Pendahuluan
Taman yang dipenuhi beraneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk, akan sangat indah tidak bosan mata memandang, lain halnya kalau taman itu hanya dihiasi dengan satu macam bunga saja, ia terlihat kaku dan tidak indah untuk terus dipandang mata.
Islam adalah agama yang menghargai keragaman, karena dalam keragaman ada keindahan dan kesempurnaan. Allah Swt Maha Kuasa telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bukan dalam satu warna kulit, bentuk dan panjang tubuh, warna rambut dan bola mata. Karena dalam keragaman itulah kuasa Allah lebih dahsyat.
Islam juga adalah agama yang menghargai keragaman dalam berfikir, berpendapat, bersikap dan dalam mengambil tindakan.
Perbedaan “Khilaf” dan “Ikhtilaf”
Islam menghendaki ikhtilaf namun tidak menghendaki khilaf. Karena ikhtilaf terpuji, lain halnya dengan khilaf. Khilaf artinya: berlawanan atau bertentangan. Ia menghendaki perselisihan yang membawa kepada pertikaian dan permusuhan. Sedangkan ikhtilaf artinya: tidak sepakat, tidak sama, atau keragaman. Khilaf harus dihindari, sedangkan ikhtilaf kelaziman yang tidak mungkin dihindari.
Ikhtilaf adalah Kehendak Allah Swt dan Rasul Saw
Keragaman dalam berpendapat merupakan kehendak Allah Saw dan Rasululullah Saw. Mungkin pernyataan ini sedikit membingungkan. Tapi ini adalah kenyataan. Ketika Allah berfirman: “Dan wanita-wanita yang diceraikan hendaknya berdiam diri selama 3 masa Quru’” (Al Baqarah: 228). Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari berpendapat Quru’ adalah masa haidh, sedangkan Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit berpendapat Quru’ adalah masa suci.
Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru’ telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor. Bukankah Allah Swt Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi? Namun Allah Swt tidak mengatakan dengan Sharih apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru’. Ini menunjukkan bahwa Allah Swt dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.
Demikian pula, ketika Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabat: Janganlah kalian shalat Ashar melainkan di Bani Quraizhah. Para sahabat dengan segera berusaha untuk menjangkau Bani Quraizhah sebelum Ashar, namun ketika tiba waktu Ashar mereka masih dalam perjalanan. Sebahagian mereka mengatakan: kita tidak boleh shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah, karena ini adalah perintah Rasulullah Saw. Namun, sebahagian lagi mengatakan: tidak, kita harus shalat Ashar di manapun kita berada apa bila tiba waktunya, Rasulullah Saw berkata demikian karena menghendaki agar kita segera sampai ke Bani Quraizhah. Maka sebahagian dari mereka ada yang shalat Ashar dan sebahagian yang lain tidak. Ketika sampai di Bani Quraizhah mereka mengadukan perkara ini kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw tersenyum dan membenarkan kedua belah pihak.
Toleransi Para Ulama dalam masalah-masalah ikhtilaf.
Para Ulama dari sejak masa Salaf, baik di kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in telah banyak berikhtilaf. Bahkan hal ini telah terjadi dari sejak Rasulullah Saw masih hidup. Tapi tidak ada seorangpun diantara mereka yang saling menuding salah, fasiq atau kafir kepada orang yang bertentangan dengan pendapatnya.
Dalam beberapa masalah mawarits terjadi ikhtilaf sahabat antara Zaid bin Tsabit dan Ibnu mas’ud atau yang lainnya. Sebagaimana di kalangan sahabat ada yang membaca Basmalah di awal al Fatihah dan ada pula yang tidak membacanya, ada yang membaca dengan sir ada pula yang membaca dengan jahar.
Imam Asy Syafi’I pernah jadi imam Shubuh di Iraq dekat maqam Abu Hanifah, dan beliau tidak berqunut sebagai penghormatan kepada Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya.
Imam Ahmad bin Hanbal termasuk yang berpendapat wajib berwudhu’ karena bekam dan darah yang keluar dari hidung (mimisan). Lalu beliau ditanya: Apa pendapat engkau jika imam shalat keluar darah dan dia tidak kembali berwudhu, apakah engkau akan shalat di belakangnya? Beliau menjawab: bagaimana saya tidak shalat di belakang imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?
Jadi kesimpulannya, ikhtilaf telah terjadi dari sejak 3 abad sebaik-baik masa umat ini (Khairu Qurunil Ummah).
Adalah sikap monumental Imam Malik bin Anas patut dijadikan contoh. Selesai beliau menulis kitab Muwaththa’ atas perintah Khalifah dinasti Abbasiah Abu Jakfar Al Manshur, adalah khalifah berkeinginan agar Muwaththa’ menjadi satu-satunya Qanun Negara Islam di waktu itu, dan semua pendapat yang bertentangan ditiadakan. Imam Malik menulis surat yang isinya menolak hal tersebut: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya sebelumku para sahabt telah berikhtilaf, dan murid-murid mereka telah meriwayatkan hadits-hadits, dan setiap kaum telah mengambil pendapat-pendapat yang terdahulu sampai ke telinga mereka, biarkanlah setiap negeri mengambil pendapat yang sesuai dengan mereka.
Jadi kesimpulannya, ikhtilaf telah terjadi dari sejak 3 abad sebaik-baik masa umat ini (Khairu Qurunil Ummah).
Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: bahwa ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As berikhtilaf dengan Nabi Harun As hingga Nabi Musa As menarik jenggot Nabi Harun As ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.
Begitupula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niyatnya.
Ikhtilaf adalah Kekayaan Syari’at Islam
Banyak pendapat dalam syri’at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu Fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa’idah-qa’idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (Qiyas).
Perbedaan metode pengambilan dalil dan istinbatnya menghasilkan mutiara-mutiara yang sangat berharga, dari madrasah logika, ke madrasah hadits, madrasah ahlul Zhawahir ke madrasah yang sangat moderat. Kalau setiap madrasah ini bisa diambil hal-hal positifnya tentu fiqh akan mencapai masa kematangannya. Inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama kita di masa ini dalam muktamar-muktamar internasional.
Sebab-sebab Ikhtilaf
Banyak faktor penyebab timbulnya ikhtilaf di kalangan ulama, diantaranya: masalah metodologi berfikir yang berbeda, masalah bahasa, apakah kata-kata ini hakikat atau majaz, difahami secara manthuq atau mafhum. Masalah hadits yang shahih menurut sebahagian kelompok, namun tidak shahih menurut yang lain, atau ada sebahagian kaum yang sampai kepada mereka sebuah hadits, sedangkan kaum lain tidak sampai. Ada pula dalil yang dijadikan hujjah oleh sebuah kaum, namun menurut kaum yang lain tidak.
Keragaman dalam “Furu’ ” adalah Rahmat
Umar bin Abdul Aziz mengatakan: bagiku tidaklah indah jika para sahabat sepakat dalam satu pendapat, karena kalau demikian tidak ada rukhsah (keringanan) dalam agama ini.
Ikhtilaf dalam masalah furu’ adalah rahmat, karena dalam berbagai kondisi yang sulit kita bisa mengambil pendapat yang menyelamatkan kita dari kemudharatan.
Namun keragaman dalam ushul tidaklah terpuji. Terutama dalam masalah ushul yang asasiyah. Seperti ke Esaan Allah, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir, Ka’bah adalah kiblat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu adalah wajib.
Bahaya menuduh Kafir bagi orang Muslim
Seorang muslim hendaknya menjaga diri dari menuduh saudaranya yang muslim dari kata-kata kafir, fasiq, bid’ah, musyrik dan yang seumpamanya, karena kalimat itu akan berlaku kepada orang yang dituduhnya. Apabila benar, maka berlakulah sesuai dengan sifat yang dituduhkan, namun bila tidak maka kata-kata tersebut akan kembali kepada orang yang mengatakannya, karena ia menjadi orang yang paling berhak dengan tuduhan yang mengada-ngada itu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda: “Jika seseorang menuduh saudaranya dengan engatakan “Kafir” maka berlakulah kata tersebut pada salah seorang diantaranya”.
Dan dalam shahihnya juga dari Abu Dzar Ra, bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seseorang menuduh saudaranya dengan kata-kata “Fasiq” atau “Kafir” melainkan kata-kata tersebut kembali keatasnya, jika saudaranya tidak demikian”.
Namun perlu ditambahkan pula, bahwa hal tersebut terjadi bila yang menuduh itu tidak bertakwil terhadap ucapannya, bila dia bertakwil maka dia tidak menjadi kafir murtad, akan tetapi dia tetap berdosa besar.
Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jagalah kehormatan orang-orang yang menyebut Laa Ilaaha Illallah, jangan kamu kafirkan mereka hanya karena satu dosa. Barang siapa yang mengkafirkan mereka sesungguhnya mereka kepada kekafiran lebih dekat”.
Penutup
Banyaknya mazhab fiqh dan kelompok dakwah dalam Islam merupakan keistimewaan agam Islam, selama manhaj mereka adalah untuk berkhidmah kepada Islam dan umatnya.
Kita tidak bisa mengajak semua orang untuk tunduk dalam satu gerakan atau satu jema’ah yang mengumpulkan semua da’I dalam wadahnya dibawah satu kepemimpinan dan satu manhaj, karena halangan dan tantangan pasti akan menghampiri kita. Tapi biarkanlah keragaman itu ada, bila digunakan untuk membela agama, selama keragaman itu menyangkut masalah teknis dan spesialis, bukan keragaman yang saling menuding dan bermusuhan.
Dan kewajiban atas semua jama’ah tersebut untuk saling membantu, saling menyempurnakan, menguatkan dan menyokong satu sama lainnya dalam meghadapi segala problematika umat yang mana ia adalah permasalahan bersama.
Hendaknya kita saling membantu pada setiap permasalahan yang menjadi titik kesepakatan, dan saling memaafkan pada setiap permasalahan yang menjadi titik perbedaan.
Ingat dan camkanlah firman Allah berikut ini:
﴿مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ﴾
“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih saying sesame mereka”. (QS. Al Fath: 29)
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar