Pada zaman sekarang ini ada sebuah konsep yang diusung sebagian ulama yang mengaku menisbatkan pada Salafush Sholeh. Konsep ini kami berikan nama “terjemahkan saja” , konsepnya adalah,
Kita harus berserah diri, jangan menggunakan akal, apa yang Allah ta’ala dan Rasulullah sampaikan dan apa yang dicontohkan oleh Salafush Sholeh harus diterima dan diikuti apa adanya berdasarkan penterjemahan / penafsiran terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara dzahir karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.
Dalih konsep mereka dengan firman Allah yang artinya,
“dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).
Sebagian ulama itu melarang kita berpendapat/berpemahaman dengan akal (ro’yu) walaupun telah bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits.
Namun mereka tidak konsisten ketika mereka “menggunakan” akal untuk pendapat mereka tentang “tauhid menjadi tiga” atau dengan kata lain hanya mereka sajalah yang boleh menggunakan akal. Padahal dengan akal yang dikaruniakan Allah ta’ala lah, kita menjadi berbeda dengan ciptaanNya yang lain dan dengan akallah kita memahami petunjukNya sebagai syarat, rambu atau petunjuk untuk mengadakan “perjalanan” agar kita sampai kepada Allah ta’ala. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada perjalanan-hidup
Jangan menggunakan akal, termasuk didalamnya jangan mengikuti imam madzhab karena imam madzhab (menurut mereka) menyampaikan berdasarkan akal atau telah tercampur akal imam madzhab, tidak murni firman Allah (Al-Qur’an), perkataan Rasulullah (Hadits) atau perkataan/perbuatan yang telah dicontohkan Salafush Sholeh (Atsar).
Lihat penjelasan ustadz Ahmad Sarwat Lc dalam paham-anti-mazhab
Beliau mengulas buku karya Dr. Said Ramadhan Al-Buthy yang berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.
Kutipan penjelasan ustadz Ahmad Sarwat Lc,
*** awal kutipan ***
Menurut Al-Albani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.
Tentu saja pendapat seperti ini adalah pendapat yang keliru besar. Ilmu fiqih dan mazhab pada ulama yang ada itu bukan didirikan untuk menyelewengkan umat Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah. Justru ilmu fiqih itu sangat diperlukan sebagai metodologi yang istimewa dalam memahami Quran dan Sunnah.
*** akhir kutipan ***
Tidak ada larangan seorang ulamapun bagi setiap muslim untuk tidak mengikuti mazhab. Jika seorang muslim merasa tidak cukup dengan hasil ijtihad imam mazhab, mereka harus didukung dengan kemampuan atau kompetensi sebagai seorang mujtahid. Selengkapnya mengenai syarat atau kompetensi sebagai mujtahid, silahkan baca tulisan pada imam-mujtahid
Dengan konsep “terjemahkan saja”, telah terjadi kesalahpahaman selama ini tentang anjuran bagi setiap muslim untuk merujuk langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits tanpa memperhatikan kemampuan/kompetensi atau metodologi pemahaman.
Contoh:
Salah satu yang membatalkan wudhu’ adalah bersentuhan dengan perempuan (selain mahram) berdasar ayat 6 Surat al-Maidah. Ayat yang dibahas satu itu, tapi kenyataan pendapat mereka berlaian.
Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dnegan “al-lams” (bersentuhan) dalam ayat tersebut adalah bersetubuh. Sehingga wudhu’ hanya akan batal karena melakukan setubuh (Arab = jimaa’), dan tidak batal dengan sekedar bersentuhan kulit –baik ada syahwat saat bersentuhan atau tidak.
Malikiyah dan Hanbaliyah mengatakan wudhu’ tidak batal bila tidak ada syahwat saat bersentuhan, dan batal jika disertai dengan syahwat. Karenanya, walaupun yang disentuh itu anak ingusan, bila ada syahwat, tetap batal.
Hanbaliyah: hanya perempuan yang wajarnya menimbulkan syahwat saja yang membatalkan. Demikian, karena kedua madzhab (Malikiyah dan Hanbaliyah) ini melandaskan pendapatnya di samping pada ayat di atas juga pada beberapa hadis yang menyiratkan tidak batalnya wudhu’ hanya sekedar dengan bersentuhan biasa (tanpa syahwat).
Syafi’iyah: tambah ketat lagi, baik ada syahwat atau tidak, jika yang disentuh itu perempuan yang sudah baligh maka membatalkan wudhu’. Argumennya, yang dimaksud dengan “al-lams” dalam ayat 6 surat al-Maidah itu adalah bersentuhan secara hakiki, antara dua kulit yang berlainan jenis, laki-laki dan perempuan yang sama-sama dewasa.
Itu satu contoh kecil. Dan perbedaan-perbedaan yang lain pun terjadi karena demikian itu: metodologi istinbath (pengambilan dalil) yang berlainan.
Apalagi memahami ayat-ayat mutasyabihat (memiliki arti banyak) seperti “Arrahmaanu ‘alal ‘arsy istawaa (QS Thaha [20]:5 ) diperlukan pemahaman yang dalam (hikmah) dan merupakan karunia Allah, diberikanNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Pada hakikatnya Allah ta’ala memperkenalkan diriNya kepada siapa yang dikehendakiNya saja.
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]: 269)
Konsep “terjemahkan saja” merupakan sebuah kekeliruan dengan hanya bersandar pada sebuah ayat yakni “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195)
Padahal ada firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangkan bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Kita paham bahwa jika kita ingin memahami lebih dalam firman Allah ta’ala, disamping makna kata dengan alat seperti nahwu, shorof, balaghoh dll, kita sebaiknya memperhatikan keutuhan kalimat, memperhatikan keutuhan ayat, kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya dalam satu surat, kaitan dengan ayat-ayat lain dalam surat yang lain maupun hadits, asbabun nuzul.
Konsep “terjemahkan saja” sangat berbahaya jika upaya pemahaman yang dilakukan untuk tujuan berdakwah atau bahkan untuk mensesatkan , mentakfirkan (kaum) muslim lainnya . Inilah yang disampaikan oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi agar kita tidak perlu mendengarkan dukhala ilmi (mereka yang berkecimpung dalam ilmu namun bukan ahlinya) pada pembukaan Forum Alumni Al Azhar VI, yang mengangkat tema tentang “Persatuan dalam Komunitas Ahlu Sunnah”. Silahkan lihat berita pada ulama-bukan-ahlinya dan ikhtilaf-dalam-persatuan
Saat ini ada kita temukan ulama yang berpegang hanya pada satu atau sebagian nash Al-Qur’an maupun Hadits dalam upaya mereka membenarkan apa yang mereka atau kaum mereka pahami sehingga mereka terjerumus kapada upaya pembenaran atau berdalih bukan pada upaya menegakkan kebenaran atau berdalil/berhujjah.
Konsep “terjemahkan saja” sangat disukai oleh orang-orang yang telah diperingatkan bagi kita oleh Allah ta’ala yakni “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 ). Mereka menggunakan konsep “terjemahkan saja” untuk mendalami Al-Qur’an dan Hadits dalam upaya pembenaran apa yang mereka pahami dan sekaligus untuk menumpahkan rasa permusuhan mereka.
Salah satunya mereka gunakan konsep “terjemahkan saja” untuk menyebarkan paham pluralisme padahal pada hakikatnya agama hanyalah Islam. Silahkan baca tulisan pada agama-hanya-islam
Juga ditengarai dengan konsep “terjemahkan saja” digunakan untuk upaya mereka mendiskreditkan ulama-ulama muslim sehingga berbenturan dengan kaumnya atau tidak dipercayai lagi oleh kaumnya. Mereka berupaya mengurangi pengaruh ulama atas masyarakat/kaumnya dengan menyebarkan konsep kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama yakni dengan penyebaran paham liberalism dan sekularisme.
Jadi sebuah kesalahpahaman jika kita menganjurkan bagi setiap muslim untuk merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits tanpa mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk berijtihad.
Lebih baik sebagaimana pendapat jumhur ulama agar bagi mereka yang belum mempunyai kemampuan berijtihad untuk ikhlas menjadi seorang muqolid (mengikuti imam mazhab) kemudian diikuti merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits agar terhindar dari taqlid buta.
Apa yang telah dihasilkan dan diwariskan oleh imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i maupun Imam Hanbali jauh telah melampaui daripada konsep “terjemahkan saja”. Bahkan mereka adalah imam-imam yang masih sempat bergaul langsung dengan para Salafush Sholeh.
Begitu pula apa yang telah dihasilkan dan diwariskan oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi , mereka telah jauh melampaui konsep “terjemahkan saja”. Mereka telah dapat menerangkan kepada kita akan sifat-sifat Allah berdasarkan petunjukNya.
Mereka adalah orang-orang yang berkecimpung dalam ilmu dan yang ahlinya. Ulama yang berkompeten dibidangnya masing-masing.
Begitupula apa yang telah dihasilkan dan diwariskan oleh imam-imam tasawuf, mereka telah jauh melampaui konsep “terjemahkan saja”. Perkataan atau pendapat mereka terlahir dalam bentuk nasehat yang menyentuh hati atau bimbingan agar kita bisa sampai kepada Allah ta’ala. Nasehat atau bimbingan mereka tidak memerlukan lagi dalil/hujjah karena mereka membimbing kita sampai kepada Allah yang Mengetahui makna dari seluruh firmanNya. Sungguh pada hakikatnya untuk memahami agama, Allah ta’ala lah yang membimbing hambaNya. Oleh karenanya marilah kita mengenal Allah (ma’rifatullah).
Awaluddin makrifatullah, awal-awal agama ialah mengenal Allah
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, Siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah.
Firman Allah Taala :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
“Seolah-olah melihat Allah” adalah bukti bahwa telah sampai kepada Allah.
Sebagai pembuktian nyata akan syahadat yang telah kita ucapkan merupakan “sidqan min qalbihi“ (betul-betul keluar dari qalbu)
Itulah hakikat dari syahadat / “kesaksian” / “menyaksikan” / “melihat” /”syahid” bahwa “tiada tuhan selain Allah“
Semoga kita semua dapat mencapai muslim yang Ihsan, muslim yang baik, muslim yang sholeh
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
*******
Berikut adalah tulisan dengan tema dan makna sejenis dan ditulis oleh penulis lain
Sumber:
http://artikelislami.wordpress.com/2011/01/30/mewajibkan-ittiba-bagi-semua-orang-adalah-bidah-dholalah/
Mewajibkan Ittiba’ bagi Semua Orang adalah Bid’ah Dholalah
Ittiba’ adalah menempuh jalan yang ditempuh oleh seseorang dan melakukan apa yang dilakukannya. Namun ittiba’ dalam pemahaman salafy hanyalah terbatas pada mengikuti Al-Qur’an dan hadits secara langsung tanpa melihat pendapat para ulama Mujtahid.
Ketahuilah bahwa mengikuti Al-Qur’an dan hadits secara langsung hanya sanggup dilakukan oleh para mujtahid muthlaq seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Karena untuk ittiba’ yang seperti itu diperlukan kemampuan untuk berijtihad. Sedangkan untuk melakukan ijtihad itu harus memenuhi syarat-syarat yang berat yang hanya dapat dipenuhi orang-orang yang sangat kuat seperti para imam madzhab. Adapun orang awam sangat sulit untuk melakukan itu. Bahkan ulama-ulama hadits sekelas Imam Nawawi dan Imam ibnu Hajar Asqolani pun masih bermadzhab.
Maka mengikuti Al-Qur`an dan hadits secara langsung tidaklah wajib bagi semua orang. Bahkan ia tidak wajib bagi semua ulama. Karena hanya mujtahid saja yang sanggup mengikuti Al-Qur`an dan hadits secara langsung.
Jika ittiba’ semacam yang dimaksud salafiyyun itu wajib bagi semua orang, sedangkan tidak semua orang yang sanggup, hanya sebagian kecil saja yang sanggup, maka berapa banyak orang yang jatuh ke dalam dosa karena tidak melaksanakan kewajiban itu?
Ketahuilah bahwa ittiba’ kepada Al-Qur`an dan hadits dapat secara langsung, dan itu dapat dilakukan oleh mujtahid; dan dapat pula secara tidak langsung, yaitu dengan mengikut kepada mujtahid.
Kemudian salafiyyun membedakan antara taqlid dan ittiba’ dalam pemahaman mereka. Ketahuilah bahwa dalam ushul fiqh, kita tak mengenal istilah ittiba’, yang kita kenal adalah ijtihad dan taqlid. Istilah ittiba’ ini hanyalah istilah baru yang dibuat para salafiyyun untuk menyebut suatu keadaan di mana seseorang mengikuti pendapat seorang mujtahid dengan disertai dalil.
Pahamilah saudara-saudariku bahwa mengetahui dalil atau tidak mengetahui dalil bagi orang yang belum mencapai derajat mujtahid adalah sama. Karena dalil yang diketahuinya itu tidak dapat digunakan untuk berijtihad pula. Sedangkan orang yang tidak melakukan ijtihad, maka ia berada dalam tingkatan muqallid, yaitu orang yang taqlid.
Maka jelaslah bahwa taqlid itu wajib bagi orang awam, apakah ia mengetahui dalil atau pun tidak mengetahui dalil. Sedangkan ittiba’ itu tidaklah wajib, karena ittiba’ mensyaratkan adanya pengetahuan atas dalil, dan hal ini tak semua orang dapat melakukannya.
Maka cukuplah seseorang mengikuti salah satu dari imam yang empat, karena telah diketahui bahwa imam yang empat adalah termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bukan dari golongan ahlul bid’ah. Adapun yang dikhawatirkan itu adalah jatuhnya orang awam pada taqlid kepada ahlul bid’ah.
Dan jika ittiba’ itu bukanlah mengikuti pendapat mujtahid dengan disertai dalil, melainkan mengikuti Al-Qur`an dan hadits secara langsung, maka hal ini lebih tidak sanggup lagi dilakukan oleh semua orang. Dan mewajibkan ittiba’ yang seperti ini adalah bid’ah dholalah.
Kemudian, mengikuti ulama mujtahid tidaklah dapat disamakan dengan mengikuti nenek-moyang yang tidak jelas sanad ilmunya. Maka dari itu, jika kau temui seorang ulama, maka lihatlah sanadnya. Jika kau tak mengetahui sanad ilmunya, maka telitilah ilmunya. Jika ilmunya tak sesuai dengan ulama yang sanad ilmunya bersambung hingga ke Rosul shollallohu ‘alayhi wa sallam, maka tinggalkan dia. Jika kau tetap mengikutinya, maka sama saja keadaanmu dengan mereka yang mengikuti nenek-moyang mereka yang sanad ilmunya tidak jelas.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah di turunkan Allah!” mereka menjawab, “(Tidak mau!) Kami hanya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh bapak-bapak kami.” Maka Allah
menjawab: “(Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” [QS. Al-Baqarah: 170]
*******
4 Tanggapan
siti
tn ustaz, tlg komen mengenai tulisan ini:
tk
mutiarazuhud
Tolong sampaikan pendapat ukhti tentan tulisan dari link tsb.
Namun prinsipnya berpegangnglah sebagaimana Allah Azza wa Jalla memperkenalkan diriNya bahwa Allah ta’ala adalah dekat.
Allah ta’ala adalah dekat tanpa bersentuh, Allah ta’ala adalah jauh tanpa berarah dan tanpa berjarak.
Allah ta’ala adalah dekat hanya dapat dikenal melalui hati atau hakikat keimanan
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.:
“Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Wassalam
zon,
Apakah Allah dan ajaranNya bisa dipisahkan?
tolong anda jelaskan apa yang dimaksud dengan iman?
Tulisan yang sangat bagus Pak… saya setuju dengan Pak Zon, contohnya saja Imam Al-ghazali yang sudah sebegitu hebat masih mengikuti mazhab tertentu dan tidak membuat mazhab sendiri.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar