Tanpa arah dan tempat

Perbedaan pemahaman saat ini , sebagian sudah tidak lagi dalam hal furuiyah/khilafiyah (cabang) namun sudah merambah pada tataran aqidah atau i’tiqad.
Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya?”, “Di mana Dia?  ” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat“.
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya  tanpa  tempat dan arah  setelah  terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat,  hlm.  506,  mengatakan:  “Sebagian  sahabat  kami  dalam menafikan  tempat  bagi  Allah mengambil  dalil  dari  sabda  Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
Maknanya:  “Engkau  azh-Zhahir  (yang  segala  sesuatu menunjukkan akan  ada-Nya),    tidak  ada  sesuatu  di  atas-Mu  dan  Engkaulah  al Bathin  (yang  tidak  dapat  dibayangkan)  tidak  ada  sesuatu  di  bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika  tidak  ada  sesuatu  di  atas-Nya  dan  tidak  ada  sesuatu  di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

Hadits Jariyah
Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil  secara  zhahirnya,  tetapi  harus  ditakwil  dengan makna yang sesuai dengan  sifat-sifat Allah,  jadi maknanya adalah Dzat yang sangat  tinggi derajat-Nya  sebagaimana  dikatakan  oleh  ulama Ahlussunnah Wal  Jama’ah, di  antaranya  adalah  al  Imam  an-Nawawi dalam  Syarh  Shahih  Muslim.
Sementara  riwayat  hadits  Jariyah  yang maknanya shahih adalah:

Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah  seorang  sahabat  Anshar  datang  kepada  Rasulullah Shallallahu  ‘alayhi  wasallam   dengan  membawa  seorang  hamba sahaya  berkulit  hitam,  dan  berkata:  “Wahai  Rasulullah sesungguhnya  saya mempunyai kewajiban memerdekakan  seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya,
kemudian Rasulullah berkata  kepadanya:  Apakah  engkau  bersaksi  tiada  Tuhan  yang berhak  disembah  kecuali  Allah?  Ia  (budak)  menjawab:  “Ya”,
Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah  Rasul  (utusan)  Allah?  Ia  menjawab:  “Ya”,
kemudian Rasulullah  berkata:  Apakah  engkau  beriman  terhadap  hari
kebangkitan  setelah  kematian?  ia  menjawab  :  “Ya”,  kemudian
Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia”.
Al Hafizh  al Haytsami  (W.  807 H)  dalam kitabnya Majma’  az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad  dan  perawi-perawinya  adalah perawi-perawi  shahih”.

Riwayat inilah  yang  sesuai  dengan  prinsip-prinsip  dan  dasar  ajaran  Islam,
karena di  antara dasar-dasar  Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka  ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain.
Tidak  Boleh  dikatakan  Allah  ada  di  atas  ‘Arsy  atau  ada  di mana-mana
Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah  meridlainya-:
Maknanya:  “Allah  ada (pada  azal)  dan  belum  ada  tempat  dan Dia (Allah)  sekarang  (setelah menciptakan  tempat)  tetap  seperti  semula, ada tanpa  tempat“  (Dituturkan  oleh  al  Imam  Abu  Manshur  al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya  tidak boleh dikatakan Allah ada di  satu tempat atau di mana-mana, juga  tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua  arah  penjuru.  Syekh Abdul Wahhab  asy-Sya’rani  (W.  973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: “Tidak  boleh  dikatakan  bahwa Allah  ada  di mana-mana”.
Aqidah  yang mesti  diyakini  bahwa  Allah  ada  tanpa  arah  dan  tanpa tempat.
Al  Imam  Ali -semoga  Allah  meridlainya-  mengatakan  yang maknanya:  “Sesungguhnya Allah  menciptakan  ‘Arsy  (makhluk Allah  yang paling  besar)  untuk  menampakkan  kekuasaan-Nya  bukan  untuk menjadikannya tempat  bagi Dzat-Nya“  (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina  Ali -semoga  Allah  meridlainya-  juga  mengatakan  yang maknanya:  “Sesungguhnya  yang  menciptakan  ayna  (tempat)  tidak  boleh dikatakan  bagi-Nya  di  mana  (pertanyaan  tentang  tempat),  dan  yang menciptakan  kayfa  (sifat-sifat  makhluk)  tidak  boleh  dikatakan  bagi-Nya bagaimana“  (diriwayatkan  oleh Abu  al Muzhaffar  al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Selengkapnya silahkan baca pada sumber yakni,
.
Wassalam
Zon di Jonggol

3 Tanggapan
Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Allah diatas Arsy, Dalilnya :

“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy” (QS. Thaha: 5)
Ayat ini jelas dan tegas menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang” (QS. Al Mulk: 16)
Juga ayat lain yang artinya:
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij: 4). Ayat pun ini menunjukkan ketinggian Allah.
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ رضي الله عنه قَالَ: …وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ, فَإِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا, وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ, آسَفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً, فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عليه و سلم فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَفَلاَ أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِيْ بِهَا, فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ, قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.
dan Atsar Sahabat (Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu): Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang2 menghadap kepadanya dimana ia waktu di masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yg tegak, niscaya para pembesar dan tokoh2 masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? Dan ia (‘Umar) berisyarat dg tangannya ke langit”
Maalik bin Anas (Tabi’ut tabi’in) mengatakankan : “Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu
Imam Asy-Syafi’i berkata :”Dan sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya”.
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
============================================================
Dalil fitrah
Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan? Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.
Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)
Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya. Imam Malik pernah ditanya dalam majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya) sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)
Allah bersama makhluk-Nya
Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat. Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua pernyataan tersebut.
Karena kata ma’a (bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa dengan makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi bersatu dengan makhluk-Nya.
KESIMPULAN : TELAH JELAS DG DALIL AQURAN, HADIS, ATSAR SERTA PENDAPAT ULAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH BAHWA ALLAH BERADA BERADA DIATAS ‘ARSY DAN KEKUASAANNYA ADA DIMANA SAJA.



mutiarazuhud
Para Salafush Sholeh maupun para Imam Mazhab yang empat, mereka tidak mengucapkannya kecuali ‘ala sabilil hikayah atau menetapkan lafazhnya (itsbatul lafzhi) saja; yaitu hanya mengucapkan kembali apa yang diucapkan oleh al Qur’an, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” atau “A’amintum man fis sama’“. Tidak lebih dari itu.
Namun mereka para pengikut Ibnu Taimiyyah sebagaimana Ibnu Taimiyyah memaknainya dengan menterjemahkan secara harfiah bahwa Allah ta’ala bertempat di atas Arsy atau bertempat di (atas) langit.
Allah Azza wa Jalla ada sebagaimana sebelum diciptakan Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. Tidak berubah dan tidak pula berpindah. Yang berubah dan berpindah adalah ciptaanNya.
Imam Sayfi’i ra mengatakan
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
فأجاب بقوله : عقيدة إمام السنة أحمد بن حنل رضي الله عنه وأرضاه وجعل جنان المعارف متقلبه ومأواه وأقاض علينا وعليه من سوابغ امتنانه وبوأه الفردوس الأعلى من جنانه موافقة لعقيدة أهل السنة والجماعة من المبالغة التامة في تنزيه الله تعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علوا كبيرا من الجهة والجسمية وغيرهما من سائر سمات النقص ، بل وعن كل وصف ليس فيه كمال مطلق ، وما اشتهر به جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشيء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه ، فلعن الله من نسب ذلك إليه أو رماه بشيء من هذه المثالب التي برأه الله منها
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau



KESIMPULAN : TELAH JELAS DG DALIL AQURAN, HADIS, ATSAR SERTA PENDAPAT ULAMA AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH BAHWA ALLAH BERADA BERADA DIATAS ‘ARSY DAN KEKUASAANNYA ADA DIMANA SAJA.
Ulamanya boleh tau siapa namanya ???
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar