Tawassul dengan Nabi

Tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah tiada

Sumber:
Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasan, dzurriyat Rasulullah dari fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan ra yang bernama Hasan Al-Mutsana.

Tawassul dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atas petunjuk Sayyidah ‘Aisyah
Al Imam Al Hafidh Al Darimi dalam kitabnya Al Sunan bab Maa Akramahullah Ta’ala Nabiyyahu Shallallahu ‘alaihi wasallam ba’da Mautihi berkata : Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibni Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr ibnu Malik Al Nukri bercerita kepada kami, Abu Al Jauzaa’ Aus ibnu Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘Aisyah. Abu Al Jauzaa’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk ( unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk ).” Sunan Al Daarimi vol. I hlm 43.
Pembuatan lubang di lokasi kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak melihat dari aspek sebuah kuburan tapi dari aspek bahwa kuburan itu memuat jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya berhak mendapat keistimewaan yang mulia.

Takhrij al hadits:
Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Al Fadhl yang dijuluki Al ‘Aarim, guru Imam Bukhari. Dalam Al Taqrib, Al Haafidh mengomentarinya sebagai orang yang dipercaya yang berubah (kacau fikiran) di usia tua.
Pendapat saya kondisi di atas tidak mempengaruhi periwayatannya. Sebab Imam Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan lebih dari 100 hadits darinya. Setelah fikirannya kacau, riwayat darinya tidak bisa diterima. Pandangan ini dikemukakan oleh Al Daruquthni. Tidak ada yang memberimu informasi melebihi orang yang berpengalaman.

Al Dzahabi membantah komentar Ibnu Hibban yang menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.” “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya ?” ( Mizaanul I’tidal vol. IV hlm. 8).
Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur yang terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik Al Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam Al Taqrib.
Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribu Al Raawi).
Adapun Abul Jauzaa’, maka ia adalah Aus ibn Abdillah Al Rib’i. Ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim.
Berarti sanad hadits di atas adalah tidak mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik.
Para ulama mau menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini.

Sayyidah ‘Aisyah dan sikap beliau terhadap kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa atsar di atas berstatus mauquf pada ‘Aisyah yang notabene shahabat perempuan dan praktek shahabat itu bukan hujjah, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut meskipun opini ‘Aisyah namun beliau RA dikenal sebagai perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di tengah para ulama shahabat.
Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘Aisyah Ummul mu’minin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menyayangi dan mensyafa`ati ummatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon syafa`atnya akan diberi syafa`at oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul mu’minin ‘Aisyah.
Tindakan ‘Aisyah membuat lubang pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengkafirkan dan menuduh sesat. Karena ‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada kemusyrikan. Kisah di atas membantah pandangan kalangan Wahabi dan menegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan ummatnya sampai sesudah wafat.
Adalah fakta bahwa Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar.  (HR Ahmad). Al Hafidh Al Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih ( Majma’ul Zawaaid vol 8 hlm. 26 ). Al Hakim meriwayatkanya dalam Al Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Adz Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. ( Majma’ul Zawaid vol. 4 hal.7).
‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada didekat kuburan mereka.

Nabi bersabda kepada Mu’adz saat diutus ke Yaman : فلعلك تمر بقبري ومسجدي “Barang kali engkau akan melewati kuburan dan masjidku ini.” (HR Ahmad dan Thabarani).  Para perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. ( Majma’uz Zaawaid vol. 10 hal. 55 ).
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia dan Mu’adz mendatangi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahuai oleh ‘Umar ibnu Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid ibnu Aslam dari ayahnya yang berkata : ‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi. “ Apa yang membuatmu menangis? tanya ‘Umar. ” Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu :  اليسير من الرياء شرك  ”Sedikit dari riya adalah syirik.“ Hakim berkata, Hadits ini shahih dan tidak diketahui tidak memiliki ‘illah. Adz Dzahabi sepakat dengan Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah. (Tersebut dalam Al Mustadrok vol.1 hal. 4 ). Al Mundziri berkata dalam kitab At Targhib At Tarhib : Hadits di atas diriwayat kan oleh Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim. Hakim berkata : Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah, dan Al Mundziri sepakat dengan pandangan Al Hakim. ( vol. 1 hal. 32 ).

Tawassul dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada era Khalifah ‘Umar ra
Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.”
Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan berkata : ائت عمر فاقرئه مني السلام وأخبرهم أنهم مسقون , وقال له : عليك بالكيس الكيس“Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar : “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar !”.
Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” Kata ‘Umar. (Demikian perkataan Al Hafidh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. I hlm. 91 pada Hawaaditsi ‘Aammi Tsamaaniyata ‘Asyaraa).  Saif dalam Al Futuuh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bilal ibn Al Harits Al Muzani, salah seorang sahabat. Isnad hadits ini dalam pandangan Ibnu Hajar Shahih. (Shahih Al Bukhari Kitaabul Istisqaa’ / Fathul Baari vol. II hlm. 415).
Tidak seorang imam pun dari para perawi hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa karya mereka, bahwa tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai matan (teks) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar al ‘Asqalani telah mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan dan bobotnya di antara para pakar hadits tidak perlu dijelaskan lagi.

Tawassul kaum muslimin dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Yamamah
Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan bahwa slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan “Yaa Muhammadaah”. Ibnu Katsir juga menulis sebagai berikut : Khalid ibn Al Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailamah dan bergerak menuju Musailamah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailamah kemudian membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak duel. “Saya anak Al Walid Al ‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid.” Lalu Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah “Yaa Muhammadaah”.  (Al Bidayah wa Al Nihayah vol. VI hlm. 324 ).

Tawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sakit dan mengalami musibah
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram.
“Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya.
“Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. (Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 165 ). Tawassul menggunakan ungkapan Ya Muhammad adalah tawassul dalam bentuk panggilan.

Tawassul dengan firgur selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata :  إذا أضل أحدكم شيئا أو أراد عونا وهو بأرض ليس بها أنيس فليقل : ياعباد الله أعينوني فإن الله عبادا لا نراهم.
“Jika salah satu dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah : Wahai para hamba Allah, berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak mampu melihatnya.”
Bacaan ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah.

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :   إن لله ملائكة في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر , فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فلبناد : “أعينوني ياعباد الله !
“Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah : “Bantulah aku, wahai para hamba Allah.”  Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.

Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :   إذا انفلتت دابة أحدكم بأرض فلاة فليناد : \”ياعباد الله , احبسوا ! ياعباد الله , احبسوا !\” فإن لله حاضرا في الأرض سيحبسه.
“Jika binatang tunggangan kamu lepas di padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan menangkapnya.” HR Abu Ya’la dan Al Thabarani yang memberikan tambahan : وسيحبسه عليكم “Malaikat itu akan menangkapnya untuk kalian.”
Dalam hadits ini ada Ma’ruf ibn Hassan yang statusnya lemah. Majma’ul Zawaaid wa Manba’ul Fawaaid karya Al Hafidh ibn ‘Ali ibn Abi Bakr Al Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan cara memanggil.

Terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah dua rakaat fajar membaca : اللهم رب جبريل واسرفيل وميكائيل ومحمد النبي صلى الله عليه وسلم أعوذ بك من النار
“Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api neraka.” Al Nawawi dalam Al Adzkar mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al Sunni . Setelah melakukan takhrij Al Hafidh mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” Syarhul Adzkaar karya Ibnu ‘Ilaan vol. II hlm 139.
Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata, “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dan seterusnya….”
Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarh Al Adzkaar. “Tawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, terhadap ruh-ruh yang agung,” katanya. Ibnu ‘Ilan dalam Syarh Al Adzkaar vol II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya tawassul. Ia menyatakan seraya menta’liq hadits Allaahumma Innii As’aluka bi Haqqissaailin,“ Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan orang-orang baik secara umum dari para pemohon / suka berdoa. Disamakan dengan mereka adalah para Nabi dan rasul dalam kadar yang lebih.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar