Riwayat i’tiqad (aqidah) Ahlussunah Wal Jamaah
Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, semuanya mudah dan gampang, karena segala sesuatu dapat ditanyakan kepada beliau. Perselisihan paham timbul sesudah Nabi wafat
Yang teramat mulia Nabi Muhammad SAW. Wafat tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah, sesuai dengan 8 Juni 632 M. Pada hari wafat beliau sekumpulan kaum Anshar ( Sahabat-sahabat Nabi yang berasal dari Madinah ) berkumpul di suatu Balairung yang bernama SAQIFAH BANI SA’IDAH untuk mencari khalifah ( pengganti Nabi yang sudah wafat ).
Kaum Anshar ini dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah ( Ketua kaum Anshar dari suku Khazraj ). Mendengar hal ini kaum Muhajirin ( Sahabat-sahabat dari Mekkah yang pindah ke Madinah ) datang bersama-sama ke Balairung itu, dengan dipimpin oleh Saidina Abu Bakar Shiddiq Rda.
Sesudah terjadi perdebatan yang agak sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang setiapnya mengemukakan calon dari pihaknya, bersepakatlah mereka mengangkat Sahabat yang paling utama Saidina Abu Bakar Shiddiq sebagai Khalifah yang pertama.
Perdebatan ketika itu hanya terjadi antara golongan kaum Anshar yang mengemukakan Sa’ad bin Ubadah sebagai calonnya dengan kaum Muhajirin yang mengemukakan Saidina Umar bin Khatab atau Saidina Abu Bakar sebagai calon-calon khalifah Nabi.
Dalam rapat itu tidak ada seorangpun yang mengemukakan Saidina’Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pertama pengganti Nabi. Paham kaum Syi’ah belum ada ketika itu. Yang ada hanya kaum Anshar dan kaum Muhajirin, tetapi ternyata bahwa perselisihan paham antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin tidak menimbulkan firqah dalam ushuluddin, karena perselisihan pendapat sudah selesai dikala Saidina Abu Bakar sudah terangkat dan terpilih secara aklamasi ( suara sepakat ).
Pada tahun 30 Hijriyah timbul paham Syi’ah yang diapi-apikan oleh Abdullah bin Saba ’ yang beroposisi terhadap Khalifah Saidina Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba ’ adalah seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak begitu dapat penghargaan dari Khalifah dan juga dari ummat Islam yang lain. Oleh karena itu ia jengkel.
Sesudah terjadi “peperangan Siffin”, peperangan saudara sesama Islam, yaitu antara tentara Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sofyan ( Gubernur Syria ) pada tahun 37 Hijriyah timbul pula firqah Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Saidina Mu’awiyah Rda. dan dari Saidina ‘Ali Rda. .
Pada permulaan abad ke II H timbul pula Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ (lahir 80 H – wafat 113 H) dan Umar bin Ubeid (Wafat 145 H).
Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan fatwa yang ganjil-ganjil, yang berlainan dan berlawanan dengan i’tikad Nabi dan sahabat-sahabat beliau.
Di antara fatwa-fatwa yang ganjil dari Kaum Mu’tazilah itu, ialah adanya “manzilah bainal manzilatein”, yakni ada tempat di antara dua tempat, ada tempat yang lain selain syurga dan neraka.
Banyak lagi fatwa-fatwa kaum Mu’tazilah, umpamanya fatwa yang mengatakan bahwa sifat Tuhan tidak ada, bahwa Qur’an itu makhluk, bahwa mi’raj Nabi hanya dengan ruh saja, bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadist-hadist Nabi, bahwa syurga dan neraka akan lenyap, dan lain-lain fatwa yang keliru.
Kemudian timbul pula paham Qadariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak sangkut-paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia, sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak perduli lagi apa yang akan dibuat oleh manusia.
Kemudian timbul pula paham, Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tak punya daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhiar.
Kemudian timbul pula paham Mujassimah, yakni paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan, punya kaki, duduk di atas kursi, turun dari tangga serupa manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu, dan lain-lain kepercayaan.
Kemudian lahir pula paham-paham yang keliru tentang tawasul dan wasilah, tentang ziarah dan istigatsah dari Ibnu. Thaimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum Muslimin.
Kaum Ahlussunah Wal Jama’ah Muncul pada Abad ke III Hijriyah
Sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat tadi maka pada akhir abad ke III Hijriyah timbullah golongan yang bernama Kaum Ahlussunah Wal Jama’ah (ASWAJA), yang dikepalai oelh dua orang Ulama besar dalam Ushuluddin, yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al Maturidi.
Perkataan Ahlussunah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menyebutnya dengan Ahlussunah saja, atau Sunny saja dan kadang-kadang disebut ‘Asy’ari atau Asya’irah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.
Sejarah ringkas guru besar ini adalah :
Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan ‘Ali bin Ismail, bin Abi Basyar, Ishaq bin Salim, bin Isma’il, bin Abdillah, bin Musa, bin Bilal, bin Abi Burdah, bin Abi Musa al Asy’ari.
Abi Musa ini seorang sahabat Nabi yang terkenal dalam sejarah Islam.
Abu Hasan lahir di Basrah (Iraq) tahun 260 H yakni 55 tahun sesudah meninggalnya Imam Syafi’i Rda dan meninggal di Basrah juga pada tahun 324 H, dalam usia 64 tahun.
Beliau pada mulanya adalah murid dari bapak tirinya seorang Ulama Besar kaum Mu’tazilah, Syeikh Abu ‘Ali Muhammad bin Abdul Wahab al Jabai (meninggal tahun 303 H), tetapi kemudian beliau taubat dan keluar dari golongan Mu’tazilah itu.
Pada masa itu (abad ke III H) banyak sekali Ulama-ulama Mu’tazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Bagdad.
Ada 3 orang Khalifah ‘Abbasiyah yaitu Ma’mun bin Harun ar Rasyid (198 – 218 H), Al Mu’tashim (218 – 227 H) dan Al Watsiq (227 – 232 H) adalah Khalifah-khalifah penganut faham Mu’tazilah atau sekurangnya penyokong-penyokong yang utama dari golongan Mu’tazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan “fitnah Qur’an makhluq” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sepaham dengan kaum Mu’tazilah.
Pada masa Abu Hasan al Asy’ari muda remaja ulama-ulama Mu’tazilah sangat banyak di Basrah, Kufah dan Bagdad. Masa itu masa gilang-gemilang bagi mereka, karena pahamnya disokong oleh pemerintahan.
Imam Abu Hasan termasuk salah seorang pemuda yang belajar kepada seorang Syekh dari Mu’tazilah, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab al Jabai (wafat 303 H).
Pembaca jangan keliru, ini bukan Muhammad bin Abdul Wahab, pembangun Madzhab Wahabi di Nejdi (1115 H – 1206 H).
Imam Abu Hasan al Asy’ari melihat, bahwa dalam paham kaum Mu’tazilah banyak terdapat kesalahan besar, banyak yang bertentangan dengan i’itiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW, dan sahabat-sahabat beliau dan banyak yang bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Maka karena itu beliau keluar dari golongan Mu’tazilah dan taubat kepada Tuhan atas kesalahan-kesalahannya yang lalu. Bukan saja begitu, tetapi beliau tampil kemuka di garis depan untuk melawan dan mengalahkan kaum Mu’tazilah yang salah itu.
Pada suatu hari beliau naik ke sebuah mimbar di Mesjid Basrah yang besar itu dan mengucapkan pidato yang berapi-api dengan suara lantang yang didengar oleh banyak kaum Muslimin yang berkumpul di situ.
Diantara pidato beliau :
“Saudara-saudara Kaum Muslim Yang Terhormat!
Siapa yang sudah mengetahui saya, baiklah, tetapi bagi yang belum mengetahui maka saya ini adalah Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari anak dari Isma’il bin Abi Basyar. Dulu saya berpendapat bahwa Qur’an itu makhluq, bahwa Tuhan Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahwasanya manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya, serupa dengan kaum Mu’tazilah.
Nah, sekarang saya nyatakan terus terang bahwa saya telah taubat dari paham Mu’tazilah dan sekarang saya lemparkan i’itiqad Mu’tazilah itu seperti saya melemparkan baju saya ini (ketika itu dibukanya bajunya dan dilemparkan) dan saya setiap saat siap untuk menolak paham Mu’tazilah yang salah dan sesat itu” (Zhumrul Islam IV halaman 67).
Dari mulai tanggal itu Imam Abu Hasan Ali al Asy’ari berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum Mu’tazilah di mana-mana, merumuskan dan menuliskan dalam kitab-kitabnya i’itiqad-i’itiqad kaum Ahlussunah wal Jama’ah sehingga nama beliau masyhur sebagai seorang Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan paham Mu’tazilah yang salah itu.
Beliau mengumpulkan sebaik-baiknya dari Qur’an dan Hadits paham-paham atau i’itiqad Nabi Muhammad SAW dan Sahabat-sahabat Nabi, diperincikan dengan sebaik-baiknya.
Beliau mengarang buku-buku Ushuluddin banyak sekali.
Berkata Imam Zabidi, pengarang, Kitab Ittihaf Sadatil Muttaqin syarah Ihya Ulumuddin : “Imam Asy’ari mengarang sekitar 200 kitab” (lihat Ittihat jilid II pagina 7).
Diantara kitab-kitab karangan Imam Abu Hasan al Asy’ari.
Ibanah fi Ushuluddiyanah, 3 jilid besar.
Maqalaatul Islamiyiin.
Al Mujaz, 3 jilid besar.
Dan lain-lain.
Keistimewaan Imam Abu Hasan al Asy’ari dalma menegakkan pahamnya ialah, dengan mengutamakan dalil-dalil dari Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan aqal dan pikiran, tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendasarkan pikirannya kepada aqal dan falsafah yang berasal dari Yunani dalam membicarakan Ushuluddin dan pula tidak seperti kaum Mujassimah (kaum yang menyerupakan Tuhan dengan makhluq) yang memegang arti lahir dari Qur’an dan Hadits, sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, Tuhan bermuka, Tuhan duduk-duduk diatas ‘arsy, dan lain-lain sebagainya.
Alhamdulillah, Imam Abu Hasan al Asy’ari dapat menegakkan paham yang kemudian dinamai “Paham Ahlussunah wal Jama’ah, yaitu paham sebagaimana diyakini dan dii’tiqadkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dan para Sahabat-sahabat beliau.
Pada abad-abad berikutnya muncullah ulama-ulama besar kaum Ahlussunah wal Jama’ah yang menyebar-luaskan pengajian-pengajian Imam Abu Hasan al Asy’ari, di antaranya :
Imam Abu Bakar al Qaffal (wafat 365 H).
Imam Abu Ishaq al Asfaraini (wafat 411 H).
Imam al Hafizh al Baihaqi (wafat 458 H).
Imamul Haramain al Juwaini (wafat 460 H).
Imam al Qasim al Qusyairi (wafat 465 H).
Imam al Baqilani (wafat 403 H).
Imam al Gazali (wafat 505 H).
Imam Fakhruddin ar Razi (wafat 606 H).
Imam Izzuddin bin Abdussalam (wafat 660 H).
Ulama-ulama yang tersebut adalah Ulama-ulama penganut dan pendukung yang kuat dari paham Ahlussunah wal Jama’ah yang dibentuk oleh Imam Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari.
Kemudian dalam abad-abad seterusnya, banyak muncul Ulama-ulama Ushuluddin di seluruh dunia Islam yang menganut, mempertahankan dan menyiarkan paham Ahlussunah wal Jama’ah yang dibentuk oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari ini, di antaranya :
Syeikhul Islam Syeikh Abdullah as Syarqawi (Wafat 1227 H) pengarang kitab Tauhid yang dimasyhurkan dengan nama Kitab Syarqawi.
Syekh Ibrahim al Bajuri (Wafat : 1272 H) pengarang kitab tauhid “Tahqiqul Maqam fi Kifayatil A’wam”, dan kitab “Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid”.
Al Allamah Syeikh Muhammad Nawawi Bantan, seorang Ulama Indonesia yang mengarang kitab, Tauhid “Tijanud Darari”. (Wafat: 1315 H).
Syeikh Zanal Abidin bin Muhammad al Fathani yang mengarang kitab Tauhid bernama “’Aqidatun Najiin fi Ushuliddin”.
Syeikh Husein bin Muhammad al Jasar at Thalabilisi, pengarang kitab Tauhid yang terkenal “Hushunul Hamidiyah”.
Dan lain-lain.
Adapun Imam Mansur Al Maturidi, yang dianggap juga sebagai pembangun Madzhab Ahlussunah wal Jama’ah dalam Ushuluddin nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud.
Beliau lahir di suatu desa di Samarqand yang bernama “Maturid”. Beliau meninggal di situ juga pada tahun 333 Hijriyah, yaitu 10 tahun sesudah wafatnya Imam Abu Hasan al Asy’ari.
Makam beliau sampai sekarang diziarahi di Samarqand.
Dunia Islam dahulu sampai sekarang menganggap bahwa kedua Imam ini adalah pembangun Madzhab Ahlussunah wal Jama’ah.
Berkata Sayid Mutadha az Zabidi, pengarang kitab “Ittihaf Sadaatul Muttaqin”, yaitu kitab yang mensyarah kitab “Ihya Ulumuddin”, karangan Imam Ghazali :
Artinya :
Apabila disebut “Ahlussunah wal Jama’ah” maka yang dimaksudkan dengan ucapan itu ialah paham atau fatwa-fatwa yang disiarkan oleh Imam Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi (I’tihaf jilid II, halaman 6).
Suatu hal lagi baik juga diketahui bahwa pada umumnya dunia Islam menganggap dalam furu’ syari’at (fikih), yang benar adalah fatwanya Imam-imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, dan dalam Ushuluddin, yang benar dan yang sesuai dengan Qur’an dan Hadits, adalah fatwa kaum Ahlussunah wal Jama’ah.
Kalau pembaca berjalan keliling dunia, dari Barat ke Timur atau dari Utara ke Selatan dan bertanya-tanya tentang Madzhab dalam furu’ syari’at dan dalam i’itiqad di sesuatu daerah Islam, saudara-saudara akan mendapat jawaban begini :
Di Maroko Madzhab Maliki/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Aljazair Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Tunisia Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Libya Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Turki Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Mesir Madzhab Hanafi dan Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Iraq Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah dan sebagian kecil Syi’ah (Najaf – Karabela).
Di India Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Pakistan Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah dan sebagian kecil Syi’ah Isma’iliyah (Agha Khan).
Di Indonesia Madzhab Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Pilipina Madzhab Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Thailand Madzhab Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Malaysia Madzhab Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Somali Madzhab Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Sudan Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Negeria Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Afganistan Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Libanon Madzhab Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah, sebagian Syi’ah.
Di Hadharamaut Madzhab Syafi’i/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Hijaz Madzhab Syafi’i dan Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah dan sedikit Hambali/Wahabiyah.
Di Nejdi Madzhab Hambali/Wahabiyah.
Di Yaman Madzhab Zaidiyah (Syi’ah), Sebagian Syafi’iyah/Ahlussunah wal Jama’ah.
Di Iran Syi’ah Dua Belas.
Di seluruh daerah Sovyet 90% dari 24.000.000 Muslim adalah Ahlussunah wal Jama’ah/Hanafi, 10% Syi’ah.
Di Tiongkok, Hanafi/Ahlussunah wal Jama’ah.
Begitulah daftarnya pada umumnya.
Nampaklah bahwa sebahagian besar ummat Islam di atas dunia pada zaman sekarang adalah penganut dan pendukung paham Ahlussunah wal Jama’ah.
Sumber: I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah, K.H. Siradjuddin Abbas.
====================================================
Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069).
====================================================
“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6.). وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38) “Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38). كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103) “Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103) وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151) “Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105). والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4) “Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4)
==================================================
Pada saat ini kaum Ahlussunah Wal Jamaah (Ahlusunah/ Sunny) adalah kaum yang paling dimusuhi oleh orang-orang Yahudi dan dan orang-orang Musyrik. Diberbagai belahan dunia yang menjadi korban peperangan/pembunuhan orang muslim sebagian besar adalah kaum Ahlussunah Wal Jamaah.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik (Al Maaidah: 82)
Ingat, kaum itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik
Marilah kita intropeksi diri sendiri maupun jamaah/kelompok/organisasi adakah tersusupi kaum itu atau adakah tersusupi pemikiran/pendapat dari kaum itu.
Secara sederhana dapat diartikan jika ada orang/jamaah/kelompok/organisasi muslim namun sama sekali tidak dimusuhi oleh kaum Yahudi maupun kaum Musyrik artinya ada kemungkinan sudah tersusupi orang mereka atau tersusupi pemikiran mereka yang keliru/sesat atau i’tiqad itu sendiri yang tersesati oleh syetan/iblis.
Wallahu a’lam
File terkait : Ahlussunnah Bantah Ahmad Ibn Taimiyah
8 Tanggapan
mengapa anda menyatakan bahwa mahzab hambali sama dengan mazhab wahabbi, mohon dijelaskan saudaraku?
makasih kang, infonya. daftar pengikut suni yang akang muat, emqang lg ana cari. sekali lg, syukron ya…..jazakallah
pada 26 Maret 2010 pada 10:07 am | BalasAhmad
Syukron banget infonya ya,syukron……….
Jzklh infonya..
Alhmdllh jd tau tentang riwayat Aswaja.
Konstruksi Nalar dan Perkembangan Ahlus Sunah Wal Jamaah
oleh: Ust. Darul Azka
Menilik sejarah umat Islam di masa akhir khilafah dan masa-masa setelahnya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kekuatan riil yang berkembang dan mengakar melalui perjuangan di luar lingkaran pertikaian. Saat konflik mulai merusak berbagai sendi kehidupan umat, sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya selalu bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah, tawazun, seimbang, di dalam menyikapi setiap persoalan, dan bersikap tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.
Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, terdapat beberapa sahabat yang bersikap netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin (ahli hadis), fuqaha’ (para ahli fikih), mufassirin (para ahli tafsir), dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam dan mengakar kuat sebagai kekuatan riil dalam ideologi, syariat, maupun bidang-bidang yang lain.
Pada kurun berikutnya, potret ‘perjuangan tradisional’ serupa dikembangkan oleh Al-Asy’ariy dalam menegakkan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah. Sebagaimana telah terdahulu, awalnya Al-Asy’ariy belajar kepada Al-Jubba’i, seorang tokoh Mu’tazilah dan sementara waktu, Al-Asy’ariy menjadi penganut Mu’tazilah, sampai tahun 300 H. Dan setelah beliau mendalami paham Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba’i dalam berbagai masalah, terutama masalah Kalam. Perdebatan itu membuat Al-Asy’ariy meragukan konsep akidah Mu’tazilah, dan pada masa berikutnya mengikrarkan dirinya keluar dari Muktazilah, dan berjuang memantabkan Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Al-Asy’ariy membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (’aql). Dengan ini beliau berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu’tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy’ariyah inilah Mu’tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya, termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Kemampuan Al-Asy’ari dalam melemahkan Mu’tazilah bisa dimaklumi, karena sebelumnya Al-Asy’ariy pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul seluk beluk logika Mu’tazilah dan dengan mudah menguasai sisi dan titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun eksistensinya mulai diakui setelah keberhasilannya memukul Mu’tazilah dan komitmennya kepada akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Di masa pemerintahan Islam dikuasai Bani Abbasiyah, terjadi perdebatan sengit antara para ulama dan tokoh-tokoh teologi yang ditimbulkan akibat masuknya nilai-niai filsafat non Islam terutama dari barat (Yunani). Karena akar filsafat dan teologi mereka berangkat dari mitos tanpa dasar agama samawi yang kuat. Hal ini menimbulkan gejolak di dunia Islam dan berubah menjadi pertentangan tajam. Dalam tubuh umat Islam, pertentangan ini terkonsentrasi pada tarik menarik antara dua kutub utama yaitu ahlussunnah yang mempertahankan paham berdasarkan nash (naql) dan Mu’tazilah yang cenderung menafikan nash (naql) dan bertumpu kepada akal semata. Karena inilah mereka disebut dengan kelompok rasionalis.
Memanfaatkan pemerintahan yang didominasi oleh pengagum filsafat, Muktazilah pada akhirnya berhasil mempengaruhi penguasa saat itu untuk mememaklumat faham Muktazilah sebagai akidah resmi negara. Muktazilah berhasil memboncengi kekuasaan khilafah Abbasiyah semenjak khalifah al-Ma’mun hingga kepemimpinan al-Mutawakkil. Mu’tazilah yang memegang kendali kekuasaan mencoba melakukan upaya pembatasan gerak dan pencekalan terhadap lawan-lawan mereka. Memanfaatkan isu-isu akidah mereka berupaya melikuidasi dan melenyapkan tokoh lawannya. Perlawanan ‘islam tradisional’ berbasis Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak bisa terelakkan, dan mulai menghebat pada saat barisan Ahlus Sunnah dikomandani oleh dua tokoh ulama yang cukup berpengaruh, Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Mereka dalam hal ini menjadi kutub kekuatan madzhab akidah yang sedang mengalami gempuran hebat dari kelompok rasionalis yang saat itu memang sedang di atas angin.
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi mencoba menangkis semua argumen kelompok rasionalis dengan menggunakan bahasa dan logika lawannya. Argumentasi dalil nash (naql) tidak begitu efektif digunakan sebagai alat penangkal argumen, karena lawan sejak semula sudah mengesampingkan dan menafikan dalil nash. Dapat kita saksikan sistematika hujjah Al-Asy’ary dan Al-Maturidi menyajikan kombinasi antara dalil aqli dan naqli. Pada masanya, metode ini sangat efektif untuk meredam argumen lawan.
Tentu tidak tepat membandingkannya dengan zaman yang berbeda. Karena kebutuhan dan bahasa umat tiap masa selalu berkembang dinamis. Mereka yang tidak memahami sejarah, atau bahkan tidak memahami konstruksi pemikiran Al-Asy’ary dan Al-Maturidi hanya memotret sisi rasionalisasi dalam kitab-kitab Al-Asy’ary dan Al-Maturidi maupun pengikutnya. Mereka yang tidak memahami duduk permasalahan tergesa-gesa menuduh bahwa madzhab teologi ini sesat. Padahal di masanya, mayoritas ulama berada di pihak Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena mereka menyaksikan pertarungan dan pergulatan pemikiran antara Ahli Sunnah dan kelompok rasionalis.
Dan secara de facto, mazhab akidah Asy’ariyah dan Al-Maturidi memang madzhab yang paling banyak dianut umat Islam secara tradisional dan turun temurun di dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam dan sebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatu dengan detail pemikiran Asy’ari, belum tentu semuanya menyepakati.
Sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk madzhab akidah al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-‘Id, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi, Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-‘Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi’i, Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, As-Suyuti dan lain sebagainya. Dari kalangan mufassirin mutaqaddimin, ada Al-Qurthubi, Ibn Katsir, Ibn ‘Athiyah, Abu Hayyan, Fahr Ad-Din Ar-Razi, Al-Baghawi, Abu Laits, Al-Wahidi, Al-Alusi, Al-Halabi, Al-Khathib As-Sarbini. Mufassirin muta’akkhirin diwakili, Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ibn ‘Asur dan lain-lain. Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi ‘Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi.
Para ulama pengikut mazhab Hanafiyah secara teologis umumnya adalah penganut paham Al-Maturidiyah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyyah secara teologis umumnya adalah penganut paham Asy’ariyah. Mayoritas universitas Islam terkemuka di dunia menganut paham Al-Asy’ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas lainnya.
Sehingga tentunya mereka yang menilai Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiah sesat perlu berpikir ulang, karena dengan menganggap sesat mereka, tentu saja kita perlu mengeluarkan para ulama di atas dari garis Islam, begitu juga universitas Islam dan para pemimpinnya. Bahkan semestinya mayoritas umat Islam sepanjang masa pun harus dianggap sesat dan keluar dari garis Islam. Tentu saja ini tidak sederhana dan bukan persoalan mudah. Kesimpulan obyektifnya, tidak mungkin dipungkiri bahwa Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiah adalah bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah. Karena fakta sejarah membuktikan bahwa akidah ini telah disepakati oleh mayoritas ulama dan diamini serta diterima dengan sukarela oleh mayoritas umat Islam secara turun temurun.#
pada 21 Mei 2011 pada 6:27 pm | Balaskambing
mengapa kita tidak kembali ke quran..
mengapa kita selalu menganggap kt n golongan kt yg benar…
mengapa kita mau di kotak2 kan dalam berbagai golongan…
mengapa kita selalu berselisih….
padahal quran sdh jelas menerangkan semua nya….
tahu kah….bahwa iblis mengambil segenggam quran tuk menyesatkan umat..
pada 12 Juni 2011 pada 2:21 pm | Balasrejeb
Nabi telah bersabda spy umat mengikuti sanad:
Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635).
berkata Imam Syafii :“Orang yang belajar ilmutanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak
punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”,
berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
dan Nabi juga memerintahkan supaya berpegang tegung pada jamaah mayoritas
Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069).
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta’ala Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : ‘Ada’. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, da’i – da’i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimaullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama’ah adalah Sawadul A’dzam (Mayoritas Umat). Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah sati firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
jadi kesimpulannya secara logika dan dalil naqli..maka yg benar adalah :
1/ memiliki sanad ilmu bersambung hingga ke Nabi SAW.
2/ didukung pendapat jumhur ulama yg memiliki sanad ilmu bersambung sampai ke Nabi SAW dan mayoritas umat.
wallahu a’lam
pada 13 Juni 2011 pada 10:40 am | BalasRejeb
Nabi telah bersabda spy umat mengikuti agama dgn sanad :
Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635).
berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”
(Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”,
berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
dan Nabi sudah memerintahkan supaya berpegang tegung pada jamaah mayoritas
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta’ala Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : ‘Ada’. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, da’i – da’i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimaullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama’ah adalah Sawadul A’dzam (Mayoritas Umat). Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah sati firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069).
jadi kesimpulannya secara logika dan dalil naqli..maka yg benar adalah :
1/ memiliki sanad ilmu bersambung hingga ke Nabi SAW.
2/ didukung pendapat jumhur ulama trutama yg memiliki sanad ilmu bersambung ke Nabi dan mayoritas umat.
wallahu a’lam
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar