Memaknai diatas langit dengan mata hati

Kita ketahui sebagian muslim dalam upaya mereka mengikuti Sunnah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in mereka menggunakan metode pemahaman secara lahiriah atau tekstual atau dengan kata lain ibarat menggunakan “mata kepala”.
Lain dengan umat muslim pada umumnya dalam metode pemahaman dengan “mengambil pelajaran” atau dengan kata lain ibarat menggunakan “mata hati” atau bashirah atau dikatakan juga, metode pemahaman dengan “mendalami”, “merasakan”, “mengalami” sesuai kehendak Allah dan kita berserah diri padaNya, kita tidak bersandar pada ilmu semata. .
Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Sedangkan sebagian muslim dengan  metode pemahaman secara lahiriah atau tekstual, merupakan atas upaya/kehendak mereka sendiri berdasarkan ilmu yang mereka kuasai. Wallaahu a’lam
Sebagai contoh mereka sangat gemar menggunakan hadits berikut dan dalil-dalil lain yang sama bunyinya sebagai pembenaran pemahaman mereka bahwa Allah “di atas langit”, Subhanallah,  Maha Suci Allah dari kebutuhan tempat maupun arah.
Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.
Imam An-Nawawi didalam syarah Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits Jariyah ( budak perempuan ) yang ditanya Rasulullah SAW ;
“Dimanakah Allah” . ( Shahih Muslim no:537)
Imam Nawawi berkomentar : Hadits ini termasuk hadits-hadits yang menceritakan sifat, dalam permasalahan ini terdapat dua mazhab :
1 – Percaya dengan hadits tersebut tanpa mendalami maknanya, juga beri`tikad bahwa Allah SWT tidak seperti sesuatu, dan Maha suci dari ciri-ciri makhluk.
2 – Menta`wilkan hadits ini dengan apa yang patut kepada Allah, siapa yang berkata seperti ini , maka mereka berkata : Tujuan Rasul bertanya kepada Jariah untuk mencoba keimanannya, apakah dianya beriman dan mengakui yang menjadikan dan yang mengatur dan memperbuat sesuatu adalah Allah, Dialah Allah yang apabila memohon seorang , maka akan menghadap kelangit, sebagaimana apabila shalat seseorang maka akan menghadap ke Ka`bah, bukan maksudnya Allah itu berada di langit sebagaimana juga bukan maksudnya Allah itu berada di arah Ka`bah, bahkan yang yang dimaksud ialah langit adalah qiblat untuk orang berdo`a, dan Ka`bah qiblat orang yang shalat, ataukah dianya ( Jariyah ) termasuk penyembah berhala yang ada dihadapan mereka, maka manakala dia menjawab : dilangit, maka tahulah Rasul bahwa Jariyah itu telah beriman, dan bukan tergolong penyembah berhala.
(Syarah Shahih Muslim karangan Imam Nawawi : 3 / 30 , terbitan Dar al-Hadits, Cairo).
al-Hafiz Abi al-Abbas Ahmad Bin Umar Bin Ibrahim al-Qurthubi di dalam syarah Muslim karangannya :
“Pertanyaan ini diarahkan Rasul kepada Jariyah atas dasar kemampuan pemahamannya, karena Rasul ingin menyatakan darinya bahwa dia bukan penyembah behala, dan batu yang terdapat di bumi, maka Jariyah menjawab dengan demikian ( di langit ), seolah-olah dia menjawab sesungguhnya Allah bukanlah jenis yang berada di bumi.
Kemudian beliau meneruskan perkataannya : ” Tidak boleh diucapkan seperti itu kepada Allah secara hakikat, karena Allah suci dari tempat, sebagaimana juga Allah suci dari masa, bahkan dia yang menjadikan masa dan tempat, senantiasa Allah ada tidak diiringi oleh masa dan tempat, dan Dia ( Allah ) juga sekarang demikian”.
Kemudian beliau menambahkan perkataanya : ” Perlu kamu ketahui ! Sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat diantara umat islam, baik dari golongan ahli hadits, ahli fikih, ahli tauhid, orang yang bertaqlid ( mengikut pendapat ulama ) dan yang seumpama mereka, berpendapat bahwa sebutan yang terdapat didalam al-Qur`an dan hadits, yang mengungkapkan Allah di langit seperti ayat ( أأمنتم من في السماء ) bukan dimaksud secara zhohir ( hakikat), sesungguhnya ayat ini ditakwilkan oleh mereka.
Kemudian beliau menutup keterangannya dengan ungkapan : Siapa yang memahami ayat tersebut dengan secara zhahirnya ( hakikatnya ) maka dia adalah orang yang sesat dari kumpulan orang yang sesat.
( al-Mufham Lima Usykila min Talkhish Kitab Muslim , karangan al-Hafizh Abu Abbas Ahmad Bin Umar Bin Ibrahim al-Qurthubi, : 2 / 113-115 terbitan Maktabah Taufiqiyah, Mesir )
Imam Abu Abdullah Muhammad Bin Ahmad al-Anshori dalam tafsirnya :
Maksudnya ialah membesarkan dan mensucikannya dari tempat bawah dan kerendahan, dan mensifatkannya dengan sifat tinggi dan besar, bukan mensifatkannya dengan tempat, arah, dan batas-batas, karena itu sifat-sifat ajsam ( benda ), adapun sebab di angkatnya tanganva ketika berdoa ke langit, karena langit tempat penurunan wahyu, turunnya hujan, tempat yang suci, tempat makhluk-makhluk yang suci dari malaikat, diatasnya `Arasy dan surganya, sebagaimana Allah menjadikan Ka`bah sebagai qiblat do`a dan shalat, sebab Allah menjadikan tempat tetapi tidak memerlukan tempat, adanya Allah pada Azali sebelum menjadikan tempat dan masa, tidak beserta tempat dan masa, demikian juga setelah terciptanya tempat dan masa tidak bersama tempat dan masa.
( al-Jami` Lil Ahkam al-Qur`an, karangan Imam Abu Abdullah Muhammad Muhammad Bin Ahmad al-Anshori : 9 / 436 , Dar al-Hadits Cairo ) ,

48 Tanggapan
Banyak sekali dalil yang mengatakan Allah berada di atas langit baik dari qur’an maupun hadits dan para salaf yang membenarkannya..
Nabi SAW pergi ke langit ketujuh untuk menemui Allah
Fir’aun membangun tembok untuk mencari bukti bahwa Allah ada di atas.
Kesalahan yang dilakukan Asyariyah adalah pertama menggambarkan caranya, lalu karena tidak masuk ke dalam aqal mereka, maka mereka menolaknya..
mereka ingin mensucikan Allah tapi caranya salah.



Menyatakan bahwa allah berada di arsy sama saja menyatakan allah membutuhkan tempat.Segala sesuatu yang membutuhkan tempat adalah mahluk.sedangkan allah tidak sama dengan mahluk dan tidak ada apapun yang menyerupaiNya.Pemikiran mazhab taimiyah dan wahabi memang keras kepala dan banyak ulama-ulama islam yang sejaman dengan taimiyah menghukum sesat beliau.Hanya saja kebodohan dan kekerasan hati para kaum wahabi yang berkiblat kepada ibnu taimiyah menyebabkan mereka buta terhadap hal ini.
Tidak akan ada habisnya membicarakan hal seperti ini terhadap orang-orang yang sering mengkafirkan dan menyesatkan golongan lain,seakan-akan merekalah yang paling benar sendiri.




bukankah asy’ariyah juga merasa aswaja dan paling benar sendiri? dan mengatakan wahabi dan muta’jilah itu sesat?
sama saja pemikiran anda juga keras.
Ngomong-ngomong mengkafirkan, siapa yang menkafirkan dan siapa yang dikafirkan.
Mestinya kalau ada yang bertanya Allah ada dimana, kalau memang anda asy’ariyah maka tak usah dijawab dong karena pertanyaan itu adalah pertanyaan bid’ah munkar menurut anda, gak usah dijawab bahwa Allah ada dimana-mana.
Allah itu bersemayam di atas langit, nabi SAW sewaktu isra mi’raj pernah kesana.



bukankah asy’ariyah, muta’zilah, syi’ah dan yang sepaham dengannya mengatakan bahwa orang yang mengatakan Allah di langit maka dia KAFIR.
kalau begitu berapa banyak orang yang dikafirkan oleh anda, dari mulai para nabi, sahabat, para ulama dan bahkan orang awam yang mengatakan “TERSERAH YANG DI ATAS”….berarti mereka KAFIR dong?
bukankah mereka menuduh wahabi itu mujasimmah yang KAFIR.
siapa yang mengkafirkan dan siapa yang dikafirkan.



Itulah biasanya kaum salafi yang berkedok wahabi menjawabnya.
Allah ta’ala berfirman: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. as-Syura: 11).
Dengan menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat dan menyerupakan dengan mahluknya berarti dia mujasimah, dan siapakan kaum mujasimmah itu???
Saya kira ayat diatas menjawab apa yang selama ini anda yakini. Allah bersemayam di arsy jangan diartikan secara lugas dan harfiah bung. Anda katakan bahwa asy’ariyah, muta’zilah, syi’ah adalah sama,anda sangat keliru sekali. Mengkafirkan???Jelas sekali golongan wahabi banyak mengkafirkan akidah yang tidak sejalan dengan ajaran mereka.
Sudahlah,,akidah anda milik anda dan akidah saya milik saya,,seperti air dan minyak tidak akan pernah bersatu.Saya yakini apa yang saya benar menurut apa yang saya yakini, dan saya rasa andapun begitu.



Ya sudah kalo anda lelah & cape … saya gak cape koq ….



Allah ada, tidak ada keraguan akan ada-Nya. Ada tanpa
disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat dan arah. Diatidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.




Allah ada, tidak ada keraguan akan ada-Nya. Ada tanpa
disifati dengan sifat-sifat makhluk dan ada tanpa tempat dan arah. Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya.




Allah mempunyai sifat melihat dan mendengar.
Sama makhluk juga mempunyai sifat itu, namun tidak bisa disamakan dan diserupakan dari segi kesempurnaannya dan caranya.

So kenapa susah untuk menerimanya. Nabi SAW juga tidak pernah ragu menyampaikan ayat-ayat samar kepada umatnya. kenapa mereka harus ragu? aneh.



karena pemahaman kaum salafi dangkal dan keras kepala..males ah ngeladeni orang kayak lo,,jelas2 banyak ulama jaman sekarang dan dahulu yang mengatakan pemikiran2 seperti anda itu sesat.ngapain juga mesti diikuti.



pada 16 Mei 2010 pada 11:10 am | Balassalafi wahabi
Tuh kan .. siapa yang sebenarnya nuduh sesat…



bung dasar yang anda katakan itu dipelajari di sifat 20 yang anda dan kaum anda katakan bid’ah,,dan saya setuju dengan yang anda katakan allah mempunyai sifat melihat bdan mendengan,bukan hanya itu masih ada sifat wajib lainnya yang dimiliki oleh Allah.Tapi yang keliru,jika menyebutkan allah bersemayam di arsy,,jelas itu pemikiran kaum mujasimmah.



pada 16 Mei 2010 pada 11:16 am | Balassalafi wahabi
Allah SWT bersemayam di arsy. banyak dalilnya.
Kemudian Allah bersemayam di atas arsy.
sebelum di atas arsy saya gak tau Allah ada dimana.
karena gak ada beritanya juga.
tapi kalau ditakwilkan dengan :
Kemudian Allah menguasai arsy, berarti Arsy waktu itu belum dikuasai Allah.
kalau ditakwilkan dengan :
Kemudian Allah menuju arsy.
berarti kalimat ‘menuju’ itu pergerakan dari titik A ke titik B. berarti Allah bergerak menuju Arsy.
mana jawaban yang lebih benar ?



bung,ngaji sifat 20 yu,,biar anda faham bahwa faham yang anda yakini saat ini keliru.



pada 18 Mei 2010 pada 8:49 am | Balasmutiarazuhud
Yup benar, Akh Danie, ngaji sifat 20 adalah salah satu sarana mengenal Allah (ma’rifatullah)



pada 18 Mei 2010 pada 10:42 pm | BalasSALAFI WAHABI
Kalau baca kitab gak boleh, pastinya imam Asy’ariy gak bakal nyiptain kitab-kitab untuk dibaca dan disebarkan, cukup disuruh ngaji sama dia aja di majlisnya lalu suruh sampaikan ke anak cucunya.
Perasaan saya pernah dengar metoda itu, yaitu jangan belajar dari buku tapi mesti dari ustad yang sanadnya dijamin langsung dari Rasulullah, kalau gak salah LDII.
Biar kita perinci masalahnya….
as’yari mengingkari sifat tangan, kaki, betis, wajah, dll.
sementara wahabi menetapkan secara zahirnya.
itu saja … soal masalah sifat 20 gak ada hubungannya.



saya bilang ngaji,,bukan kembali ke buku yah,,beda lohh..kalo kita ngaji ma guru ngaji yang sanadnya bisa ditelusuri sampaim jaman salaf dan ke rosululloh,,itu lebih kuat daripada belajar melalui buku2 yang dikarang oleh orang2 yang mempunyai kepentingan tertentu.Banyak buku2 yang beredar sekarang ini diputarbalikan,sehingga yang diterima dan dibaca adalah hasil rekayasa faham tertentu.bukankah belajar ama buku itu sama aja belajar ama setan



pada 18 Mei 2010 pada 10:45 pm | BalasSALAFI WAHABI
belajar sama buku dikatakan sama belajar dengan setan ?
Siapa orang berakal yang pernah menciptakan kata2 seperti itu ?



belajar buku tanpa guru maksudnya fi,,gituaja kok marah…..



pada 22 Mei 2010 pada 1:21 pm | Balassalafi wahabi
oh.. pakai sanad juga ya … untuk apa sanad shahih kalau dasarnya takwil / akal.



pada 22 Mei 2010 pada 1:06 pm | Balassalafi wahabi
Okelah klo begitu contohkan….



dasarnya mengzohirkan semuanya,dimana maknanya dimakan mentah2…wah..wah..wah,,aya2 wae.mengatakan allah berada di arsy????mengzohirkan ayat tersebut???emang dasarnya udah lier,,ya ampe urusan kecil aja jadi lier,,sebab orang2nya lalier…ckckckkkk..fi..fi..fiiii,,malang bgt nasib lo



fi,,,,,udah ratusan ulama mentakwilkan ayat2 yang apabila dizohirkan akan bertentangan dengan ayat yang lainnya.lo baca aja dech blog ini,,,jawabanyya udah jelas,,ngapain juga dipermasalahkan,,yang perlu dipermasalahkan adalah kenapa mazhab seperti yang anda pegang tetap dipertahankan..aya-aya wae entemah,,kebanyakan makan daging onta yah ckckckkkkkk



pada 25 Mei 2010 pada 12:17 pm | Balassalafi wahabi
Ratusan ulama ??? ya iyalah emang ulama asy’ariyah dan para habib ….
Lalu bagaimana anda membatalkan ucapan nabi muhammad, nabi Musa, seorang budak yang ditanya nabi, Umar bin khatab, Aisyah, Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy ?
Mau kamu tinggalin demi ‘mengagungkan’ Allah menurut pemahaman Asy’ariyah?



Allah kan pencipta…
ALlah kan maha Esa/ahad
Allah kan qiyamuhu binafsihi/Allahusshamad
Allah kan tidak serupa dengan makhluqNya/walam yakun lahu kufuwan ahad..

jelas sekali surat al Ikhlas ini, maknannya mutlak, sangat mudah dipahami, jelas,,,
Allah kan Pencipta…
maka Pencipta pasti bukan tercipta…

maka bagaimana ada orang yang menggambarkan ALlah seperti makhluqNya, dengan terikat waktu, tempat dan arah…
Allah diibaratkan terikat makhluq, berarti sama saja mengatakan tangan Allah terbelenggu…
yahudi mengatakan tangan Allah terbelenggu…
padahal Allah bukan Dzat yang bertubuh, memiliki anggota tubuh, karena memiliki tubuh adalah ciri khusus makhluq…



pada 23 Mei 2010 pada 11:13 am | BalasYusuf Ibrahim
Sekarang coba perhatikan wahai orang yang berakal, kisah Fir’aun bersama Nabi Allah Musa ‘Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir’aun telah mendustakan Musa yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit :
Artinya :

”Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38).
Renungkanlah wahai orang yang berakal !. Perintah Fir’aun kepada Haman -menterinya- untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk melihat Tuhannya Musa. Hal tsb menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit-.
Seandainya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada dimana-mana tempat (karena tidak membutuhkan tempat), tentu Fir’aun yang disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan memerintahkan dan mengerahkan seluruh bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa dengan perkataannya (bahwa Allah berada diatas langit), Fir’aun mengingkari Nabi Musa dengan berkata : ”Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !”. Yakni tentang perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit.
Maka, barangsiapa yg tidak percaya bahwa Allah berada diatas langit, lalu apa bedanya dia dengan Fir’aun?
Tapi Ingat ! mengimani Allah berada di atas langit tanpa menanyakan bagaimana cara Ia berada di langit karena Imam Malik berkata ketika beliau ditanya :
”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy ?. Beliau menjawab :

”Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid’ah”.
(baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46).



pada 23 Mei 2010 pada 11:19 am | BalasYusuf Ibrahim
Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanklah hasil dari pikiran saya, akan tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya :
1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya ”At-Tauhid” (hal : 114-115) diantara keterangannya :”Perkataan Fir’aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir’aun :” Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas”.
2. Berkata Imam Al-Asy’ary setelah membawakan ayat di atas : ”Fir’aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit” (Al-Ibanah : 48).
3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya ”Raddu ‘Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : ” Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir’aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi”.
4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya ”Itiqad Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits wal A’imah ” (hal : 15) : ”Bahwasanya Fir’aun mengatakan demikian (yakni menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Nabi Musa menerangkan bahwa Tuhannya berada diatas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : ”Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta” yakni tentang perkataan Musa : ”Sesungguhnya di atas langit ada Tuhan”.
5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya :”Berkata Fir’aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan kepadaku : ”Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit”. Kemudian beliau menerangkan : ”Kalau sekiranya Musa mengatakan : ”Sesungguhnya Allah berada di tiap-tiap tempat dengan Dzatnya, nisacaya Fir’aun akan mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari yang demikian- tentu Fir’aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang tinggi”. (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73).
6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : ”Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa mengatakan (kepada Fir’aun) : ”Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir’aun menuduhnya berdusta”. (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80).
7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya ”An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa ‘Alaa” (hal : 23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : ”Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun berkata : ”Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta”.



pada 23 Mei 2010 pada 12:42 pmmutiarazuhud
Dengan memuatnya berarti antum sepemahaman dengan mereka. Sedangkan kami sepemahaman , sebagai contoh dengan ulama sufi yakni Imam Al-Qusyairy.



pada 23 Mei 2010 pada 12:21 pm | Balasmutiarazuhud
Akh, Yusuf, Semoga dirahmati Allah
Firman Allah dalam Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38 justru mempertegas bahwa kalimat “Allah di atas langit” dimana “di atas langit” tidak seperti yang dipikirkan/dimaknai oleh Fir’aun dengan membangun bangunan yang tinggi menjulang ke langit.
Seluruh kalimat atau nash-nash Al-Qur’an dan hadist yang tertulis “di atas” , “langit” atau arsy , umat muslim tentu beriman padanya dan kita tidak mengingkarinya.
Kita sebaiknya tidak memaknai dengan “mata kepala”, lahiriah, tekstual, maknailah dengan “mata hati” atau bashirah.
Inilah yang Allah katakan sebagai al-hikmah sebagaiman firmanNya yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Permasalahan mendasar saudara-saudaraku Salafy (madzhab Taimiyah dan yang sepemahaman) sebagaimana yang saya utarakan sebagai “kelemahan Salafy”http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/06/2010/04/13/kelemahan-salafiyyah/ salah satunya yang utama adalah mengingkari ilmu Tasawuf.
Sebagaimana yang disampaikan Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah, “Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, luhur yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “di mana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambariNya, atau menolak dengan perbuatanNya atau kekurangan dan aib. Karena tak ada sesuatu yang menyerupaiNya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa”
Al-Qusyairy melanjutkan “Kaum Sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hambaNya setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada mereka.
Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan cahayaNya. Mereka bagai hujan bagi mahlukNya ysang selalu berputar dan berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman” tingkah laku manusia.
Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam) musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban Allah) dengan “penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka untuk “tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan.
Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan kepada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkanNya, berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saya yang dikehendakiNya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah; sebab pahalaNya adalah awal keutamaan dan siksaanNya adalah hukum keadilanNya; perintahNya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.”

Untuk mengetahui selanjutnya sumber kajian ilmu tasawuf, bacalah “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta. InsyaAllah dengan buku/kitab tersebut, saudara-saudara ku Salafy dan pembaca pada umumnya dapat memahami tentang dasar-dasar Ma’rifatullah sehingga dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Allah “di atas langit”.
Membaca buku tersebut, Insyaallah bisa diselesaikan dalam satu hari, namun InsyaAllah akan membuka “kukungan” atau keterbatasan pemahaman Ibnu Taimiyah dan ulama-ulama yang sepemahaman dengan beliau. Berhati-hatilah dengan indoktrinasi syaikh-syaikh Salafy bahwa pengikut mereka wajib hanya mempelajari pendapat atau pengajaran dari syaikh-syaikh kalangan mereka sendiri, dengan pemahaman bahwa syaik-syaikh yang lain adalah ahlu bid’ah dan sesungguhnya mereka sendiri kurang memahami dengan dalam (al-hikmah) arti bid’ah itu sesungguhnya.

Wassalam



pada 23 Mei 2010 pada 11:08 pmYusuf Ibrahim
(Kita sebaiknya tidak memaknai dengan “mata kepala”, lahiriah, tekstual, maknailah dengan “mata hati” atau bashirah……)
komentar saya ;
perlu dipahami bahwa tidak semua dalil itu harus dipahami dengan ‘mata hati’, memahami dengan ‘mata hati’ tidaklah mutlak hukumnya, sangat perlu juga bagi kita (umat muslim) untuk memahami dalil secara tekstual dengan diiringi dengan ilmu pastinya….

sebagai contohnya adalah ahmadiyah, coba perhatikan cara ahmadiyah dalam memahami dalil Al-Quran dan Hadits yg tidak tekstual dan jauh dari ‘cahaya’ ilmu, mereka memahami dalil menurut ‘mati hati’ mereka sendiri…
kalimat ‘khatam’ dalam surat Al-Ahzab (33) : 40 yg seharusnya artinya adalah ‘penutup’, akan tetapi mereka tafsirkan berdasarkan ‘mata hati’ mereka bahwa maksud ‘khatam’ disitu adalah ‘perhiasan’….

satu contoh lainnya lagi adalah mengenai Sabda Rasulullah yg berbunyi ;
“……… Akulah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku”. [HR. Abu Dawud (4253), At-Tirmidziy (2219), Ahmad (22448), Ibnu Hibban (7238), Al-Hakim (8390), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8397), dan Musnad Asy-Syamiyyin (2690),Abu Nu’aim (2/289), dan Asy-Syaibaniy dalam Al-Ahad wa Al-Matsaniy (456). Hadits ini di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (5406)]
Mereka (ahmadiyah) juga menafsirkan bahwa maksud ‘penutup para nabi’ dalam sabda Rasulullah diatas adalah sebatas penutup para nabi yg membawa syariat saja…
Lihat ! bagaimana ahmadiyah mengambil ‘pelajaran’ berdasarkan ‘mata hati’ mereka dan tidak tekstual dalam memahami dalil…..

Jadi, cara anda memahami dalil, lebih tepatnya hampir sama dengan cara ahmadiyah dalam memahami dalil yakni dengan mengabaikan pemahaman dalil secara tekstual dan HANYA memahami dalil menurut ‘mata hati’ anda saja….
Mengenai surat Al-Baqarah : 269 tentang al-hikmah (kepahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah), apakah di dalam ayat itu disebutkan bahwa HANYA orang-orang sufi sajalah yg mendapat al-hikmah dari Allah? sedangkan orang lain tidak !
Kenapa anda menafsirkan surat Al-Baqarah : 269 tsb seolah-olah HANYA anda dan kelompok andalah yg diberikan al-hikmah dari Allah?
Bahkan bagi anda, para ulama-ulama terdahulu yg pemahamannya bertentangan dengan anda seolah tidak diberi al-hikmah dari Allah, padahal kadar keilmuan mereka (para ulama) jauh diatas anda pastinya….
——————————————–
(kalimat “Allah di atas langit” dimana “di atas langit” tidak seperti yang dipikirkan/dimaknai oleh Fir’aun dengan membangun bangunan yang tinggi menjulang ke langit.)

komentar saya ;
apakah perkataan anda itu mengartikan bahwa fir’aun salah paham terhadap apa yg telah disampaikan oleh Musa?
apakah dakwah Musa terhadap fir’aun masih kurang jelas sehingga fir’aun salah paham terhadap dakwahnya Musa?




pada 24 Mei 2010 pada 3:19 ammutiarazuhud
Memahami Al-Qur’an dan Hadits harus dengan mata hati.
Apa yang dipahami Ahmadiyah adalah sebagai pembenaran bukanlah kebenaran. Juga untuk urusan itu sudah difatwakan oleh para ulama.

Juga perhatikan “situasi” yang sudah saya sampaikan dihttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/29/tinggalkanlah-salafy/
Semua situasi menyiratkan situasi yang disebabkan oleh metode pemahaman secara tekstual atau harfiah.

Sebagian ulama sekarang membuat pendapat, memutuskan, menilai atau bahkan membuat fatwa berdasarkan kemampuan pemahaman mereka semata. Seolah mereka “mewakili” Allah namun tanpa bisa merasakan “keberadaan” Allah.
Saya mengingatkan saya pribadi dan para pembaca, bahwa dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah / Hadits bukanlah disebabkan semata-mata karena aku atau saya atau ilmu atau keilmuan atau akal/pendapat/asumsi atau apalagi dengan hawa nafsu. Allah telah sampaikan bahwa pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah dilakukan hanya oleh orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).
Semua manusia diciptakan mempunyai akal. Namun yang dimaksud orang-orang yang berakal (ulil albab) sebagaimana firman Allah yang artinya,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).

Jadi kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah hanya melalui cara/jalan “mengingat” Allah. “Berkomunikasi” dengan Allah yang mengeluarkan firman. Syarat untuk “berkomunikasi” dengan Allah adalah dengan “mengenal” Allah terlebih dahulu atau yang dikenal dengan ma’rifatullah. Ujung-ujungnya kita perlu memahami ilmu Tasawuf.
Sayangnya sebagian ulama sekarang tanpa menyadarinya menolak Ilmu Tasawuf, mereka bersandar pada akal, keakuannya, kemampuannya, keilmuannya. Sehingga mereka tersibukkan dengan “perdebatan” tanpa mendapatkan pembeda (al-furqan).
Sedangkan ulama-ulama sufi, kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sebagaimana yang saya sampaikan dari ulama sufi Al-Qusyairy dalam

Sungguh benar apa yang telah disampaikan Allah dalam firmanNya yang artinya,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Al-Fatihah : 5)




pada 25 Mei 2010 pada 12:58 pmsalafi wahabi
Memaknai Allah di atas langit adalah dengan zahirnya, seperti Nabi Muhammad SAW pergi naik sampai ke langit ketujuh untuk menemui Allah



pada 25 Mei 2010 pada 2:05 pmmutiarazuhud
Baiklah saya ulangi kembali walaupun berulang-ulang, agar saudara-saudaraku salaf(i) dapat memahami. Semoga Allah memberikan karunia pemahaman kepada mereka.
Seluruh nash-nash Al-Qur’an dan Hadits yang mengatakan bahwa Allah ada di atas langit / Arsy, atau Yang di Atas atau perkataan lainnya sehubungan sifat Allah, kami mengimaninya, kami tidak akan pernah menyangkalnya.
Namun Allah telah berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura : 11).
Berdasarkan firman tersebut kita harus “mengambil pelajaran” terhadap ayat-ayat mutasyabihat, tidak mengartikan secara harfiah atau tekstual. Apabila ayat-ayat tersebut dibiarkan mengikuti maksud literalnya, harfiah atau tekstual, akan menimbulkan pengertian yang paradoks, maksud ayat yang satu bertentangan dengan maksud ayat yang lain. Padahal demikian itu tidak boleh terjadi dalam al-Qur’an, berdasarkan firman Allah, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. al-Nisa’ : 82).
Oleh karena, terjadinya pertentangan dalam al-Qur’an itu tidak boleh, maka kita harus meninggalkan maksud literal, harfiah ayat-ayat mutasyabihat tersebut, , dan mengembalikan pemahamannya kepada ayat yang muhkamat seperti ayat dalam surah QS.al-Syura : 11 yang terjemahan di atas.

Allah telah mengingatkan kita untuk mengambil pelajaran pada firman-firmannya, sebagaimana yang Allah sampaikan dalam firmanNya yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Sedangkan yang dapat “mengambil pelajaran” hanyalah orang-orang berakal (ulil albab). Mengenai ulil albab silahkan lihathttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/ulil-albab/
Sedangkan mengenai mi’raj, Nabi Muhammad SAW pergi naik sampai ke langit ketujuh untuk menemui Allah. Kita harus mengimaninya dengan mata hati (bashirah) kita. Ada orang yang mengimani dengan mata kepala, dan mencoba mengihitung-hitung “waktu” perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan memperbandingkannya dengan kecepatan cahaya namun mereka berkesimpulan bahwa perihal itu tidak bisa dipahami dengan mata kepala.
Langit ketujuh adalah untuk menunjukan ke Allah yang Maha Tinggi dan Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.
Semoga saudara-saudaraku salaf(y) dapat memahaminya dan tidak pusing “tujuh keliling”. Oops, jangan antum tanya “tujuh keliling” yang mana.




setuju,,tapi sayangnya kaum wahabi hanya membaca buku yang sudah didoktrin oleh kalangan mereka sendiri atau kepada buku2 yang sudah diamputasi yang maknanya telah dipelintirkan,sehingga wawasan mereka terbatas



Asalamualaikum
Bimillah

Saya orang awam dan sangat awam tentang dunia ini yang kata para salik adalah fana
semoga apa yang sampaikan bukanlah nafsu dan hanya masukan bagi saudaraku penggemar tasawuf. dan semoga kita semua menjadi benar-benar seorang salik sejati yang khusnul khotimah. Amin
Membaca tulisan panjenengan saya jadi tahu sebagian dan tidak tahu di banyak bagian
ketika membahas Al-Qur’an dan Sunnah Rasul ataukah yang lainnya, adakah saudaraku bersama Allah atau hadits Rasul atau kata para Guru maupun mursyid , kita adalah bagianNya, Subhanallah
saudaraku, saya pernah memahami teori sedikit, bersaman itu pula seringkali diingatkan guru saya bahwa hati-hati dengan akal yang sarat dengan nafsu ini.
Saya diwaktu muda masih tidak menghirauka, dan ketika tua ini jadinya Alhamdulilah masih diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman, bahwa yang sirr biarlah sirr dan sebaiknya nasehat untuk para salik adalah istiqomah dalam banyak perbuatan dan sedikitlah yang perkatan, agar hari tetap damai dan dengan iman, Islam dan ihsan
mohon maaf bila saudaraku kurang berkenan
saranku, sebaiknya cariklah guru yang suluknya kamil, itupun saya peroleh dari buku

Alhamdulillah
wassalam




pada 17 Juli 2010 pada 12:59 pm | Balaspepi saepudin
dimana Allah….?
kalau menurut pendapat ane…, bukanlah sesuatu yang penting juga untuk mengetahui di mana Allah…! karena toh aturanNya sudah ada dikehidupan kita ini. dan yang harus diingat dalam hal ini adalah…, keberadaan kita disini….., didunia ini, adalah untuk menjalankan aturan yang telah di buatNya.
“biarlah kita tidak mengetahui di mana sang sutradara berada…., tapi seandainya kita bisa menjalankan skenario yang telah dia tetapkan…, maka mudah-mudahan kita akan mendapatkan upah yang seperti kita harapkan. bahkan lebih mungkin…..! semoga…..!




Dimana Allah..? yg pasti di atas arsy..
Perhatikan.. :
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. ” (QS Yunus:3)
Dan ingatlah peristiwa Isra Mi’raj
Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.
Kenapa harus dinaikkan ke langit..?



pada 9 Agustus 2010 pada 9:58 am | Balasmutiarazuhud
Langit maknanya untuk menunjukkan kemuliaan



pada 27 September 2010 pada 10:59 am | BalasAbu Abdul Karim
Teman-teman Salafy, sudahlah, jangan meladeni orang yang berpendapat dengan hanya mengandalkan akal, mereka tidak akan bisa menerima kebenaran, yang mereka inginkan adalah kemenangan dan pembenaran atas pendapat mereka.
Ingatlah: “Barangsiapa yang Alloh beri petunjuk maka tidak akan ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Alloh sesatkan maka tidak akan ada yang bisa memberinya petunjuk.”




Kita dikatakan makhluk yang sempurna karena dikarunia akal oleh Allah swt.
Akal digunakan untuk membedakan kebenaran dan kesesatan.
Akal digunakan dengan berserah diri kepada Allah swt karena kebenaran berasal dari Allah swt.

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al Baqarah [2]:147 )
Jika akal tidak digunakan dan sekedar mengikuti atau mentaati perkataan syaikh/ulama tanpa mengetahui/memeriksa dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits maka itu merupakan penyembahan kepada syaikh/ulama, menyembah kepada selain Allah swt.
Maka jawab Nabi s.a.w.: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)




Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (470-561)- رحمه الله – Menjawab Pertanyaan di Mana Allah – سبحانه وتعالى – ?*
Beliau – رحمه الله – memberikan krtikan yang tajam sekaligus nasehat terhadap ahli kalam dalam hal ta’wil sifat. Beliau bertutur: ‘’Allah – سبحانه وتعالى – menggenggam,membuka tangan,mencintai,senang, tidak suka, membenci, ridha, marah dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan hati para hamba berada diantara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas,beristiwa di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya.
Nabi- صلى الله عليه وسلم – telah menyaksikan keislaman budak wanita ketika beliau bertanya kepadanya: ‘’di mana Allah?’’ Maka dia menunjuk keatas. Dan bahwasanya Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ dia atasnya, sebelumnya (dibawahnya) adalah 70,000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan Arsy itu memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.’’ ( Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghunyah Li Thalibi ‘l-haq.56).
Beliau – رحمه الله – juga menyebutkan: ‘’ Seyogyanya menyebutkan sifat istiwa’ dan ta’wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan (menempel) sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah; juga bukan dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’ariyyah, juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah’’. ‘’Allah juga turun ke langit terendah dengan cara yang Dia kehendaki, bukan berma’na turun rahmat-Nya atau pahala-Nya sebagaimana yg dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.’’) (Ibid, 56-57
‘’Kalian wajib ber-ittiba’ dan jauhi ibtida’. Kalian wajib ikut madzhab salafu ‘s-shalih. Berjalanlah di atas jalan yang lurus, tanpa tasybiih dan ta’thiil, Akan tetapi mengikut sunnah Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – tanpa takalluf ( mamaksa-maksa), tanaththu’ (berlebihan), tasyaddud (sikap ekstrim, keras), tamasyduq (berlebihan dalam bicara), dan tama’qul (mengakali). Cukup untuk kalian apa yang telah cukup untuk orang2 sebelum kalian.’’ ( Abdul Qadir al-Jailani, al-Fathu ‘r-Rabbani wa ‘l-Faidhu ‘r-Rahmani, al-Haramain Singapura- Jeddah, 34 (kitap kuning). ).
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
‘’Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.’’ ( QS. Al-Syura:11)
Nafikan kemudian tetapkan. Nafikan apa yang tidak layak bagi Allah dan tetapkan apa yang layak bagi Allah; yaitu apa yang Dia relakan untuk diri-Nya sendiri dan telah direlakan oleh Rasul-Nya – صلى الله عليه وسلم – . Jika kalian melakukan demikian maka hilanglah tasybih dan ta’thil dari hati kalian.’’ (Ibid, 61)
‘’Celaka kamu wahai orang-orang yang sombong! Ibadahmu tidak masuk ke bumi melainkan naik ke langit. Allah berfirman:
إليه يصعد الكلم الطيب و العمل الصالح يرفعه
‘’Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya’’. (QS. Fathir: 10)
Tuhan kita bersemayam di atas Arsy, menguasai seluruh kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu,dan menciptakan segala sesuatu. Tujuh ayat di dalam Al-Qur’an menyatakan tentang makna ini,tidak mungkin aku menghapusnya karena kebodohanmu dan ru’unahmu (hawa nafsumu). Kamu menakutiku dengan pedangmu aku tidak takut,kamu mengiming-iming aku dengan hartamu aku tidak berminat. Sesungguhnya aku hanya takut kepada Allah tidak takut pada selain-Nya, aku berharap kepada-Nya tidak berharap kepada selain-Nya.Aku menyambah-Nya dan aku tidak menyambah selain-Nya. Aku beramal untuk-Nya tidak beramal untuk selain-NYa. Rizqiku ada padanya dan ditangan-Nya. Semua hamba dan yang dimilikinya adalah milik tuannya.’’
‘’Tidakkah kalian merasa malu ?! Allah menerangkan sifat-sifat-Nya sendiri dengan sifat-sifat yang Dia rela dengannya kemudian kalian ta’wil dan kalian tolak ?!! Tidakkah mencukupimu apa yang telah mencukupi para shahabat dan Tabi’in sebelum kalian?!! Rabb kita berada di atas arsy sebagaimana Dia katakana, tanpa tasybiih,ta’tiil,dan tajsim.
Ya Allah berilah kami rizki dan taufiq dan jauhkan kami dari bid’ah. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan berilah kami kebaikan di akhirat dan jauhkan kami dari api neraka.” (Ibid, 61)
Dan wahai Sodara, kan kami hadiahkan pula bagi para pembaca skaligus pencinta web ini tentang apa dan bagaimana akidah Imam Empat dalam meyakini ‘’ di Mana Allah ?’’ Insya Allah bila diperlukan……
Terkhusus bagi pemilik dan pengasuh web ini ana haturkan terimakasih




pada 18 Januari 2011 pada 11:09 pm | Balasmutiarazuhud
@Abu Aisyah,
Alhamdulillah Akhi menyempatkan waktu berkunjung ke blog kami.

Silahkan apapun yang menjadi pemahaman antum, namun kita bersepakat bahwa kita bersaudara dan sama-sama muslim yang (minimal sekali) sama syahadatnya.
“Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Setiap hamba Allah yang bersyahadat dengan “sidqan min qalbihi“ (betul-betul keluar dari qalbu) maka hakikatnya berada pada jalan yang lurus.
Sedangkan madzhab / manhaj / ijtihad / pemahaman adalah kendaraan atau alat untuk berjalan pada jalan yang lurus yang bisa saja itu berbeda. Kendaraan bisa berbeda seperti madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, Manhaj Salaf dan madzhab/manhaj lainnya
Silahkan memilih kendaraan/pemahaman yang diinginkan, sebaiknya tidak saling menyalahkan yang terpenting adalah seberapa cepat dan sampaikah kepada tujuan dan benarkah yang dituju ?
Kemanakah tujuan kita ? surgakah ?
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )

Surga adalah ciptaanNya sedangkan tujuan kita (sampai/wushul) kepada-Nya.
Bagaimana kita mencapai tujuan kita ?,
benarkah yang kita tuju ?
untuk itulah kita harus mengenal Allah (ma’rifatullah) karena Allah ta’ala yang menjadi tujuan kita.

Awaluddin makrifatullah, awal-awal agama ialah mengenal Allah
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, Siapa yang kenal dirinya akanMengenal Allah.
Firman Allah Taala :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )

Jadi kesimpulan silahkan periksa diri masing-masing apakah dengan pemahaman yang ada saat ini,
dapatkah mengenal Allah (ma’rifatullah)
dapatkah merasakan Allah itu dekat ?
dapatkah menjadi muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) yakni muslim yang seolah-olah melihat Allah atau minimal menjadi muslim yang yakin bahwa Allah melihat seluruh perbuatan kita

Jika berbuat kesalahan apakah kita merasa malu dengan Allah yang begitu dekat ?
Sungguh Allah itu dekat, sesuai dengan firman Allah yang artinya
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” ( Al Baqarah: 186).
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Saat ini kesalahpahaman telah terjadi, meluas dan sistematik, sebagian umat Islam meyakini bahwa Allah ta’ala bertempat di tempat yang begitu tinggi yakni di atas arasy (cipataanNya yang paling tinggi) sehingga secara tidak disadari umat Islam tidak merasakan kedekatan dengan Alah ta’ala
Allah itu dekat itu bukan berarti bahwa Allah ta’ala itu bertempat di bumi , di langit atau di mana-mana. Maha suci Allah ta’ala dari “di mana”.
Allah itu dekat dapat kita yakini dengan sifatNya, namaNya dan perbuatanNya sedangkan sifatNya,namaNya dan perbuatanNya tidak berpisah dengan dzatNya.
Jadi dengan sifatNya,namaNya dan perbuatanNya, atas kehendakNya kita dapat menjadi seolah-olah melihat dzatNya inilah yang dinamakan dengan Ihsan

Dari sifat 20 Allah ta’ala kita paham dan yakin bahwa Allah itu wujud (ada) , mustahil tidak ada (adam).
Kita secara syariat ada karena Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim nya Allah ta’ala.
Coba bayangkan jika seluruh indera kita seperti penglihatan, pendengaran, penciuman/rasa itu tidak diberikan oleh Allah yang maha pengasih dan penyayang , apakah kita ada ?
“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Lalu pada bagian manakah dari agama Islam kita dapat mengetahui tentang Ihsan.
Tentang Ihsan atau tentang Akhlak diuraikan dalam Tasawuf dalam Islam.

Dengan tasawuf dalam Islam kita dapat mengetahui tentang akhlak yakni bagaimana kita berakhlak sebagai hamba Allah dengan Allah ta’ala, bagaimana kita berakhlak dengan ciptaanNya yang lain seperti alam, tumbuh2an, hewan dan termasuk bagaimana kita berakhlak dengan sesama manusia.
Marilah kita berakhlak baik bagi sesama manusia apalagi bagi sesama muslim.
Marilah kita saling menghargai pemahaman masing-masing terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

Bagaimanapun pemahaman kita, seberapa banyak ilmu yang diperoleh, seberapa banyak amal/ibadah yang telah dilakukan, apakah mewujudkan sebagai muslim yang berakhlak baik, muslim yang sholeh , muslim yang ihsan ?
Sungguh tujuan Agama Islam adalah mewujudkan hamba Allah yang berakhlakul karimah.

Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Wassalam



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحد لله نحمده وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله, اللهم صل وسلم على محمد صلى الله عليه وعلى اله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وسلّم تسليما كثيرا
Pertama-tama saya memohon kepada Allah – سبحانه وتعالى – agar kita semua sentiasa diberikan kelapangan dada untuk menerima kebenaran yang datang dari Allah – سبحانه وتعالى – (Al-Quran) dan Rasulullah – صلى الله عليه وسلم – ( Al-Hikmah,Sunnah ) tentu saja dengan sebagaimana yang telah difahami serta dipraktekan oleh para pendahulu islam yang shalih dari kalangan Shahabat,Tabi’in,Tabiuttabi’in dan para Ulama yg senantiasa istiqomah diatas Aqidah dan Manhaj mereka.
Kemudian tak lupa saya haturkan terima kasih yg dalam atas sambutan, kejujuran dan keramahan Ustazd yang dengan santun telah menanggapi apa yang telah diyakini oleh Ulama’ besar ‘’Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani – رحمه الله – ’’ di dalam kitabnya yang masyhur.
Sodaraku yang semoga Allah – سبحانه وتعالى – slalu melimpahkan hidayah dan Taufik untuk kita semua, begitu panjangnya diskusi masalah ini ‘’ Tentang di mana Allah ?‘’ sedikit banyak itu menunjukkan pentingnya permasalahan ini,sebagaimana syariat kalimat tanya tersebut telah meluncur dari bibir al-Mushthafa – صلى الله عليه وسلم – untuk membuktikan iman seorang budak wanita.
Sungguh termasuk tauhid yg sangat mendasar dan wajib untuk diimani adalah tauhid Asma’ dan Shifat. Artinya kita meyakini dan mengimani serta menamai Allah dengan nama-nama yang Dia tetapkan untuk diri-Nya, atau ditetapkan oleh Rasulullah untuk-Nya, serta menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya atau yg ditetapkan Oleh Rasulullah – صلى الله عليه وسلم –.
Setelah kita tahu aqidanya Saikh Abdul Qadir Al-Jailani – رحمه الله – , mari kita tengok aqidah Imam Empat serta ulama Muliya lainya, setelah itu adakah pilihan lain yang lebih sempurna dari apa yang telah mereka yakini ?……
Imam Abu Hanifah al-Kufi- رحمه الله – (150-H)
Beliau bertutur, ’’ Tidak sepatutnya bagi seseorang berkata-kata dalam Dzat Allah dengan sesuatupun, tetapi sebaliknya mensifati-Nya dengan apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya. Hendaknya jangan berkata-kata tentangnya dengan pendapatnya, Maha Suci Allah Rabb alam semesta.’’( Syarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (2/427),Jala’ul Ainaini, hal.368.)
Al-Baihaqi- رحمه الله – meriwayatkan dalam kitab Al-Asma’ was Shifat(h.429)dengan sanadnya kepada Nu’aim bin Hammad, ia berkata, ‘’Aku mendengar Nuh bin Abi Maryam Abu Ishmah berkata, ’’Dulu aku di sisi Abu Hanifah awal muncul fitnah, tiba2 datang kepadanya seorang wanita dari Turmudz(kota tempat tinggal Jahm), yang pernah menimba ilmu dari Jahm bin Abi Sufyan, lalu masuk kufah, dan menurutku tidak kurang dari sepuluh ribu manusia mengajak untuk mengikuti pendapat wanita itu. Dikabarkan kepada wanita itu, ‘’Sungguh disini terdapat seseorang yang telah melihat hal-hal yang rasional, ia disebut Abu Hanifah, maka datangilah ia.’’ Maka wanita itu mendatangi Abu Hanifah dan bertanya, ‘’Engkau yang mengajari berbagai masalah? Aku telah meninggalkan agamamu. Dimanakah tuhan yang kamu sembah?’’ Abu Hanifah tidak menjawabnya selama 7 hari, kemudian ia keluar menemuinya setelah menulis kitab, ia berkata, “ Allah Ta’ala di langit bukan di bumi.’’ Tiba-tiba seseorang berkata ‘’Bagaimana menurutmu firman Allah:
و هو معكم أين ما كنتم ‘’Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada,’’(Al-Hadid:4)
Abu Hanifah- رحمه الله – menjawab, ‘’Itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, kamu katakan‘’Aku bersamamu’’ padahal kamu jauh darinya.’’ { Imam al-Dahhak- رحمه الله – berkata: Allah di atas Arsy, ilmu-Nya di segala tempat. Ini juga dikatan Oleh Sufyan al-Tsauri- رحمه الله – (at-tahmid, 3/346,348) }.
Al-Baihaqi – رحمه الله – mengatakan, ‘’Benar Abu Hanifah dalam menafikan keberadaan Allah di bumi, juga dalam hal yang ia sebutkan dalam tafsir ayat, dan mengikuti kemutlakan mendengarkan (tidak membantah maupun mempertanyakan) dalam hal Bahwa Allah Ta’ala di atas langit. Al-dzahabi meriwayatkannya dalam kitab Al-Uluw dari jalur Al-Baihaqi.
Imam Abu Hanifah- رحمه الله – berkata, ‘’Siapa yang mengatakan ‘Aku tidak tahu Rabb ku di Langit atau di bumi’ maka ia telah kafir begitu pula siapa yang mengatakan bahwa Allah di atas Arsy tetapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di langit atau di bumi’’. (Ibnul Qayyim- رحمه الله – dalam ijtima’ul juyusy Al-Islamiyah,hal. 139, Al-Dzahabi- رحمه الله – dalam Al-Uluw,hal. 101-102,Ibn Qudamah- رحمه الله – dalam Al-Uluw, hal.116.). Dan masih banyak lagi ungkapan beliau yang termuat dalam kitab2 para ulama’ lain.
Kemudian mari kita simak penuturan Imam Malik Ibn Anas Al Madani- رحمه الله – (174 H).
Imam Malik – رحمه الله – meriwayatkan hadits Mu’awiyah Ibnul Hakam, yang mana Nabi- صلى الله عليه وسلم – menguji keimanan seorang Jariyah (budak wanita) dengan pertanyaan ‘’di mana Allah?’’ Lalu Jariyah tersebut menjawab ‘’ Allah di langit’’, lalu Nabi- صلى الله عليه وسلم – membenarkannya,dalam kitab Muwatha’nya. (Tanwirul halik Syarah Muwatha’ Malik, Al-Suyuthi,3/4-5; Ibn Abdil Barr, at-Tahmid lima Fil-Muwatha’ Minal Ma’ani wal-Masanid, 3/342; 9/67,,72.)
Abu Dawud- رحمه الله – meriwayatkan dari Abdulla bin Nafi’ berkata, Malik mengatakan, ‘’Allah di langit dan ilmu-Nya meliputi segala tempat.’’ (HR. Abu Dawud dalam masa’il Imam Ahmad, hal.263.
Abu Nu’aim- رحمه الله – meriwayatkan dari Ja’far bin Abdillah, ia menuturkan, ‘’Kami berada di sisi Malik bin Anas, tiba-tiba ada seseorang datang dan bertanya ‘’Wahai Abu Aabddillah, Allah yang Maha Penyayang bersemayam di atas Arsy, bagaimana Allah bersemayam?’’ Imam Malik tidak pernah mendapatkan seperti apa yang telah ditanyakan orang ini, ia melihat ke tanah, ia memukul-mukulkan tongkat di tangannya hingga ia berkeringat, kemudianmengangkat kepalanya dan melempar tongkat, ia berkata’ ‘’Bagaimananya tidak bias di ketahui akal sedangkan bersemayam maknanya di ketahui semua, mengimaninya wajib, dan mempertanyakan tentangnya adalah bid’ah. Aku kira enkau adalah pelaku bid’ah’’ ia memerintahkan agar orang ini dikeluarkan dari majelisnya. Silakan di lihat kitab Al-Hilyah (6/325,326) dan banyak lagi riwayat senada yang diabadikan oleh ulama’ selainnya namun disini Insya Allah ini sudah mencukupi.
Kemudian mari kita simak pendapat Imam kita Abu Idris Al-Syafi’i- رحمه الله – (Al-Hijazi, tsumma Al-Bagdadi, Tsumma Al-Mishri, 204H)
Imam As-Syafi’i- رحمه الله – meriwayatkan hadits Jariyah,’’di mana Allah?’’ “Allah di langit’’ dalam kita Al-Umm, darul fikr, cet.1/1423,jilid 3 juz 5/h. 309. Juga ditegaskan oleh imam Abu Usman Al-Shabuni bahwa Imam Syafi’I mengimani Allah di Arsy di atas langitnya ke tujuh.
Imam As-syafi’i- رحمه الله – , ‘’Ucapan dalam sunnah yang aku pegangi atasnya, juga aku lihat para sahabatku berjalan di atasnya, ulama’ ahli hadits yang aku lihat dan aku ambil ilmu dari mereka seperti Sufyan dan Malik serta lainnya, adalah menetapkan Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Allah di atas Arsy-Nya di langit, Dia mendekat kepada mahluq-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki, dan Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki.’’ Lihat kitab Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah, hal. 165 juga itsbat Al-Uluw, hal 124 dll.
Ibnu Kudamah- رحمه الله – meriwayatkan dari Syafi’i tentang sifat Al-Uluw, ia berkata, “ Kekhilafahan Abu Bakar adalah haq, Allah memutuskannya dari langit, kemudian Allah satukan para Shahabat Nabi atas kekhilafahan tersebut.’’
Kita lanjudkan untuk menyimak penuturan Imam Ahmad Ibnu Hanbal al Bagdadi- رحمه الله – (241)
Iman Ahmad Bin Hanbal- رحمه الله – berkata, “Kami beriman bahwa Allah di atas Arsy sebagaimana dan dengan cara yang Dia kehendaki tanpa ada batasan atau sifat yang bias di capai oleh orang yang menyifati-Nya atau menentukan batasan untuk-Nya. Semua sifat Allah Adalah dari-Nya dan bagi-Nya, Allah sebagaimana yang Dia sifati untuk diri-Nya,tidak bisa diliputi oleh semua penglihatan (mahluk).’’ Lihat kitab Dar’u Ta’arudhi al-Aql wa An-Naql (2/30).
Dalam aqidah yang diriwayatkan oleh Abul Abas Al-Isthahri – رحمه الله –,dari Imam Ahmad – رحمه الله – tentang penetapan sifat ketinggian Allah di atas Arsy-Nya, di atas langit ke 7, dan bahwa Allah itu terpisah dari mahluk-Nya, dan Allah bersama mahluk dengan ilmu-Nya, tidak ada satu tempatpun yang luput dari ilmu Allah. Silakan dirujuk kembali ucapan ini karena sangat penting.
Al-dzahabi – رحمه الله – menyebutkan dalam kitab Al-Uluw, dari Abu thalib Ahmad bin Humaid, ia berkata Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang seseorang yang mengatakan bahwa Allah bersama kita, kemudian mambaca ayat al-Mujadilah:7 yang artinya “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dial ah ke empatnya.’’ Ia menjawab, ‘’orang itu telah terpengaruh oleh paham jahmiyah, meraka mengambil akhir ayat dan meninggalkan permulaanya. Mengapa engkau tidak membacakan kepada mereka:
ألم تر أن الله يعلم “Tidakkah kamu perhatikan,bahwa sesungguhnya Allah mengetahui….” (al-Mujadilah: awal ayat 7) jadi ilmu Allah bersama mereka. Dan dalam surat Qaf, Dia- سبحانه وتعالى – berfirman yang artinya ; ‘’….dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan ami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,’’(Qaf: 16), jadi ilmu Allah yang bersama mereka’’.
Ya Ukhaiya…. Semoga Allah merahmati kita semua, mengenal aqidah para Imam besar Ahlu sunnah merupakan perkara perting. Khususnya , bila sang imam tersebut memiliki pengikut dan madzhab yang mendunia. Dan inilah sekelumit pernyataan2 mereka yg dapat ane torehkan mengenai masalah ini ‘’ di mana Allah?’’, mudah mudahan ada manfaatnya yang bernilai pahala disisi Allah- سبحانه وتعالى -.
Jika ane ditanya ‘’beginikah aqidahmu tentang masalah ini ?’’ maka adakah pilihan lain yang lebih afdhal dari pemahaman para ulama’ kita yang telah ane sebutkan ini? Maka padahal telah banyak para ulama’ dari kalangan pendahulu dan kemudian setelah mereka yang kemudian sepakat dengan aqidah ini.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad – صلى الله عليه وسلم – ,keluarga beliau juga para shahabat semuanya.




pada 20 Januari 2011 pada 3:13 am | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, begitu pajang uraian yang antum telah sampaikan dengan metode pemahaman secara dzahir yang merupakan ciri khas dari saudara-saudara kita kaum Salafi / Wahaabi. Silahkan baca tulisan pada

Masih saja kita bertanya “di mana” Allah menunjukkan kita masih terhijab (terhalang) dari memandang Allah.
Padahal siapakah/apakah yang dapat menghalangi/menghijabi Allah ta’ala yang wujud (ada) sedangkan segala sesuatu pada hakikatnya adalah tiada (adam).




Kenyataan seseorang itu telah mengenal Allah ialah agamanya.
sesiapa yang ada tarikh bila ia menerima agama dari Allah.
Itulah buktinya kebenarannya.




pada 27 November 2011 pada 10:14 am | BalasAhlus Sunnah Wal Jamaah
4 imam sepakat bahwa allah berada di ‘arsy :
Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]
Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]
Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.
Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]
Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[14]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”[17]
Tidak Perlu Disangsikan Lagi
Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah



Para Salafush Sholeh maupun para Imam Mazhab yang empat, mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu.
Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana Ibnu Taimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berubah dan berpindah adalah ciptaanNya.
Imam Sayfi’i ra mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau



pada 28 November 2011 pada 2:05 pm | BalasYusuf Ibrahim
Sekedar renungan,
”Dan berkata Fir’aun : Hai Haman ! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38)
Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya ”At-Tauhid” (hal : 114-115) diantara keterangannya :”Perkataan Fir’aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir’aun :” Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas”.
Berkata Imam Al-Asy’ary setelah membawakan ayat di atas : ”Fir’aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit” (Al-Ibanah : 48).
Imam Ad-Daarimi di kitabnya ”Raddu ‘Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : ” Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir’aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi”
Dari Firman Allah Subhanahu wata’ala diatas, bisa kita renungkan bahwa jangan sampai kita seperti fir’aun yg GA PERCAYA bahwa Allah Subhnahu wata’ala berada diatas langit…..
wallahu ‘alam…..
6 Mei 2010 oleh mutiarazuhud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar