Penjelasan Bertasawuf

Beberapa tanggapan datang dari saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh, menanggapi tulisan kami padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/11/rasulullah-bertasawuf/
Mereka menanyakan mengapa dikatakan Rasulullah bertasawuf bukan Rasulullah menyampaikan tentang akhlak, karena bagi pemahaman mereka berdasarkan pemahaman syaikh/ulama/ustadz mereka, tasawuf mempunyai makna yang lain yang berkonotasi negatif dan sekaligus menanyakan mengapa kami menyiarkan tentang tasawuf.
Kami sengaja memilih judul “Rasulullah bertasawuf” agar semakin jelas bahwa jika tasawuf dimaknakan bukan sebagai akhlak atau tentang Ihsan maka mustahil Rasulullah bertasawuf.
Upaya ini kami lakukan karena pada zaman modern ini semakin banyak muslim yang tidak tahu tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Banyak yang tidak paham apa arti dan maksud sebenarnya dari akhlak.
Jika tidak mengerti atau mengetahui tentang Akhlak / tentang Ihsan maka secara tidak disadari akan menganggap bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat segala perbuatan kita. Seperti contoh mereka yang korupsi, mafia hukum, bugil depan kamera dan perbuatan-perbuatan yang dilarang lainnya, pada hakikatnya adalah mereka yang tidak yakin bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan mereka.
Apakah boleh kami membiarkan perihal seperti itu berlarut-larut ?
Adakah tarekat Rasulullah
Kemudian, saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh menanyakan apakah ada tarekat Rasulullah ?
Pada hakikatnya tarekat yang muktabar, sanad/silsilah atau sanad ilmu/ijazah terhubung kepada Rasulullah.
Sedangkan contoh murid yang mursyidnya langsung baginda Rasulullah adalah Sayyidina Ali ra.
Sayyidina Ali ra lah yang secara intensif dibimbing oleh Rasulullah untuk bertasawuf sehingga mencapai muslim yang Ihsan (muhsin) yang keadaannya “seolah-olah” melihat Allah.
Sebagaimana yang diriwayatkan berikut

Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Jadi bagi kaum muslim yang “paham” dan mengakui Rasulullah sebagai Wali Allah maka mereka “paham” dan mengakui Sayyidina Ali ra sebagai wali Allah pula.
Inilah makna sebenarnya dari perkataan Rasulullah , “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali” dalam riwayat berikut yang dimaknai lain oleh kaum Syiah.
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah saw pada hari Jumat. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Swt, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah saw“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“
Yang “paham” atau mengenal wali Allah hanyalah mereka yang dikaruniakan Taufiq dan hidayahNya”
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Kemudian, saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh menyatakan berdasarkan pendapat syaikh/ulama/ustaadz mereka bahwa kaum sufi adalah mereka yang gemar tahayul dan khurafat.
Khurafat adalah salah satu kata yang termasuk dalam “slogan” dari saudara-saudara kita yang mengaku berpemahaman Salafasuh Sholeh dan mengaku seolah-olah hanya mereka saja yang “khawatir” tentang “Tahayul, Bid’ah dan Khurafat”.
Untuk masalah bid’ah kita sudah sepakat bahwa pemahaman mereka tentang bid’ah berbeda dengan pemahaman kaum muslim pada umumnya.
Sehingga jumhur ulama sepakat juga menggunakan kata Wahhabi untuk “mengidentifikasi” suatu kaum dengan pemahaman berlainan yakni pemahaman tentang bid’ah sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menurut pengakuan beliau mengikuti pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yang mengaku sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh.
Seharusnya nama kaum bukan Wahhabi tetapi Muhammadi berdasarkan nama pendirinya. Namun untuk menghindari kesalahpahaman dengan penamaan kaum maka disepakati menggunakan nama Wahhabi.
Sedangkan kesalahpahaman tentang Kurafat, Tahayul adalah kesalahpahaman mereka terhadap kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpaman yang disampaikan oleh para ulama Tasawuf (ulama yang mendalami tentang Ihsan / akhlak).
Kekurangan dari bahasa lisan maupun tulisan adalah ketika ulama-ulama tasawuf berupaya mengungkapkan suasana atau bahasa hati atau keimanan. Untuk itulah diperlukan kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpamaan.
Perihal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Mursyid adalah pembimbing secara dzahir (tampak mata) namun pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla yang membimbing hambaNya untuk sampai kepadaNya dan khusus hanya kepada siapa yang dihendakiNya.
Oleh karenanya muslim yang mencapai muslim yang ihsan atau muhsin atau juga disebut sufi disebut juga sebagai orang khusus untuk membedakan dengan muslim pada umumnya.
Mereka disebut juga orang dalam perjalan untuk sampai kepadaNya . Mereka menjadi khusus karena mereka dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla yang menghendaki mereka untuk dapat mencapai tingkatan muslim yang ihsan (muhsin) atau muslim yang seolah-olah melihatNya atau muslim yang dapat melihat Allah dengan hati/keimanan dengan mensucikan mereka.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Oleh karenanya makna sebenarnya dari sufi sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Abu al-Abbas r.a, “Kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal“.
Oleh karenanya kami sampaikan atau peringatkan berulang-ulang kali, janganlah mengambil pemahaman tentang tasawuf atau tentang sufi dari dukhala ilmi atau ahli ilmu (ulama) yang tidak mendalami tasawuf, karena ulama-ulama Tasawuf lah yang berkompeten / yang ahli untuk menjelaskannya.
Kalau kita belum dapat memahami apa yang disampaikan oleh ulama-ulama Tasawuf , haruslah kita intropeksi diri terlebih dahulu karena mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala.
Namun pada prinsipnya, tidak mengapa kita belum dapat mendalami atau memahami atau menjalankan tasawuf karena tidak membatalkan keislaman kita. Perihal ini sama dengan hukum bagi mereka yang belum meyakini hadits qudsi ataupun belum mengenal Wali Allah, tidaklah membatalkan keislaman. Akan tetapi jika kita mengolok-olok, menghujat, mefitnah terhadap Tasawuf, Hadits Qudsi, Wali Allah, inilah yang terlarang dan akan diperangi oleh Allah ta’ala.
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya…
Kesalahpahaman bahwa tasawuf  bukan termasuk syariat/tasyri
Sebagian besar kesalahpahaman menganggap / memperlakukan tasawuf sebagai tasyri atau syariat atau ajaran tambahan dan syariat sudah sempurna sampai dengan Rasulullah wafat.
Inilah yang harus diluruskan , bagaimana kedudukan sebenarnya antara tasawuf dengan tasyri / syariat.
Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau dikenal dengan suluk dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat / syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat / syarat maka “perjalanan” akan tersesat.
Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta’ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid (pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian / cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
“Perjalanan” yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan / pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui / melewati “jalan yang lurus”.
Sekali lagi kami sampaikan sebagaimana firman Allah dalam (QS An Nisaa’ [4]:175 ) bahwa tujuan hidup kita adalah (untuk sampai) kepadaNya. Berkumpul dengan para Nabi, para Shidiqqin, Syuhada dan Sholihin. Berkumpul dengan mereka yang selalu mengingat Allah (dzikrullah).
Maka berupayalah menjadi muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin), muslim yang baik , muslim yang sholeh (sholihin). Muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati/keimanan sebagai perwujudan sebenar-benarnya “bersaksi” / syahadah.
Oleh karenanya marilah kita bertasawuf atau memperdalam/menjalankan tentang ihsan sebagaimana yang telah dicontohkan baginda Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wasallam.
Wassalamualaikum
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

2 Tanggapan
hamba ALLOH
Asww,,,,,blh sya mnta no saudara yang mempunyai blog ini???



mutiarazuhud

Walaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
No telp yang dapat dihubungi ada di sudut kanan bawah blog kami.
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar