Abu Hanifah dalam perkataannya: “Dia ada sebelum ada makhluk-Nya. Ada sebelum Dia menciptakan tempat dan arah. Dan Dialah Pencipta segala sesuatu”. Dengan demikian adalah batil apa yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy tidak memiliki permulaan, sebagaimana penjelasan bantahan atasnya telah panjang lebar dalam kitab Syarah al-‘Aqidah al-Adludiyyah.
Kedua: Perkataan al-Imam Abu Hanifah adalah merupakan jawaban bahwa Allah tidak boleh dikatakan di dalam alam; karena tidak bisa diterima akal Sang pencipta berada di dalam yang diciptakannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di luar alam dengan mengatakan bahwa Dia di arah tertentu dari alam ini. Hal ini karena Allah ada sebelum menciptakan segala makhluk-Nya, ada sebelum segala arah dan tempat. dan Dialah Pencipta segala sesuatu. Allah berfirman: “Dia -Allah- Pencipta segala sesuatu” (QS. al-An’am: 102). Keyakinan ini dibangun di atas akal sehat bukan di atas prasangka”.
• Seorang teolog terkemuka, ahi fiqih dan pakar sejarah, al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi ad-Damasyqi (w 725 H) mengutip perkataan seorang ulama terkenal; al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi dalam menafikan arah dan tempat dari Allah. Argumentasi logis dari al-Qurthubi ini sekaligus disepakati oleh ibn al-Mu’allim sendiri, sebagai berikut:
“Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Umar al-Anshari al-Qurthubi berkata: Di antara yang dapat membatalkan pendapat adanya tempat dan arah pada Allah adalah apa yang telah kami sebutkan dari perkataan guru kita dan ulama lainnya. Ialah dengan melihat kepada dua hal:
Pertama: Bahwa arah jika benar ada pada Allah maka hal itu akan menafikan kesempurnaan-Nya. Sesungguhnya Pencipta segala makhluk itu maha sempurna dan maha kaya. Ia tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun untuk menjadikan-Nya sempurna.
Kedua: Jika Allah ada pada tempat dan arah maka tidak lepas dari dua hal; tempat dan arah tersebut qadim atau keduanya baharu. Jika arah dan tempat tersebut qadim maka hal itu menghasilkan dua perkara mustahil. Salah satunya ialah berarti bahwa tampat dan arah tersebut azali; tanpa permulaan, ada bersama Allah. Dan jika ada dua sesuatu yang qadim bagaimana mungkin salah satunya bertempat pada yang lainnya. Kalau demikian berarti Ia membutuhkan kepada yang mengkhususkan-Nya pada arah dan tempat tersebut. Ini adalah perkara mustahil” .
• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:
“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .
Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:
“Peringatan: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya” .
Penutup
Jangan pernah anda berkeyakinan Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Nya sendiri….
Waspadai ajaran Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy..
Bagaimana dikatakan di atas arsy, padahal arsy adalah makhluk Allah sendiri. sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy. apa kemudian setelah Dia menciptakan arsy menjadi berubah membutuhkan kepada arsy.. A’udzu Billah!!!!
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar