Pengenalan Tuhan

Sejak kecil  dalam pendidikan agama kita diperkenalkan tentang Tuhan melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya.
NamaNya dengan memperkenalkan dan menghafal  Asma ul Husna.
SifatNya  dengan memperkenalkan dan menghafal sifat 20 Allah ta’ala  walaupun realita sifat Allah ta’ala lebih dari itu namun cukup kita mengenal yang utama.
PerbuatanNya melalui petunjukNya seperti  yang maknanya, “Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Dia membentuk rupamu dan dibaguskanNya rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu)” (QS At Taghaabun [64]:3 )

Pada umumnya kita diperkenalkan melalui  perkataan Allah ta’ala sendiri bahwa  Allah ta’ala adalah dekat.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” ( Al Baqarah [2]: 186 ).

“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]:85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50]: 16)
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Pada akhir-akhir ini telah disebarluaskan secara terstruktur, pengenalan Tuhan melalui cara lain.
Mereka adalah yang mengikuti pemahaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pemahaman resmi pemerintahan kerajaan dinasti Saudi.

Dari video http://www.youtube.com/watch?v=1iI6CATMeVg pada detik ke 55 mereka mengaku mengikuti paham sebagaimana yang di dakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka mengaku mengikuti pemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh sehingga mereka disebut juga kaum Salafi. Namun karena banyak kaum yang mengaku Salafi maka untuk memudahkan penulisan,  mereka yang mengikuti pemahaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab disebut kaum Salafi Wahhabi
Dari video http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15 mereka meyakini bahwa Allah ta’ala punya tangan namun tangan Allah tidak serupa dengan makhluk.
Inilah salah satu pangkal perbedaan atau perbedaan utama antara  pemahaman kami dengan pemahaman saudara-saudaraku Salafi/Wahhabi adalah dalam memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Kami menolak memaknai ayat-ayat mutasyabihat secara dzahir sedangkan saudara-saudaraku Salafi/Wahhabi memaknai ayat-ayat mutasyabihat sesuai makna dzahir berpegang pada “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara [26]:195) Inilah yang kami katakan sebagai konsep/metodologi “terjemahkan saja”  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Kami tidak memaknai dzahir ayat-ayat mutasyabihat untuk menghindari kekufuran sebagaimana yang disampaikan Al  Imam Ahmad  ar-Rifa’i  (W.  578 H) dalam  al Burhan al Muayyad berkata:  “Jagalah aqidah kamu  sekalian dari berpegang kepada dzahir ayat  al Qur’an  dan  hadits Nabi Muhammad  shallallahu  ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran“.
Benar bahwa Al-Qur’an “dengan bahasa Arab yang jelas“  (QS Asy Syu’ara [26]:195)  namun yang tahu jelas makna ayat-ayatnya adalah kaum yang mengetahui atau yang berkompeten atau yang ahlinya yang telah dikaruniakan al-hikmah oleh Allah ta’ala .
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fushshilat [41]:3 )

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”(QS Al Baqarah [2]:269 )
Jika di dalam Al-Qur’an dan Hadits kita menemukan sifat Allah yang makna dzahirnya adalah sifat manusia maka harus ditinggalkan karena Al Imam ath-Thahawi  mengatakan:  “Barangsiapa menyifati Allah dengan  salah  satu  sifat manusia maka  ia telah kafir“.
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan sebagainya.
DzatNya adalah kekal, tidak berubah, tidak berpindah, tidak mempunyai ukuran/dimensi. Yang berubah, berpindah dan berukuran/dimensi  adalah manusia.
Imam malik bin anas ra menghadapi hadis ”Allah turun di setiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi ( turunnya perintah dan rahmat Allah ) pada setiap sepertiga malam “adapun Allah Azza wa Jalla, adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yg tiada tuhan selainNya“  lihat pada  “at tamhid”  8/143,  “siyaru a’lamun nubala” 8/105   “arrisalatul wafiyah” hal 136 karangan Abi Umar Addani dan dalam kitab  syarah an-nawawi ala shohih muslim 6/37  dan juga  al-inshaaf karangan ibnu sayyit al-bathliyusi hal 82.
Berikut uraian dari habib Munzir
**** awal kutipan ****
Hadirin hadirat, sampailah kita kepada Hadits Qudsi, dimana Sang Nabi Saw bersabda menceritakan firman Allah riwayat Shahih Bukhari “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir).

Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dg bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy.
Karena apa? kalau Allah itu sepertiga malam turun ke langit yang paling dekat dengan bumi, kita mengetahui bahwa sepertiga malam terakhir itu tidak pergi dari bumi tapi terus kearah Barat. Disini sebentar lagi masuk waktu sepertiga malam terakhir misalnya, Lalu sepertiga malam terakhir itu akan terus bergulir ke Barat, berarti Allah terus berada di langit yang paling dekat dengan bumi. Tentunya rancu pemahaman mereka.
Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah.
Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “Allah laysa kamitslihi syai’un”  (Allah tidak sama dengan segala sesuatu) (QS Assyura 11)
Allah Swt turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.
Hadirin hadirat, maka Allah Swt berfirman (lanjutan dari hadits qudsi tadi) “Man yad u’niy fa astajibalahu” (siapa yang menyeru kepada Ku maka aku akan menjawab seruannya).
Apa maksudnya kalimat ini?
Maksudnya ketika kau berdoa disaat itu Allah sangat….,. sangat… ingin mengabulkannya untukmu. “Man yasaluniy fa u’thiyahu” (barangsiapa diantara kalian adakah yang meminta pada Ku maka Aku beri permintaannya).
Seseorang yang bersungguh sungguh berdoa di sepertiga malam terakhir sudah dijanjikan oleh Allah ijabah (terkabul).
Kalau seandainya tidak dikabulkan oleh Allah berarti pasti akan diberi dengan yang lebih indah dari itu. “Wa man yastaghfiruniy fa aghfira lahu” (dan siapa yang beristighfar mohon pengampunan pada Ku disaat itu, akan Kuampuni untuknya).
Betapa dekatnya Allah di sepertiga malam terakhir. Hadirin hadirat, disaat saat itu orang orang yang mencintai dan merindukan Allah pasti dalam keadaan bangun dan pasti dalam keadaan berdoa.
Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari “manusia yang paling khusyu’ (Sayyidina Muhammad Saw) didalam tahajjudnya beliau berdoa “Allahumma lakal hamdu antanurrussamawati wal ardh, Allahumma lakal hamdu anta qayyimussamawati wal ardh, Wa lakal hamdu anta rabbussamawati wal ardh””.
“Allahumma lakal hamdu antanurrussamawati wal ardh” (Wahai Allah bagi Mu puji – pujian yang indah, Engkaulah Cahaya langit dan bumi, yang Maha Menerangi langit dan bumi dengan kehidupan, kesempurnaan dan kemegahannya). Cahaya langit dan bumi, Dialah Allah. “Allahumma lakal hamdu anta qayyimussamawati wal ardh” (Wahai Allah bagi Mu puji – pujian yang indah, Engkaulah yang Membangun langit dan bumi). “Wa lakal hamdu anta rabbussamawati wal ardh” (dan untuk Mu puji – pujian, Engkaulah yang Memelihara langit dan bumi).
*****akhir kutipan ****

Selain itu pengenalan Tuhan berdasarkan paham Salafi Wahhabi disebarluaskan melalui “di mana” atau keberadaan Allah ta’ala  atau tempat bagi Allah ta’ala.  Maha suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana”
Pada penghujung sebuah hadits riwayat Imam Muslim dengan sanad Mu`awiyah bin Hakam direkamkan dialog antara Rasul Saw.  dengan budak Jariyah seperti  redaksi berikut:
Rasulullah Saw. berkata: “datangkanlah ia kesini”. Kemudian  akupun mendatangkan budak wanita tersebut ke hadapaan beliau. Beliau kemudian bertanya: “Di manakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah” Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia, karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim)

Para hafiz di bidang hadits dan para pakar hadits yang mu`tabar sepanjang sejarah sepakat menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah!  Pembahasan selengkapnya silahkan baca padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/12/hadits-jariyah/
Khataman Khulafaur Rasyidin yakni Imam Sayyidina Ali  kw  yang mendapat sebutan Karramallahu wajhah artinya Allah memuliakan wajahnya, gelar untuk sayyidina Ali yg tak pernah memandang yang tidak Haq. Beliau hanya memandang Allah Azza wa Jalla. Berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Begitu pula riwayat yang selalu kami sampaikan Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.

Imam Sayyidina Ali kw yang dapat memandang Allah dengan hati / hakikat keimanan menjelaskan tentang Allah ta’ala antara lain,
Imam Sayyidina Ali KW yang selalu memandang Allah Azza wa Jalla mengatakan
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).

Hal itu sesuai pula dengan hadits berikut
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).

Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath menyatakan: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada (pada azal) dan belum ada tempat serta makhluk, dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Begitupula Imam Sayyidina Ali KW yang selalu memandang Allah Azza wa Jalla mengatakan
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya” (diriwayatkan oleh Abu manshur al baghdadi dalam kitab alfarq baynal firoq hal 333)
Kami selalu menyampaikan maha suci Allah ta’ala dari “di mana” dan “bagaimana” berdasarkan perkataan Imam Sayyidina Ali KW yang selalu memandang Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Perlu kita mengenal Tuhan dengan baik dan hati-hati untuk menghindari terjerumus kepada kekufuran karena menyerupakan Allah Azza wa Jalla dengan makhlukNya.
Mereka yang termuat dalam video di atas, adalah saudara-saudara muslim yang berasal dari negeri kita. Dalam video tersebut , setelah mereka terpapar pemahaman salafi wahhabi, dapat terlihat bagaimana mereka memandang kaum muslim lainnya khususnya di negeri kita. Mereka mengakui bahwa sebelum mereka mengikuti paham Salafi Wahhabi, mereka dalam keadaan seolah-olah serupa dengan masa Jahiliyah.
Sungguh, saudara-saudara ku yang tercemar oleh paham Salafi / Wahhabi karena mereka “silau” dengan ulama (ahli ilmu) asal wilayah kerajaan dinasti Saudi .
Prasangka mereka ulama-ulama Salafi Wahhabi menguasai bahasa Arab dengan baik , pastilah keulamaan mereka terpercaya dan perlu diikuti karena mereka berada pada jalan yang lurus.
Padahal ulama (ahli ilmu) yang terpecaya itu belum tentu berada pada jalan yang lurus walaupun mereka tahu hadits dengan sangat banyak atau intinya tahu (hukum) agama dengan baik.
Kita harus bisa bedakan antara mengetahui agama/syari’at dengan mengenal Tuhan (ma’rifat)
Untuk membedakan antara tahu (hukum) agama atau syariat dengan tahu (hukum) Tuhan atau ma’rifat, silahkan baca tulisan pada
Mereka yang telah mengenal Tuhan (ma’rifat) adalah muslim yang sholeh, muslim yang baik, muslim yang ihsan atrau muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau dengan hakikat keimanan.

Orang-orang sholehlah yang berjalan (thariqat) pada jalan yang lurus, mereka yang telah dikaruniakan ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Bagimana kita dapat mengikuti Salafush Sholeh karena masa kehdiupan mereka sudah lampau . Sebagian ulama Salafi Wahhabi mereka mengikuti dengan membolak-balik kitab , berkurung di perpustakaan.
Kita sebaiknya tidak mengikuti Salafush Sholeh berdasarkan perkataan/pemahaman ulama (ahli ilmu) sebelum jelas ke-sholeh-an mereka.
Kita diperintahkan untuk bergaul dengan orang-orang sholeh, mencontoh mereka , mengikuti mereka dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Mengikuti orang-orang sholeh sama saja dengan mengikuti Salafush Sholeh karena mereka sama dalam ke-sholeh-an atau sama-sama di sisi Allah Azza wa Jalla.
Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang mulia, mereka di sisi Allah Azza wa Jalla. Mereka istiqomah di jalan yang lurus karena mereka telah di anugerahi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla.
Orang-orang sholeh telah dianugerahi ni’mat sehingga mereka dapat merasakan ni’matnya / manisnya iman, lezatnya taqwa karena mereka mencintai Allah dan RasulNya melebihi cinta kepada yang lainnya.
Rasulullah mengatakan tanpa mencintai Allah ta’ala dan RasulNya maka tidak akan merasakan manisnya iman atau keimanan yang terpaksa
Nabi Muhammad Saw dalam hadis shahih muslim menegaskan bahwabarangsiapa yang apabila didalam hatinya ada tiga perkara ini, maka ia telah merasakan manisnya iman. Pertama yaitu apabila Allah dan RasulNya lebih ia cintai dibanding yang lainnya, kedua apabila seseorang mencintai orang lain hanya karena Allah semata, ia bersatu dan berpisah karena Alloh dan ketiga apabila ia takut untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana takutnya ia apabila ia dilemparkan ke dalam neraka..(HR. Muslim )
Rasulullah mengatakan sebagai “manisnya Iman”, sedangkan Imam Syafi’i rahimullah mengatakan sebagai “kelezatan taqwa” dalam nasehatnya (diwan),
“Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik / sholeh / ihsan. (pen. bagaimana mencapai muslim yang ihsan)

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar