Dalam tulisan sebelumnya
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/26/tips-sholat-khusyu/ telah diuraikan bahwa tujuan mendirikan sholat adalah untuk mengingat Allah , menuju (mi’raj) kepada Allah, seolah dihadapan atau berjumpa kehadhirat Allah untuk menyembahNya, sehingga kita dapat terhubung / sampai (wushul) kepada Allah dalam upaya kita untuk mendapatkan pertolongan Allah.
Dalam sebuah nasehat yang disampaikan oleh ulama sufi, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan,
“Seandainya Anda tidak dapat sampai / berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya.
Tetapi apabila Allah menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya , kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya.
Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”
Seorang hamba tidak akan bisa sampai berjumpa (wushul) kehadhirat Allah SWT, kecuali dengan jalan melebur dan menghapus sifat-sifat kemanusiaannya yang rendah (menyingkirkan sifat-sifat hawa nafsu manusianya dari dalam diri dan jiwanya) dan memutuskan hati dari segala keterkaitan dengan yang selain Allah atau menanggalkan sifat syrik dan kemaksiatan diri dalam kehidupannya.
Hal ini, bukanlah sesuatu yang mudah dari sisi si hamba, karena hal itu merupakan sifat-sifat keniscayaan yang melekat kepadanya. Seandainya bukan karena kehendak Allah SWT, yang memberinya kemampuan untuk membersihkan diri dari sifat-sifat itu, tentu dia selamanya tidak akan bisa sampai kehadhiratnya.
Tetapi ketika Allah sudah menghendaki, tidak ada sesuatupun yang sulit bagiNya. Pertolongan Allah itu, semata-mata sebagai anugerah dari-Nya. Allah mengasihi hamba-Nya, Dia menutup atau menanggalkan dari diri hamba itu, sifat-sifat kemanusiaannya yang rendah dengan sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Syaikh Abu Abbas Al-Mursyi berkata: ‘Soerang wali tidak akan bisa sampai berjumpa ke hadhirat Allah, selama ia belum bisa memutus syahwat dan keinginannya sendiri untuk sampai kepada Allah Ta’ala”
Syaikh Abu Hasan Asy Syadzili berkata: “Seorang wali tidak akan bisa sampai berjumpa ke hadhirat Allah, selama ia masih menyertakan syahwat dan keinginannya, pengaturan dan ikhtiarnya serta masih masih terikat dengan urusannya sendiri.”
Apabila Allah SWT. Membiarkan seorang hamba masih terbelenggu dengan nafsunya dan terikat dengan kemauannya sendiri, maka selamanya ia tidak akan bisa sampai berjumpa kehadhirat Allah SWT.
Apabila Allah Ta’ala berkehendak memberi karunia kepada hamba-Nya agar segera sampai kepadaNya, sehingga tanggallah dari dirinya ketergantungan dan keterikatan hamba itu dengan dirinya sendiri dan dengan urusan keduniaannya. Lalu Allah memunculkan dan menampakkan sifat-sifat kesucian yang menanggalkan sifat-sifat kemanusiaan yang rendah pada hamba itu dan memberinya anugerah (pertolongan) untuk bisa sampai kehadhirat-Nya.
Bila hal demikian terjadi pada seorang hamba, maka itu sebagai tanda dari sebuah anugerah besar baginya, yaitu memperoleh kecintaan Allah SWT. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:
“Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku”
Dengan demikian, maka hamba itu, tidak lagi memiliki pengaturan, kehendak dan pilihan melainkan pengaturan, kehendak dan pilihan Allah SWT semata. Dalam kondisi demikian, ia akan bisa sampai kehadhirat Allah SWT (wushul) dengan anugerah (pertolongan) Allah semata, bukan atas kehendak dan amal ibadahnya sendiri.
Maha Suci Allah Yang memberikan anugerah besar kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Sumber: (kompilasi dari)
1. Menyelam ke Samudera Ma’rifat & Hakekat, terjemahan Al-Hikam, Syaikh Ibnu Athoillah, Penerbit Amelia Surabaya.
2. Mutu Manikam dari kitab Al-Hikam, terjemahan Al-Hikam, Syaikh Ibnu Athoillah, Penerbit Mutiara Ilmu Surabaya.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar