Mereka berdalil namun tidak mengikuti pemahaman

Mereka berdalil namun tidak mengikuti pemahaman jumhur ulama
Dalam uraian kami sebelumnya pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/06/mencari-pengakuan/ kami mempertanyakan apakah mereka mulai mempertanyakan apa yang mereka pahami selama ini sehingga membutuhkan pandangan dari MUI Kota Administrasi Jakarta Utara.
Mereka menyampaikan bahwa apa yang mereka pahami selama ini adalah benar karena mengikuti pengamalan Salafush Sholeh.
Pertanyaanlah adalah bagaimana mereka mengetahui pengamalan Salafush Sholeh yang sebenarnya karena mereka tentu tidak lagi melihat atau menyaksikan bagaimana pengamalan Salafush Sholeh.
Contohnya, salah satu ulama panutan mereka ulama Al Albani yang menulis kitab berjudul “Sifat Sholat Nabi”.  Bagaimanakah ulama Al Albani melihat cara sholat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam ?
Beliau “melihat” cara sholat melalui pemahaman terhadap lafaz/tulisan  Al Qu’ran dan Hadits. Pemahaman beliau belum tentu benar dan beliaupun tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid.
Yang pasti benar hanyalah lafaz/tulisan Al Qur’an dan Hadits.
Lebih aman kita mengikuti apa yang telah disampaikan oleh para Imam Mazhab yang empat dalam kitab-kitab fiqih mereka yang merupakan hasil melihat langsung pengamalan sholat , minimal dari apa yang dicontohkan oleh para Tabi’ut Tabi’in. Mereka telah diakui  berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Lebih aman pula kita mengikuti apa yang telah disampaikan ulama yang sholeh yang bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah. Mereka “melihat” cara sholat melalui apa yang disampaikan dari lisan ke lisan dan percontohan ulama-ulama sebelumnya hingga kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Lebih aman pula kita mengikuti apa yang telah disampaikan para Habib atau para Sayyid yang mempunyai hubungan dengan Rasulullah.  Mereka “melihat” melalui lisan ke lisan dan pencontohan dan didikan dari keluarga mereka sebelumnya hingga kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Tanyakanlah kepada para Habib dan para Sayyid,  bagaimana pendapat mereka terhadap penyeragaman pemahaman di wilayah kerajaan dinasti Saudi yang mengikuti pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan meninggalkan pemahaman para Imam Mazhab yang empat
Apakah para Habib dan para Sayyid   masih “memandang” apa yang dihasilkan Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi ?
Komite yang berpendapat bahwa Al-Baihaqy, An-Nawawy dan Ibnu Hajar dalam hal sifat-sifat Allah telah jatuh dalam kebid’ahan sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/07/klaim-mereka/
Komite tersebut melakukan pemahaman secara Ilmiah yakni lebih memperhatikan bahasa (lughat) dan istilah (terminologis) , mereka melupakan hikmah sebagaimana yang dikaruniakan Allah Azza wa Jalla kepada para Ulil Albab
Ulil Albab adalah mereka yang menggunakan dalil aqli atau akal qalbu atau mereka yang menggunakan hati. Ulil Albab berasal dari lubb, qalb atau hati.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.’
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35)

“Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS An Nuur [24]:40 )
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya) ? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az Zumar [39]:22)
Dengan hati mereka mendapatkan cahayaNya atau petunjukNya untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Sebagai contoh ketika memamahami ayat-ayat sifat Allah sebagaimana contohnya para ulama pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi yang menguraikan Aqidatul Khomsin, Lima puluh Aqidah yang terkenal dengan istilah “sifat wajib bagi Allah”.
Aqidatul Khomsin yang ditinggalkan oleh segelintir ulama mereka karena mereka menganggap sebagai kebid’ahan atau tidak dikatakan oleh Allah ta’ala maupun RasulNya
Aqidatul Khomsin adalah istiqra (hasil telaah) dari dalil naqli (Al Qur’an dan Hadits) yang menjadi dalil aqli untuk sebagai pedoman kita memahami ayat-ayat tetang sifat Allah. Tentang Aqidatul Khomsin, ada sedikit diuraikan dalam tulisan pada
dan
Tentang dalil akal telah diuraikan dalam tulisan pada
dan pada
Jika memahami Al Qur’an dan Hadits dengan hanya bersandar pada filsafat atau olah pikir manusia atau menggunakan akal pikiran / rasio / otak atau pemahaman secara ilmiah tanpa menggunakan hikmah yang dikaruniakan Allah Azza wa Jalla maka kemungkinan besar akan tersesat
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani, mereka tersesat dan dimurkai karena mereka menggali atau mencari kebenaran hanya dengan pemahaman ilmiah karena mereka tidak dikarunia Allah ta’ala dengan pemahaman secara hikmah. Mereka tidak dikaruniai oleh Allah ta’ala akan pemahaman secara hikmah  karena mereka tidak bersyahadat
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Buya Hamka menjelaskan makna hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut:
”Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa.  Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah.”

Kita kaum yang telah bersyahadat kenapa hanya menyandarkan kepada pemahaman secara ilmiah.
Para ulama-ulama kita terdahulu mereka melepaskan dari “keliaran” akal pikiran dan berharap dapat memahami melalui akal qalbu dalam masalah-masalah yang sulit dipahami  maka mereka akan melakukan sholat sunnat 2 rakaat atau mereka berpuasa terlebih dahulu. Minimal ketika mereka menjawab masalah-masalah dengan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits mereka akan mengawalinya dengan seperti “Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”
Mereka yang hanya menggunakan akal pikiran / rasio / otak atau pemahaman ilmiah adalah mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai pemahaman yang tidak melewati tenggorokan atau pemahaman yang tidak menggunakan lubb. qalbu atau hati. Pemahaman mereka yang telah keluar dari pemahaman jumhur ulama atau as-sawaad al-a’zhom
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mereka yang keluar dari pemahaman jumhur ulama atau as-sawaad al-a’zhomadalah yang dikatakan sebagai khawarij.  Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Salah satu contoh khawarij  ketika masa Sayyidina Ali ra. adalah mereka yang salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Barang siapa yang membuat keputusan hukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka ia adalah kafir” (QS Al-Maidah: [5]: 44)
Mereka yang pemahaman telah keluar dari pemahaman kaum muslim mengeluarkan semboyan: “La hukma illah lillah”, tidak ada hukum melainkan hanya dari Allah. Ketika disampaikan kepada Sayyidina  ‘Ali semboyan orang khawarij ini,  beliau menjawab:  “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan atau makna atau pemahaman yang salah)
Orang yang membunuh Sayyidina Ali ra bernama Abdurrahman ibn Muljam. Siapa pun tidak akan menyangka bahwa pembunuh ini sebenarnya sangat tidak pantas menjadi seorang pembunuh, apalagi membunuh Sayyidina Ali ra yang sudah dijanjikan Allah Subhanahu wa ta’ala  akan masuk surga.
Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Umar ibn Khattab, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash.
Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Ali ibn Abi Thalib.
Mereka yang pemahamannya keluar dari pemahaman kaum muslimin juga terjadi pada zaman Rasulullah sebagaimana yang terurai dalam hadits berikut.
“Abu Al-Yaman telah menceritakan pada kami, Syuaib telah mengabarkan pada kami dari Al-Zuhri, ia berkata: Abu Salamah ibn Abdurrahman telah mengabarkan kepadaku bahwa Abu Said Al-Khudri r.a. berkata, “Ketika kami berada di samping Rasulullah, sementara Beliau sedang membagikan bagian harta (rampasan perang), datang kepadanya Dzul Huwaishirah. Ia adalah seorang laki-laki dari Bani Tamim. Kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah Engkau!” Rasul pun menjawab, “Celakalah engkau! Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berlaku adil? Kau pasti akan kecewa dan merugi kalau aku tidak berbuat adil.” Umar kemudian berkata, “Izinkan aku, wahai Rasulullah, untuk memukul tengkuknya.” Beliau menjawab, “Biarkan saja dia. Sebab, dia memiliki teman-teman yang menganggap sholat kalian belum seberapa baik dari sholat mereka, begitu pula dengan shaum kalian dibandingkan dengan shaum mereka. Mereka membaca Al-Quran, tapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka. (HR Bukari 3341)
Mereka yang keluar dari pemahaman jumhur ulama  (as-sawad al a’zham) pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  dan masa Sayyidina Ali ra akan terjadi pula sampaik akhir zaman.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham.  Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).
Akan timbul sampai akhir zaman, mereka-mereka yang sering menggunakan dalil dari Al Qur’an dan hadits dengan akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka salah paham. Mereka mengada-ada perkara kewajiban, larangan dan pengharaman berlandaskan kesalahpahaman-kesalahpahaman mereka.
Contohnya karena kesalahpahaman mereka sehingga mereka menyampaikan atau menetapkan larangan yang sebenarnya tidak pernah dilarang oleh Allah ta’ala maupun tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Perkara kewajiban, larangan dan pengharaman adalah merupakan hak Allah ta’ala semata.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Barangsiapa yang  menetapkan perkara kewajiban, larangan dan pengharaman tanpa  landasan Al Qur’an dan Hadits maka diantara mereka yang menetapkan dan mengikutinya adalah penyembahan diantara mereka.  Inilah yang dimaksud bi’dah dlolalah dan segala kesesatan tempatnya di neraka karena menyembah kepada selain Allah ta’ala.
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Penetapan larangan  yang tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah kejahatan
“Sungguh sebesar-besarnya kejahatan diantara kaum muslimin adalah orang yang mempermasalahkan hal yang tidak diharamkan/dilarang, kemudian menjadi diharamkan/dilarang karena ia mempermasalahkannya“. (HR. al-Bukhari)
Jadi berhati-hatilah jika apa yang kita pahami berbeda dengan pemahaman jumhur ulama.  Contohnya jangan menyelisihi pemahaman jumhur ulama seperti apa yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i  ~rahimahullah bahwa “Allah ta’ala ada tanpa permulaan dan tanpa tempat”.  Pemahaman beliau diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/06/tanpa-tempat/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar