Majelis Ulama Dunia

Marilah kita wujudkan Majelis Ulama tingkat dunia sebagai pengganti sementara ketiadaan khalifah / pemimpin umat Islam tingkat dunia.
Rasulullah bersabda, “Kamu harus selalu mendengar dan taat kepada penguasa, baik dalam hal sulit, menyenangkan, menjemukan, dan walaupun ia tidak mempedulikan kamu.” (HR.Muslim dari Abu Hurairah)
Rasulullah  menjawab, “Dengarkan dan taatilah pemimpin, sekalipun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas, dengarkan dan taatilah.” (HR Muslim)
Rasulullah bersabda, ” Seorang mukmin wajib taat terhadap perintah yang disukainya maupun yang dibencinya. Kecuali bila ia diperintahkan mengerjakan maksiat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.“(HR.Bukhari)
Imam An Nawawi mengatakan, “tidak dibenarkan keluar dari ketaatan kepada pemimpin jika semata karena kezaliman dan kefasikannya, selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/327)
Hasan al-Bashri berkata tentang penguasa (umaro)

“Mereka mengatur urusan kita pada 5 perkara : sholat jum’at, sholat jama’ah, sholat ‘Ied, perang (jihad), dan hukum had. Demi Allah, tidak akan lurus agama ini kecuali dengan adanya mereka, walaupun mereka aniaya dan dzolim. Demi Allah, Allah memperbaiki melalui mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak, karena sesungguhnya ta’at kepada mereka -demi Allah- adalah kebaikan, dan menyelisihi mereka adalah kekufuran.”

Dalil-dalil  di atas adalah ketika penguasa di zaman kekhalifahan atau penguasa-penguasa wilayah dalam kendali seorang Khalifah.
Pendapat kami, dalil-dalil tersebut tidak tepat diimplementasikan kepada penguasa pada zaman sekarang yang berkuasa dengan batas negara dan tidak ada seorang pemimpin (khalifah) yang “mengendalikan” mereka.
Apalagi seorang penguasa negeri pada zaman sekarang dapat dipengaruhi atau bahkan “didudukan” oleh Amerika dan sekutunya yang dibelakang mereka adalah kaum Zionis Yahudi yang dimurkai Allah Azza wa Jalla.
Berhati-hatilah terhadap berbagai pihak yang menyerukan agar kita mentaati memimpin walaupun dzalim atau tidak adil dengan pembenaran mereka menggunakan Al Qur’an dan Hadits karena ditengarai (diduga) yang menyerukan seperti itu terkait dari upaya Zionis Yahudi  untuk  “mendudukan” penguasa-penguasa negeri walaupun mereka muslim namun mereka sekutu dari Amerika yang dibelakangnya kaum Zionis Yahudi.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )
Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rasul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun maksud dari ulil amri dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara ( pemimpin ). Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para Khulafa’ Rasyidin sesudahnya : Sayyidina Abu Bakar ra, Sayyidina Umar ra , Sayyidina Ustman ra dan Sayyidina Ali ra, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Syariat Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara. Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara ?
Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rasul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari dari Ali radhiallahu ‘anhu )
“Hendaklah kamu taat dan dengar, sekalipun yang memerinah kamu seorang budak Habsyi yang seakan-akan kepalanya laksana buih (kerinting rambutnya) , selama dia masih menegakkan Kitabullah di tengah-tengah kalian” (Hadits sahih riwayat Bukhari).
Khalifah Umar al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang melanggar perintah Allah.”
Imam ar Razi berkata, “Ketaatan kepada para pemimpin hanya jika mereka di atas kebenaran. Sedangkan taat kepada para pemimpin dan sultan yang zalim tidak wajib, bahkan haram.” (Mafatihul Ghaib, 3/244)
Berkata Abul A’la al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Oleh karenanya, kita mentaati ulama, karena mereka mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu juga kita mentaati umara’ karena mereka mentaati para ulama. Kita sebaiknya lebih mengutamakan taat kepada Ulama daripada taat kepada Umara (penguasa).
Kita boleh mengingkari dan membenci pemimpin sikap, perbuatan atau kepemimpinannya bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits  namun kita dilarang memberontak atau makar apalagi sampai tertumpah darah  sesama muslim (selama masih sholat).
“Seburuk-buruknya Pemimpin adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim).
Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Jelaslah bagi siapa yang ridha dan terus mengikuti pempimpin yang buruk maka mereka pun turut berdosa.
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Sejak keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani maka pada hakikatnya kepemimpinan umat Islam berada pada para ulama yang sholeh.
Dalam sebuah negara, setiap jama’ah minal muslimin atau kelompok kaum muslimin menunjuk perwakilannya untuk duduk dalam majelis ulama tingkat negara. Penunjukkan perwakilan dalam majelis ulama tingkat negara dengan mengikuti sunnah Rasulullah  yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:  “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)
Majelis ulama tingkat negara yang akan memberikan pendapat/pemahaman berlandaskan Al Qur’an dan Hadits terhadap seluruh permasalahan umat Islam berdasarkan musyawarah dan mufakat dari seluruh anggota majelis tanpa membedakan kedudukannya.  Inilah yang disebut dengan Ahlul halli wal ‘aqdi.  “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah”.  Sehingga terpenuhilah sunnah Rasulullah agar kita mengikuti pendapat/pemahaman dari  as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) yang diwakilkan dalam majelis ulama.
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Penguasa / Umaro dalam permasalahannya harus meminta pertimbangan kepada Majelis Ulama tingkat negara.
Dahulu di negara kita, lembaga untuk meminta pertimbangan bagi penguasa / Presiden adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang semenjak pendiriannya diisi oleh ulama-ulama yang sholeh.  Namun setelah berlaku UU No 3 tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung , berubah anggota menjadi terdiri dari tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh karya, tokoh-tokoh daerah dan tokoh-tokoh nasional. Padahal hakikat Dewan Pertimbangan Agung didirikan sebagai majelis yang “mewakili” Allah Yang Maha Agung,  dengan selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadits.
Oleh karena DPA sudah tidak ada lagi maka sebaiknya wewenang Majelis Ulama Tingkat Negara yang di negeri kita dikenal sebagai  Majelis Ulama Indonesia (MUI) diperluas wewenangnya sebagai pemberi pertimbangan  kepada Penguasa/Umaro  yang akan berkapasitas sebagai “wakil Allah” di sebuah negara.
Pada saat ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mempunyai wewenang seperti penetapan awal bulan Ramadhan dan 1 Syawal dimana penguasa (umaro) tinggal menetapkan atau menyampaikan saja.
Jadi pendapat kami, kaum Muhammadiyah, Persis dan ormas lainnya yang menyelisihi  pendapat MUI dalam penetapan 1 Syawal sebaiknya mengikuti apa yang telah disepakati oleh para Ulama, kesepakatan as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) . Begitulah sunnah Rasulullah jika kita menghadapi perbedaan pendapat.
Wewenang Majelis Ulama Indonesia dalam memberikan pertimbangan bagi penguasa (umaro) sangat penting agar penguasa (umaro) dapat mengambil kebijakan yang baik dan benar dalam arti tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits agar terwujud Negara Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghafur
Jika setiap Majelis Ulama tingkat Negara menetapkan perwakilan dalam Majelis Ulama tingkat Dunia maka Majelis Ulama tingkat Dunia akan memberikan pendapat/pemahaman berlandaskan Al Qur’an dan Hadits atas segala permasalahan umat Islam seluruh dunia sebagi pengganti kekhalifahan yang belum terwujud sebagaimana janji Allah Azza wa Jalla pada mendekati akhir zaman kelak. Tentang kekhalifahan telah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/08/12/kekhalifahan/
Seluruh penguasa (umaro) yang muslim dipelbagai negara harus tunduk dan taat kepada Majelis Ulama tingkat Negara untuk permasalahan dalam tingkat negara dan tunduk dan taat kepada Majelis Ulama tingkat Dunia untuk permasalahan antar negara.
Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang terdahulu yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati dan tunduk kepada mereka.”
Kebalikan yang telah terjadi di wilayah kerajaan dinasti Saudi, para ulama di sana seolah-olah tunduk kepada para penguasa (Umaro). Sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada


Jadi setelah tidak ada Khulafaur Rasyidin (pengganti Rasulullah) , setelah tidak ada Khalifah maka yang harus kita “gigit dengan gigi geraham” adalah sunnah atau pendapat ulama yang sholeh,  pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar