Hal yang dikhawatirkan Rasululullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “ada zamannya ulama (ahli ilmu) membaca Al-Qur’an dan hadits namun tidak melampaui kerongkongan mereka”, semakin dapat kita saksikan di zaman modern ini.
Sebagian Ulama (ahli ilmu) di zaman modern ini membangun keyakinannya secara ilmiah (alasan logis) atau keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka mereka membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan.
Mereka akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Ada kita temukan diantara mereka berselisih, sehingga mereka beradu argumen dan bersepakat bahwa yang “kalah” dalam adu argumen akan mengikuti keyakinan yang “menang” dalam adu argumen. Keyakinan secara ilmiah dan rapuh.
Mereka memandang nash-nash Al-Quran dan hadits bagaikan bukti-bukti atau premis-premis yang berdiri sendiri. Sehingga mereka mengkaitkan diantara premis-premis yang ada untuk mendapatkan pemahaman yang shahih menurut logika atau masuk akal.
Oleh karenanya mereka mungkin saja berpendapat bahwa pemahaman yang shahih menurut logika atas mengkaitkan beberapa nash-nash Al-Qur’an dan hadits (premis-premis) namun kenyataannya menurut kita pemahaman yang salah, misalnya karena mereka tidak memperhatikan asbabun nuzul atau hubungan nash-nash Al-Qur’an dan hadits satu dengan yang lainnya.
Ulama (ahli ilmu) tersebut menyusun 10 hal pembatalan keislaman yang kadang disalahgunakan untuk pentakfiran saudara muslim lainnya
Marilah kita periksa salah salah satu poinnya .
Muslim yang membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, meskipun ia sendiri mengamalkannya. Orang yang sedemikian ini adalah kafir karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman yang artinya “Demikian itu adalah dikarenakan mereka benci terhadap apa yang di turunkan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka Allah (Subhanahu wa Ta’ala) menghapuskan (pahala ) segala amal perbuatan mereka”. ( QS Muhammad [47]: 9 ).
Sekilas kita memahami bahwa tampaknya kesimpulan pendapat itu benar dan diikuti hujjah/dalil yang sesuai maknanya.
Hujjah/dalil memang sesuai maknanya namun mereka berdalil tidak sesuai karena firman Allah ta’ala dalam (QS Muhammad [47]: 9 ) bukan terhadap orang muslim. Namun “mereka benci’ yang dimaksud dalam firman Allah ta’ala tersebut adalah orang-orang kafir karena terkait dengan ayat sebelumnya ( QS Muhammad [47]: 8 ) yang artinya “Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka.”
Mereka menggunakan dalil/hujjah untuk orang kafir bagi menjustifikasi saudara muslim sendiri.
Baiklah kita ikuti cara pemahaman mereka dengan pemahaman secara deduktif
Premis pertama
Mereka yang benci terhadap apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang kafir
Premis kedua
Muslim yang membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, meskipun ia sendiri mengamalkannya adalah telah kafir
Perlu ditambah satu premis lagi agar pemahaman tersebut benar secara logika
Kita tahu bahwa perkataan yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam adalah berdasarkan wahyu.
Sehingga kesimpulannya muslim yang membenci yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam , meskipun ia sendiri mengamalkannya sama dengan membenci yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Secara logika atau secara akal (tidak melampaui kerongkongan) , pemahaman tersebut adalah benar.
Namun pada kenyataannya atau kita pahami lebih dalam (hikmah) adalah sulit mengetahui apakah seorang muslim membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, meskipun ia sendiri mengamalkannya
Bagaimana mereka tahu seseorang membenci padalah orang itu mengamalkan ?
Apakah mereka dapat mengetahui isi hati orang lain.
Batasan pembatalan Islam itu benar secara makna atau logika (ilmiah) namun tidak sesuai peruntukan dalillnya dan realitanya sangat sulit diterapkan.
Itu sama saja para ulama (ahli ilmu) itu mengajak untuk mentakfirkan muslim yang lainnya hanya berdasarkan prasangka buruk semata.
Batasan pembatalan Islam yang telah disusun oleh mereka adalah batasan yang mengada-ada dan perkara baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maupun oleh para Salafush Sholeh.
Keyakinan bukan berasal dari alasan logis atau keilmiahan melainkan tercurah dari lubuk hati (melampaui kerongkongan).
Al Ajurri rahimahullah dalam kitabnya Asy Syariah menceritakan dengan sanadnya bahwa suatu hari ketika Imam Malik bin Anas rahimahullah pulang dari masjid, ada seorang bernama Abul Juwairiyah (seorang yang disebutkan mempunyai pemikiran murji`ah) berkata kepadanya ‘Wahai Abu Abdillah (kun-yah / panggilan Imam Malik) dengarkan aku sebentar, aku ingin berbicara denganmu, membawakan hujjahku dan pendapatku’
Imam Malik balik bertanya “Kalau kamu mengalahkanku dalam berdebat?”
Dia menjawab ‘ Kalau aku menang, maka kau harus mengikutiku’
Imam Malik kembali bertanya “Kalau ada orang lain datang kemudian mendebat kita dan menang?”
Dia menjawab ‘Kita akan mengikutinya’
Imam Malik kemudian berkata “Wahai hamba Allah, Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu agama, sedangkan aku melihatmu berpindah dari satu agama ke agama lain. Umar bin Abdul Azizi berkata: “Barangsiapa menjadikan agamanya tempat berdebat dia akan banyak berpindah.”
Dengan sanad yang lain, Al Ajurri menceritakan bahwa suatu hari datang seorang laki-laki ke Hasan al Bashri dan berkata ‘Wahai Abu Isa (panggilan Hasan) kesinilah aku akan mendebatmu dalam hal agama!’ Maka Hasan al Bashri rahimahullah berkata “Adapun diriku, maka aku tahu apa agamaku, jika kau kehilangan agamamu maka carilah sendiri.”
Inilah sikap yang diambil oleh ulama yang paham tentang makna agama ini yang juga harus menjadi sikap kita dan sikap setiap muslim dalam menghadapi banyaknya kelompok Islam pada zaman sekarang ini. Hendaknya kita mengikuti agama yang kebenaran hanya satu ini dan tidak menjadikan agama dan keyakinan kita mengikuti orang lain yang lebih pintar berdebat dari kita. Ikutiah Islam sebagaimana dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, diikuti oleh para sahabat radliyallahu ‘anhum dan diteruskan para ulama sholeh kita. Ulama yang sholeh telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/10/ulama-yang-sholeh/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogror 16830
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar