Ta’wil

Tanya:
Apakah boleh ayat-ayat quran dita’wilkan, yakni dialihkan maknanya  ke makna lain. Kalau boleh siapakah yang berhak menta’wilkan itu?
Jawaban:
Boleh saja, kalau dibutuhkan.
Yang berhak menta’wilkan itu adalah :
Quran juga,karena Quran itu tafsir-mentafsirkan antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Nabi Muhammad Saw, karena beliau diutus oleh Tuhan, selain menyampaikan risalah kerasulan, juga diberi tugas untuk menafsirkan, menta’wilkan dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Quran itu yang sesuai dengan tujuan Tuhan yang sebenarnya.
Para sahabat nabi,yaitu orng-orang yang dekat kepada nabi, yang tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat, tahu maksud ayat sebenarnya yang ditermanya dari nabi, tahu kapan ayat-ayat itu diturunkan, malam atau siang, dimana ayat-ayat diturunkan di Mekah atau di Madinah, tahu bahasa Arab yang murni yang mana Quran diturunkan dalam bahasa itu.
Para sahabat yang terkemukan dalam menafsirkan quran adalah : Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘abas (ibnu ‘abbas), Anas bin Malik, Abdullah bin Mas’ud (ibnu mas’ud), Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Abdullah bin ‘Amr, Siti ‘Aisyah Ummul mu’minin, dan lain-lain, Radhiyallahu’anhum ajma’in.
Para tabi’in yaitu orang-orang yang berjumpa dan mengambil ilmu agama dari sahabat nabi. Para tabi’in itu adalah orang-orang yang masih sangat dekat kepada nabi, karena jamannya belum begitu jauh. Jalan pikirannya dan ilmunya masih sangat murni, tidak ada beda dengan jalan pikiran Nabi dan sahabat nabi.
Orang-orang ini yang terkemuka dalam menafsirkan Quran adalah: Hasan Basri, Mujahid, Sa’id bin Jubeir, Alqamah, ‘Ikrimah, Dhahak, ‘Atha bin Abi Rabah, Qutadah, Mutaqil, Muhammad bin Zaid, Ali bin Abi Thalhah, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslanm, Suddi al Kabir, Abu Abdirrahman as Sulami dan lain-lain.
Demikianlah yang dapat menta’wilkan atau mentafsirkan ayat-ayat Quran.
Tafsir atau ta’wil dari yang lain, yang menyimpang (dari tafsir Quran sama Quran, tafsir Nabi, tafsir Sahabat, tafsir Tabi’in) tidak diterima, karena dianggap “Tafsir bir Ra’yi’”, yakni tafsir dengan “pendapat” saja.
Perhatikanlah dalil-dalil yang dibawah ini:
Kesatu:
Ada firman Tuhan dalam Al Qur’an  begini bunyinya:
Artinya: Tuhan yang menurunkan Quran atasmu. Diantara isinya ada yang Muhkamaat(terang maksudnya) dan ada pula yang Mutasyabihaat (samar-samar, tidak langsung maksudnya). Adapun orang yang cenderung  hatinya kepada kesalahan diturutnya saja arti yang samar-samar itu, tersebab mereka hendak mencari fitnah  dan mencari kesalahan pengertian (mengartikan menurut pendapatnya sendiri).
Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya  itu kecuali Allah dan orang yang dalam ilmunya. Mereka berkata: kami iman kepada itu, semuanya datang dari Allah, Tuhan kami, dan yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang mengerti,  yang mempunyai ilmu (Al Imran: 7)
Jelas dalam ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan  dan orang yang dalam ilmunya mengerti makna ayat-ayat Mutasyabih itu.
Jelas dalam ayat ini disebutkan bahwa mengetahui ta’wil ayat-ayat Mutasyabih hanyalah Tuhan dan orang-orang yang dalam ilmunya dalam menafsirkan Quran adalah Nabi, Sahabat-Sahabat beliau dan para  Tabi’in.
Kedua
Tersebut dalam Hadits Bukhari begini bunyinya:
Artinya: dari Abdillah (bin Mas’ud) Rda.  Beliau berkata : tatkala turun ayat yang berarti : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan dengan zhulm (aniaya) (mereka memperoleh keimanan dan itulah orang-orang yang diberi hidayah (Al an’am:82)”, setelah turun ayat ini ada diantara Sahabat – Sahabat Nabi yang merasa kesusahan, sehingga mereka bertanya-tanya sesama mereka: Siapakah diantara kita yang tidak menganiaya diri dengan  membuat dosa?  lalu Nabi menjawab: bukan begitu, bukanlah sebagai yang kamu sangka. Ayat itu hanya sebagai yang dikatakan oleh Luqman kepada anaknya : Hai anakku! Janganlah kamu “syirik” kepada Tuhan, karena “syirik”  itu adalah “zhulm” yang besar (riwayat Bukhari – lihat Fathul Bari Juz 15 hal 334-335 ).
Jadi, kata: “zhulm” yang artinya pada mulanya “perbuatan aniaya” dita’wilkan oleh Nabi dengan “syirik” yakni mempersekutukan Tuhan.
Maka jadilah arti ayat ini  sesudah dita’wilkan : “Orang yang beriman dan tidak  mencampurkan keimanannya itu dengan syirik akan memperoleh keamanan dan itulah  orang yang dapat hidayah”.
Ketiga
Dalam sebuah hadits yang panjang yang tersebut dalam kitab Hadits Bukhari, bahwa Saidina Umar Rda, memanggil Ibnu Abbas berkumpul bersama Sahabat-Sahabat tertua, yaitu sahabat-sahabat yang menghadiri peperangan Badara.
Saidina Umar bertanya kepada mereka:
Artinya :
Bagaimana pendapatmu tentang ayat “apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan” ?
Jawab sebagian mereka: Kita diperintah apabila datang pertolongan Tuhan dan kemenangan supaya memperbanyak Tahmid dan Tasbih.
Sebagian sahabat yang lain tidak  menjawab.
Dan engkau hai Ibnu Abbas, Bagaimana pendapatmu?
Jawabku: Tidak, bukan begitu, itu adalah ajal Rosulullah diberi tahukan sudah dekat. Apabila datang pertolongan  Tuhan dan kemenangan itu suatu tanda bahwa ajal engkau sudah dekat. Pada ketika itu tasbihlah, tahmidlah dan istighfarlah karena Tuhan itu penerima taaubat.
Lalu Saidina ‘Umar berkata : Saya baru sekarang mengetahui arti serupa itu (HSR Bukhari – Shahih Bukhari III hal 158 ).
Berkata Iman Ibnu Hajar Asqalani pada ketika mensyarahkan hadits ini, bahwa ini adalah suatu pertanda boleh menta’wilkan Quran, dengan apa yang difahamkan dari isyarat-isyarat. Yang mengerjakan yang demikian addalah orang-orang yang dalam ilmunya (Fathul Bari Syarah  Bukhari juz 10 halaman 367)
Sumber: Buku  “40 Masalah Agama”, K.H Siradjuddin Abbas,  Masalah Salaf dan Khalaf  (Hal 156-165)

4 Tanggapan
Allah mempunyai tangan dan Dia bersemayam di atas langit dan tidak boleh menakwilkannya dengan kekuasaan.
kita wajib menerimanya tanpa memikirkan bagaimana hakikatnya, karena semua sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk.


Aneh bung salafi ini…aya-aya wae..dasar kaum mujasimmah


pada 16 Mei 2010 pada 11:30 am | Balassalafi wahabi
Setiap orang yang mengatakan :
“Wilayah ini ada dalam genggaman tanganku”
pasti dia punya tangan sebenarnya. tak mungkin toh orang yang tangannya misalnya buntung mengatakan seperti itu MESKIPUN TUJUANNYA ADALAH TAKWIL.
tak mungkin seekor singa mengatakan ” hutan ini ada dalam genggaman tanganku” karena singa itu tidak punya tangan sebenarnya.


lier nt mah fi,,baca make hati jangan baca pake kepala….
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar