Fanatik Pendapat

Pada zaman sekarang ini ada sebagian muslim mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu) atau mengaku menisbatkan kepada Salafush Sholeh. Namun upaya mereka menisbatkan/menyandarkan/mengikuti Salafush sholeh belum tentu menunjukkan keberhasilan.
Seluruh pendapat/pemahaman/pemikiran bisa benar dan bisa salah.
Yang benar hanyalah lafadz/nash-nash/perkataan dalam Al-Qur’an dan Hadits
“Sebenar benar perkataan adalah kitabullah(alquran) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam..”(HR.Muslim).
Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) berkata “Setiap (pendapat) dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaih.
Sebuah kekeliruan jika seorang muslim mengatakan bahwa pendapat/pemahaman/pemikirannya adalah pasti benar sehingga menjadi fanatik dengan pendapat/pemahaman/pemikiran sendiri
Berikut cuplikan yang menguraikan tentang fanatik pendapat/pemahaman/pemikiran yang saya ambil dari bagian tulisan sebelumnya yang merupakan pendapat Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani
FANATIK PENDAPAT
Kedangkalan wawasan keagamaan, seperti kita saksikan dewasa ini, juga membawa sebagian dari para pemuda kita bersikap fanatik (ta’assub) dan menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi) khususnya dalam masalah–masalah yang sebetulnya di situ ijtihad bisa diterima.Orang–orang yang biasa berdebat, bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar, tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga benar.”
Adapun tidak mengakui pendapat dan mengingkari kebenaran yang dimiliki orang lain yang bersilang pendapat dengannya maka sungguh itu adalah salah satu bencana besar yang diakibatkan oleh ghuluw, khususnya pada saat ini. Kiranya tak ada satu pun orang berakal yang mengingkari bahwa jika manusia tidak mengerti akan sesuatu maka pasti memusuhi sesuatu tersebut.
Faktor bencana ini, (sekali lagi adalah), minimnya pengetahuan agama, bangga dengan pendapat sendiri (i’jaab bir ro’yi) dan cenderung menuruti hawa nafsu. Sebagian dari kaum ekstremis bahkan sampai bertindak kelewat batas dengan membodohkan orang lain dan menuduhnya sesat dan keluar dari agama.
Ini pun disebabkan oleh fanatik dan keyakinan bahwa hanya pendapat sendiri yang paling benar serta berusaha mempertahankan egonya. Sudah barang tentu bahwa hal tersebut merupakan bentuk fanatik yang paling dominan, eksklusif, dan semaunya. Karena itu, wajib bagi para ulama untuk menyelamatkan para pemuda dari fanatisme. Wajib pula bagi para ulama menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus memiliki semangat tinggi untuk memberikan perhatian dan terapi kepada pasien-pasien yang sudah terlanjur terjangkit wabah ini agar mereka bisa segera sembuh.
Jika hal itu dibiarkan, akan berdampak pada kehancuran, umat tercabik, dan terpecah belah. Padahal, Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al Anfaal: 46)
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dengan berjama’ah dan jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)
Model  Ghuluw
Termasuk contoh dari berlebih-lebihan dalam beragama adalah banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu).
Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan.
Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits).
Pengakuan ini pun sangat mulia.
Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن
“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy).
Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji.
Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.
Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka.
Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.”
Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.
Anggapan mereka bahwa hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan dapat kita saksikan pada zaman kini. Silahkan baca tulisan yang menguraikan perihal itu pada
Juga silahkan baca tulisan tentang bagaimana upaya seorang ustadz untuk bertobat dari kesesatan sebagaimana yang dinasehatkan oleh ulama-ulama yang merasa hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran
Wassalam
Zon di Jonggol
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar