Ibadah dan Bid’ah

Ibadah berasal dari bahasa Arab abada, ya’budu artinya menyembah, menghamba, mengabdi, tunduk.
Jika dikatakan ibadah kepada Allah swt berarti perbuatan / ibadah / menyembah yang ditujukan kepada Allah swt .
Kesalahpahaman kaidah yang didefinisikan oleh sebagian ulama,  inilah yang harus diluruskan.
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan

Yang benar adalah
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya

Kaidah ini bersumber dari kaidah pendapat imam Syafi’i ra
أصل في الأشياء الإباحة

(al-Ashlu fil asya’ al-ibahah), “hukum asal segala sesuatu adalah boleh”

Segala sesuatu termasuk perbuatan / ibadah
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Coba saya jelaskan hukum / kaidah ini dengan menjadikan formula.
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh),
Kita formulakan sebagai nilai awal/asal ibadah/perbuatan = 0 (mubah/boleh)
Rumus/formula yang berlaku adalah atas petunjukNya (al Qur’an dan Hadits) ,
melakukan perbuatan/ibadah yang dilarang bernilai = -X ,
melakukan perbuatan/ibadah yang merupakan kewajiban bernilai +X

Jadi aneh kalau hukum asal ibadah/perbuatan adalah haram atau mempunyai nilai -X
Allah ta’ala telah “membolehkan” manusia melakukan perbuatan di muka bumi semenjak Dia memutuskan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Kemudian bagi manusia yang mengaku sebagai hamba Allah, maka perbuatan mereka (setelah pengakuan) harus merujuk petunjukNya (al-Qur’an dan Hadits) dimana hukum awalnya mubah(boleh) berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah.
Siapapun manusia di dunia ini boleh melakukan perbuatan apapun di dunia ini. Allah ta’ala akan penuhi balasan/hasil perbuatan mereka di dunia dan tidak akan dirugikan sedikitpun.
Namun Allah telah menyampaikan kepada manusia yang artinya,
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)
Seorang muslim seluruh perbuatannya hanya terbagi dalam 2 kategori , ibadah mahdah atau ibadah ghairu mahdah.
Ibadah mahdah adalah
Ibadah yang syarat rukunnya telah ditetapkan sesuai dengan syariat.
Ibadah yang tatacaranya diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah sangat jelas, dan bersifat pasti/mutlak. seperti puasa, zakat, sholat haji dan lain2.
Aturan atau petunjukNya yang disampaikan Rasulullah saw inilah yang disebut “urusan kami”, sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.” (Riwayat Hakim dan Bazzar)
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS an-Nahl [16]:116 )
Kalau perbuatan/ibadah tersebut tidak termasuk ibadah mahdah maka perbuatan tersebut akan masuk ibadah ghairu mahdah yang didalamnya bisa didapati bid’ah hasanah seperti contoh saya berdakwah lewat internet yang mana tidak pernah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah saw. Saya yakin bahwa perbuatan/ibadah berdakwah lewat internet akan sampai (wushul) kepada Allah.
Rujukan Bid’ah hasanah (bidang ibadah ghairu mahdah)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Kalau bid’ah dalam ibadah mahdah itu sudah jelas bid’ah dholalah akan tertolak
Bagi seorang muslim seluruh perbuatan , seluruh aktivitas baik ruhani maupun jasmani adalah ibadah dan wajib ditujukan kepada Allah.
Begitulah ketaatan seorang muslim pada firman Allah yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS adz Dzariyat [51] : 56 )

Tulisan yang lebih lengkap silahkan baca pada
Tulisan tentang dalil bid’ah, silahkan baca pada
Kaidah “Hukum asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan” merupakan sebuah kesalahpahaman yang berlarut-larut dan tanpa dalil / hujjah yang kuat serta tidak ada yang diharamkan/dilarang kecuali Allah ta’ala yang mengharamkan/melarangnya.
Nash-nash Al-Qur’an atau Hadits yang berisi larangan adalah rinci, jelas, ada batasan/terukur, dan muhkamat. Salah memaknai ini ditengarai sebagai pembenaran kesalahpahaman mereka yang lain yakni tentang bid’ah.
Ada kaidah yang benar dan mendekati kalimat itu adalah,
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
Kaidah ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)

Kaidah lain yang benar adalah
“Segala sesutu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“,
Ini selaras dengan hadits Nabi saw,
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

13 Tanggapan
Assalamu’alaykum …
ya akhy … hendaknya kita dalam menilai sesuatu itu harus adil timbangannya. dalam artian janganlah menilai suatu paham itu antum berdiri diluar paham itu tanpa paham yang dimaksud. antum menjelaskan tentang bid’ah dengan hawa antum bukan dalil. jelaskan lah masalah ibadah dengan dalil baik dalam al qur’an dan sunnah, begitupun dengan bid’ah nya.
bukan dengan logika
yang dilarang -x
yang wajib +x
karena nabi tidak mengajarkan -x dan +x
semoga Allah merahmati kita semua …




pada 30 Agustus 2010 pada 8:21 am | Balasmutiarazuhud
Walaikumsalam
Melakukan perbuatan yang dilarang -x itu maknaya pahala berkurang atau dosa bertambah
Melakukan perbuatan yang diwajibkan/diperintahkan +x , pahalanya bertambah
Nanti kita diakhirat perbuatan di timbang , di hisab dan diputuskan apakah ke surga atau ke neraka.
-x , +x untuk memudahkan pengajaran saja, dan ini termasuk bid’ah hasanah.




Kaidahnya ada penambahan enggak mas, setahu saya sih cukup kalimat ‘ibadah’ saja tanpa ada penambahan ‘/perbuatan’. Jadi kalimatnya ‘hukum asal ibadah’ bukan ‘hukum asal ibadah/perbuatan’



pada 30 Agustus 2010 pada 1:39 pm | Balasmutiarazuhud
Ibadah adalah perbuatan atau perbuatan adalah Ibadah. Bagi kita yang mengaku sebagai hamba Allah maka segala perbuatan atau segala ibadah ditujukan kepada Allah ta’la



Wah… berati yang jenengan luruskan kaidahnya siapa dong… kaidahnya para ulama ato kaidah jenengan sendiri, kalo kaidahnya para ulama, kok ditambah-tambahi… kalau mau meluruskan kaidah ulama, ya sebutkan apa kaidahnya mereka para ulama, bukan bikin kaidah sendiri diatasnamakan para ulama, kemudian baru sebutkan keterangan anda untuk meluruskannya… adil bukan?



pada 30 Agustus 2010 pada 9:23 pm | Balasmutiarazuhud
Kaidah tentang ibadah atau perbuatan umumnya 3 pendapat ini saja,
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya”

Hujjah, dalilnya sudah saya uraikan di atas. Kebenaran hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, bukan dari pendapat saya atau ulama.
“Hukum asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan” adalah sebuah kesalahpahaman karena segala yang haram sudah dirinci dan dijelaskan Allah , dan Allah tidak lupa. Tidak ada yang haram selain yang diharamkan oleh Allah ta’ala
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)



kalau lah ada bid’ah hasanah, dalil nya mana akhy?
lalu apa qowaa id dan dhowabitnya?
apakah semua perbuatan baik dikatakan bid’ah hasanah?
kalau begitu
bahaya dong, nanti banyak tambahan yang akan muncul dalam agama. bukankah Allah SWT dalam surat al maidah ayat 3 telah jelaskan bahwa islam telah sempurna. sesuatu yang sempurna tidak perlu ditambahi, kalau masih perlu tambahan namanya islam belum sempurna.

“Ibadah adalah perbuatan atau perbuatan adalah Ibadah”
itu adalah ucapan mu akhy? apa dalilnya?
apa logika aja
apakah ibadah itu hanya perbuatan saja
bukan kah ibadah itu juga ada ibadah hati
ketika kita sabar menghadapi musibah maka kita akan diberikan ganjaran oleh Allah SWT terhadap kesabaran kita.

Biasakan lah mengungkapkan sesuatu berdasarkan dalil syar’ie jangan cuma comot sana comot sini tapi penjelasan nya berdasarkan logikamu sendiri akhy. tapi jelaskan dengan penjelasan nya para ulama yang ahli dibidangnya.
semoga kita diberi petunjuk oleh Allah SWT



“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya”
itu perkataan mu akhy dalam artikel diatas

setahu saya dalil mubah itu diperuntukkan bukan untuk masalah ibadah akan tetapi untuk masalah selain ibadah
seperti muamalah dan lain2. seperti kita bekerja sebagai petani, pedagang, professional dll, itu boleh.

tapi untuk ibadah kita harus memiliki dalil atau perintah dari Allah SWT. karena jika tidak, kita bisa menambahi sholat tahiyyatul bait, karena tidak ada dalil yang melarangnya.
padahal itu tidak ada contohnya dari nabi




pada 31 Agustus 2010 pada 2:13 pm | Balasmutiarazuhud
لأصل في الأشياء الإباحة
(al-Ashlu fil asya’ al-ibahah)
“hukum asal segala sesuatu adalah boleh”
Salah satu hujjah kaidah ini adalah
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Allah ta’ala telah mendiamkan maknanya Allah telah membolehkan (mubah)
Benar, umumnya ulama membatasi pada muamalah, namun harus diingat bahwa muamalah itu adalah ibadah ghairu mahdah. “Segala sesuatu” itu adalah ibadah atau perbuatan
Ibadah yang harus memiliki dalil atau perintah adalah ibadah mahdah.
Hati-hati bagi yang merasa bahwa muamalah itu bukanlah ibadah karena artinya pada saat kita bermuamalah berarti ada waktu yang kita berpaling dariNya, inilah yang dimaui oleh mereka yang berpemahaman sekularisme.
Kita harus kembalikan pemahaman kita kepada Al-Qur’an dan Hadits, bahaya perang pemikiran(ghazwul fikri) dari mereka yang berpaham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme begitu halus sehingga kadang kita tidak menyadarinya




afwan jiddan akhy …
kayanya ga perlu dilanjutkan
lebih baik manfaatkan waktu kita untuk mencari ilmu
daripada berdialog dengan yang berlandaskan akal

tidak akan pernah selesai, karena hawa nya yang berbicara
kata kita putih, menurut mereka hitam, kata kita hitam menurut mereka putih. mereka mengaku berdasarkan al qur’an akan tetapi pahamnya dari ro’yu mereka.

nasihat selaku muslim kepada muslim yang lain nya
orang tashowuf kalau lah benar maka rujuklah kepada al qur’an dengan pemahaman para sahabat, jangan membuat kaidah2 baru yang rosul dan para sahabat tidak mengamalkannya
jangan dengan alasan ilmu kami adalah hikmah, siapa yang yakin itu hikmah kalau tersesat. sementara syariat yang jelas dia tinggal kan dalilnya.

wallahu a’a lam
semoga allah merahmati kita semua ..




pada 31 Agustus 2010 pada 3:13 pm | Balasmutiarazuhud
Akhi, kami sudah sampaikan hujjah/dalilnya
Silahkan antum berkeyakinan bahwa hukum asal (segala sesuatu) ibadah adalah bathil atau haram karena sesungguhnya apa telah Allah ta’ala haramkan sudah rinci dan jelas.
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119).

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Kami sekedar menyampaikan saja.



pada 27 April 2011 pada 9:12 pm | Balashan bi kwang
sekedar masukan saja
silahkan penjengan telaah lagi di kitab-kitab ushul fikih barang kali ada yang kececer
“al aslu fil asyia’ al ibahah…..dst”
“al aslu fil af’al taqayyidu bi ahkami syar’i”
“al aslu fil ibadah haram…..dst”
setau saya ketiganya adalah qaidah fikihnya imam Syafi’i, dan masing-masing qaidah mempunyai fakta hukum yang berbeda, jadi bukanya untuk menggantikan atau merefisi satu sama lain, tapi diperuntukan untuk fakta hukum yang berbeda.
setau saya lagi nih… maaf kalo keliru
asyia’ itu untuk segala suatu benda
af’al itu untuk segala perbuatan
ibadah itu khusus untk ibadah mahdloh
dan ketiga qaidah tersebutpun digali dari dalil yang berbeda, karena memang untuk penggalian hukum pada fakta hukum yang berbeda
mohon dikoreksi jk ada yang keliru



pada 28 April 2011 pada 2:58 am | Balasmutiarazuhud
Alhamdulillah, kaidah-kaidah dalam kitab-kitab fiqih, kita sudah paham. Namun timbul kaidah-kadiah yang serupa tapi tak sama dalam penerapannya. Contoh lagi kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) dimana tidak ditemukan nash-nash baik dari Al-Qur’an mupun hadits yang dapat mendukung kaidah tersebut. Telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar