Jarh wa ta’dil

Jarh wa ta’dil  antara ilmiah (bukti / tersurat)  dengan hikmah (hakikat / tersirat)
Dalam sebuah diskusi, sebelum melanjutkan diskusi kami diminta oleh mereka yang mengaku berpemahaman Salafush Sholeh untuk “menyamakan pondasi” terlebih dahulu dengan membaca ebook berikut www.4shared.com atau telah kami salin pada sittudurror Kami tertegun dengan bagian tulisan penulis pada

***** awal kutipan *****

“Saya menyusun buku ini bukan semata-mata mengikuti keinginan orang-orang yang tidak sabar lagi untuk membaca buku-buku yang berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihi kebenaran. Mereka itu terhalang memperoleh kebenaran oleh (kesesatan) orang-orang yang selama ini mereka ikuti dengan halangan dan rintangan yang sangat besar.

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kami senantiasa mendahulukan para salafus shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari ini dalam  mengkritik dakwah-dakwah yang menyimpang dari Sunnah. Para salafus shalih tidak merasa enggan untuk “menelanjangi” kesalahan-kesalahan orang-orang yang menyimpang dengan menegak-kan hujjah dari As-Sunnah dan Al Kitab serta menyebutkan identitas pelaku dengan nama-namanya, julukan-julukan dan juga gelar-gelarnya.
Apabila ada yang menyatakan bahwa cara mengkritik orang-ofang yang menyelisihi dengan tanpa menyebutkan namanya secara jelas berarti dia telah berbuat baik, maka sungguh dia telah mencela apa yang diperbuat oleh kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka, serta pengikut orang-orang yang mengikuti mereka di sepanjang masa dan penjuru negeri. Mereka begitu memperhatikan permasalahan jarh wa ta’dil, yakni penilaian baik buruk terhadap seseorang yang menyebabkan riwayat yang berasal darinya ditolak. Mereka tidak merasa segan untuk menyebutkan beribu-ribu perawi,  nama-nama mereka, dan silsilah keturunannya, untuk memberi mereka cap dha’if yakni lemah periwayatannya, mungkar atau sangat lemah sekali periwayatannya! Pendusta! dajjal!….

*****akhir kutipan*****



Penulis buku tersebut mengatakan “Para salafus shalih tidak merasa enggan untuk “menelanjangi” kesalahan-kesalahan orang-orang yang menyimpang dengan menegak-kan hujjah dari As-Sunnah dan Al Kitab serta menyebutkan identitas pelaku dengan nama-namanya, julukan-julukan dan juga gelar-gelarnya.“


Apakah benar Salafush Shalih berdakwah dengan jarh wa ta’dil ?

Setahu kami jarh wa ta’dil hanya untuk permasalahan periwayatan hadits.
Mengapa dibawa kedalam dunia dakwah ?

Memang kebenaran hanyalah satu yang berasal dari Allah Azza wa Jalla semata namun kita tidak bisa pungkiri bahwa pemahaman dapat saja terjadi perbedaan.
Pemahaman terhadap petunjukNya adalah karunia Allah ta’ala bukan karena upaya manusia semata.
“Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]: 269).

Penulis (ulama) menulis buku atau membuat tulisan, membaca Al-Qur’an , mengumpulkan hadits-hadits yang shohih, atsar dan kemudian dia “merangkai” atau “mengkait-kaitkan” menjadi suatu tulisanpun pada dasarnya upaya pemahaman dan tidak dapat dikatakan apa yang mereka sampaikan adalah pasti pemahaman Salafush Sholeh namun pemahaman penulis itu sendiri. Apalagi dalam tulisan tersebut ada perkataan penulis sendiri.

Salah satu permasalahan ulama (ahli ilmu) saat ini adalah menggunakan tafsir bil ma’tsur atau “mengumpulkan” landasan naqli yang shahih dengan metodologi “terjemahkan saja” atau menggunakan alat bahasa terbatas (seperti tidak menggunakan balaghah) kemudian “disampaikan”. Padahal perlu langkah pemahaman yang dalam (hikmah) sebelum “disampaikan”.
Pemahaman dengan metode “terjemahkan saja” sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/ adalah pemahaman menggunakan logika(pikiran dan memori) atau pemahaman secara ilmiah, belum pemahaman yang dalam atau hikmah yang menggunakan akal dan hati dijalan Allah ta’ala dan RasulNya

Pemahaman secara ilmiah atau secara logika (pikiran dan memori) adalah yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai “membaca Al-Qur’an tidak melampaui kerongkongan” atau tidak menggunakan akal dan hati atau tidak masuk ke dalam hati.

Logika/ilmiah (pikiran dan memori) berbeda dengan yang dimaksud dengan hikmah (akal dan hati). Dalam Al Qur’an disebut “orang berakal” dan syarat kewajiban beragama adalah berakal. Contoh salah satu syarat wajib sholat adalah berakal disamping Islam dan Baligh. Seorang yang sanggup berpikir dan mengingat (memori) belum memenuhi syarat wajib sholat sebelum berakal.

Berikut ilustrasi untuk dapat membedakan antara logika/ilmiah (pikiran dan memori) dengan hikmah (akal dan hati).
Ummi: “Abi, Abi sayang ndak sama ummi ? “

Abi : “Umi ini bagaimana sih seperti orang bodoh yang mengulang-ulang pertanyaan”

Dialog ini benar secara logika / ilmiah (pikiran dan memori) karena (berdasar memori si Abi) orang yang mengulang-ngulang pertanyaan adalah menunjukkan kebodohannya namun dialog ini keliru atau bermasalah kalau ditinjau dengan hikmah (akal dan hati).

Pemahaman terhadap petunjukNya (Al-Qur’an dan Hadits) tidak cukup berbekal pikiran dan memori yakni “terjemahkan saja” (pikiran) dan bukti-bukti / dalil-dalil naqli (memori) atau apa yang tersurat (apa yang “terlihat”) atau secara dzahir namun harus dengan hikmah, akal dan hati atau apa yang tersirat (di balik yang “terlihat”) atau secara hakikat.

Kita harus bisa membedakan antara pemahaman/pendapat dengan akal dan pemahaman/pendapat menggunakan akal di jalan Allah ta’ala dan RasulNya.

Rasulullah melarang ziarah kubur pada masa awal siar agama namun setelah “kematangan” ummat maka beliau membolehkan ziarah kubur artinya ziarah kubur terlarang jika timbul kesyirikan sepeti menyembah kuburan atau berkeyakinam terpenuhi kebutuhan karena selain Allah Azza wa Jalla.

Begitupula ketika kita memahami (hakikat) larangan terhadap gambar makhluk bernyawa, pada hakikatnya terlarang jika gambar tersebut menimbulkan kesyirikan. Terlarang gambar manusia ukuran penuh tergantung atau terbentang (seolah-olah hidup di hadapan kita) untuk menghindari kesyirikan.
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim; Telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Suhail bin Abu Shalih dari Sa’id bin Yasar Abu Al Hubab budak dari Bani An Najjar dari Zaid bin Khalid Al Juhani dari Abu Thalhah Al Anshari ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar. Zaid berkata; ‘Lalu aku menemui Aisyah dan aku tanyakan kepadanya; ‘Abu Thalhah mengabarkan kepadaku bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Para Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar-gambar. Apakah anda pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hal itu. Aisyah menjawab; ‘Tidak, akan tetapi akan aku ceritakan kepadamu perbuatan beliau yang pernah aku lihat. Aku pernah melihat beliau keluar dalam suatu perjalanan, lalu aku mengambil karpet kemudian aku tutupkan pada pintu. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan beliau melihat karpet tersebut, aku mengerti ada tanda kebencian dari wajah beliau, kemudian beliau mencabutnya dan memotongnya seraya bersabda; ‘Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh kita untuk menutupi batu dan tanah.’Aisyah berkata; Lalu aku memotongnya untuk dijadikan dua bantal dan aku isi dengan pelepah kurma. Beliau tidak mencelaku atas hal itu.” (HR Muslim)www.indoquran.com
Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma’ruf; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb; Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Al Harits bahwa Bukair bercerita kepadanya, ‘Abdurrahman bin Al Qasim telah bercerita kepadanya, bahwa bapaknya berkata kepadanya, dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, suatu ketika membentangkan tirai yang bergambar. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk dan beliau mencabutnya. Aisyah berkata; ‘Maka aku potong tirai tersebut untuk di jadikan dua bantal“. Seorang laki – laki yang pada waktu itu dia di panggil Rabi’ah bin Atha’ -budak dari bani Zuhrah- bertanya dalam sebuah Majilis; ‘Apakah kamu mendengar Abu Muhammad -yaitu Abu Bakr As Shiddiq- menyebutkan bahwa ‘Aisyah berkata; ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersandar pada dua bantal tersebut?.’ Ibnu Al Qasim berkata; ‘Tidak.‘ Dia berkata; Akan tetapi aku telah mendengarnya. -maksudnya dari (Al Qasim bin Muhammad). (HR Muslim)www.indoquran.com

Dari hadits ini dapat kita pahami yang dimaksud “aku telah mendengarnya – maksudnya” adalah memahami hakikat atau hikmah larangan yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


Inilah yang disebut menggunakan akal atas petunjukNya atau mengunakan akal di jalan Allah ta’ala dan RasulNya.

Ulama yang melarang secara membabi-buta terhadap segala gambar makhluk bernyawa pada hakikatnya mereka  menggunakan logika (pikiran dan memori) atau mengumpulkan bukti-bukti atau dalil naqli dan menterjemahkan saja belum dipahami secara hikmah atau mengetahui maksud/hakikat larangan yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sebaiknya tidak mengikuti ulama yang melarang kita menggunakan akal atas petunjukNya dan menyuruh menerima apa saja yang disampaikan oleh mereka yang dikatakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh. Ketika ulama tersebut membaca Al-Qur’an dan mengumpulkan dalil-dalil naqli sebagai bahan untuk disampaikan pada hakikatnya mereka sudah menggunakan akal. Jadi bagaimana mereka melarang orang lain menggunakan akal atas petunjukNya sedangkan mereka boleh menggunakan akal.

Marilah kita menghindari dakwah dengan jarh wa ta’dil, berdakwahlah bil hikmah dengan memahami hakikat perintah dan laranganNya kemudian menyampaikan dengan cara yang arif bijaksana sehingga objek dakwah dapat memahami, menerima dan mengikuti atas kesadarannya sendiri. Sehingga mereka beribadah bukan karena kita (kita perintah) atau bukan karena terpaksa (kita paksa) namun karena Allah ta’ala semata.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

3 Tanggapan

mamo cemani gombong

alhamdulillah makin jelas sekarang ……..tengkyu bang Zon …


mutiarazuhud

Alhamdulillah,

Mas Mamo, semoga bisa paham kenapa mereka gemar berkata ahlul bid’ah, kadzdzab (gemar berdusta) bagi sesama muslim , menurut mereka hal itu menegakkan hujjah dari As-Sunnah dan Al Qur’an . Bahkan perkataan tersebut disampaikan antar mereka sendiri, seperti www.salafybpp.com





Sehingga mereka beribadah bukan karena kita (kita perintah) atau bukan karena terpaksa (kita paksa) namun karena Allah ta’ala semata.——————–>Subhanallah…betul2 indah kalimat ini. Terima kasih Bang
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar