Perbedaan terjemahan dengan makna
Dalam tulisan sebelumnya pada
telah diuraikan bahwa pada hakikatnya yang dikatakan mereka sebagai pemahaman Salafush Sholeh sebenarnya adalah pemahaman ulama yang diikuti mereka terhadap lafaz atau tulisan Salafush Sholeh atau ulama Salaf yang Sholeh. Pemahaman ulama yang mereka ikuti seperti ulama Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah.
Ulama Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim Al Jauziah maupun Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Cuma karena ulah mereka yang mengatakan bahwa apa yang mereka pahami sebagai pemahaman Salafush Sholeh yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman-kesalahpahaman pada segelintir umat muslim.
Jika kita belum berkompentensi sebagai mujtahid atau belum berkompetensi merujuk langsung (berijtihad) dengan Al Qur’an dan Sunnah, maka lebih baik mengikuti pemahaman para Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan Mereka yang melihat langsung bagaimana implementasi pemahaman Salafush Sholeh dalam beribadah. Para Imam Mazhab yang menuliskan pada kitab fiqih agar kita umat muslim belakangan yang tidak melihat langsung para Salafush Sholeh beribadah dapat “melihat” nya melalui kitab fiqih atau mengikutinya berdasarkan kitab fiqih.
Sedangkan mereka yang mengaku menisbatkan pada Salaf pada hakikatnya “melihat” pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman mereka terhadap lafaz atau tulisan ulama salaf yang sholeh yang mana pemahaman mereka bisa benar dan bisa pula salah. Terlebih mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyah sebenarnya telah terkubur sejak lama karena pemahaman beliau menyelisihi pemahaman para Imam Mazhab. Namun beratus-ratus tahun kemudian pemahaman ulama Ibnu Taimiyah diangkat kembali oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan juga turut diangkat kembali oleh pusat-pusat kajian Islam yang didirikan kaum non muslim, orientalis, yang dibelakang mereka adalah kaum Zionis Yahudi, kaum yang telah menyesatkan kaum Nasrani bahwa Tuhan mereka bertempat di surga. Kaum Zionis Yahudi berkepentingan untuk mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyah yang telah dibantah oleh banyak ulama untuk keperluan ghazwul fikri (perang pemahaman) sehingga terjadi perselisihan di antara umat muslim seperti yang kita ketahui telah terjadi pada masa kini.
Tentulah tidak seluruh pemahaman ulama Ibnu Taimiyah adalah kesalahpahaman namun kesalahpahaman beliau terjadi pada hal yang pokok (bukan furu atau cabang) yakni tentang i’tiqod atau akidah. Ulama-ulama terdahulu bahkan menyarankan untuk meninggalkan buku-buku karya ulama Ibnu Taimiyah khususnya dalam perkara i’tiqod sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada
Ulama-ulama terdahulu membantah pemahaman ulama Ibnu Taimiyah sebagaimana terurai dalam tulisan pada
Salah satu dasar aqidah mereka adalah menerjemahkan hadits budak jariyah atas pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
“di mana Allah”
sebagai pertanyaan tentang tempat atau keberadaan bagiNya.
Pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “di mana Allah” kepada seorang budak Jariyah yang diriwayatkan oleh Mu`awiyah bin Hakam, janganlah dimaknai sebagai pertanyaan tentang tempat namun maknailah dengan hakikat keimanan.
Pertanyaan Rasulullah “di mana Allah” adalah untuk menguji keimanan seorang Budak, mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya “di mana Allah” adalah tentang keberadaan dzatNya karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Ketika itu orang-orang tidak beriman karena menyembah berhala sehingga dengan jawaban “di langit” maka dapat dipastikan bahwa budak Jariyah tidak menyembah tuhan berhala walaupun di langit itu ada matahari, bintang dan bulan. Jawaban budak jariyah dipertegas dengan jawaban atas pertanyaan Rasulullah shallallahu berikutnya yang artinya, “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
“Hadits budak Jariyah” seperti pada
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada bab “Haram berbicara di dalam shalat”. Beliau tidak meriwayatkan pada bab “iman” artinya hadits ini beliau kelompokkan ke dalam masalah-masalah `amaliyah, bukan bersifat masalah akidah. Karena hadits ini tidak cukup kuat untuk berdalil di dalam masalah akidah. Inti dari hadits tersebut terletak pada perkataan Rasulullah yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.” dan salah satu perawinya adalah orang yang baru masuk Islam seperti kita ketahui pada awal hadits dengan pernyataan “ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku”.
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk menanyakan makanah (kedudukan/derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Al-hafidz al-Haitsami (w. 807 h) dalam kitabnya Majma’ az-Zawaid (Juz. 1, Hal. 23) maka yang diunggulkan adalah hadis riwayat Imam Malik rahimahullah (w. 179 h) dalam al-Muwatha’ dari Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud: “A-tasyhadina an la ilaha illallah? Qalat “Na’am” (“Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah? jariyah menjawab: Ya”). Karena riwayat Imam Malik (w. 179 h) sesuai dengan atau tidak menyalahi Ushulus Syariah (prinsip-prinsip ajaran Islam/Rukun Islam). Yakni diantara prinsip ajaran Islam adalah seseorang yang hendak masuk Islam, ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat bukan yang lain.
Adapun bagi ulama yang mendhaifkan seperti al-Imam Al-Baihaqi (W. 458 H) dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (Juz. 7, Hal. 378-388) dan al-Asma’ wa as-Shifat (Hal. 422, ditahqiq oleh al-Muhaddis Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari al-Hanafi), al-Muhaddis Syekh Abdullah al-Ghumari (W. 1413 H/ 1993 M) dan al-Muhaddis Syekh Abdullah Al-Harori dan al-Muhaddis Syekh Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitabnya Takmilah ar-radd ‘ala nuniyah ibnil qayyim (hal. 94). Mereka berpendapat hadis riwayat Muslim di atas Mudhtharib baik sanad maupun matannya dan disebabkan hadisnya ma’lul (cacat) karena menyalahi Ushulus Syari’ah. Yaitu orang dikatakan Muslim (beriman) ketika ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat bukan dengan mengucapkan Allah fis Sama’ (Allah di langit).
Berkenaan dengan hadits Muslim ini, Imam Baihaqi berkomentar di dalam kitabnya Al Asma` Wa Al Shifat.
وهذا صحيح ، قد أخرجه مسلم مقطعا من حديث الأوزاعي وحجاج الصواف عن يحيى بن أبي كثير دون قصة الجارية ، وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه . وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث
“Hadits ini adalah shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara terpotong dari hadits yang bersumber dari Auza`ie dan Hajjaj al Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir tanpa menyebutkan tentang kisah budak wanita. Saya mengira ia meninggalkan kisah budak wanita tersebut karena terjadinya perbedaan riwayat pada redaksinya dan saya juga menyebutkan hadits ini pada bab zhihar di dalam kitab sunan (al kubra). Riwayat yang ada berbeda dengan riwayat para periwayat yang bertentangan dengan riwayat Muawiyah Bin Hakam dari segi redaksi hadits.”
Dari pernyataan Imam Baihaqi ini dipahami secara jelas bahwa pemaparan kisah budak wanita yang merupakan bagian dari hadits.
1. Tidak terdapat di dalam sahih Muslim menurut versi Imam Baihaqi.
2. Bahwa kisah ini terjadi perbedaan riwayat dari segi redaksi hadits.
Penjelasan lebih lanjut dari pernyataan Imam Baihaqi;
1. Naskah Sahih Muslim tidak sama antara satu naskah dengan naskah yang lain tentang kisah budak wanita ini. Boleh jadi Imam Muslim menarik kembali hadits ini dan merevisinya pada periode selanjutnya serta menghapusnya atau redaksi hadits yang ada tidak ditemui pada naskah Sahih Muslim yang dimiliki oleh Imam Baihaqi. Sebagaimana juga dilakukan oleh imam Malik di dalam kitab Muwatha` riwayat Laits, yang tidak menyebutkan redaksi “sesungguhnya ia adalah seorang yang beriman”. Sama halnya dengan Imam Bukhari yang menyebutkan potongan hadits ini pada bab af`al al `ibad, dan hanya mengambil potongan yang berhubungan dengan masalah mendo`akan orang yang bersin, tanpa mengisyaratkan sedikit pun tentang masalah “Allah berada di langit”. Imam Bukhari meringkas hadits tanpa menyebutkan sebab beliau meringkasnya. Namun beliau tidak berpegang kepada kesahihan hadits tentang budak wanita ini, karena melihat perbedaan riwayat tentang kisah ini yang menunjukkan bahwa periwayat hadits tidak kuat hafalan (dhabit) dalam periwayatan.
2. Terjadinya perbedaan riwayat antara riwayat yang bersumber dari Mu`awiyah Bin Hakam dengan riwayat yang lain.
Dapat kita simpulkan dari pendapat para ahli hadits di atas bahwa hadits budak jariyah dalam sahih muslim tidak dapat dipergunakan sebagai landasan dalam i’tiqod atau akidah atau keimananan namun dipergunakan bagi pengetahuan kita bahwa terlarang berbicara di dalam shalat
Begitupula kesalahpahaman mereka ketika memahami atau memaknai firman Allah ta’ala
Firman Allah ta’ala
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
Allah, Tuhan yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arsy (QS. Thaha, 5)
“istawaa” yang umumnya kita ketahui terjemahannya bersemayam bagi mereka maknanya adalah Allah ta’ala bertempat atau berada bahkan sebagian lagi berpendapat duduk di atas ‘Arsy
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Kita harus ingat bahwa terjemahan berbeda dengan makna atau pemahaman. Berikut contoh penjelasan ulama kita sendiri yang bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan makna dari bersemayam
“Bersemayam maksudnya menguasai ‘Arasy, sebagaimana seorang raja duduk diatas kursi singgasananya mangandung makna menguasai atau penguasa. Karena ketika kata “bersemayam” diartikan mentah maka akan terbayang Allah sedang bersemayam dan ini membuat kufur, keluar dari agama Islam, menyerupakan sesuatu dengan Allah. Istawa yang artinya bersemayam disebutnya kalimat Majaz”. Sumber:
Pendapat beliau sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII (“Tuhan yang menguasai arasy yang agung”) sebagaimana yang kita ketahui dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kamiJarir dari Suhail dia berkata; Abu Shalih pernah menganjurkan kami yaitu, apabila salah seorang dari kami hendak tidur, maka hendaknya ia berbaring dengan cara miring ke kanan seraya membaca doa; ALLOOHUMMA ROBBAS SAMAAWAATI WA ROBBAL ARDH, WAROBBAL’ARSYIL’AZHIIMII, ROBBANAA WAROBBA KULLI SYAI’IN, FAALIQOL HABBI WAN NAWAA, WAMUNZILAT TAUROOTI WAL INJIIL, WAL FURQOON, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI KULLI SYAI’IN ANTA AAKHIDZUN BINAASHIYATIHI, ALLOOHUMMA ANTAL AWWALU FALAISA QOBLAKA SYAI’UN, WA ANTAL AAKHIRU FALAISA BA’DAKA SYAIUN, WA ANTAZH ZHOOHIRU FALAISA FAUQOKA SYAI’UN, WA ANTAL BAATHINU FALAISA DUUNAKA SYAI’UN, IQDHI’ANNAA ADDAINA, WA AGHNINAA MINAL FAQRI ‘Ya Allah, Tuhan langit dan bumi, Tuhan yang menguasai arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, Tuhan yang membelah dan menumbuhkan biji-bijian, Tuhan yang menurunkan kitab Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu, karena segala sesuatu itu berada dalam genggaman-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada yang samar dari-Mu. Ya Allah, lunaskanlah hutang-hutang kami dan bebaskanlah kami dari kefakiran.’ (HR Muslim 4888) Link:
Dalam hadits tersebut pada kalimat yang artinya “Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada yang samar dari-Mu” maka kita dapat simpulkan terjemahannya “tidak ada yang mentupi-Mu” maknanya adalah tidak ada apapun di atas Allah ta’ala sedangkan terjemahannya “tidak ada yang samar dari-Mu” maknanya adalah tidak ada apapun di bawah, di kiri, di kanan, di depan, di belakang Allah ta’ala, tidak ada yang menghalangi manusia untuk melihat Rabb.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam tulisan pada
Manusia terhalang atau terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Seluruh perkataan/pendapat ulama Salaf atau seluruh lafadz-lafadz atau dalil naqli yang diterjemahkan sebagai Allah ta’ala “di langit” atau Allah ta’ala “di atas ArsyNya” atau “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 ) sebaiknyalah tidak dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla atau keberadaan bagi dzatNya.
Hakikat “di langit”, “di atas” bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai padanan pengagungan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Jadi jelaslah bahwa mereka masih bertanya-tanya “di mana Allah” atau mereka berkeyakinan bahwa Allah ta’ala bertempat di atas ‘Arsy, pada hakikatnya mereka menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat Rabb dengan hati mereka.
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar