Hindarilah akhlak yang buruk seperti perbuatan mencela
Kita harus mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat dalam beragama.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Para Sahabat bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”. Beliau bersabda, “Orang yang mengikuti ajaranku dan Sahabatku dalam beragama” (HR Tirmidzi no 2641)
Hadits tersebut tepat sekali menggambarkan mayoritas umat muslim yang bermazhab mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Salafush Sholeh melalui pemahaman Imam Mazhab yang berkompeten sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Para Imam Mazhab “melihat” beragama atau beribadah para Salafush Sholeh melalui “melihat” langsung bagaimana para Salafush Sholeh seperti Tabi’ut Tabi’in menjalankan ibadah.
Mereka mengumpulkan langsung dan menghafal hadits dari para Salafush Sholeh sebagai dasar beristinbath (menetapkan hukum).
Mereka “melihat” beribadah para Salafush Sholeh bukan melalui pemahaman tulisan atau kitab. Justru para Imam Mazhab menuliskan apa yang mereka lihat, contoh dan tetapkan hukumnya agar umat muslim dikemudian hari walaupun tidak melihat secara langsung para Salafush Sholeh beribadah namun bisa “melihat” melalui lafazh/tulisan mereka yang terangkum dalam kitab Fiqih.
Sebaiknya dalam mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat dalam beragama jangan mengikuti ulama yang berijtihad atau beristinbath (menetapkan hukum perkara/ berfatwa) namun mereka belum mempunyai kompetensi sebagai mujtahid. Ketidak mampuan mereka berijtihad mengakibatkan salah pikir (fikr) atau salah paham. Mereka diliputi kesalahpahaman-kesalahpahaman. Mereka yang dengan sholatnya belum terjaga dari kesalahan. Mereka termasuk orang yang berkata tanpa pengetahuan sehingga menyesatkan manusia dari jalan Allah.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan“. (QS Luqman [31]:6 )
Indikator muslim yang telah menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya serta telah benar dalam beragamanya adalah berakhlak baik.
Keberhasilan dalam beragama terwujud dalam akhlak yang baik atau akhlakul karimah.
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/07/indikator-muslim-baik/
Oleh karenanya marilah kita hindari perbuatan mencela karena perbuatan mencela adalah perbuatan tercela atau akhlak yang buruk.
Jika suka mencela maka dustalah perkataan mereka bahwa mereka telah mengikuti sunnah Rasulullah dan para Salafush Sholeh.
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri” ( QS Al Hujurat [49]:11 )
Ayat ini akan sulit dipahami kalau menggunakan metodologi “terjemahkan saja” atau menggunakan pemahaman secara dzahir atau harfiah atau secara apa yang tertulis / tersurat. Metodologi ini telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/08/2011/02/02/terjemahkan-saja/
“Jangan mencela dirimu sendiri” maksudnya ialah larangan mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
“Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685). .
Perbuatan mencela kadang menyertai sebuah diskusi atau percakapan. Inilah yang termasuk berjidal atau berdebat yakni berdiskusi atau percakapan yang diikuti dengan memperturutkan hawa nafsu seperti perbuatan mencela. Segala yang memperturutkan hawa nafsu adalah kesesatan.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya “…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak ada satu kaum yangg tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yg suka bertengkar“. (QS Az-Zuhruf [43]: 58 )” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Mereka yang mencela atau berdiskusi denga diikuti dengan celaan (berjidal), pada hakikatnya adalah mereka yang belum berma’rifat atau belum menjalankan tasawuf dalam Islam.
Muslim yang berma’rifat adalah muslim yang dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau minimal muslim yang selalu yakin bahwa Allah Azza wa Jalla melihat segala sikap dan perbuatan manusia.
Mereka yang mencela adalah mereka yang tidak meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla melihat perbuatan mereka sehingga mereka tidak malu atau tidak takut dengan Allah Azza wa Jalla yang dekat .
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah 56:85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [5]:16 )
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat.” (QS Al Baqarah [2]:186 )
Apabila seorang hamba telah berma’rifat atau telah dapat memandang Allah Azza wa Jalla dengan hati atau minimal mereka merasa selalu dalam pengawasan dan pantauan Allah, dalam segala hal tentang dirinya, tentu dia merasa malu dan takut kalau Allah melihat sesuatu yang buruk dan membuatNya murka. Termasuk malu dan takut akan perbuatan mencela. Takut dan malu terhadap perbuatan yang buruk karena memandang Allah atau dilihat oleh Allah Azza wa Jalla adalah merupakan perwujudan akhlak yang baik.
Oleh karenanya marilah kita bertaqarub kepada Allah Azza wa Jalla atau “memperjalankan” diri kita hingga dekat atau sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla yakni dengan menjalankan tasawuf dalam Islam.
Dengan tasawuf dalam Islam atau dengan menjalankan syariat (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) kemudian “memperjalankan” diri kita melalui tharekat akan memahami dan menyakini hakikat sehingga tercapailah berma’rifat.
Mereka yang berma’rifat adalah mereka yang melihat (menyaksikan) Allah Azza wa Jalla dengan hati. Mereka mencintai Allah ta’ala dan Allah ta’ala pun mencintai mereka. Mereka tidak takut kepada celaan orang suka mencela.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Maa’iadah [5]:54 )
Langkah “memperjalankan” diri kita melalui tharekat Nabawiyah dengan meneladani dan menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk berbuat segala amal kebaikan (amal sholeh). Bentuk dan macam amal kebaikan (amal sholeh) sangat luas sekali. Pada hakikatnya seluruh amal perbuatan diluar amal ketaatan (perkara menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits adalah amal sholeh atau amal kebaikan. Selengkapnya tentang amal kebaikan (amal sholeh) telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/27/amal-sholeh/
Dengan segala amal sholeh (amal kebaikan) , dengan dzikrullah yang utama akan memperjalankan diri kita (mi’raj) sampai (wushul) ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ta’ala , “waladzikrullaahi akbaru”, “Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)” (QS al Ankabut : [29] : 45)
Rasulullah bekata bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehinnga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Para Ulama Sufi menyebutnya Maqom Musyahadah artinya ruang kesaksian. Inilah keadaan bukan sekedar mengucapkan syahadat namun sebenar-benarnya menyaksikan bahwa, “tiada Tuhan selain Allah”.
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Imam Qusyairi mengatakan
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Selengkapnya silahkan baca tulisan kami pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/08/2011/07/01/marifatullah/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/08/tiada-menghalanginya/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/09/wushul-ke-hadiratnya/
Wassalam
Zon at Jonggol, Kab Bogor 16830
Satu Tanggapan
Yā ‘Ayyuhā Al-Ladhīna ‘Āmanū Lā Tarfa`ū ‘Aşwātakum Fawqa Şawti An-Nabīyi Wa Lā Tajharū Lahu Bil-Qawli Kajahri Ba`đikum Liba`đin ‘An Taĥbaţa ‘A`mālukum Wa ‘Antum Lā Tash`urūna.
=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar