Mereka bersikukuh dengan kesalahpahaman bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy dan turun ke langit dunia pada setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir ada kaitannya dengan mereka salah memahami dalil-dalil tentang keadaan di akhirat/surga nanti seperti
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Ibnu Syihab dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa manusia berkata, Wahai Rasulullah! Apakah kami (bisa) melihat Rabb kami pada Hari Kiamat? Beliau pun balik bertanya: Apakah kalian akan kesulitan ketika melihat bulan di malam purnama yang tidak ada awan? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Beliau bertanya lagi: Apakah kalian akan kesulitan ketika melihat matahari di siang hari yang terang tanpa awan di bawahnya? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya kalian bisa melihatNya seperti itu juga. (HR Muslim 267) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=259&action=display&option=com_muslim
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Ismail dari Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah dia berkata; Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari ke empat belas, beliau melihat bulan, kemudian bersabda: Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. Kalian tidak akan kesulitan ketika melihatnya. (HR Bukhari 4473). Sumber:
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa telah menceritakan kepada kami ‘Ashim bin Yusuf Al Yarbu’i telah menceritakan kepada kami Abu Syihab dariIsmail bin Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari Jarir bin Abdullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian akan melihat Rabb kalian dengan mata telanjang.” (HR Bukhari 6883) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=77&ayatno=61&action=display&option=com_bukhari
Mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy dan manusia kelak di akhirat nanti dapat melihat Rabb dengan mata kepala sebagaimana pemahaman mereka terhadap contoh ketiga dalil di atas bahwa manusia ketika itu melihat Rabb “dengan mata telanjang”, melihat Rabb sebagaimana “melihat bulan di saat purnama dan tidak berawan, tidak ada sesuatupun yang menghalangi penglihatan”
Proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda melewati lensa mata dan menimbulkan bayangan terbalik di retina yang berada di belakang otak. Setelah melewati proses kimiawi yang ditimbulkan oleh sel-sel kerucut dan batang retina, penglihatan ini pun berubah menjadi implus listrik. Implus ini kemudian dikirim melalui sambungan di dalam sistem syaraf ke belakang otak. Kemudian otak menerjemahkan aliran ini menjadi sebuah penglihatan tiga dimensi yang penuh makna. Kita perhatikan bahwa “proses melihat terjadi ketika cahaya dipantulkan dari sebuah benda” dan Allah Azza wa Jalla bukanlah benda !
Sampai kapan pun manusia tidak akan melihat Rabb dengan kasat mata (mata kepala) yang terproyeksikan / tergambarkan ke dalam benak (otak) nya karena Allah Azza wa Jalla tidak serupa dengan apapun yang terproyeksikan / tergambarkan dalam benak (otak) manusia. “Allah laysa kamitslihi syai’un”, “Allah tidak sama dengan segala sesuatu” (QS Assyura [42]:11)
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid: Maknanya: “Apapun yang terlintas (tergambarkan) dalam benak (otak) kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu“.
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I’tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah yang merupakan Ijma’ (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Al Imam Asy-Syafi’i berkata: “Barang siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini bahwa yang ia bayangkan dalam benak (otak) nya adalah Allah, maka dia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.”
Firman Allah ta’ala menegaskan bahwa, yang artinya
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata” (QS Al An’am [6]:103)
Allah ta’ala dapat dilihat dengan ruhani (ruhNya) yakni dengan hati
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Setiap manusia dapat melihat Rabb di dunia dan akhirat setelah mencapai kematian.
Apakah yang dimaksud dengan manusia masih di dunia namun mencapai kematian ?
Hal ini terkait dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang lain yakni, “Muutu qabla an tamuutu”, “matilah sebelum mati”. Kita dapat mencapai kematian ketika di dunia adalah keadaan dimana ruhani (ruhNya) dapat sepenuhnya mengatasi jasmani. Ruhani yang terbebas dari jasmani , terbebas dari kukungan hawa nafsu. Hakikat mati adalah terbebasnya ruhani (ruhNya) dari jasmani atau jasad.
Mereka yang memperturutkan hawa nafsu adalah mereka yang berpaling dari Allah Azza wa Jalla atau mereka yang tidak melihat Rabb. Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya” (QS An Nisaa’ [4]:27)
Satu-satunya cara agar kita dapat sampai (wushul) di hadapan Allah Azza wa Jalla dan melihatNya adalah dengan dzikrullah (mengingat Allah).
Sholat adalah dzikrullah (mengingat Allah) yang utama
Dengan sholat atau dzikrullah kita mi’raj ke hadapan Allah Azza wa Jalla
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah. “Naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu” yang dimakasud “mati”
Sholat , Puasa, Zakat dan dzikrullah lainnya yang menghantarkan (mi’raj) hingga sampai (wushul) ke hadhirat Allah Azza wa Jalla dan melihat Rabb. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu , latihan ruhani “melepaskan” dari jasmani . Dengan puasa menghantarkan (mi’raj) hingga sampai (wushul) ke hadhirat Allah Azza wa Jalla dan melihat Rabb atau bertemu Tuhan.
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Mereka yang telah mencapai surga, seluruh dosa mereka sudah “diangkat” atau hijab untuk terhalang melihat Allah sudah “diangkat” sehingga mereka melihat Rabb.
Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Maisarah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit al-Bunani dari Abdurrahman bin Abu Lailadari Shuhaib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Bila penduduk surga telah masuk ke surga, maka Allah berfirman: ‘Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian? ‘ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? ‘ Beliau bersabda: Lalu Allah membukakan hijab pembatas, lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugrah (dapat) memandang Rabb mereka. (HR Muslim 266)
Kenapa melihat Rabb di dunia berbeda dengan ketika di akhirat yang dikiaskan seperti “melihat bulan di kala purnama yang tidak ada awan” atau “melihat dengan mata telanjang” yang maknanya melihat jelas tidak terhalang atau melihat tanpa kesulitan.
Sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya bahwa terhalang manusia melihat Rabb adalah karena dosa. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Manusia ketika di dunia tidak ada satupun yag luput dari dosa kecuali yang dikehendaki Allah. Mereka yang dikehendaki Allah itulah yang dapat melihat Rabb.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS An Nuur 24:21)
Rasulullah bersabda yang artinya “Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Bagaimana cara kita memperoleh kurnia Allah dan rahmatNya sehingga termasuk manusia yang dikehendakiNya terbebas dari dosa sehingga tidak terhalang melihat Rabb ?
Sebagaimana yang kami sampaikan di atas, satu-satunya cara agar kita dapat sampai di hadapan Allah Azza wa Jalla dan melihatNya adalah dengan dzikrullah (mengingat Allah). Kita harus mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring yakni mencapai muslim yang ihsan atau muslim yang baik, muslim yang sholeh atau muslim yang berakhlak baik. Muslim yang berakhlak baik terhadap Allah Azza wa Jalla dan terhadap ciptaanNya yang lain. Muslim yang bersikap dan berbuat sesuai dengan cahayaNya atau petunjukNya. Sikap dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Jika mereka mereka akan mengambil sikap atau akan berbuat mereka mengembalikan kepada Allah ta’ala , mengembalikan kepada hati (jiwa) mereka yang telah diilhamkan oleh Allah Azza wa Jalla pilihan yang haq atau bathil dan mereka selalu mengikuti cahayaNya atau petunjukNya untuk selalu mememilih yang haq , jalan ketakwaan.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan ” (pilihan haq atau bathil)(QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 ).
Hakikat manusia dengan pilihan telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya pada
Langkah-langkah dalam memperbaiki akhlak adalah membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb. Para Ulama Sufi menyebutnya maqom musyahadah artinya ruang kesakisan. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada Tuhan selain Allah”. Mereka juga telah mencapai kasyaf (mukasyafah),terbukanya hijab atau tabir pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah membukakan tabir bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghaib.
Kata ghoib, menurut beberapa kamus arab, seperti lisaanul arab berasal dari kata ghoba (tidak tampak, tidak hadir) kebalikan dari kata hadhoro atau dhoharo (hadir atau nampak). Ghaib adalah sesuatu yang tidak tampak dengan panca indera seperti mata kita atau sesuatu yang tidak tampak secara kasat mata.
Rasulullah tentulah manusia yang paling utama dan mengetahui hal-hal ghaib. Firman Allah ta’ala yang artinya, “Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang di kehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27)
Beliau ditampakkan keadaan para Nabi yang secara dzahir telah wafat.
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Laits. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kamiMuhammad bin Rumh telah mengabarkan kepada kami al-Laits dari Abu az-Zubairdari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ditampakkan kepadaku para nabi, ternyata Musa adalah salah satu jenis laki-laki seperti laki-laki bani Syanu’ah, dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang telah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrahim Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu sahabat kalian (maksudnya beliau sendiri). Dan aku melihat Jibril Alaihissalam, ternyata dia mirip dengan orang yang pernah aku lihat memiliki kemiripan dengannya, yaitu Dahyah. (HR Muslim 244) Sumber:http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=236&action=display&option=com_muslim
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengetahui berita tentang para sahabat. Kemudian beliau berdiri dan berpidato: ‘Ketahuilah bahwa sesungguhnya surga dan neraka itu telah ditampakkan kepadaku. Aku tidak pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kalian dapat mengetahui apa yang aku ketahui, maka kalian pasti akan sedikit tertawa dan banyak menangis.’ (HR Muslim 4351) Sumber:
Para Imam Mazhab yang empat pun telah mengetahui hal-hal yang ghaib (tidak tampak)
Imam Malik ra pernah berkata, “Roh manusia itu sama saja bentuknya dengan jasad lahirnya.”
Bagi mereka yang kasyaf dapat melihat perjalanan bentuk ruh. Bentuk ruh tidak langsung sama dengan bentuk jasad lahirnya (manusia) namun tergantung perjalananan ruhaninya. Mereka yang memperturutkan hawa nafsu atau sifat binatang maka bentuk ruhnya akan seperti binatang. Mereka yang kasyaf dapat melihat ruh atau hati atau sirr al ghaib (rahasia/gerbang ghaib) manusia. Namun kasyaf atau melihat bukannya tanpa batas. Batasannya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya yang artinya
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Luqman [31]:34)
Buya Hamka pun sudah dapat melihat “diri” nya yang terdiri dari jasmani dan ruhani. Buya Hamka yang kita kenal sangat berkompetensi dalam bidang syariat dan selalu berpegang pada dalil/hujjah yang tarjih (kuat) sebagaiman motto dari saudara-saudara kita kaum Muhammadiyah namun setelah menjalankan tharekat sudah dapat menyampaikan bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “hampa” sebagaimana terurai dalam tulisan pada
Mereka yang kasyaf atau melihat Rabb adalah mereka yang dicintai Allah dan tertingginya/terbaiknya adalah menjadi wali Allah sebagaimana yang terurai dalam hadits qudsi
Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : Sesungguhnya para-wali-Ku itu dari hamba-Ku dan kesayangan-Ku dari hamba-Ku, yaitu orang-orang yang berdzikir dengan menyebut-Ku, dan Aku berdzikir dengan menyebut mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Maukah kalian saya beritahu orang yang terbaik di antara kalian?” mereka menjawab: “mau wahai Rasulullah” beliau bersabda: “ yaitu orang-orang yang bila kalian melihatnya, mereka itu selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Mereka yang melihat Rabb adalah mereka yang selalu berdzikir (mengingat Allah), mereka yang bersikap dan berbuat selalu mengingat Allah (dzikrullah), mereka yang bersikap dan berbuat sesuai dengan cahayaNya atau petunjukNya. Mereka adalah kekasih Allah dan terbaiknya adalah menjadi wali Allah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Swt seorang dari shahabatnya berkata, siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
“Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.”Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Yunus [10]:62 )
Mereka tidak khawatir dan dan tidak (pula) mereka bersedih hati karena mereka melihat Rabb mereka hanya takut kepada Allah. Mereka yang ihsan. Mereka yang baik. Mereka yang sholeh.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Sumber:
Sekali lagi kami mengingatkan baik bagi diri kami pribadi maupun sudara-saudara muslim kami pada umumnya bahwa indikator pengikut Rasulullah atau indikator telah beragama dengan baik adalah berakhlak baik karena tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus Allah ta’ala adalah menjadikan muslim yang sholeh, muslim yang ihsan.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi dustalah mereka yang mengaku ittiba’ li rasulih atau mengikuti Salafush Sholeh namun mereka tidak berakhlak baik seperti mencela, menghujat, memperolok-olok saudara muslim sendiri.
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Mereka yang mencela saudara muslim sendiri adalah mereka yang tidak melihat Rabb atau minimal mereka tidak meyakini bahwa Allah ta’ala melihat perbuatan mereka. Mereka yang berpaling dari jalan Allah ta’ala karena mereka memperturutkan hawa nafsunya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
6 Tanggapan
susilo
Ya akhi, bukankah Nabi sendiri, utusan Allah yang mengabarkan bahwa orang-orang beriman dapat melihat Allah kelak di hari kiamat…? Sudah terima saja berita ini, tidak sampai ilmumu kalau kemudian kamu terangkan melihat ini adalah e…manakala ada cahaya memantul ini dan itu… Nabi telah menerangkan bahwa orang beriman dapat melihat Rabb-nya di surga kelak, sudah imani dan yakini saja serta berusaha dan berdo’a semoga kita termasuk dari orang-orang beriman yang dapat melihat Rabb kita di surga kelak, amin ya rabbal ‘alamin…
susilo Alhamdulillah ana ketemu nt ana bertanya sama mas Ajam belum terjawab “diakhirat itu jasad apa ruh ya nanti manusia ” melihat ” Alloh ??????? ” emang manusia di akhirat masih punya mata dhohir ??? kan mata dhohir dah ancur dikuburan ??? nah tolong jawab mas susilo tentunya dgn disertai dalil n hadits SHOHIH ya……..makasih jawabnya ….
qia
mas saya mau na ny ni, soal isra’ n mira’, waktu nabi muhamad saw. menemui Allah swt,yg d prjalankan Allah itu jasad ny nabi muhamad atau roh ny?
mutiarazuhud
Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam Wa huwa bi al’ufuq al-a’la dan diterjemahkan oleh Sahara , publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam: Rekaman berbagai peristiwa besar sepanjang perjalanan akbar dari Mekkah al-Mukarramah menuju Sidrah al Muntaha pada halaman 126 menyampaikan
“Bila mi’raj Nabi kita adalah dengan tubuh dan rohnya menuju ke langit sebagai sebuah mukjizat, maka Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan bagi umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam, mi’raj ruhani dalam setiap hari lima kali dimana roh-roh mereka merendahkan hawa nafsu dan syahwat mereka dan mereka menyaksikan keagungan Allah subahanahu wa ta’ala, kekuasaanNya dan keesaanNya yang membuat mereka memiliki kepemimpinan di muka bumi bukan melalui cara memperbudak, memaksa, dan mengalahkan orang lain, melainkan dengan cara kebaikan, kemuliaan, kesucian dan keluhuran dan dengan melalui shalat.
Shalat bukanlah suatu upaca keagamaan dan bukanpula gerakan-gerakan yang bersifat mekanis yang maknanya tidak dapat dipahami oleh akal, melainkan suatu “madrasah” yang mendidik orang-orang mukmin atas makna kebaikan, kecintaan, dan keutamaan yang sebagus-bagusnya dalam hiruk pikuk dan kejelekan kehidupan.
Shalat merupakan amal perbuatan yang paling agung dalam Islam. Barangsiapa yang menjaga shalat niscaya ia berbahagia dan beruntung , dan barangsiapa yang menyia-nyiakan maka ia celaka dan merugi. Allah ta’ala mewajibkan shalat kepada hambaNya yang mukmin sebagai penghubung denganNya, untuk mengingat keagunganNya, dan mensyukuri ni’matNya. Karena itu shalat merupakan dasar keberuntungan dan kebahagian dunia dan akhirat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab di hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik (benar) maka baik pula sekalian amal perbuatannya dan jika shalatnya rusak maka rusak pula sekalian amal perbuatannya (Diriwayatkan oleh at Thabarani dalam al Ausath. Disebutkan juga dalam Majma ‘az Zawaid 1/291)
Tidak heran bila shalat merupakan tanda amal perbuatan, karena dengan terus menerus melaksanakan shalat secara sempurna dengan khusyuk dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala akan menumbuhkan di dalam jiwa perasaan diawasi oleh Allah Azza wa Jalla. Dan barangsiapa yang merasa diawasi oleh Allah-Mahaagung dan Mahatinggi Allah -maka ia takut kepada Allah, bertakwa kepadaNya, dan melakukan segala sesuatu yang membawa kepada keridhaanNya. Maka ia jujur jika berkata, menepati jika berjanji, menyampaikan amanah, bersabar ketika marah, dan bersyukur jika diberi nilmat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat. Yang mereka itu tetap mengerjakan sholatnya.” (QS al Ma’arij [70]: 19-23)
Dan barangsiapa yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya – , maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, sehingga ia tidak berzina, tidak melakukan riba, tidak dengki, tidak iri, tidak menunda hak-hak manusia, tidak menyia-nyiakan hak keluarganya, familinya, tetangganya, kerabat dekatnya, dan orang-orang senegerinya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).
Dan barangsiapa tidak khusyuk dalam sholat sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)
Dalam buku tersebut pada halaman 284, “Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah” dituliskan
‘Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oelh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka. Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
Dana dan Tadalla
Di dalam hadits tentang Isra’ dan Mi’raj dari riwayat Syuraik disebutkan tentang “dana dan tadalla” (dekat dan menjadi lebih dekat lagi) serta penisbahan kepada Allah. Yang wajib diyakini oeleh seorang muslim di dalam hal ini adalah sebagaimana yang diwajibkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam hal seperti ini dalam hal ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah, seperti firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan” dan Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam hadits qudsi, “Dan barangsiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta”. Yaitu ia meyakininya dan menerimanya serta memperlakukannya sebagaimana yang diperlakukan oleh ulama salaf dan meninggalkan pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu sebagaimana ia mesti meninggalkan untuk terlalu mendalaminya dan tidak menta’wilkannya serta tidak pula meminta penjelasan atasnya. Jadi, ia berhenti pada tempat mereka berhenti, tanpa bertanya bagaimana dan mengapa.
Dan ketahuilah bahwa setiap yang etrlintas di benaknya adalah sesuatu yang mebinasakan, dan Allah tidak demikian (tidak seperti yang terlintas di benak).
Hanya saja sebagian ulama telah mentakwilkan kedekatan itu dengan diperolehnya manfaat-manfaat yang besar, dimuliakan, dipilih, dan diplih untuk menolak perasaan tidak senang yang timbul karena tidak adanya suara. Dan pemuliaan itu adalah dengan dialog dan pemberian yang mulia.
Inilah makna-makna yang agung dan mulia yang dapat dipahami dari ucapan junjungan kita Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits qudsi, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Aku menurut sangkaan hambaKu kepadaKu dan Aku bersamanya apabila ia menyebutKu. Maka apabila ia mengingatKu di dalam dirinya, maka Aku menyebutnya di dalam diriKu, Dan apabila ia mengingatKu di dalam suatu kelompok maka Aku menyebutnya dalam kelompok yang lebih baik dibanding mereka. Dan jika ia mendekatiKu sejengkal niscaya Aku mendekatinya sehasta dan jika ia mendekatiKu sehasta maka Aku mendekatinya sedepa. Dan jika ia mendatangiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari (HR alBukhari di dalam kitab at Tauhid bab wa yuhadzdzirukumullah nafsah dan diriwayatkan oleh Muslim pada awal kitab adz dzikir wa ad du’a)
UcapanNya, “Dan barangsiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku mendekatnya sehasta dan barangsiapa mendatangiKu dengan berjalan maka Aku mendekatinya dengan berlari” artinya adalah “Barangsiapa yang mendekatiKu dengan menaatiKu maka Aku mendahuluinya dengan memberi balasannya”, jadi itu adalah kedekatan dengan mengabulkan dan menerima ketaatannya, memberikan kebajikan dan menyegerakan apa yang diinginkan
Walaupun demikian agungnya makna-makna ini hanya saja mesti dipahami bahwa para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengannya bukanlah penisbahan atau penentuan tempat atau jarak yang terbayang pada benak manusia yang tak mampu memahami hakiakt dari lafaz-lafaz yang berkaitan dengan Dzat dan Sifat Allah ini karena Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang dikatakan olehNya, “tidak ada sesuatupun yang serupad dengan Dia, dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Asy Syuura [42]:11 )
Imam at Tirmidzi telah mengutip penafsiran hadits ini setelah ia meriwayatkannya dari al A’masy, salah seorang periwayat hadits ini, dan seorang imam yang terkenal di dalam qiraat dan periwayatan hadits. Al A’masy wafat pada tahun140-an Hijriah.
At Tirmidzi mengatakan, “Dan diriwayatkan dari Al A’masy dalam penafsiran hadits ini bahwa arti, “Barangsiapa yang mendekatiKu sejengkal maka Aku menedekatinya sehasta” adalah dengan memberikan ampunan dan rahmt. Demikanpula yang ditafsirkan oleh sebagian ahli ilmu mengenai hadits ini di mana mereka mengatakan bahwa artinya adalah Apabila seorang hamba mendekatiKu dengan menaatiKu dan dengan melakukan yang Aku telah perintahkan, maka ampunan Ku dan rahmatKu akan segera mendekatinya. Penafsiran yang seperti ini adalah ucapan Qatadah setelah ia meriwayatkan hadits tersebut. Jadi Allagh lebih cepat memberikan ampunan sebagaimana disebutkan dalam al Musnad (Musnad Ahmad 3/138) Qatadah wafat sekitar tiga puluh tahu sebelum al A’masy
Imam an Nawawi mengatakan, Hadits ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah dan mustahil bahwa yang dimaksudkan adalah zahirnya. Arti hadits tersebut adalah, “Barangsiapa yang mendekati Ku dengan ketaatan kepada Ku maka Aku mendekatinya dengan rahmat Ku, taufik Ku dan pertolongan Ku. Seandainya ia menambah kedekatannya, maka Akupun menambah kedekatan Ku. Maka jika mendatangiKu dengan berjalan dan segera menaatiKu maka Aku akan mendatinya dengan berlari, yakni Aku limpahkan atasnya rahmatKu dan Aku mendahuluinya dengan memberikanNya. Yang dimaksud, pelipatgandaan ganjarannya adalah menurut kedekatannya (Syarh Shahih Muslim karya an Nawawi 3/17)
Ibn al Atsir di dalam menentukan makna harwalah dan pengertian umum dari kalimat itu mengatakan harwalah adalah antara berjalan dan berlari dan ia merupakan kiasan tentang cepatnya pengabulan Allah dan penerimaannya akan taubat hambaNya serta kelembutan dan rahmatNya (Shihah al HAdits al Qudsiyah dengan syarah dan ta’liq karya Muhammad ‘Awamah: 253-257, dan an Nihayah karya Ibn al Atsir 5/261)
Kesimpulannya, walaupun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan sifat-sifat kedekatan ini diantara pentakwilan yang dapat diterima atau tidak mentakwilkannya, tetapi mereka sepakat bahwa yang dimaksud bukanlah penisbahan atau penentuan tempat atau jarak yang terbayang dalam benak manusia. Melainkan yang dimaksud adalah penetapan apa yang dicapai oleh Nabi kita di malam itu berupa perjumpaan, dialog dan munajat kepadaNya, di mana di dalamnya terdapat bukti terbesar atas kedudukannya yang tinggi, martabatnya yang agung, dan derajatnya yang mulia disisi Tuhannya. Juga di dalamnya terdapat bukti terbesar atas keagungan anugerah Allah, keluasan rahmatNya, dan pertolonganNya terhadap hamba-hambaNya yang khusus yang didekatkan kepadaNya, yaitu orang-orang yang tulus, ikhlas dan benar dalam keimanannya, dimana yang paling utama di antara mereka adalah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sang pemimpin umat.
Jumhur ulama sepakat bahwa peristiwa isra’ terjadi dengan jasad dan ruh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Wallahu a’lam
Adapun peristiwa mi’raj ulama berbeda pendapat, jumhur ulama muhaqqiqin berpendapat peristiwa mi’raj terjadi secara sadar dengan ruh dan jasad beliau dalam satu malam. Wallahu ta’ala a’lam
Lebih lengkapnya silahkan baca http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=264&text
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar